SLIDER

Frieren; a new obsession

Rabu, 28 Agustus 2024

Setelah nonton Maomao dan heboh sendiri karena nggak banyak wibu terkenal di Indonesia yang bahas tentang anime itu, saya menemukan bahwa ternyata karakter Maomao selalu disandingkan dengan Frieren di setiap review anime dari luar negeri. Di Indonesia sih Frieren cukup rame, jadi saya nggak terlalu buru-buru untuk nontonnya, karena nggak perlu khawatir kelupaan. Waktu masih awal-awal rilis juga saya sempat nonton 2 episode tapi kemudian berhenti. Sekarang karena -seperti biasa- sudah kehabisan referensi maka saya mulai menonton Frieren. Dan memang layak Frieren serame itu dibahas di mana-mana, and now I want justice for Maomao. 😕

The demon king has been defeated, and the victorious hero party returns home before disbanding. The four-mage Frieren, hero Himmel, priest Heiter, and warrior Eisen-reminisce about their decade-long journey as the moment to bid each other farewell arrives. But the passing of time is different for elves, thus Frieren witnesses her companions slowly pass away one by one. Before his death, Heiter manages to foist a young human apprentice called Fern onto Frieren. Driven by the elf's passion for collecting a myriad of magic spells, the pair embarks on a seemingly aimless journey, revisiting the places that the heroes of yore had visited. Along their travels, Frieren slowly confronts her regrets of missed opportunities to form deeper bonds with her now-deceased comrades. 

Source here

Frieren; Beyond Journey's End memulai ceritanya setelah Frieren dan kelompok Pahlawan yang dia ikuti kembali setelah menghabiskan waktu 10 tahun mengalahkan Demon King. Prestasi mereka yang sangat hebat membuat mereka menjadi sangat dikenal di penjuru negeri dan sangat dihormati. Setelah kembali dari misi penting itu dan diangkat menjadi pahlawan, kelompok Pahlawan pun bubar dan mereka meneruskan kehidupan masing-masing. Frieren memilih menjalani hidup dengan berpetualang mencari dan mengumpulkan mantra-mantra sihir baru, apapun bentuknya. Mantra sihir seaneh apapun dikumpulkannya, tidak peduli apakah itu akan berguna atau tidak. Frieren sangat terobsesi dengan sihir. Bagi Frieren, waktu 10 tahun yang dia lalui bersama teman-temannya bukanlah apa-apa dibandingkan dengan rentang hidupnya yang sangat panjang. Namun, tentu saja tidak sama dengan teman-temannya.

Dari adegan pertama, keunikan anime ini sudah tersaji. Ketika cerita-cerita petualangan biasanya dimulai sebelum karakter utama mendapatkan tugasnya, Frieren justru memulainya dari akhir cerita. Kita yang biasanya membuat-buat sendiri cerita setelah misi para jagoan berakhir, justru disuguhi cerita itu. Lalu, keseruan apa yang akan ditampilkan Frieren jika petualangan sudah berakhir?! Sejak menit-menit pertama tokoh Frieren tampil, saya sudah menduga kalau anime ini tidak akan menampilkan aksi-aksi heroik seperti Demon Slayer atau sejenisnya. Frieren dikenalkan kepada kita sebagai karakter yang dingin dan sulit memahami manusia, sehingga sudah pasti arah cerita ini pada character development Frieren yang hidup ribuan tahun. Kematian Himmel menyadarkan Frieren, bahwa 10 tahun bagi manusia adalah rentang waktu yang sangat lama. Dan di momen itu Frieren menyadari, "I knew human lives were short why didn't I try to get to know him better".

Source here

Kematian Himmel menjadi awal cerita Frieren. Setelah petualangan besarnya mengalahkan Demon King berakhir, Frieren melanjutkan hidupnya seperti biasa. Namun setelah persahabatannya dengan teman-temannya yang berlangsung hanya sekejap mata baginya, ternyata mereka menua dan meninggal satu per satu di hadapannya. Frieren menyadari betapa berharganya waktu, betapa dia harus memanfaatkan saat-saat yang penting bersama dengan teman-temannya. Frieren memulai kisahnya dengan sebuah kehilangan. Kehilangan teman yang ternyata sangat penting dalam hidupnya, dan di serial ini kita mempelajarinya secara perlahan. Jika kita mau merefleksikan hal itu pada diri kita, sesungguhnya kita tidak berbeda jauh dengan Frieren. Sering terlambat menghargai hal-hal penting dalam hidup dan baru menyadarinya ketika semua sudah berakhir.

Petualangan baru dijalani Frieren setelah kematian Himmel, namun kali ini dengan orang-orang baru, yang jauh lebih muda dan kini dia telah memiliki perspektif baru dalam hidupnya dengan segala pelajaran penting yang dia dapatkan dari pengalaman sebelumnya, ditambah dengan keunikan teman-teman barunya. Lewat petualangan baru ini juga kita mulai mendapatkan kilasan-kilasan masa lalu Frieren yang tadinya tidak kita ketahui, sehingga kita bisa melihat hubungan antara setiap peristiwa yang dialami Frieren sebelumnya membentuk sikapnya di masa kini. Kita bisa melihat paralel dari dua perjalanan yang dilalui Frieren, dimana dulunya selalu tak acuh pada teman-temannya di Kelompok Pahlawan, tapi kepedulian yang diberikan teman-temannya, bagaimana mereka begitu menghargai waktu yang mereka lalui bersama Frieren, lalu kembali kepada perjalanan yang baru dengan orang-orang yang baru di tempat yang sama memberi arti baru bagi Frieren. Kini dia mengambil sikap yang berbeda dengan yang sebelumnya, dia menanggapi teman-temannya dengan lebih baik, dia lebih menghargai teman-temannya kali ini. Dia mau memegang tangan temannya ketika mereka sakit, dia membelikan hadiah ulang tahun untuk menunjukkan bahwa dia peduli pada mereka, bahkan dia mau bangun pagi demi menemani temannya melihat sunrise, percaya bahwa itu akan memberi pengalaman tak terlupakan baginya seperti yang Himmel katakan padanya dulu. Dan ketika dia benar-benar melihat sunriseand it does nothing for her. Nothing. Baginya itu hanya matahari terbit, tak berpengaruh apapun. Tapi kemudian dia melihat ke arah Fern, dan melihatnya tersenyum lalu dia menyadari, "Aku tak mungkin bisa melihat matahari terbit ini kalau sendirian." Bukan matahari terbitnya yang mesti dia nikmati jika itu memang tidak menarik baginya. Tapi momen bersama temannya itulah yang penting, dan merekalah yang penting, waktu yang dia habiskan bersama merekalah yang penting.

Source here

Karakter-karakter di sini begitu berarti karena setiap scene disajikan perlahan. Tidak ada scene yang tampak dipotong untuk mengikuti plot karena memang appreciate the moment adalah inti dan pesan yang tampaknya ingin disampaikan dari serial ini. Tidak peduli apakah itu momen emosional yang menguras air mata atau sekadar adegan kecil yang tampak tidak penting, semuanya tampil apa adanya karena 'memang sekarang adalah momen untuk hal kecil ini'. Tidak perlu terburu-buru, hal kecil ini juga berarti. Dan serial Frieren ingin mengingatkan kita akan hal ini di tiap episodenya, hargai waktu yang kau lalui saat ini. Betapa berartinya saat ini.

Saya sangat menyukai bagaimana kisah Frieren tidak hanya fokus pada satu periode waktu. Bukan hanya menceritakan pengalaman Frieren mengalahkan Demon King atau melakukan sesuatu yang besar, kita mendapatkan kisah yang lengkap dari masa lalu dan masa kini Frieren dan bagaimana pengalaman itu menjadikan dirinya yang sekarang. Hal itu memberikan kita gambaran betapa dalam hidup ini kita menjalani banyak sekali pengalaman dan tidak hanya fokus melakukan satu hal besar saja. Kita mengalami banyak kejadian-kejadian dalam hidup yang mungkin dari sana kita menemukan keluarga baru, persahabatan baru yang menjadikan hidup kita lebih berwarna, dan mungkin suatu saat kita akan berpisah dengan mereka semua; mungkin karena kelulusan sekolah, mungkin ada yang pindah, atau mungkin salah satunya meninggal. Mungkin kita mengira bahwa hidup kita menjadi tidak berarti atau tidak sempurna setelah kehilangan mereka, but that doesn't mean that there is no future. Kenyataannya seringkali masa depan yang membawa pengalaman baru hadir di saat yang seperti itu. Tiap kejadian yang menimpa kita selalu datang tepat pada waktunya, tiap peristiwa dan pengalaman yang kita jalani dihadiahkan kepada kita dengan periode waktu yang sesuai dengan kebutuhan kita.

Frieren mengingatkan kepada kita bahwa kita punya banyak sekali pengalaman dalam hidup, kita punya banyak sekali teman dan orang yang berpengaruh dalam kehidupan kita dan salah satu bagian yang penting dalam hidup ini adalah mengambil pelajaran dari tiap perjalanan hidup itu, menghargai kebersamaan kita bersama mereka dan Frieren menunjukkan kepada kita bagaimana untuk move forward. Bahkan pada karakter-karakter pendamping selain Frieren pun kita bisa menyaksikan hal itu. Ada kalanya orang bergabung dalam kelompok Frieren dan pada akhirnya meninggalkan mereka di tengah jalan karena dia memiliki tujuan yang berbeda. And it's OK. Karena mereka memiliki fase kehidupan yang berbeda dan membutuhkan pengalaman yang lain.

Source here

Mungkin sebagian penggemar merasa Sein tidak perlu meninggalkan Frieren dkk, tapi menurut saya pilihan yang diambilnya adalah yang terbaik. Karena meskipun dia sudah membangun chemistry yang sangat baik dengan Frieren dkk, tapi dia mengikuti Frieren atas sebuah tujuan. Dan dia tidak melupakan tujuan itu. Sehingga ketika jalan yang dia lalui bersama Frieren sudah tidak menuju tujuan yang dia harapkan, dia harus berpisah dari mereka. Seperti itulah hidup. Kita tidak akan pernah bersama dengan orang yang sama selamanya. Kita pasti akan berpisah pada satu masa, tapi kenangan bersama mereka akan tetap hidup di hati kita selamanya.

***

Animasi di serial ini benar-benar keren. Tampaknya memang animator anime sekarang makin gila kualitasnya. Setiap momen yang ditampilkan lambat, atau aksi-aksi yang cepat dan latar musik yang sangat intimate di momen-momen hangat membuat saya merasa nyaman duduk dan menyaksikan tiap episode yang dijalani para karakter. Saya merasa mengenal mereka, bahkan Himmel sekalipun. Himmel yang sudah mati, dikenalkan kepada kita dengan karakter yang heroik. Yang bercita-cita ingin menjadi pahlawan, yang suka berbuat baik karena kebaikan itu sendiri. Dia ingin membuat dunia menjadi tempat yang lebih baik karena dengan begitu dunia akan jadi lebih baik. Himmel adalah salah satu contoh manusia insan kamil 😂. Yang nggak mau bikin drama, the purest of the purest. Dan biasanya karakter seperti Himmel akan tampak naif dan membosankan karena tidak realistis. Tapi Himmel adalah inspirasi.

Tapi bukan berarti Himmel -dan semua karakter- tidak memiliki kekurangan. Himmel sangat sombong -comedically so- jadi seperti kepedean dan sepertinya memang dia sengaja tampil seperti itu agar suasana kelompok mereka menjadi tidak terlalu tegang. Frieren sangat pemalas, apatis dan seringkali harus merepotkan teman-temannya. Fern, mudah sekali tersinggung atas hal-hal kecil dan kalau sudah begitu jadi menyusahkan orang lain karena harus meredakan kemarahannya. Stark adalah karakter yang diperkenalkan dengan dua wajah. Diawal kita dikenalkan Stark sebagai pahlawan, tapi ternyata penakut. Tapi Stark mampu menghadapi rasa takut itu dengan mengakuinya dan berhasil mengalahkan rasa takut itu. Meskipun masing-masing karakter ini memiliki kekurangan yang membuat mereka tidak nyaman satu sama lain, tetapi itu bukan penghalang bagi mereka. It's something that they learn to live with, dan mereka tetap menjalani hidup bersama. Mereka tetap mencintai satu sama lain, menghadapi kekurangan mereka satu sama lain

Heiter, pada awalnya saya pikir dia adalah karakter yang menyebalkan. Tapi ternyata seiring waktu, Heiter menunjukkan kebijaksanaannya sebagai seorang pendeta. Sebagai seorang healer, Heiter seharusnya menjadi punggung bagi kelompok Pahlawan. Tapi Heiter yang seorang pendeta justru hobi mabuk, judi, dan semua perbuatan tercela. Lalu hanya dengan sedikit plot yang juga ringkas, saya langsung menyukainya. Tentu saja di adegan dimana dia mengelabui Frieren untuk mengajak Fern dalam perjalanan. Heiter tahu Frieren akan menolak lalu dia meminta Frieren mengajarkan sihir kepada Fern, sebentar saja sambil menerjemahkan sebuah buku untuknya. Hanya 5-6 tahun 😆. Ternyata sikap menyebalkan Heiter memang ada tujuannya. Bukannya memohon atau memaksa Frieren untuk memenuhi keinginannya sebagai seorang teman, Heiter mengelabui Frieren agar Frieren membangun hubungan yang baik dulu dengan Fern. Heiter sadar betul bahwa waktu berjalan sangat berbeda antara dirinya dengan Frieren. Heiter sadar bahwa waktunya tidak lama lagi, dia ingin Fern punya seseorang yang dia percaya untuk merawatnya. Seseorang yang bisa mendidik Fern setelah dirinya pergi. Di episode ini kita ditunjukkan betapa hubungan 10 tahun antara kelompok Pahlawan ini telah mengubah kepribadian Heiter. Himmel yang menginspirasi Heiter untuk memungut Fern dan merawatnya.

Hal lain yang menarik adalah episode ke 16. Kakek Voll, teman lama Frieren. Saya tidak menyangka Frieren punya teman lama selain kelompok Pahlawan, dan langsung divalidasi beberapa menit kemudian lewat dialog dari penduduk desa tentang Kakek Voll 😄. Dia adalah karakter lain yang ditampilkan memiliki 2 wajah seperti Stark. Di luar dia tampak sudah pikun, tidak bertenaga, bahkan tidak banyak bergerak sampai-sampai Stark meremehkannya. Namun Frieren menyuruh Stark untuk berguru kepadanya. Di episode inilah saya melihat Frieren begitu bahagia dan senyumnya begitu indah. Begitu pula penduduk desa, melihat Kakek Voll bertemu Frieren membuat mereka berkomentar bahwa hanya saat inilah mereka melihat Kakek Voll tersenyum bahagia. Mereka tidak tahu mengapa Kakel Voll menjaga desa mereka begitu lama, hingga ratusan tahun. Yang mereka tahu hanyalah Kakek Voll telah menjaga desa mereka sepanjang yang mereka ingat, dan pada akhirnya kita tahu alasan dibalik kebaikan Kakek Voll. If that story doesn't make you cry, I don't know what does. Meskipun waktu berlalu dan membuat Kakek Voll mulai kehilangan memori bersama orang yang dia cintai, tapi dia tidak lupa akan janjinya dan berkomitmen untuk setia menjaga janji itu. Bagi saya, percakapan Kakek Voll dengan Frieren di malam terakhir mereka bertemu sangat bermakna, tentang alasan dan sesuatu yang penting. Itu adalah percakapan yang sangat filosofis dan penting bagi manusia untuk menetapkan sebuah pilihan hidup atau tindakan. Dan bagaimana Kakel Voll memutuskan untuk tetap menepati janjinya, memberikan kita gambaran tentang hal apa yang menjadi landasannya dalam mengambil keputusan itu. Begitu pula Frieren yang merasa diremehkan ketika Kakek Voll menanyakan apakah dia measih ingat wajah dan suara Himmel. It's such an important scene though it's not important to the overall story. Lewat percakapan yang sebentar dan sederhana, Frieren kembali disadarkan bahwa hidup memang cepat berlalu. Kakek Voll benar-benar sudah diambang waktunya, dan dia berjanji untuk membawa kenangan tentang Kakek Voll sampai kapanpun. Bahkan nulis ulang ini sudah membuat saya nangis lagi 😭.

Setengah episode tentang Kakek Voll yang tidak ada hubungannya dengan hidup anak-anak asuh Frieren ini kembali menunjukkan kepada kita tentang betapa pentingnya living in the moment. Setiap episode dalam hidup yang tampak tidak ada hubungannya dengan hidup kita bisa jadi memberi makna penting untuk kita. Bahwa dari setengah episode yang tidak lengkap ini kita masih bisa mengambil pelajaran. Setengah episode yang memberi pelajaran berharga bagi Stark, nostalgia sesaat yang membawa kebahagiaan bagi Frieren, dan percakapan sederhana yang membuat Kakek Voll melihat wajah istrinya lagi di dalam mimpi. Simple, sederhana, tidak ada hubungannya dengan cerita, tapi berdampak besar bagi hidup kita. Bukankah kita sering mengalaminya?!

Dan kisah Kakek Voll merupakan titik balik dari kisah Frieren, karena setelahnya mereka menjalani ujian sihir yang mungkin bagi sebagian orang jauh lebih menarik dengan aksi-aksi cepat dan menakjubkan. Tapi meski begitu, kisah ini tetap tidak kehilangan core-nya. Karakter-karakter baru dikenalkan, namun mereka hadir untuk memberikan kedalaman yang lebih bermakna bagi keseluruhan cerita. Pada bagian ini kita dikenalkan lebih jauh tentang bagaimana magic system di dunia Frieren bekerja, didukung dengan animasi yang hebat. Dan ketika sudah sampai pada akhir episode, saya merasa lega. I feel satisfied, contented, happy, well pleased. The best feeling ever.

Setelah sebulan ngajar

Rabu, 21 Agustus 2024

Tadi lihat lembar presensi, ternyata saya belum ada sebulan kerja. Baru 18 hari. Tapi rasanya lama sekali. Apakah ini tanda-tanda kalau saya tidak betah bekerja?! 😅  No, ini bukan tentang tempat kerjanya. Saya sadar sepenuhnya kalau memang naturalnya, saya nggak suka kerja. Maunya rebahan di rumah dan jadi orang kaya.

Hal pertama yang saya sukai dari tempat kerja baru adalah kamar mandinya. Gara-gara keran wudhunya yang tinggi, saya jadi yakin kalau yang bertanggung jawab terhadap pembangunannya paham fiqih. Jarang-jarang lho nemu tempat wudhu yang kerannya wudhu friendly, bahkan masjid sekalipun seringnya nggak memperhatikan faktor penting itu ketika dibangun. Suasana sekolah ini juga nyaman. Nggak rindang memang, tapi juga nggak gersang. Secara fisik, lokasi sekolah ini juga cukup strategis. Meskipun nggak di pusat kota, tapi nggak terpencil banget.

Teman-teman kerjanya nih yang masih agak bikin ganjel. Bukan karena mereka nggak asik. Tapi ada sesuatu yang saya nggak tahu, yang bikin interaksi saya dengan mereka terasa kurang luwes bagi saya. Mungkin karena memang saya masih orang baru, mungkin juga karena gap usia yang lumayan jauh, atau mungkin ada alasan lain yang belum saya temukan. Yang pasti, guru-guru di sekolah ini saya lihat benar-benar dipilih oleh kepala sekolahnya. Mereka bukan hanya orang random yang melamar kerja lalu ikut tes dan interview, tapi dilihat dari gerak-geriknya saya bisa merasakan bahwa mereka adalah aktivis LDK dulunya. Mungkin bahkan beberapa masih ada yang jadi pembina(?!) Sehingga suasana ketika di kantor pun selalu sangat kondusif. Komunikasi antara guru ikhwan dan akhwat memang lebih longgar, tapi tetap tidak berlebihan.

Sepertinya salah satu hal yang masih membuat saya galau adalah tentang kejelasan status saya sebagai guru tahsin/tahfidz, atau sebagai guru baru secara umum. Entah mengapa, saya merasa kurang disambut di sini. Bukan berarti saya minta dibentangi karpet merah dan dirayakan kehadirannya, tapi sebagai guru baru saya merasa nggak dikasih tahu apa-apa tentang kebiasaan dan budaya sekolah oleh para guru lama. Entah mungkin karena mereka lupa, atau mungkin karena mereka juga nggak dapet 'sambutan' itu ketika dulu baru bergabung. Bahkan dengan teman sejawat sesama guru tahsin/tahfidz, sampai hari ini saya masih belum tahu bagaimana dan apa yang harus diajarkan kepada murid-murid. Berapa targetan hafalan, seperti apa majelis dilaksanakan, bagaimana sistem penilaian, tidak ada yang memberi tahu. Di komunitas WA pun ada grup untuk guru tahsin/tahfidz, saya belum dimasukkan ke sana. Entah mereka lupa atau memang nggak peduli. Atau mungkin mereka mengira saya tidak perlu diajari karena sudah berpengalaman(?!) 😐 Informasi tentang tugas dan pekerjaan selalu saya dapat dari kepala sekolah.

Tapi terlepas dari ganjelan itu, saya mencoba menikmati pekerjaan baru ini. Walaupun saya masih merasa maju-mundur setiap kali ingin mengajar dengan standar pribadi, setidaknya sekarang saya punya jawaban kalau ditanya orang 'kerja apa?' Sejujurnya saya sih berharap nggak perlu lama-lama kerja seperti ini. Saya masih mendambakan suatu saat akan datang masanya saya bisa santai membaca buku dan cukup mencari uang dari rumah saja.

Obrolan (tentang) sampah

Rabu, 14 Agustus 2024

 

Photo by Donald Giannatti on Unsplash

10 tahun lebih menikah, satu hal yang paling sering bikin saya jengkel sama suami adalah kebiasaannya menyimpan barang-barang yak tidak terpakai. Tidak terkecuali pakaian. Mungkin memang mitos yang disampaikan kakak saya tentang orang Padang yang suka fashion adalah benar, suami saya juga menjadi salah satu orang Padang yang saya kenal yang punya banyak sekali pakaian. Kadang kalau suami sudah mengeluh bingung pakai baju apa, saya rasanya pengen bilang, "sebenernya yang istri tuh siapa sih?!" Lemari sebesar itu isinya baju dia sendiri, tumpukan baju kotor didominasi bajunya, gunungan gombalan minta disetrika selalu ada bajunya, di jemuran pasti ada bajunya, di belakang pintu penuh sama bajunya, di kardus barang nggak terpakai isinya baju punya dia dan dia masih bilang nggak punya baju untuk dipakai.

Tapi yang jadi inti postingan kali ini adalah dua kejadian yang baru saya alami belum lama ini. Jadi ceritanya saya punya rencana ingin mendonasikan pakaian bekas ke Jagatera supaya rumah nggak penuh dengan 'sampah', entah itu baju atau lainnya. Saya ceritakan lah rencana itu ke suami, dan bilang kalau biayanya Rp. 10.000 per kg untuk sampah pakaian. 

"Mahal amat?" Kata suami merespon penjelasan saya.

"Kan kita pakai jasa mereka, ya wajarlah kalau bayar."

"Kita udah kasih barang ke mereka, masa kita juga yang bayar?" Masih nggak terima, lanjut protesnya.

"Kita kalau buang sampah juga kan bayar tiap bulan?!" Saya coba ngasih analogi.

"Tapi kan itu sampah."

"Emangnya ini bukan sampah?" Saya sambil nunjuk tumpukan baju yang sudah bertahun-tahun bau tikus masih berusaha menjelaskan.

"Bukan lah!"

Saya mulai bingung, "lho tapi kan udah nggak pernah dipakai. Sama aja kayak sampah dong."

"Beda dong. Kalau sampah kan memang sudah jelas nggak dipakai lagi. Kalau ini kan masih bisa dipakai." Suami masih saja dengan bakat ngeyelnya seperti mau menjelaskan sesuatu juga ke saya.

"Tapi kan udah nggak dipakai sama kita. Sampah yang biasa kita buang itu juga sebenernya masih bisa dipakai juga kok, tapi kita tetep nyebutnya sampah. Dan kita bayar orang yang bantu buangin sampah itu kan?!"

"Ya tapi beda sama ini. Kalau ini kita masih bisa pakai."

"Mana buktinya? Nyatanya ini udah bertahun-tahun numpuk di sini nggak dipakai juga."

Sadar kalau suami saya cuma nggak mau ngeluarin uang untuk membuang sampahnya, saya memilih untuk tidak meneruskan obrolan.

Lalu beberapa waktu kemudian saya ngide lagi, membuang tumpukan kertas dan buku lewat salah satu jasa pelayanan pengelolaan sampah di kota kami. Saya coba tawarkan ke sekolah tempat saya bekerja dulu, karena saya yakin mereka pasti punya banyak sampah yang kalau dikelola bisa lebih mengurangi sampah di sekolah. Ternyata respon yang didapat juga agak lucu. Ada yang komen begini; "Kalau lewat lembaga itu sih rugi, harganya murah banget. Saya sih udah kapok."

Karena bukan pertama kali mendapat respon aneh tentang sampah, saya pun mencoba mengkonfirmasi cara berpikir saya ke seorang teman, "bukannya yang penting sampah di rumah terbuang ya? Kenapa jadi ada untung ruginya, sih? Emangnya kalau sampah itu tetep numpuk di rumah atau jadi mengotori lingkungan sekitar kita jadi untung?" Teman saya cuma ketawa menanggapi saya dan menyetujui pertanyaan saya.

Dan kejadian lagi. Setelah 40kg kertas dan buku diangkut dari rumah kami, suami tanya jumlah uang yang kami terima. Sama persis respon yang saya dapat dari suami, dia bilang kalau itu terlalu sedikit. Lebih aneh lagi dia bilang, "mending dibakar aja kalau begitu." 

Saya yang sudah malas ribut hanya membalas, "bodo amat, yang penting aku nggak mau hidup sama sampah di rumah." 😔 Sejujurnya, saya benar-benar penasaran apakah mungkin permasalahan sampah di Indonesia ini nggak pernah kelar mungkin memang karena banyak yang punya pemikiran seperti suami saya itu. Bahkan mendapat uang dari sampah yang dibuang kalau tidak banyak dianggap rugi. Padahal itu sampah, lho. 


Kemarau; One of a kind classic literature

Rabu, 07 Agustus 2024

Saya cukup yakin pernah membaca karya AA Navis yang paling populer berjudul Robohnya Surau Kami ketika masih SMP dulu. Makanya tempo hari ketika memilih bacaan yang bertema Islami dalam video blog terbaru, saya memilih karya beliau lagi untuk jadi pelengkap. Dan saya benar-benar puas, akhirnya menemukan lagi salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini.


Judul: Kemarau
Penulis: AA. Navis
Format: E-book, 178 halaman
Platform: iPusnas

Buku ini tidak tebal, hanya berjumlah 178 halaman dengan pengantar dari Sapardi Djoko Damono berisi pujian tak berkesudahan yang saya amini setiap baris kalimatnya. Diawali dengan gambaran kemarau panjang, kalimat-kalimat sederhana namun 'berisi', Kemarau adalah sindiran lain terhadap praktik beragama dan tradisi sosial masyarakat kita yang ternyata tidak banyak berubah sejak buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1957. Saya yang membacanya di tahun 2024, masih saja manggut-manggut setuju dan sesekali tersenyum getir membaca tiap adegan yang digambarkan ternyata masih sering saya temui juga di masa ini.

Berkisah tentang Sutan Duano, seorang lelaki berusia 50 tahunan yang menjadi anomali dari masyarakat di kampung tempat ia tinggal. Sutan Duano digambarkan sebagai pekerja keras, ketika masyarakat sudah menyerah pada keadaan dan usaha-usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, Sutan Duano menunjukkan kepada kita bahwa ikhtiar terbaik seorang manusia dalam menghadapi ujian dari Tuhan adalah dengan mengerahkan usaha manusiawinya hingga sebab takdir diberikan oleh Tuhan. Masyarakat kampung yang malas hanya mengandalkan dukun-dukun untuk mengundang hujan, dan baru ketika dukun-dukun itu tidak berhasil menghadirkan hujan barulah mereka ingat Tuhan. Gambaran itu seperti menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kampung tersebut hanya menganggap Tuhan sama seperti dukun. Saya melihatnya seperti mereka menganggap Tuhan sebagai candaan. Dan kenyataannya, pada kehidupan nyata sering kita dapati masyarakat melakukan hal yang serupa itu.

Disusun dengan bab-bab yang pendek, tiap bab menjelaskan penggal-penggal episode kehidupan Sutan Duano dan perlahan kita akan digiring untuk mengenal masa lalunya. Sutan Duano yang merupakan pendatang di kampung, dalam waktu 10 tahun telah menjadi tokoh yang dihormati karena kerja kerasnya. Meski awalnya kehadirannya cukup mengejutkan masyarakat karena memilih untuk tinggal di surau padahal usianya masih 40 tahun, kehadiran seorang prajurit revolusi yang mengungsi di kampung tersebut seperti menandai diterimanya Sutan Duano di kampung.

Sindiran dalam Kemarau benar-benar dilancarkan AA Navis secara bertubi-tubi. Sejak bab pertama hingga halaman terakhir. Setelah menyindir sikap malas dan apatis masyarakat di bab pertama, di bab kedua sindiran itu diperkuat dengan gambaran orang-orang kampung yang lebih memilih 'pengetahuan umum' dibanding bekerja mengolah tanahnya. Dan betapa kedudukan dan status sosial sangat dijunjung tinggi, hingga apapun yang dilakukan mereka hanyalah untuk memenuhi tujuan tersebut.

Sutan Duano yang pekerja keras akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat karena kemurahan hatinya. Meskipun menjalani hidup yang sama sekali lain dengan masyarakat kampung, kepada Sutan Duano-lah mereka meminta pertolongan setiap terjadi masalah, hingga akhirnya Sutan Duano diminta menjadi guru ngaji di surau tempatnya tinggal.

Lebih lanjut tentang kedangkalan berpikir masyarakat, saya jadi teringat dengan trend sindiran IQ rata-rata yang dipakai belakangan ini untuk menjelaskan daya nalar masyarakat Indonesia yang dibawah rata-rata. Sutan Duano digambarkan begitu kesulitan untuk menyadarkan masyarakat kampung tentang konsep tawakkal dan ikhtiar. Dan meskipun dia telah berjuang sepuluh tahun dalam memperbaiki keadaan itu, pada akhirnya yang terjadi ternyata sangat bertentangan dengan harapannya. Dia mengharapkan kecerdasan, namun masyarakat justru mengidolakan dirinya. Kedangkalan berpikir itu makin diperkuat dengan adegan berita palsu yang begitu mudah dipercaya dan disebarkan dengan membabi-buta oleh masyarakat kampung padahal muncul dari mulut seorang anak kecil. Betapapun Sutan Duano memberi teladan kepada masyarakat, tak tergerak juga mereka untuk berubah.

Tapi meskipun Sutan Duano sudah berusaha tampil menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, nyatanya dirinya sendiri pun bukan sosok yang sempurna. Pelan-pelan kelamnya masa lalu Sutan Duano mulai terkuak dan membawa kita pada akhir cerita ini, dan bagi saya endingnya inilah satu-satunya hal yang saya kurang sukai dari buku ini.

Menulis ulasan ini membuat saya ingin memiliki buku fisiknya. Saya yakin, tiap halaman pasti ada bagian yang bisa dihighlight dan didiskusikan. Dan sampai saat ini saya masih belum paham, mengapa karya ini tidak masuk daftar bacaan Sastra Masuk Kurikulum padahal muatan moralnya sangat baik untuk diajarkan kepada anak-anak kita.


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.