SLIDER

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 1)

Sabtu, 18 Januari 2025

Struktur buku ini cukup menarik, meski di bagian mukaddimah membahas seputar keutamaan ilmu dan kemuliaan menuntut ilmu namun bagian inti bukunya langsung menyinggung tentang faktor-faktor penghalang dalam menuntut ilmu. Ini seperti berlawanan dengan kitab-kitab tentang adab menuntut ilmu yang sudah ada lebih dulu. 

Buku ini kami pilih untuk menjadi pengisi spesial season Quran Study Rahmah Study Club karena kami memahami bahwa urgensi mempelajari adab dalam menuntut ilmu itu tidak terhindarkan tapi nyatanya banyak dari kami yang seringkali masih abai dengannya, termasuk saya sendiri. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang perlu untuk dikaji ulang dari waktu ke waktu, ilmu tentang adab menuntut ilmu tentunya menjadi cabang ilmu yang paling butuh untuk selalu dimuraja'ah karena akan menjadi pondasi bagi kokohnya ilmu lain yang ingin dibangun.

Sudah nggak asing kan dengan fakta tentang buruknya adab manusia zaman sekarang? Jangankan anak-anak, orang tuanya juga sering ada yang kelakuannya bikin geleng-geleng kepala. Dan virus kurang adab ini secara pribadi juga saya rasakan dalam diri. Baca buku ini mudah-mudahan bisa memberikan dampak baik untuk saya.

Rangkuman Bacaan

Apa yang membuat aktifitas belajar jadi nggak bermanfaat?

1. Niat yang salah

"Tidak ada satu urusan yang lebih berat bagiku untuk aku obati selain daripada niat." Sufyan Ats-Tsauri

Kalau Sufyan Ats-Tsauri seorang imam besar agama ini saja mengatakan seperti itu, apa lagi saya? Saya adalah orang yang paling mudah kotor hatinya. Makanya seringkali khawatir kalau mau nambah ilmu. Lho?! Nah, ini salah satu penyakit tambahan lagi. Karena saya ini mudah sekali merasa sombong, saya jadi takut kalau misalnya nanti saya jadi berilmu lalu merasa lebih mulia dibanding orang lain. Sampai saat ini saya masih berusaha membenahi penyakit yang satu ini.

Tapi terlepas dari keadaan pribadi saya, kondisi yang disampaikan di dalam buku ini menunjukkan bahwa niat yang salah dalam menuntut ilmu itu bukan barang langka. Kemuliaan yang dijanjikan bagi para ahli ilmu tentu menjadi godaan yang sulit diabaikan. Dan disebutkan dengan jelas, niat ingin tampil, ingin terkenal, atau ingin menguasai majelis adalah beberapa niat salah yang sering menjangkiti para penuntut ilmu. Padahal harusnya menuntut ilmu itu kita niatkan untuk mendapatkan ridho Allah, karena menuntut ilmu adalah perintahNya. 

Berkaitan dengan niat ini, sebagai guru saya sering banget menemukan dan/atau mendengar berbagai alasan anak-anak murid sekarang ketika ditanya tujuan mereka belajar atau sekolah. Sebagian besar mereka (atau setidaknya murid-murid saya) nggak punya big reason yang membuat mereka ingin tampil maksimal di sekolah. Rata-rata mereka sekolah hanya karena orang tua mereka yang menyuruh untuk sekolah, atau ada yang bilang, 'kalo nggak sekolah emang mau ngapain?'. Deep in their hearts mereka menganggap bahwa sekolah nggak punya manfaat signifikan dalam hidup mereka, tapi tetap mereka tempuh karena ya hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Pada titik ekstrem satunya, anak-anak yang bersemangat sekolah punya tujuan yang sangat pragmatis untuk masa depannya, sampai-sampai mereka tanpa sadar menggadaikan ilmu agamanya untuk tujuan yang sangat remeh. Menghafal Al-Qur'an misalnya, banyak sekali yang berjuang demi menjadi hafidz Quran karena ingin bisa masuk PTN favorit tanpa tes atau melalui jalur undangan. Rasanya sulit sekali untuk membenahi cara berpikir pragmatis ini karena hal itu juga sudah ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat sekitar mereka.

2. Ingin terkenal dan cari popularitas

Menjadi pintar dan cerdas sepertinya sudah nggak istimewa lagi di zaman sekarang ini. Jadi mungkin poin ini nggak terlalu relevan, tapi bukan berarti nggak ada orang yang belajar untuk tujuan itu. Masih mirip dengan poin pertama, seseorang yang belajar atau menuntut ilmu dengan tujuan selain Allah berarti sudah salah niat.

"Sesuatu yang paling terakhir hilang dari orang-orang yang shalih adalah, keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk tampil." Imam Asy-Syathibi

Membaca penjelasan tentang poin ini membuat saya melihat pada posisi selebritas saat ini, terutama jika dibandingkan dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal (hal. 6) "...sungguh aku telah diuji dengan popularitas." Betapa terhormat dan mulianya posisi ahli ilmu saat itu sehingga menjadi ahli ilmu kedudukannya seperti selebritas atau pejabat. 

Pada circle tertentu saya masih menjumpai orang-orang yang mengidolakan ulama dengan berlebih-lebihan, dan hal itu pasti godaan yang sangat berat bagi para ulama tersebut. Dan sebagai penuntut ilmu, saya berharap dan berdoa agar tidak terjebak pada ambiguitas antara ghuluw dan penghormatan kepada ahli ilmu.

3. Lalai menghadiri majelis ilmu

Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-majelis ilmu tersebut hanya berupa ketenangan bagi yang menghadirinya, dan rahmat Allah ta'ala yang meliputi mereka, tentulah cukup dua hal itu saja sebagai pendorong untuk menghadirinya.

Padahal kebaikan dari majelis ilmu itu jauh lebih besar dari dua hal itu; ilmu yang bermanfaat yang bisa memberikan ganjaran pahala dan balasan surga di akhirat.

Masih teringat sangat jelas dalam ingatan saya ketika suatu hari ngobrol dengan beberapa teman, yang ternyata mereka menganggap bahwa pertemuan pekanan di forum liqo' itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan ilmiyah mereka. Saya sangat terkejut saat itu, karena ternyata bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa 'ngaji' sejak lama, kesadaran untuk menuntut ilmu syar'i itu belum tumbuh dan benar-benar merasa cukup dengan keadaan mereka itu. Lalu ketika ada hal-hal yang mereka belum ketahui, mereka hanya mendiskusikannya di grup-grup chat sesama mereka dan sama sekali nggak terpikir untuk mencarinya melalui kajian ilmiyah. Saya benar-benar nggak habis pikir ketika suatu hari teman saya menanyakan tentang penjelasan hadits, lalu teman lainnya membalas dengan screenshot jawaban dari Gemini. Like, don't you think of asking a real scholar, sis? Apalagi tema yang ditanyakan adalah hadits arba'in, tema yang sangat banyak bertebaran kajiannya di Youtube.

Saat itu saya langsung memberikan rekomendari kajian yang bisa disimak agar mereka nggak salah paham dan malah membuat kesimpulan sendiri. Tapi yang saya sadari adalah, ternyata kelalaian dalam menghadiri majelis ilmu itu bukan hanya ketika kita tidak memperhatikan dengan saksama ketika bermajelis tapi juga ketika merasa tidak butuh dengan majelis ilmu itu sendiri. Seperti kata Selir Gyokuyou, 'Ignorance is a sin'.

4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan

Bagian ini adalah kritikan paling keras untuk diri saya yang selalu merasa kehabisan waktu untuk belajar. To be fair, saya memang kehilangan waktu juga untuk bersenang-senang. Video-video Youtube yang biasanya bisa saya tonton langsung segera setelah tayang, sekarang jadi saya simpan dulu ke 'Tonton Nanti' dan jumlahnya sudah sampai ratusan. Sesibuk itu sampai-sampai rasanya burn out terus setiap hari.

Saya berharap nggak jadi salah satu dari orang-orang yang selalu beralasan untuk menghindari belajar. Terus, sekarang jadi teringat sama hafalan yang sudah lama nggak dimuroja'ah.

5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil

Sudah mafhum banget, tiap orang dewasa yang baru sadar dan berhijrah pasti menyesali masa mudanya. Bahkan saya yang beruntung bisa mendapat pendidikan agama dengan baik waktu masih kecil pun, menyesal karena nggak memanfaatkan masa-masa itu dengan baik dan malah memilih jalan lain.

6. Enggan mencari ilmu

Kalau tadi ada yang lalai dari majelis ilmu karena ignorance, ada juga ternyata orang-orang yang memang males aja buat belajar. Buat mereka belajar ilmu agama itu capek, dan bukan tugas mereka. Belajar agama itu tugasnya ustadz, atau orang yang ingin jadi ustadz. Ada juga orang yang paham urgensinya tapi nggak siap dengan kesulitannya, akhirnya jadi bikin-bikin alasan; umur udah nggak bersahabat, undah nggak ada waktu, dll, dsb.

Satu kutipan yang benar-benar membuat saya refleksi adalah ini;

Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan Allah ta'ala dilanggar, dan menangis karena larangan Allah ta'ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiatan yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan Nabi saw, mereka tidak berwudhu seperti wudhunya Rasulullah saw...;

Dan masih senada dengan poin nomor 3 tadi, poin ini membuat kondisi umat Islam dan bahkan yang mendaku sebagai aktifis dakwahnya menjadi semakin terpuruk. Banyak sekali saya temui orang-orang yang semangat berdakwahnya luar biasa tapi ternyata nggak punya pemahaman ilmu syar'i bahkan yang dasar sekalipun. Tentu ini disebabkan banyak hal dan bukan di sini tempatnya untuk dibahas, tapi ini jadi pengingat untuk diri saya bahwa keengganan dalam mencari ilmu berdampak sangat besar bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga umat Islam secara keseluruhan. Kebangkitan Islam nggak bisa tercapai kalau saya sebagai pribadi muslim nggak mau atau nggak peduli dengan peran saya sebagai hamba Allah. Karena peran inilah yang paling penting sebelum peran-peran lainnya. Maka, menuntut ilmu itu menjadi keharusan dan kebutuhan untuk saya supaya upaya saya dalam mendakwahkan Islam dilandasi dengan pemahaman yang benar. Bukan sekadar ikut-ikutan orang.

7. Menilai baik diri sendiri

Ini saya banget, sih! Entah gimana ya ngilangin perasaan ini. Sejauh ini cara yang saya lakukan adalah dengan menghindari ketenaran dan mengurangi tampil di hadapan banyak orang. Kalaupun tampil, bicaranya nggak boleh kebanyakan. Tapi setiap kali ketemu orang yang dipuji-puji orang padahal aslinya biasa saja, saya selalu mbatin, 'kok begitu doang kalian udah kagum sih?!' Innalillah...

8. Tidak mengamalkan ilmu

"...tidak mengamalkan ilmu merupakan sebab utama tidak berkahnya ilmu."

Salah satu hal yang saya perhatikan dari poin ini adalah, tentang zikir. Sudah lama sekali rasanya saya nggak mengamalkan zikir dan doa-doa kecil itu. Mestinya harus saya amalkan lagi. Dan saya berdoa semoga saya bisa mengamalkan setiap ilmu yang saya pelajari.

"... adapun zakat ilmu adalah dengan mengamalkan dan mengajarkannya...."

9. Putus asa dan rendah diri

10. Sikap menunda-nunda

Saya yang suka nunggu momen tertentu untuk memulai kebaikan, saya yang suka nunggu tahun baru untuk mulai kebiasaan baik, saya yang nunggu hari tertentu untuk melakukan sesuatu. Pokoknya ini saya yang suka menunda-nunda.

Photo by Nik on Unsplash

Kesempatan yang sering disia-siakan oleh sebagian penuntut ilmu

1. Ziarah (saling mengunjungi)

Yang saya ingat dari bacaan ini mungkin nggak ada kaitannya, tapi menurut saya juga penting. Di podcast ini, beliau menyebutkan bahwa sistem pesantren itu bagus banget dan highlightnya beliau bilang, 'kita tuh nggak bisa sholeh sendirian'. Saya yang seintrovert ini pun percaya kalau saya nggak bikin RSC, mungkin saya nggak akan bersemangat untuk belajar. Saya bersyukur hidup di zaman ini di mana untuk berkumpul dalam majelis nggak perlu sampai meninggalkan rumah.

2. Sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting

"...jika Anda memiliki kemampuan lebih, janganlah Anda menghalangi diri Anda untuk melakukan sesuatu yang baik, dan memanfaatkan waktu. Sungguh umur kita sangat pendek dan ilmu itu sangat luas."

"Jika kita mau mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur waktu untuk membaca dan menghafal, niscaya kita akan mendapatkan kelezatan dan menisnya ilmu. Kita akan merasa rindu untuk banyak membaca dan membahas tentang ilmu."

3. Kaset, CD, atau rekaman kajian

Ketidakpedulian kita dalam mengatur waktu, lebih tepatnya tidak pandainya kita dalam menempatkan prioritas membuat kita gagal dalam mengambil manfaat dari kemudahan yang kita miliki hari ini. Dengan menulis 'kita' ini maksudnya saya.

4. Waktu antara adzan dan iqomah

Contoh yang ditulis pada bagian ini kembali menyadarkan saya tentang betapa berharganya waktu mustajab yang satu ini dan betapa kita seringkali mengabaikannya. Saya sendiri biasa menunggu waktu shalat jamaah dengan tilawah. Tapi seperti yang ditulis di buku ini, saya lebih sering lalai karena hadir ke jama'ah terlambat sehingga nggak punya waktu untuk memaksimalkan kesempatan baik ini.

5. Membaca secara bebas

Saya sebagai pembaca novel, dengan egois akan mengatakan bahwa novel-novel yang saya baca itu ada manfaatnya. Jadi, kalaupun saya nggak baca buku pelajaran juga nggak pa-pa 😅.

Adab Penuntut Ilmu

Yang paling dibutuhkan dalam menuntut ilmu sebelum yang lainnya adalah memurnikan niat hanya untuk Allah. Menuntut ilmu juga membutuhkan pengorbanan; baik yang terkait dengan pengorbanan jasmani, waktu, jiwa atau pun harta.

Bahkan dengan segala kemudahan yang kita miliki saat ini, menuntut ilmu tetap membutuhkan usaha yang luar biasa terutama usaha untuk mengalahkan nafsu dan syahwat. Bagi saya dan tentu sebagian orang lain, membeli buku adalah pengeluaran tersier yang selalu berada di prioritas akhir dibanding makan dan lainnya.Tapi dengan adanya ulama-ulama yang tersebar, mestinya kita masih tetap bisa mengambil manfaat dari mereka. Internet, adalah alat yang sangat baik untuk bisa menjangkau kemanfaatan ilmu di zaman sekarang.

1. Niat yang ikhlas

2. Antusias untuk menghadiri berbagai majelis ilmu

Semangat ini tentunya adalah karunia dari Allah, maka jangan pernah lupa untuk meminta kepadaNya untuk diberikan semangat dalam menuntut ilmu dan bersyukurlah karena Allah telah membuat hati ini cenderung kepada ilmu.

3. Bersegera mendatangi majelis ilmu di awal waktu dan tidak terlambat

Sepertinya ini adalah kritik keras untuk para penuntut ilmu, apalagi di Indonesia yang budayanya lebih menghargai orang yang terlambat dibanding yang tepat waktu. Saking parahnya, saya sering merasa kurang nyaman untuk hadir di awal waktu karena yang lain pasti terlambat.

4. Mencari tahu pelajaran yang tertinggal

Jika di pondok ada istilah menambal kitab. Dulu ketika sekolah pun kita terbiasa bertanya kepada teman jika sekiranya kita nggak hadir di hari sebelumnya. Tapi sekarang, budaya ini sepertinya sudah hilang. 11 tahun jadi guru, saya belum pernah mendapati murid yang mengerjakan tugas yang dia tinggalkan ketika absen. Hal ini benar-benar mengkhawatirkan. Murid-murid yang nggak merasa rugi ketika meninggalkan kelas, nggak peduli dengan kewajibannya, apa yang bisa kita harapkan darinya?

5. Mencatat faedah-faedah yang penting pada buku cetak

Tradisi ini yang sedang kami coba bangun di RSC. Bukan hanya membaca, tapi juga menuliskan manfaat yang kami dapatkan dari buku tersebut. Dan yang sekarang ini juga sedang saya coba lakukan.

Pesan lain yang ada di bagian ini juga mengingatkan saya pada buku How to Read a Book karya Mortimer J. Adler. Melihat dan membaca informasi buku secara garis besar atau inspectional reading, membantu kita mengetahui tema besar apa yang dibahas dalam buku tersebut sehingga kita bisa menentukan apakah kita perlu membacanya segera atau bisa ditunda untuk lain waktu. Beberapa tahun belakangan kebiasaan anotasi mulai populer, dan hal itu juga adalah salah satu poin yang disarankan di buku How to Read a Book. Kalau kalian punya kesempatan untuk membaca buku itu, saya sangat rekomendasikan karena di dalamnya ada banyak sekali manfaat yang bisa membantu aktifitas membaca kita menjadi lebih menarik.

6. Diam ketika pelajaran disampaikan, dan tidak menyibukkan diri dengan hal yang lain

7. Menghadiri berbagai majelis ilmu yang memungkinkan untuk dihadiri

Sungguh Allah ta'ala telah banyak memberikan kita nikmat berupa sarana-sarana yang dapat memudahkan kita untuk menuntut ilmu, baik berupa buku-buku maupun kaset-kaset. Namun itu semua tidak dapat menggantikan secara persis kehadiran kita di dalam majelis ilmu; karena dengan menghadiri majelis ilmu itu ada ganjaran yang tidak didapatkan dengan membaca buku, ataupun mendengarkan kaset.

8. Tidak mudah putus asa

Apa yang paling sering membuat saya putus asa? Hafalan Quran dan Nahwu-Sharaf. 😓

9. Tidak memotong pembicaraan guru

10. Beradab dalam bertanya

Dua jenis pertanyaan yang nggak perlu ditanyakan kepada guru ketika sedang berada dalam majelis; pertanyaan yang kita sudah tahu jawabannya, dan pertanyaan yang menunjukkan kebodohan kita. Untuk yang pertama ini saya cukup sering menyaksikannya, bahkan salah satunya baru saja kejadian pekan lalu. Salah seorang teman saya bertanya kepada guru kami tentang hukum sebuah perbuatan dan dia mengatakan bahwa ustadz A berpendapat begini. Lalu saya langsung menimpali, "Kalau sudah tahu ustadz A mengatakan begini, mengapa masih bertanya kepada Umi?"

Teman saya ini mengatakan bahwa dia hanya ingin mendengar pendapat lain, terutama dari guru kami tersebut. Apakah beliau memiliki pendapat yang berbeda, ataukah sama. Tapi itu bukanlah adab yang baik karena seolah-olah kita ingin mengadu pendapat satu guru dengan yang lain. Bahkan banyak diantara jenis pertanyaan yang dilontarkan dengan cara yang sama ini, kebanyakan penanya hanya ingin mencari guru yang memiliki jawaban yang sesuai dengan hawa nafsunya. 

Untuk jenis yang kedua memang agak sulit untuk dikenali. Tapi dari pengalaman mengajar, saya sering menemukan murid-murid yang jengkel jika salah satu teman mereka menanyakan hal yang baru saja saya jelaskan. Mungkin itu jadi salah satu contoh, karena menanyakan hal yang baru saja dijelaskan guru itu menunjukkan bahwa kita kurang memperhatikan selama pelajaran berlangsung, yang tentu sama saja seperti menyia-nyiakan waktu. Dan dengan menanyakannya, kita bukan hanya menyia-nyiakan waktu kita sendiri tapi juga waktu teman-teman kita yang sedang belajar bersama kita. Dan dulu di pesantren, kami jarang sekali bertanya kepada guru ketika di kelas, namun biasanya pertanyaan-pertanyaan itu kami lontarkan kepada sesama teman ketika mudzakarah bersama. Jika ternyata kami sama-sama tidak menemukan jawaban, maka barulah kami akan tanyakan kepada guru di pertemuan berikutnya.

11. Meneladani akhlak guru

Sejujurnya ini adalah bagian paling mengerikan buat saya sebagai seorang guru. Sebagai murid, saya selalu memperhatikan bagaimana guru saya membawakan pelajaran di dalam majelis. Dan saya sangat sadar bahwa anak-anak murid saya juga pasti melakukan hal yang sama kepada saya. Sementara saya ini adalah orang paling random di sekolah 😂. Semoga Allah jaga saya dan menyembunyikan semua keburukan saya di hadapan murid-murid saya.

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

Sabtu, 04 Januari 2025

Saya sudah tahu buku ini sejak pertama rilis dan langsung penasaran. Tapi karena ada yang bilang kalau bagusan versi aslinya, jadi saya agak menahan diri untuk beli sampai akhirnya sempat kehilangan keinginan untuk baca. Kayak udah terlambat gitu lho, sudah lewat 4 tahun sejak bukunya rilis. Untungnya bulan Oktober kemarin saya ngide bikin bookclub ala-ala dengan beberapa murid. Waktu saya cerita sedikit sinopsis buku ini, anak-anak langsung setuju untuk baca bareng buku ini selama bulan November.

Sayangnya saya nggak bisa tepat waktu nuntasin baca bukunya. Tentu saja karena banyak kerjaan dan memang kalau baca buku bahasa Inggris saya butuh effort lebih banyak dibanding baca buku bahasa Indonesia. Eh, tergantung juga sih. Soalnya baca The Apothecary Diaries bisa sehari tamat satu jilid 😅. Saya baca buku ini pelan-pelan, diantara alasannya adalah karena tema bukunya yang lumayan berat dan awalnya saya ingin buat reading vlog untuk buku ini. Ternyata saya kehilangan mood di tengah jalan, jadi saya tulis saja reviewnya di sini. Mungkin nanti saya tetap buat video reviewnya setelah menulis ini.

Author : Zoulfa Katouh
Published : 2022
Genre : Historical Fiction, Romance, YA
Seeting : Homs, Syria, 2011s

As Long As The Lemon Trees Grow. Mengapa judulnya seperti itu? Salah seorang teman ada yang pernah bertanya kepada saya. Sejujurnya itu juga yang saya pikirkan ketika pertama kali melihat buku ini berseliweran di YouTube. Lalu setelah saya telusuri, ternyata buah lemon adalah salah satu komoditas utama di Suriah. Saya baca di sini, betapa buah lemon memiliki arti yang mendalam bagi orang Arab secara umum. Mungkin seperti buah zaitun bagi orang Palestina. Buah lemon bukan hanya melambangkan kebersamaan keluarga, tapi juga persistensi dan keteguhan harapan mereka.

Dan tema inilah yang ingin diangkat oleh Zoulfa Katouh dalam novelnya. Bercerita tentang Salama, gadis berusia 18 tahun yang seharusnya masih menjadi mahasiswa farmasi, tapi terpaksa membantu sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di daerahnya karena perang saudara yang terjadi. Salama tinggal berdua dengan kakak ipar yang juga teman baiknya, Layla yang sedang hamil 7 bulan. Kakak dan Ayahnya ditangkap oleh tentara Suriah karena 'memberontak'. Ibunya meninggal tidak lama setelah itu karena bom, dan dia juga hampir saja kehilangan Layla belum lama ini.

Salama harus mengambil pilihan yang sulit. Di satu sisi dia ingin menyelamatkan Layla dan calon keponakannya dengan mencari suaka ke Eropa, tapi di sisi lain jumlah tenaga medis makin menipis dan dia tidak bisa mengabaikan tanggung jawab itu begitu saja. Di sepanjang novel ini kita akan mengikuti pergulatan batin Salama dan bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan segala kekacauan yang terjadi di negerinya.

Bagian romantis dari novel ini dimulai setelah Kenan muncul, seorang pemuda 19 tahun yang ingin menjadi bagian dari revolusi. Kehadiran Kenan membuat Salama semakin berani menghadapi ketakutan dan traumanya sambil menumbuhkan harapan dalam hatinya.

Di As Long As The Lemon Trees Grow, kesehatan mental merupakan dasar bagi alur cerita dan karakter. Salama yang masih muda dan awalnya adalah anak bungsu dari keluarga bahagia, harus kehilangan keluarga secara mendadak dan tragis. Hal itu membuatnya trauma dan akhirnya muncullah sosok Khawf yang mungkin adalah produk dari PTSDnya. Bukan hanya Salama, karakter lain juga digambarkan mengalami trauma seperti Yusuf yang kesulitas bicara.

Kehadiran Khawf dalam novel mau tidak mau mengingatkan saya pada karakter Xiu Bai-jiu di film Wu Xia. Setiap kali Khawf muncul, caranya hadir yang mengusik Salama selalu tergambar seperti adegan di film itu. Kalau kalian belum nonton, saya rekomendasikan banget film ini😉. Jika mau dianalisis lebih jauh, sepertinya sosok seperti Khawf bisa dijadikan kajian tersendiri, apakah dia adalah simbolis dari rasa takut seperti yang disampaikan Salama? Khawf berarti 'takut' dalam bahasa Arab, btw. Pun kalau akan dikategorikan sebagai antagonis, sesungguhnya dia yang selalu membimbing Salama untuk menghadapi kehilangan yang dirasakan Salama selama perang.

Awalnya saya pikir karakter Kenan sama sekali nggak perlu ada di novel ini. Dan saya sempat mengira kehadirannya dibuat hanya untuk menarik pembaca saja. Tapi ternyata setelah membaca sampai sekitar 2/3 bagian buku, barulah saya sadar kalau Kenan memiliki peran vital dalam memulihkan kestabilan emosi Salama dan hubungan mereka memberikan harapan di tengah kehancuran kota Homs dan Suriah.

Sepanjang baca novel ini, saya selalu terbayang video-video tentang Palestina yang sering muncul di beranda sosial media. Saya bersyukur Zoulfa Katouh menulis novel ini dan akhirnya laris di pasaran, karena sejujurnya saya juga sudah mulai lupa pada konflik Suriah sejak pertama kali mendengar beritanya ketika masih kuliah dulu. Membaca novel ini di akhir tahun 2024, sepertinya jadi takdir baik karena nggak lama setelah itu terdengar kabar bahwa Bassar Al-Assad pergi meninggalkan Suriah. Saat ini rakyat Suriah sedang bersuka cita merayakan kemerdekaan mereka atas penjajahan pemimpinnya sendiri.

Meskipun beberapa kali nangis pada adegan-adegan sedih, ada beberapa hal yang membuat saya sering gemas ketika membaca novel ini. Pertama, karena terlalu fokus pada Salama, saya jadi nggak punya gambaran utuh tentang karakter-karakter pendukung lainnya. Sejujurnya saya ingin tahu, ada berapa dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit itu. Karena sepanjang novel yang disebut namanya hanya Dr Ziad dan Nour, setiap kali adegan di rumah sakit saya selalu membayangkan petugas yang berada di sana hanya mereka bertiga. Beberapa kali juga peristiwa dalam sehari diceritakan begitu cepat, sehingga saya merasa Salama yang baru saja berangkat ke rumah sakit di halaman sekian lalu sudah pulang di halaman sebelahnya.

Kedua, saya ingin kenal lebih jauh dengan karakter Am. Pencitraan yang saya terima dari sudut pandang Salama membuat Am tampak seperti sosok yang pragmatis. Tapi entah mengapa saya merasa Am nggak seperti itu. Saya ingin tahu kenapa dia seperti enggan setiap kali Salama menanyakan kabar anaknya. Apakah Am nggak kenal Layla? Apakah benar dia nggak mau meninggalkan Suriah karena bisnis yang dijalaninya itu menghasilkan uang? Apa maksudnya ketika bilang ke Salama, "Don't think about asking for forgiveness." By the way, lewat novel ini juga saya jadi punya gambaran yang jelas tentang bisnis serupa di Palestina. Kalau tidak salah, beberapa tahun lalu Narasi pernah melakukan liputan tentang bisnis ini di channel YouTube mereka.

Ada banyak Quotes yang saya tandai di buku ini, terutama yang berkaitan dengan harapan dan menemukan kebahagiaan. Salah satunya adalah ini,

You deserve to be happy. You deserve to be happy here. Because if you won't try it in Syria, then you won't try in Germany.

Adegan ini semacam pengingat bagi saya tentang alasan orang-orang di Palestina selalu tetap terlihat bahagia dan teguh pendiriannya. Bahwa semenyeramkan apapun kondisi yang mereka hadapi, harus tetap ada usaha untuk mengisi hati agar tetap bersyukur dan menikmati kehidupan yang sementara. Karena pada akhirnya, kematian akan menjemput semua orang. Bagi mereka di Suriah, jika tidak mati karena perang, mungkin mati karena kelaparan.

Meskipun dikategorikan sebagai YA, novel in melampaui batasan usia. Menyentuh hati dan pikiran pembaca dari segala usia. Novel ini bisa menjadi pengingat bahwa tema-tema tentang ketangguhan, harapan dan kegigihan meraih masa depan yang lebih baik adalah nilai-nilai yang dimiliki semua orang tidak peduli dimanapun mereka berada dan dalam kondisi apapun kehidupan mereka. Wajar saja kalau buku ini banyak direkomendasikan, karena memang mampu menyentuh dan menumbuhkan pemahaman serta empati bagi banyak orang yang terkena dampak perang. Karena buku ini, banyak orang di dunia mengenal Suriah dan memahami keganasan yang terjadi di sana. Karena buku ini, saya jadi teringat kembali kepada Suriah dan mendokannya.

What I've been doing in 2024

Selasa, 31 Desember 2024

Awal tahun ini saya nggak bikin resolusi atau target apa-apa, hanya melanjutkan apapun yang sudah saya kerjakan sebelumnya. Nggak punya buku journal dan hanya ngandelin Google Calendar yang ternyata juga nggak terlalu dipakai, pokoknya ngalir aja kayak air comberan. Nyatanya hidup saya tetap baik-baik saja dan semua kegiatan tetap berjalan walaupun saya nggak yakin kalau semuanya lancar. Dan setelah saya bolak-balik ngintip refleksi tahunan di postingan tahun-tahun sebelumnya, memang kekacauan saya ketika punya planner masih jauh lebih baik daripada ketika saya nggak merencanakan apa-apa. Jadi saya memutuskan untuk membeli Hobonichi Techo Original yang harganya bikin nangis bulan Oktober kemarin. Beneran saya ngedumel sendiri setelah transfer ke jastipnya karena belagu banget beli journal semahal itu, tapi setelah barangnya datang ya senang-senang aja sih.

Jadi, apa yang terjadi selama tahun 2024 ini? 6 bulan pertama jujur saya nggak terlalu ingat. Nggak ngejournal, sih! Yang saya ingat adalah momen pertemuan saya dengan Maomao yang membuat saya bahagia luar biasa sampai baca novelnya berhari-hari tanpa jeda. Walaupun itu bukan pencapaian, tapi bagi saya itu adalah salah satu masa yang paling membahagiakan di tahun ini.

Kalau membicarakan pencapaian, sepertinya nggak banyak yang bisa dibanggakan tapi setidaknya peristiwa-peristiwa penting yang ingin saya ingat kurang lebih seperti ini;

Fami bi Syauqin

Setelah lebaran, saya bertekad untuk meningkatkan kuantitas tilawah harian into the next level. Saya nggak mau cuma khatam sebulan sekali. Karena saya tahu bahwa saya paling malas muroja'ah, maka cara paling efektif untuk menjaga hafalan adalah memperbanyak tilawah. Dan alhamdulillah ada program namanya Fami bi Syauqin yang dibimbing oleh seorang pengasuh pondok pesantren di Riau. Beliau bikin komunitas di WA dimana membernya wajib membaca Al-Quran sesuai dengan yang sudah dijadwalkan dan harus laporan tiap hari. Saya berhasil menjalani program itu sampai akhirnya pekerjaan menjadi guru menyerang.

Ngajar lagi

Episode hidup yang ini sudah lumayan sering saya tuliskan ceritanya. Sejak Agustus kemarin saya mulai kerja lagi. Ngajar di sebuah SMA IT di kota saya. Kenapa kok ngajar lagi? Kok malah IT lagi? Ya karena adanya itu, dan saya butuh uang buat jajan 😄. Ternyata buat ngongkosin jajan buku itu mahal, gaes. Saya yang cuma manusia pinggiran ini nggak bisa minta sama suami untuk jadi sponsor keborosan yang bisa kami gagal kaya.

Alasan lainnya karena dari dulu sebenarnya saya penasaran apakah saya bisa jadi guru SMA. Karena selama ini cuma ngajar SMP, saya merasa kalau saya bisa lebih banyak diskusi dengan anak SMA yang secara usia sudah sedikit lebih matang. Mungkin nggak sepenuhnya terbukti benar, karena nyatanya anak-anak SMA yang saya temui saat ini kebanyakan masih bocah juga pola pikirnya, tapi paling nggak saya punya teman-teman kerja yang baik. Itu saja cuku. Oh, gaji juga.

Muraja'ah

Setelah ngajar lagi, program fami bi syauqin jadi kacau balau. Tapi saya berhasil setoran muraja'ah ke teman ngajar. Alhamdulillah itu bikin saya semangat. 

***

Untuk tahun 2025, saya sudah merencanakan beberapa hal tapi masih agak segan untuk menulisnya di sini. Tapi yang jelas, planner saya saat ini ada di Hobonichi dan Notion. Saya suka banget sama kedua planner itu dan berharap banyak, mudah-mudahan ada progress yang cukup signifikan dari diri saya di tahun depan.

My overflowing thoughts on September

Senin, 30 September 2024

Sebenarnya bukan hanya tentang September, sejak Agustus, atau tepatnya sejak mulai mengajar lagi saya jadi lebih banyak refleksi baik tentang diri sendiri maupun sistem pendidikan secara umum. Lebih banyak tentang diri sendiri, sih. Ada beberapa hal yang mulai saya sadari tentang diri saya yang ternyata jauh berbeda dengan diri saya yang dulu. Atau mungkin sebenarnya dari dulu saya sudah begini, hanya baru saya sadari sekarang saja?!

Photo by Nick Fewings on Unsplash

Aktifitas saya saat ini berkutat pada 3 hal; mengajar, mikirin RSC, dan UPA. Oh, satu lagi yang juga menguras energi adalah mikirin anak 😌. Tapi pada 3 aktifitas itulah yang paling membuat pikiran ruwet karena saya harus berurusan dengan banyak orang.

Belakangan, dalam hal berhubungan dengan orang lain ini saya baru menyadari kalau saya akan selalu menyesali apapun yang saya sampaikan begitu sudah kembali ke rumah. Dan penyesalan itu membuat saya makin merasa lelah. Lalu akhirnya makin malas untuk ketemu lagi di waktu berikutnya. Tapi di kemudian hari saya kembali berpikir bahwa saya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar, lalu saya coba untuk berbicara, lalu menyesal lagi, lalu kelelahan lagi. Siklus menyebalkan itu terus saja terjadi dan yang terakhir di hari Sabtu kemarin saya benar-benar memikirkan pada hal-hal apa saya merasa paling kehabisan energi.

I'm feeling alienated. Setiap kali terlibat dialog atau obrolan ringan sekalipun, saya selalu merasa nggak nyambung dengan orang-orang di sekitar. Terkadang, saya merasa nggak didengar atau nggak dihiraukan. Sayangnya, itu terjadi ketika saya benar-benar ingin berbagi tentang sesuatu yang berarti bagi saya atau sesuatu yang penting bahkan bagi mereka. Yang kedua seringkali membuat saya sampai sedih, kenapa hal sepenting itu nggak dihiraukan oleh mereka? Karena seringnya apa yang saya bicarakan hanyalah seputar Islam. Jadi tuh kalau orang-orang di sekitar saya nggak peduli sama yang saya omongin, saya merasa seolah-olah mereka mengabaikan nilai-nilai Islam itu sendiri. Tapi mungkin itu cuma perasaan saya saja. Mungkin saya yang terlalu lelah karena pekerjaan, atau bisa juga mungkin karena saya sedang butuh healing 😒.

Sambil nulis ini saya sedang berpikir, mungkin lebih baik kalau saya kembali ke setelan pabrik; lebih banyak diam, mengamati dan tidak bicara kalau tidak diminta. Karena saya pikir-pikir sepertinya belakangan saya memang terlalu banyak bicara. Saya mulai terlalu peduli pada orang-orang di sekitar saya, atau saya terlalu craving for connection and conversation. Sayangnya orang-orang yang saya ajak diskusi itu punya pemikiran yang berbeda dengan saya yang akhirnya malah membuat saya patah hati. Salah siapa?! Ya saya sendiri.

***

Peristiwa terakhir yang saya alami, for giving you context, ketika saya membicarakan tentang seorang kenalan yang bercerai dengan seseorang yang mestinya saya hormati. Itupun tadinya tanpa sengaja. Awalnya hanya diniatkan untuk memberi gambaran peristiwa lain yang ingin saya bicarakan dengannya. Saya sama sekali nggak menyangka kalau responnya akan dengan mudah menyalahkan si istri dengan alasan yang sangat emosional. Jadi si istri ini adalah istri kedua. Ketika si suami menikah lagi untuk ketiga kalinya, terjadi masalah antara dirinya dengan suami sehingga mereka bercerai. Dan respon dari orang ini, yang sedang mengobrol dengan saya ini, adalah "ya rasakan sendiri lah sekarang dia disakiti. Dulu dia mau jadi istri kedua kan nyakitin hati orang lain." diucapkan dengan sinis dan nada tinggi.

Kebetulan saya kenal cukup baik dengan si istri dan dia pernah beberapa kali menceritakan sedikit masalahnya itu kepada saya. Bukan berarti saya bias menilai, tapi dari mana orang ini tahu kalau penyebab cerainya mereka adalah karena si istri merasa disakiti sebab suaminya menikah lagi? Sementara yang diceritakan kepada saya sama sekali nggak ada hubungannya dengan peristiwa itu? Lebih dari itu, bagi saya sangat aneh bagi orang yang sudah paham tentang syariat masih memandang miring pada pelaku poligami, tanpa sebab. Bukankah itu juga berarti tanpa sadar dia sudah membenci syariatnya?

Pada banyak kejadian lain, sering sekali saya mendapati orang-orang di sekitar saya memiliki pemahaman yang membuat saya miris tapi saya nggak tahu bagaimana untuk meresponnya. Karena kalau saya coba jelaskan, mereka makin nggak ngerti dan justru saya yang dianggap aneh atau mikirnya kejauhan. Tapi pada saat yang sama saya merasa kasihan karena orang-orang ini harusnya sudah bukan di masanya salah pemahaman atau baru belajar Islam. Mereka sudah belajar Islam sejak lama, banyak yang sejak kuliah yang artinya lebih dari 7 tahun berlalu dan pemahaman Islamnya masih sangat dasar sampai-sampai pada hal-hal yang sangat basic sulit untuk memahami. Capek banget padahal harusnya nggak perlu dipikirin.

Di sekolah, untungnya saya bisa lebih santai walaupun kadang merasa menyesal juga. Bukan karena beda pemahaman atau apa. Tapi biasanya kalau sudah selesai ngobrol dan saya ingat lagi, ternyata saya sudah oversharing. Sebagai salah satu yang tertua di kantor, ternyata saya sudah seperti orang tua yang sering memberi nasihat tanpa diminta dan bercerita tentang pengalaman masa muda yang mungkin sebenarnya nggak terlalu menarik buat anak-anak muda itu. Saya jadi merasa seperti fosil kalau sudah mulai sadar habis kebanyakan berceloteh 😂. Untungnya mereka adalah orang-orang baik yang mau mendengar ocehan berantakan dari saya setiap hari.

***

Sore ini diakhiri dengan ketidakjelasan dari BSI yang sungguh membuat hati saya rungsing. Sudah kerempongan buka rekening online lewat aplikasi sejak bulan lalu, disuruh menghubungi CS lewat chat WA, diminta kirim foto KTP. Saya pikir mau dibuatkan sama mbaknya, ternyata tidak. Entah dipakai untuk apa KTP itu karena setelah foto KTP dikirim nggak ada kabar apa-apa. Lalu tadi siang saya tanyakan kelanjutan proses pembukaan rekeningnya, lalu saya disuruh buka rekening lewat aplikasi. I was like, "chat pertama saya dibaca nggak sih mbak??? Kalo bisa buka rekening online sendiri nggak mungkin saya minta bantuan!!" Lalu panjang ngalor-ngidul dibilang saya salah dan lain-lain, ujung-ujungnya ternyata NIK saya masih terdaftar di bank karena pernah punya rekening BRI Syariah lebih dari 1 dekade yang lalu, yang padahal rekening itu sudah saya tutup, saya datang sendiri ke bank untuk nutup rekeningnya, sudah saya ambil uangnya dan saya masih ingat persis kejadiannya karena itu adalah terakhir kalinya saya ngambil uang beasiswa kuliah. Iya, sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Kok bisa datanya masih ada? Jadi apa gunanya ditutup rekeningnya? Dan saya diminta ke bank besok untuk buka rekening.

***

Saya berharap, Oktober bisa jadi lebih baik. 

Urusan beli jajanan

Rabu, 04 September 2024

Ceritanya saya dijadikan panitia konsumsi acara Pemira di sekolah. Karena ini pertama kali saya bergabung di dalam tim di sekolah ini, saya masih kikuk dan bingung mau gimana kerjanya. Secara aslinya saya memang kurang pintar bekerja sama, jarang banget bergabung di kepanitiaan di sekolah lama, plus punya masalah adaptasi di sekolah ini seperti yang saya ceritakan di sini. Apalagi ini panitia konsumsi. Panitia yang biasanya bagian wira-wiri sana-sini buat beli makanan. Terus terang begitu baca susunan panitia saya langsung anxious. Jadi panitia konsumsi semacam teror buat saya, karena saya nggak suka makan jadi saya nggak tahu selera umumnya manusia itu makanan yang macam apa. Sudah begitu saya sendirian pun, nggak ada teman kerjanya. Kalau sewaktu-waktu saya butuh beli makanan mendadak njuk gimana?! Nggak bisa bawa motor, masa harus ngerepotin orang lain?!

Photo by Aldrin Rachman Pradana on Unsplash

Untungnya teman-teman kerja saya ini mau berbaik hati ngasih tahu saya kontak langganan mereka biasa beli konsumsi acara. Tugas pertama saya harus beli makanan untuk agenda rapat panitia. Karena cuma rapat kecil dan sebentar, saya cuma beli minuman dan alhamdulillah nggak ada masalah.

Nah, yang menginspirasi saya untuk nulis postingan ini adalah pengalaman kedua. Jadi, saya lupa (karena nggak terlalu peduli) bahwa ada perubahan jadwal pelaksanaan debat kandidat. Untungnya ibu bendahara panitia mengingatkan saya malam sebelum acara dimulai. Dia juga langsung ngasih kontak catering langganan mereka beli snack. Nggak nunggu waktu lama saya langsung ngechat ibu admin. Butuh waktu agak lama akhirnya chat saya dibalas,

"ndadakan, Bun,

mo berapa macem?"

Sejujurnya saya agak bingung pesanan saya dibilang dadakan. Kan biasanya orang usaha catering ya pasti punya stok. Tapi saya berhusnuzhon mungkin ini usaha rumahan yang nggak terlalu besar. Sambil minta maaf saya lanjutkan pesanan. Sampai saya mau bayar, nggak dikasih juga totalan harga yang harus saya bayar. Akhirnya saya inisiatif sendiri memastikan jumlah yang harus saya transfer. Dan transaksi selesai. Besoknya snack datang dan dimakan panitia dengan gembira. Sambil menikmati jajanan, saya mencoba menggali informasi dari para guru, di mana tempat favorit mereka untuk beli snack supaya jadi referensi saya belanja di rangkaian acara berikutnya. Dan ternyata tempat catering ini adalah favorit mereka. Alasannya karena snacknya besar-besar dan enak. Saya yang merasa rasanya biasa saja mencoba memahami, tapi dalam hati saya nggak pengen berurusan lagi sama admin WA si ibu catering. Nggak ada ramah-ramahnya.

Di rangkaian acara berikutnya, saya menawarkan untuk belanja di tempat lain. Dan teman-teman panitia tidak mempermasalahkan. Di tempat baru ini, chat saya direspon dengan sangat ramah. Sebenarnya proses order berjalan tidak lancar, si admin yang melayani saya salah hitung dan akhirnya jumlah uang yang saya transfer kurang Rp. 5.500,- bikin saya harus mampir ke tokonya untuk menuntaskan pembayaran karena transfer kurang dari 10.000 kan nggak bisa. Tapi karena gaya komunikasi adminnya sangat ramah, saya sama sekali nggak masalah. Dan sejujurnya, snack di tempat ini menurut saya justru lebih enak walaupun memang lebih kecil. Entah apakah karena ada faktor kenyamanan dan saya makan waktu kondisi masih hangat. Tapi seriusan, saya merasa risol mayo di tempat ini lebih terasa mayonya dibanding dengan tempat pertama.

Karena saya menghargai selera teman-teman panitia yang lain, di rangkaian acara berikutnya saya memesan ke tempat yang pertama. Kali ini saya pesan sehari sebelum acara, bukan malam-malam. Ternyata responnya masih sama dong 😩,

"Kok mendadak

Buat jam berapa?

Banyak mbak?"

Baca responnya tuh hampir saja bikin saya membatalkan pesanan. Kalau pesan sehari sebelum acara dibilang mendadak jadi harus H- berapa supaya nggak mendadak? Kalau ternyata acaranya memang dadakan gimana?! Tapi karena masih memprioritaskan teman-teman, saya berusaha nggak menghiraukan jawaban itu dan langsung memberi informasi jumlah pesanan. Nah, setelah itu sepertinya adminnya beda orang karena merasa tone dari bahasa chatnya agak berubah. Dan saya jadi dipanggil Bu. Tapi sampai malam saya tunggu, masih nggak ada juga totalan jumlah harga yang harus saya bayar, dan saya yang harus inisiatif menghitung sendiri orderan saya. Setelah saya hitung termasuk biaya ongkir pun balasannya "ongkir 8k". I was like, 'ya itu saya totalin sudah sama ongkiiiiir' 😈. Dan ndelalahnya kok pas mau transfer m-bankingnya lagi gangguan, persis seperti waktu orderan pertama.

Sambil menulis ini pun saya masih bertanya-tanya, apakah saya yang terlalu sensitif atau memang ada yang kurang baik dengan pelayanan si ibu catering? Saya nggak berani membayangkan bagaimana nada bicara si ibu admin kalau misalnya saya mencoba menelponnya. Tapi yang jelas kejadian ini jadi pelajaran penting buat saya, bahwa bekerja di bidang pelayanan itu memang butuh skill komunikasi yang sangat baik. Sesuatu yang saya nggak punya, tapi sepertinya saya juga masih nggak gitu-gitu amat ketika komunikasi itu berkaitan dengan pekerjaan. Mudah-mudahan saya mampu bertahan kalau ternyata ke depan masih harus terus berhubungan dengan ibu catering itu dan masih dilayani dengan cara yang sama.


Frieren; a new obsession

Rabu, 28 Agustus 2024

Setelah nonton Maomao dan heboh sendiri karena nggak banyak wibu terkenal di Indonesia yang bahas tentang anime itu, saya menemukan bahwa ternyata karakter Maomao selalu disandingkan dengan Frieren di setiap review anime dari luar negeri. Di Indonesia sih Frieren cukup rame, jadi saya nggak terlalu buru-buru untuk nontonnya, karena nggak perlu khawatir kelupaan. Waktu masih awal-awal rilis juga saya sempat nonton 2 episode tapi kemudian berhenti. Sekarang karena -seperti biasa- sudah kehabisan referensi maka saya mulai menonton Frieren. Dan memang layak Frieren serame itu dibahas di mana-mana, and now I want justice for Maomao. 😕

The demon king has been defeated, and the victorious hero party returns home before disbanding. The four-mage Frieren, hero Himmel, priest Heiter, and warrior Eisen-reminisce about their decade-long journey as the moment to bid each other farewell arrives. But the passing of time is different for elves, thus Frieren witnesses her companions slowly pass away one by one. Before his death, Heiter manages to foist a young human apprentice called Fern onto Frieren. Driven by the elf's passion for collecting a myriad of magic spells, the pair embarks on a seemingly aimless journey, revisiting the places that the heroes of yore had visited. Along their travels, Frieren slowly confronts her regrets of missed opportunities to form deeper bonds with her now-deceased comrades. 

Source here

Frieren; Beyond Journey's End memulai ceritanya setelah Frieren dan kelompok Pahlawan yang dia ikuti kembali setelah menghabiskan waktu 10 tahun mengalahkan Demon King. Prestasi mereka yang sangat hebat membuat mereka menjadi sangat dikenal di penjuru negeri dan sangat dihormati. Setelah kembali dari misi penting itu dan diangkat menjadi pahlawan, kelompok Pahlawan pun bubar dan mereka meneruskan kehidupan masing-masing. Frieren memilih menjalani hidup dengan berpetualang mencari dan mengumpulkan mantra-mantra sihir baru, apapun bentuknya. Mantra sihir seaneh apapun dikumpulkannya, tidak peduli apakah itu akan berguna atau tidak. Frieren sangat terobsesi dengan sihir. Bagi Frieren, waktu 10 tahun yang dia lalui bersama teman-temannya bukanlah apa-apa dibandingkan dengan rentang hidupnya yang sangat panjang. Namun, tentu saja tidak sama dengan teman-temannya.

Dari adegan pertama, keunikan anime ini sudah tersaji. Ketika cerita-cerita petualangan biasanya dimulai sebelum karakter utama mendapatkan tugasnya, Frieren justru memulainya dari akhir cerita. Kita yang biasanya membuat-buat sendiri cerita setelah misi para jagoan berakhir, justru disuguhi cerita itu. Lalu, keseruan apa yang akan ditampilkan Frieren jika petualangan sudah berakhir?! Sejak menit-menit pertama tokoh Frieren tampil, saya sudah menduga kalau anime ini tidak akan menampilkan aksi-aksi heroik seperti Demon Slayer atau sejenisnya. Frieren dikenalkan kepada kita sebagai karakter yang dingin dan sulit memahami manusia, sehingga sudah pasti arah cerita ini pada character development Frieren yang hidup ribuan tahun. Kematian Himmel menyadarkan Frieren, bahwa 10 tahun bagi manusia adalah rentang waktu yang sangat lama. Dan di momen itu Frieren menyadari, "I knew human lives were short why didn't I try to get to know him better".

Source here

Kematian Himmel menjadi awal cerita Frieren. Setelah petualangan besarnya mengalahkan Demon King berakhir, Frieren melanjutkan hidupnya seperti biasa. Namun setelah persahabatannya dengan teman-temannya yang berlangsung hanya sekejap mata baginya, ternyata mereka menua dan meninggal satu per satu di hadapannya. Frieren menyadari betapa berharganya waktu, betapa dia harus memanfaatkan saat-saat yang penting bersama dengan teman-temannya. Frieren memulai kisahnya dengan sebuah kehilangan. Kehilangan teman yang ternyata sangat penting dalam hidupnya, dan di serial ini kita mempelajarinya secara perlahan. Jika kita mau merefleksikan hal itu pada diri kita, sesungguhnya kita tidak berbeda jauh dengan Frieren. Sering terlambat menghargai hal-hal penting dalam hidup dan baru menyadarinya ketika semua sudah berakhir.

Petualangan baru dijalani Frieren setelah kematian Himmel, namun kali ini dengan orang-orang baru, yang jauh lebih muda dan kini dia telah memiliki perspektif baru dalam hidupnya dengan segala pelajaran penting yang dia dapatkan dari pengalaman sebelumnya, ditambah dengan keunikan teman-teman barunya. Lewat petualangan baru ini juga kita mulai mendapatkan kilasan-kilasan masa lalu Frieren yang tadinya tidak kita ketahui, sehingga kita bisa melihat hubungan antara setiap peristiwa yang dialami Frieren sebelumnya membentuk sikapnya di masa kini. Kita bisa melihat paralel dari dua perjalanan yang dilalui Frieren, dimana dulunya selalu tak acuh pada teman-temannya di Kelompok Pahlawan, tapi kepedulian yang diberikan teman-temannya, bagaimana mereka begitu menghargai waktu yang mereka lalui bersama Frieren, lalu kembali kepada perjalanan yang baru dengan orang-orang yang baru di tempat yang sama memberi arti baru bagi Frieren. Kini dia mengambil sikap yang berbeda dengan yang sebelumnya, dia menanggapi teman-temannya dengan lebih baik, dia lebih menghargai teman-temannya kali ini. Dia mau memegang tangan temannya ketika mereka sakit, dia membelikan hadiah ulang tahun untuk menunjukkan bahwa dia peduli pada mereka, bahkan dia mau bangun pagi demi menemani temannya melihat sunrise, percaya bahwa itu akan memberi pengalaman tak terlupakan baginya seperti yang Himmel katakan padanya dulu. Dan ketika dia benar-benar melihat sunriseand it does nothing for her. Nothing. Baginya itu hanya matahari terbit, tak berpengaruh apapun. Tapi kemudian dia melihat ke arah Fern, dan melihatnya tersenyum lalu dia menyadari, "Aku tak mungkin bisa melihat matahari terbit ini kalau sendirian." Bukan matahari terbitnya yang mesti dia nikmati jika itu memang tidak menarik baginya. Tapi momen bersama temannya itulah yang penting, dan merekalah yang penting, waktu yang dia habiskan bersama merekalah yang penting.

Source here

Karakter-karakter di sini begitu berarti karena setiap scene disajikan perlahan. Tidak ada scene yang tampak dipotong untuk mengikuti plot karena memang appreciate the moment adalah inti dan pesan yang tampaknya ingin disampaikan dari serial ini. Tidak peduli apakah itu momen emosional yang menguras air mata atau sekadar adegan kecil yang tampak tidak penting, semuanya tampil apa adanya karena 'memang sekarang adalah momen untuk hal kecil ini'. Tidak perlu terburu-buru, hal kecil ini juga berarti. Dan serial Frieren ingin mengingatkan kita akan hal ini di tiap episodenya, hargai waktu yang kau lalui saat ini. Betapa berartinya saat ini.

Saya sangat menyukai bagaimana kisah Frieren tidak hanya fokus pada satu periode waktu. Bukan hanya menceritakan pengalaman Frieren mengalahkan Demon King atau melakukan sesuatu yang besar, kita mendapatkan kisah yang lengkap dari masa lalu dan masa kini Frieren dan bagaimana pengalaman itu menjadikan dirinya yang sekarang. Hal itu memberikan kita gambaran betapa dalam hidup ini kita menjalani banyak sekali pengalaman dan tidak hanya fokus melakukan satu hal besar saja. Kita mengalami banyak kejadian-kejadian dalam hidup yang mungkin dari sana kita menemukan keluarga baru, persahabatan baru yang menjadikan hidup kita lebih berwarna, dan mungkin suatu saat kita akan berpisah dengan mereka semua; mungkin karena kelulusan sekolah, mungkin ada yang pindah, atau mungkin salah satunya meninggal. Mungkin kita mengira bahwa hidup kita menjadi tidak berarti atau tidak sempurna setelah kehilangan mereka, but that doesn't mean that there is no future. Kenyataannya seringkali masa depan yang membawa pengalaman baru hadir di saat yang seperti itu. Tiap kejadian yang menimpa kita selalu datang tepat pada waktunya, tiap peristiwa dan pengalaman yang kita jalani dihadiahkan kepada kita dengan periode waktu yang sesuai dengan kebutuhan kita.

Frieren mengingatkan kepada kita bahwa kita punya banyak sekali pengalaman dalam hidup, kita punya banyak sekali teman dan orang yang berpengaruh dalam kehidupan kita dan salah satu bagian yang penting dalam hidup ini adalah mengambil pelajaran dari tiap perjalanan hidup itu, menghargai kebersamaan kita bersama mereka dan Frieren menunjukkan kepada kita bagaimana untuk move forward. Bahkan pada karakter-karakter pendamping selain Frieren pun kita bisa menyaksikan hal itu. Ada kalanya orang bergabung dalam kelompok Frieren dan pada akhirnya meninggalkan mereka di tengah jalan karena dia memiliki tujuan yang berbeda. And it's OK. Karena mereka memiliki fase kehidupan yang berbeda dan membutuhkan pengalaman yang lain.

Source here

Mungkin sebagian penggemar merasa Sein tidak perlu meninggalkan Frieren dkk, tapi menurut saya pilihan yang diambilnya adalah yang terbaik. Karena meskipun dia sudah membangun chemistry yang sangat baik dengan Frieren dkk, tapi dia mengikuti Frieren atas sebuah tujuan. Dan dia tidak melupakan tujuan itu. Sehingga ketika jalan yang dia lalui bersama Frieren sudah tidak menuju tujuan yang dia harapkan, dia harus berpisah dari mereka. Seperti itulah hidup. Kita tidak akan pernah bersama dengan orang yang sama selamanya. Kita pasti akan berpisah pada satu masa, tapi kenangan bersama mereka akan tetap hidup di hati kita selamanya.

***

Animasi di serial ini benar-benar keren. Tampaknya memang animator anime sekarang makin gila kualitasnya. Setiap momen yang ditampilkan lambat, atau aksi-aksi yang cepat dan latar musik yang sangat intimate di momen-momen hangat membuat saya merasa nyaman duduk dan menyaksikan tiap episode yang dijalani para karakter. Saya merasa mengenal mereka, bahkan Himmel sekalipun. Himmel yang sudah mati, dikenalkan kepada kita dengan karakter yang heroik. Yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, yang suka berbuat baik karena kebaikan itu sendiri. Dia ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik karena dengan begitu dunia akan jadi lebih baik. Himmel adalah salah satu contoh manusia insan kamil 😂. Yang nggak mau bikin drama, the purest of the purest. Dan biasanya karakter seperti Himmel akan tampak naif dan membosankan karena tidak realistis. Tapi Himmel adalah inspirasi.

Tapi bukan berarti Himmel -dan semua karakter- tidak memiliki kekurangan. Himmel sangat sombong -comedically so- jadi seperti kepedean dan sepertinya memang dia sengaja tampil seperti itu agar suasana kelompok mereka menjadi tidak terlalu tegang. Frieren sangat pemalas, apatis dan seringkali harus merepotkan teman-temannya. Fern, mudah sekali tersinggung atas hal-hal kecil dan kalau sudah begitu jadi menyusahkan orang lain karena harus meredakan kemarahannya. Stark adalah karakter yang diperkenalkan dengan dua wajah. Diawal kita dikenalkan Stark sebagai pahlawan, tapi ternyata penakut. Tapi Stark mampu menghadapi rasa takut itu dengan mengakuinya dan berhasil mengalahkan rasa takut itu. Meskipun masing-masing karakter ini memiliki kekurangan yang membuat mereka tidak nyaman satu sama lain, tetapi itu bukan penghalang bagi mereka. It's something that they learn to live with, dan mereka tetap menjalani hidup bersama. Mereka tetap mencintai satu sama lain, menghadapi kekurangan mereka satu sama lain

Heiter, pada awalnya saya pikir dia adalah karakter yang menyebalkan. Tapi ternyata seiring waktu, Heiter menunjukkan kebijaksanaannya sebagai seorang pendeta. Sebagai seorang healer, Heiter seharusnya menjadi punggung bagi kelompok Pahlawan. Tapi Heiter yang seorang pendeta justru hobi mabuk, judi, dan semua perbuatan tercela. Lalu hanya dengan sedikit plot yang juga ringkas, saya langsung menyukainya. Tentu saja di adegan dimana dia mengelabui Frieren untuk mengajak Fern dalam perjalanan. Heiter tahu Frieren akan menolak lalu dia meminta Frieren mengajarkan sihir kepada Fern, sebentar saja sambil menerjemahkan sebuah buku untuknya. Hanya 5-6 tahun 😆. Ternyata sikap menyebalkan Heiter memang ada tujuannya. Bukannya memohon atau memaksa Frieren untuk memenuhi keinginannya sebagai seorang teman, Heiter mengelabui Frieren agar Frieren membangun hubungan yang baik dulu dengan Fern. Heiter sadar betul bahwa waktu berjalan sangat berbeda antara dirinya dengan Frieren. Heiter sadar bahwa waktunya tidak lama lagi, dia ingin Fern punya seseorang yang dia percaya untuk merawatnya. Seseorang yang bisa mendidik Fern setelah dirinya pergi. Di episode ini kita ditunjukkan betapa hubungan 10 tahun antara kelompok Pahlawan ini telah mengubah kepribadian Heiter. Himmel yang menginspirasi Heiter untuk memungut Fern dan merawatnya.

Hal lain yang menarik adalah episode ke 16. Kakek Voll, teman lama Frieren. Saya tidak menyangka Frieren punya teman lama selain kelompok Pahlawan, dan langsung divalidasi beberapa menit kemudian lewat dialog dari penduduk desa tentang Kakek Voll 😄. Dia adalah karakter lain yang ditampilkan memiliki 2 wajah seperti Stark. Di luar dia tampak sudah pikun, tidak bertenaga, bahkan tidak banyak bergerak sampai-sampai Stark meremehkannya. Namun Frieren menyuruh Stark untuk berguru kepadanya. Di episode inilah saya melihat Frieren begitu bahagia dan senyumnya begitu indah. Begitu pula penduduk desa, melihat Kakek Voll bertemu Frieren membuat mereka berkomentar bahwa hanya saat inilah mereka melihat Kakek Voll tersenyum bahagia. Mereka tidak tahu mengapa Kakel Voll menjaga desa mereka begitu lama, hingga ratusan tahun. Yang mereka tahu hanyalah Kakek Voll telah menjaga desa mereka sepanjang yang mereka ingat, dan pada akhirnya kita tahu alasan dibalik kebaikan Kakek Voll. If that story doesn't make you cry, I don't know what does. Meskipun waktu berlalu dan membuat Kakek Voll mulai kehilangan memori bersama orang yang dia cintai, tapi dia tidak lupa akan janjinya dan berkomitmen untuk setia menjaga janji itu. Bagi saya, percakapan Kakek Voll dengan Frieren di malam terakhir mereka bertemu sangat bermakna, tentang alasan dan sesuatu yang penting. Itu adalah percakapan yang sangat filosofis dan penting bagi manusia untuk menetapkan sebuah pilihan hidup atau tindakan. Dan bagaimana Kakel Voll memutuskan untuk tetap menepati janjinya, memberikan kita gambaran tentang hal apa yang menjadi landasannya dalam mengambil keputusan itu. Begitu pula Frieren yang merasa diremehkan ketika Kakek Voll menanyakan apakah dia measih ingat wajah dan suara Himmel. It's such an important scene though it's not important to the overall story. Lewat percakapan yang sebentar dan sederhana, Frieren kembali disadarkan bahwa hidup memang cepat berlalu. Kakek Voll benar-benar sudah diambang waktunya, dan dia berjanji untuk membawa kenangan tentang Kakek Voll sampai kapanpun. Bahkan nulis ulang ini sudah membuat saya nangis lagi 😭.

Setengah episode tentang Kakek Voll yang tidak ada hubungannya dengan hidup anak-anak asuh Frieren ini kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya living in the moment. Setiap episode dalam hidup yang tampak tidak ada hubungannya dengan hidup kita bisa jadi memberi makna penting untuk kita. Bahwa dari setengah episode yang tidak lengkap ini kita masih bisa mengambil pelajaran. Setengah episode yang memberi pelajaran berharga bagi Stark, nostalgia sesaat yang membawa kebahagiaan bagi Frieren, dan percakapan sederhana yang membuat Kakek Voll melihat wajah istrinya lagi di dalam mimpi. Simple, sederhana, tidak ada hubungannya dengan cerita, tapi berdampak besar bagi hidup kita. Bukankah kita sering mengalaminya?!

Dan kisah Kakek Voll merupakan titik balik dari kisah Frieren, karena setelahnya mereka menjalani ujian sihir yang mungkin bagi sebagian orang jauh lebih menarik dengan aksi-aksi cepat dan menakjubkan. Tapi meski begitu, kisah ini tetap tidak kehilangan core-nya. Karakter-karakter baru dikenalkan, namun mereka hadir untuk memberikan kedalaman yang lebih bermakna bagi keseluruhan cerita. Pada bagian ini kita dikenalkan lebih jauh tentang bagaimana magic system di dunia Frieren bekerja, didukung dengan animasi yang hebat. Dan ketika sudah sampai pada akhir episode, saya merasa lega. I feel satisfied, contented, happy, well pleased. The best feeling ever.

Setelah sebulan ngajar

Rabu, 21 Agustus 2024

Tadi lihat lembar presensi, ternyata saya belum ada sebulan kerja. Baru 18 hari. Tapi rasanya lama sekali. Apakah ini tanda-tanda kalau saya tidak betah bekerja?! 😅  No, ini bukan tentang tempat kerjanya. Saya sadar sepenuhnya kalau memang naturalnya, saya nggak suka kerja. Maunya rebahan di rumah dan jadi orang kaya.

Hal pertama yang saya sukai dari tempat kerja baru adalah kamar mandinya. Gara-gara keran wudhunya yang tinggi, saya jadi yakin kalau yang bertanggung jawab terhadap pembangunannya paham fiqih. Jarang-jarang lho nemu tempat wudhu yang kerannya wudhu friendly, bahkan masjid sekalipun seringnya nggak memperhatikan faktor penting itu ketika dibangun. Suasana sekolah ini juga nyaman. Nggak rindang memang, tapi juga nggak gersang. Secara fisik, lokasi sekolah ini juga cukup strategis. Meskipun nggak di pusat kota, tapi nggak terpencil banget.

Teman-teman kerjanya nih yang masih agak bikin ganjel. Bukan karena mereka nggak asik. Tapi ada sesuatu yang saya nggak tahu, yang bikin interaksi saya dengan mereka terasa kurang luwes bagi saya. Mungkin karena memang saya masih orang baru, mungkin juga karena gap usia yang lumayan jauh, atau mungkin ada alasan lain yang belum saya temukan. Yang pasti, guru-guru di sekolah ini saya lihat benar-benar dipilih oleh kepala sekolahnya. Mereka bukan hanya orang random yang melamar kerja lalu ikut tes dan interview, tapi dilihat dari gerak-geriknya saya bisa merasakan bahwa mereka adalah aktivis LDK dulunya. Mungkin bahkan beberapa masih ada yang jadi pembina(?!) Sehingga suasana ketika di kantor pun selalu sangat kondusif. Komunikasi antara guru ikhwan dan akhwat memang lebih longgar, tapi tetap tidak berlebihan.

Sepertinya salah satu hal yang masih membuat saya galau adalah tentang kejelasan status saya sebagai guru tahsin/tahfidz, atau sebagai guru baru secara umum. Entah mengapa, saya merasa kurang disambut di sini. Bukan berarti saya minta dibentangi karpet merah dan dirayakan kehadirannya, tapi sebagai guru baru saya merasa nggak dikasih tahu apa-apa tentang kebiasaan dan budaya sekolah oleh para guru lama. Entah mungkin karena mereka lupa, atau mungkin karena mereka juga nggak dapet 'sambutan' itu ketika dulu baru bergabung. Bahkan dengan teman sejawat sesama guru tahsin/tahfidz, sampai hari ini saya masih belum tahu bagaimana dan apa yang harus diajarkan kepada murid-murid. Berapa targetan hafalan, seperti apa majelis dilaksanakan, bagaimana sistem penilaian, tidak ada yang memberi tahu. Di komunitas WA pun ada grup untuk guru tahsin/tahfidz, saya belum dimasukkan ke sana. Entah mereka lupa atau memang nggak peduli. Atau mungkin mereka mengira saya tidak perlu diajari karena sudah berpengalaman(?!) 😐 Informasi tentang tugas dan pekerjaan selalu saya dapat dari kepala sekolah.

Tapi terlepas dari ganjelan itu, saya mencoba menikmati pekerjaan baru ini. Walaupun saya masih merasa maju-mundur setiap kali ingin mengajar dengan standar pribadi, setidaknya sekarang saya punya jawaban kalau ditanya orang 'kerja apa?' Sejujurnya saya sih berharap nggak perlu lama-lama kerja seperti ini. Saya masih mendambakan suatu saat akan datang masanya saya bisa santai membaca buku dan cukup mencari uang dari rumah saja.

Obrolan (tentang) sampah

Rabu, 14 Agustus 2024

 

Photo by Donald Giannatti on Unsplash

10 tahun lebih menikah, satu hal yang paling sering bikin saya jengkel sama suami adalah kebiasaannya menyimpan barang-barang yak tidak terpakai. Tidak terkecuali pakaian. Mungkin memang mitos yang disampaikan kakak saya tentang orang Padang yang suka fashion adalah benar, suami saya juga menjadi salah satu orang Padang yang saya kenal yang punya banyak sekali pakaian. Kadang kalau suami sudah mengeluh bingung pakai baju apa, saya rasanya pengen bilang, "sebenernya yang istri tuh siapa sih?!" Lemari sebesar itu isinya baju dia sendiri, tumpukan baju kotor didominasi bajunya, gunungan gombalan minta disetrika selalu ada bajunya, di jemuran pasti ada bajunya, di belakang pintu penuh sama bajunya, di kardus barang nggak terpakai isinya baju punya dia dan dia masih bilang nggak punya baju untuk dipakai.

Tapi yang jadi inti postingan kali ini adalah dua kejadian yang baru saya alami belum lama ini. Jadi ceritanya saya punya rencana ingin mendonasikan pakaian bekas ke Jagatera supaya rumah nggak penuh dengan 'sampah', entah itu baju atau lainnya. Saya ceritakan lah rencana itu ke suami, dan bilang kalau biayanya Rp. 10.000 per kg untuk sampah pakaian. 

"Mahal amat?" Kata suami merespon penjelasan saya.

"Kan kita pakai jasa mereka, ya wajarlah kalau bayar."

"Kita udah kasih barang ke mereka, masa kita juga yang bayar?" Masih nggak terima, lanjut protesnya.

"Kita kalau buang sampah juga kan bayar tiap bulan?!" Saya coba ngasih analogi.

"Tapi kan itu sampah."

"Emangnya ini bukan sampah?" Saya sambil nunjuk tumpukan baju yang sudah bertahun-tahun bau tikus masih berusaha menjelaskan.

"Bukan lah!"

Saya mulai bingung, "lho tapi kan udah nggak pernah dipakai. Sama aja kayak sampah dong."

"Beda dong. Kalau sampah kan memang sudah jelas nggak dipakai lagi. Kalau ini kan masih bisa dipakai." Suami masih saja dengan bakat ngeyelnya seperti mau menjelaskan sesuatu juga ke saya.

"Tapi kan udah nggak dipakai sama kita. Sampah yang biasa kita buang itu juga sebenernya masih bisa dipakai juga kok, tapi kita tetep nyebutnya sampah. Dan kita bayar orang yang bantu buangin sampah itu kan?!"

"Ya tapi beda sama ini. Kalau ini kita masih bisa pakai."

"Mana buktinya? Nyatanya ini udah bertahun-tahun numpuk di sini nggak dipakai juga."

Sadar kalau suami saya cuma nggak mau ngeluarin uang untuk membuang sampahnya, saya memilih untuk tidak meneruskan obrolan.

Lalu beberapa waktu kemudian saya ngide lagi, membuang tumpukan kertas dan buku lewat salah satu jasa pelayanan pengelolaan sampah di kota kami. Saya coba tawarkan ke sekolah tempat saya bekerja dulu, karena saya yakin mereka pasti punya banyak sampah yang kalau dikelola bisa lebih mengurangi sampah di sekolah. Ternyata respon yang didapat juga agak lucu. Ada yang komen begini; "Kalau lewat lembaga itu sih rugi, harganya murah banget. Saya sih udah kapok."

Karena bukan pertama kali mendapat respon aneh tentang sampah, saya pun mencoba mengkonfirmasi cara berpikir saya ke seorang teman, "bukannya yang penting sampah di rumah terbuang ya? Kenapa jadi ada untung ruginya, sih? Emangnya kalau sampah itu tetep numpuk di rumah atau jadi mengotori lingkungan sekitar kita jadi untung?" Teman saya cuma ketawa menanggapi saya dan menyetujui pertanyaan saya.

Dan kejadian lagi. Setelah 40kg kertas dan buku diangkut dari rumah kami, suami tanya jumlah uang yang kami terima. Sama persis respon yang saya dapat dari suami, dia bilang kalau itu terlalu sedikit. Lebih aneh lagi dia bilang, "mending dibakar aja kalau begitu." 

Saya yang sudah malas ribut hanya membalas, "bodo amat, yang penting aku nggak mau hidup sama sampah di rumah." 😔 Sejujurnya, saya benar-benar penasaran apakah mungkin permasalahan sampah di Indonesia ini nggak pernah kelar mungkin memang karena banyak yang punya pemikiran seperti suami saya itu. Bahkan mendapat uang dari sampah yang dibuang kalau tidak banyak dianggap rugi. Padahal itu sampah, lho. 


Kemarau; One of a kind classic literature

Rabu, 07 Agustus 2024

Saya cukup yakin pernah membaca karya AA Navis yang paling populer berjudul Robohnya Surau Kami ketika masih SMP dulu. Makanya tempo hari ketika memilih bacaan yang bertema Islami dalam video blog terbaru, saya memilih karya beliau lagi untuk jadi pelengkap. Dan saya benar-benar puas, akhirnya menemukan lagi salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini.


Judul: Kemarau
Penulis: AA. Navis
Format: E-book, 178 halaman
Platform: iPusnas

Buku ini tidak tebal, hanya berjumlah 178 halaman dengan pengantar dari Sapardi Djoko Damono berisi pujian tak berkesudahan yang saya amini setiap baris kalimatnya. Diawali dengan gambaran kemarau panjang, kalimat-kalimat sederhana namun 'berisi', Kemarau adalah sindiran lain terhadap praktik beragama dan tradisi sosial masyarakat kita yang ternyata tidak banyak berubah sejak buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1957. Saya yang membacanya di tahun 2024, masih saja manggut-manggut setuju dan sesekali tersenyum getir membaca tiap adegan yang digambarkan ternyata masih sering saya temui juga di masa ini.

Berkisah tentang Sutan Duano, seorang lelaki berusia 50 tahunan yang menjadi anomali dari masyarakat di kampung tempat ia tinggal. Sutan Duano digambarkan sebagai pekerja keras, ketika masyarakat sudah menyerah pada keadaan dan usaha-usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, Sutan Duano menunjukkan kepada kita bahwa ikhtiar terbaik seorang manusia dalam menghadapi ujian dari Tuhan adalah dengan mengerahkan usaha manusiawinya hingga sebab takdir diberikan oleh Tuhan. Masyarakat kampung yang malas hanya mengandalkan dukun-dukun untuk mengundang hujan, dan baru ketika dukun-dukun itu tidak berhasil menghadirkan hujan barulah mereka ingat Tuhan. Gambaran itu seperti menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kampung tersebut hanya menganggap Tuhan sama seperti dukun. Saya melihatnya seperti mereka menganggap Tuhan sebagai candaan. Dan kenyataannya, pada kehidupan nyata sering kita dapati masyarakat melakukan hal yang serupa itu.

Disusun dengan bab-bab yang pendek, tiap bab menjelaskan penggal-penggal episode kehidupan Sutan Duano dan perlahan kita akan digiring untuk mengenal masa lalunya. Sutan Duano yang merupakan pendatang di kampung, dalam waktu 10 tahun telah menjadi tokoh yang dihormati karena kerja kerasnya. Meski awalnya kehadirannya cukup mengejutkan masyarakat karena memilih untuk tinggal di surau padahal usianya masih 40 tahun, kehadiran seorang prajurit revolusi yang mengungsi di kampung tersebut seperti menandai diterimanya Sutan Duano di kampung.

Sindiran dalam Kemarau benar-benar dilancarkan AA Navis secara bertubi-tubi. Sejak bab pertama hingga halaman terakhir. Setelah menyindir sikap malas dan apatis masyarakat di bab pertama, di bab kedua sindiran itu diperkuat dengan gambaran orang-orang kampung yang lebih memilih 'pengetahuan umum' dibanding bekerja mengolah tanahnya. Dan betapa kedudukan dan status sosial sangat dijunjung tinggi, hingga apapun yang dilakukan mereka hanyalah untuk memenuhi tujuan tersebut.

Sutan Duano yang pekerja keras akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat karena kemurahan hatinya. Meskipun menjalani hidup yang sama sekali lain dengan masyarakat kampung, kepada Sutan Duano-lah mereka meminta pertolongan setiap terjadi masalah, hingga akhirnya Sutan Duano diminta menjadi guru ngaji di surau tempatnya tinggal.

Lebih lanjut tentang kedangkalan berpikir masyarakat, saya jadi teringat dengan trend sindiran IQ rata-rata yang dipakai belakangan ini untuk menjelaskan daya nalar masyarakat Indonesia yang dibawah rata-rata. Sutan Duano digambarkan begitu kesulitan untuk menyadarkan masyarakat kampung tentang konsep tawakkal dan ikhtiar. Dan meskipun dia telah berjuang sepuluh tahun dalam memperbaiki keadaan itu, pada akhirnya yang terjadi ternyata sangat bertentangan dengan harapannya. Dia mengharapkan kecerdasan, namun masyarakat justru mengidolakan dirinya. Kedangkalan berpikir itu makin diperkuat dengan adegan berita palsu yang begitu mudah dipercaya dan disebarkan dengan membabi-buta oleh masyarakat kampung padahal muncul dari mulut seorang anak kecil. Betapapun Sutan Duano memberi teladan kepada masyarakat, tak tergerak juga mereka untuk berubah.

Tapi meskipun Sutan Duano sudah berusaha tampil menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, nyatanya dirinya sendiri pun bukan sosok yang sempurna. Pelan-pelan kelamnya masa lalu Sutan Duano mulai terkuak dan membawa kita pada akhir cerita ini, dan bagi saya endingnya inilah satu-satunya hal yang saya kurang sukai dari buku ini.

Menulis ulasan ini membuat saya ingin memiliki buku fisiknya. Saya yakin, tiap halaman pasti ada bagian yang bisa dihighlight dan didiskusikan. Dan sampai saat ini saya masih belum paham, mengapa karya ini tidak masuk daftar bacaan Sastra Masuk Kurikulum padahal muatan moralnya sangat baik untuk diajarkan kepada anak-anak kita.


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.