SLIDER

My overflowing thoughts on September

Senin, 30 September 2024

Sebenarnya bukan hanya tentang September, sejak Agustus, atau tepatnya sejak mulai mengajar lagi saya jadi lebih banyak refleksi baik tentang diri sendiri maupun sistem pendidikan secara umum. Lebih banyak tentang diri sendiri, sih. Ada beberapa hal yang mulai saya sadari tentang diri saya yang ternyata jauh berbeda dengan diri saya yang dulu. Atau mungkin sebenarnya dari dulu saya sudah begini, hanya baru saya sadari sekarang saja?!

Photo by Nick Fewings on Unsplash

Aktifitas saya saat ini berkutat pada 3 hal; mengajar, mikirin RSC, dan UPA. Oh, satu lagi yang juga menguras energi adalah mikirin anak 😌. Tapi pada 3 aktifitas itulah yang paling membuat pikiran ruwet karena saya harus berurusan dengan banyak orang.

Belakangan, dalam hal berhubungan dengan orang lain ini saya baru menyadari kalau saya akan selalu menyesali apapun yang saya sampaikan begitu sudah kembali ke rumah. Dan penyesalan itu membuat saya makin merasa lelah. Lalu akhirnya makin malas untuk ketemu lagi di waktu berikutnya. Tapi di kemudian hari saya kembali berpikir bahwa saya harus menyesuaikan diri dengan orang-orang di sekitar, lalu saya coba untuk berbicara, lalu menyesal lagi, lalu kelelahan lagi. Siklus menyebalkan itu terus saja terjadi dan yang terakhir di hari Sabtu kemarin saya benar-benar memikirkan pada hal-hal apa saya merasa paling kehabisan energi.

I'm feeling alienated. Setiap kali terlibat dialog atau obrolan ringan sekalipun, saya selalu merasa nggak nyambung dengan orang-orang di sekitar. Terkadang, saya merasa nggak didengar atau nggak dihiraukan. Sayangnya, itu terjadi ketika saya benar-benar ingin berbagi tentang sesuatu yang berarti bagi saya atau sesuatu yang penting bahkan bagi mereka. Yang kedua seringkali membuat saya sampai sedih, kenapa hal sepenting itu nggak dihiraukan oleh mereka? Karena seringnya apa yang saya bicarakan hanyalah seputar Islam. Jadi tuh kalau orang-orang di sekitar saya nggak peduli sama yang saya omongin, saya merasa seolah-olah mereka mengabaikan nilai-nilai Islam itu sendiri. Tapi mungkin itu cuma perasaan saya saja. Mungkin saya yang terlalu lelah karena pekerjaan, atau bisa juga mungkin karena saya sedang butuh healing 😒.

Sambil nulis ini saya sedang berpikir, mungkin lebih baik kalau saya kembali ke setelan pabrik; lebih banyak diam, mengamati dan tidak bicara kalau tidak diminta. Karena saya pikir-pikir sepertinya belakangan saya memang terlalu banyak bicara. Saya mulai terlalu peduli pada orang-orang di sekitar saya, atau saya terlalu craving for connection and conversation. Sayangnya orang-orang yang saya ajak diskusi itu punya pemikiran yang berbeda dengan saya yang akhirnya malah membuat saya patah hati. Salah siapa?! Ya saya sendiri.

***

Peristiwa terakhir yang saya alami, for giving you context, ketika saya membicarakan tentang seorang kenalan yang bercerai dengan seseorang yang mestinya saya hormati. Itupun tadinya tanpa sengaja. Awalnya hanya diniatkan untuk memberi gambaran peristiwa lain yang ingin saya bicarakan dengannya. Saya sama sekali nggak menyangka kalau responnya akan dengan mudah menyalahkan si istri dengan alasan yang sangat emosional. Jadi si istri ini adalah istri kedua. Ketika si suami menikah lagi untuk ketiga kalinya, terjadi masalah antara dirinya dengan suami sehingga mereka bercerai. Dan respon dari orang ini, yang sedang mengobrol dengan saya ini, adalah "ya rasakan sendiri lah sekarang dia disakiti. Dulu dia mau jadi istri kedua kan nyakitin hati orang lain." diucapkan dengan sinis dan nada tinggi.

Kebetulan saya kenal cukup baik dengan si istri dan dia pernah beberapa kali menceritakan sedikit masalahnya itu kepada saya. Bukan berarti saya bias menilai, tapi dari mana orang ini tahu kalau penyebab cerainya mereka adalah karena si istri merasa disakiti sebab suaminya menikah lagi? Sementara yang diceritakan kepada saya sama sekali nggak ada hubungannya dengan peristiwa itu? Lebih dari itu, bagi saya sangat aneh bagi orang yang sudah paham tentang syariat masih memandang miring pada pelaku poligami, tanpa sebab. Bukankah itu juga berarti tanpa sadar dia sudah membenci syariatnya?

Pada banyak kejadian lain, sering sekali saya mendapati orang-orang di sekitar saya memiliki pemahaman yang membuat saya miris tapi saya nggak tahu bagaimana untuk meresponnya. Karena kalau saya coba jelaskan, mereka makin nggak ngerti dan justru saya yang dianggap aneh atau mikirnya kejauhan. Tapi pada saat yang sama saya merasa kasihan karena orang-orang ini harusnya sudah bukan di masanya salah pemahaman atau baru belajar Islam. Mereka sudah belajar Islam sejak lama, banyak yang sejak kuliah yang artinya lebih dari 7 tahun berlalu dan pemahaman Islamnya masih sangat dasar sampai-sampai pada hal-hal yang sangat basic sulit untuk memahami. Capek banget padahal harusnya nggak perlu dipikirin.

Di sekolah, untungnya saya bisa lebih santai walaupun kadang merasa menyesal juga. Bukan karena beda pemahaman atau apa. Tapi biasanya kalau sudah selesai ngobrol dan saya ingat lagi, ternyata saya sudah oversharing. Sebagai salah satu yang tertua di kantor, ternyata saya sudah seperti orang tua yang sering memberi nasihat tanpa diminta dan bercerita tentang pengalaman masa muda yang mungkin sebenarnya nggak terlalu menarik buat anak-anak muda itu. Saya jadi merasa seperti fosil kalau sudah mulai sadar habis kebanyakan berceloteh 😂. Untungnya mereka adalah orang-orang baik yang mau mendengar ocehan berantakan dari saya setiap hari.

***

Sore ini diakhiri dengan ketidakjelasan dari BSI yang sungguh membuat hati saya rungsing. Sudah kerempongan buka rekening online lewat aplikasi sejak bulan lalu, disuruh menghubungi CS lewat chat WA, diminta kirim foto KTP. Saya pikir mau dibuatkan sama mbaknya, ternyata tidak. Entah dipakai untuk apa KTP itu karena setelah foto KTP dikirim nggak ada kabar apa-apa. Lalu tadi siang saya tanyakan kelanjutan proses pembukaan rekeningnya, lalu saya disuruh buka rekening lewat aplikasi. I was like, "chat pertama saya dibaca nggak sih mbak??? Kalo bisa buka rekening online sendiri nggak mungkin saya minta bantuan!!" Lalu panjang ngalor-ngidul dibilang saya salah dan lain-lain, ujung-ujungnya ternyata NIK saya masih terdaftar di bank karena pernah punya rekening BRI Syariah lebih dari 1 dekade yang lalu, yang padahal rekening itu sudah saya tutup, saya datang sendiri ke bank untuk nutup rekeningnya, sudah saya ambil uangnya dan saya masih ingat persis kejadiannya karena itu adalah terakhir kalinya saya ngambil uang beasiswa kuliah. Iya, sudah lebih dari 10 tahun yang lalu. Kok bisa datanya masih ada? Jadi apa gunanya ditutup rekeningnya? Dan saya diminta ke bank besok untuk buka rekening.

***

Saya berharap, Oktober bisa jadi lebih baik. 

Urusan beli jajanan

Rabu, 04 September 2024

Ceritanya saya dijadikan panitia konsumsi acara Pemira di sekolah. Karena ini pertama kali saya bergabung di dalam tim di sekolah ini, saya masih kikuk dan bingung mau gimana kerjanya. Secara aslinya saya memang kurang pintar bekerja sama, jarang banget bergabung di kepanitiaan di sekolah lama, plus punya masalah adaptasi di sekolah ini seperti yang saya ceritakan di sini. Apalagi ini panitia konsumsi. Panitia yang biasanya bagian wira-wiri sana-sini buat beli makanan. Terus terang begitu baca susunan panitia saya langsung anxious. Jadi panitia konsumsi semacam teror buat saya, karena saya nggak suka makan jadi saya nggak tahu selera umumnya manusia itu makanan yang macam apa. Sudah begitu saya sendirian pun, nggak ada teman kerjanya. Kalau sewaktu-waktu saya butuh beli makanan mendadak njuk gimana?! Nggak bisa bawa motor, masa harus ngerepotin orang lain?!

Photo by Aldrin Rachman Pradana on Unsplash

Untungnya teman-teman kerja saya ini mau berbaik hati ngasih tahu saya kontak langganan mereka biasa beli konsumsi acara. Tugas pertama saya harus beli makanan untuk agenda rapat panitia. Karena cuma rapat kecil dan sebentar, saya cuma beli minuman dan alhamdulillah nggak ada masalah.

Nah, yang menginspirasi saya untuk nulis postingan ini adalah pengalaman kedua. Jadi, saya lupa (karena nggak terlalu peduli) bahwa ada perubahan jadwal pelaksanaan debat kandidat. Untungnya ibu bendahara panitia mengingatkan saya malam sebelum acara dimulai. Dia juga langsung ngasih kontak catering langganan mereka beli snack. Nggak nunggu waktu lama saya langsung ngechat ibu admin. Butuh waktu agak lama akhirnya chat saya dibalas,

"ndadakan, Bun,

mo berapa macem?"

Sejujurnya saya agak bingung pesanan saya dibilang dadakan. Kan biasanya orang usaha catering ya pasti punya stok. Tapi saya berhusnuzhon mungkin ini usaha rumahan yang nggak terlalu besar. Sambil minta maaf saya lanjutkan pesanan. Sampai saya mau bayar, nggak dikasih juga totalan harga yang harus saya bayar. Akhirnya saya inisiatif sendiri memastikan jumlah yang harus saya transfer. Dan transaksi selesai. Besoknya snack datang dan dimakan panitia dengan gembira. Sambil menikmati jajanan, saya mencoba menggali informasi dari para guru, di mana tempat favorit mereka untuk beli snack supaya jadi referensi saya belanja di rangkaian acara berikutnya. Dan ternyata tempat catering ini adalah favorit mereka. Alasannya karena snacknya besar-besar dan enak. Saya yang merasa rasanya biasa saja mencoba memahami, tapi dalam hati saya nggak pengen berurusan lagi sama admin WA si ibu catering. Nggak ada ramah-ramahnya.

Di rangkaian acara berikutnya, saya menawarkan untuk belanja di tempat lain. Dan teman-teman panitia tidak mempermasalahkan. Di tempat baru ini, chat saya direspon dengan sangat ramah. Sebenarnya proses order berjalan tidak lancar, si admin yang melayani saya salah hitung dan akhirnya jumlah uang yang saya transfer kurang Rp. 5.500,- bikin saya harus mampir ke tokonya untuk menuntaskan pembayaran karena transfer kurang dari 10.000 kan nggak bisa. Tapi karena gaya komunikasi adminnya sangat ramah, saya sama sekali nggak masalah. Dan sejujurnya, snack di tempat ini menurut saya justru lebih enak walaupun memang lebih kecil. Entah apakah karena ada faktor kenyamanan dan saya makan waktu kondisi masih hangat. Tapi seriusan, saya merasa risol mayo di tempat ini lebih terasa mayonya dibanding dengan tempat pertama.

Karena saya menghargai selera teman-teman panitia yang lain, di rangkaian acara berikutnya saya memesan ke tempat yang pertama. Kali ini saya pesan sehari sebelum acara, bukan malam-malam. Ternyata responnya masih sama dong 😩,

"Kok mendadak

Buat jam berapa?

Banyak mbak?"

Baca responnya tuh hampir saja bikin saya membatalkan pesanan. Kalau pesan sehari sebelum acara dibilang mendadak jadi harus H- berapa supaya nggak mendadak? Kalau ternyata acaranya memang dadakan gimana?! Tapi karena masih memprioritaskan teman-teman, saya berusaha nggak menghiraukan jawaban itu dan langsung memberi informasi jumlah pesanan. Nah, setelah itu sepertinya adminnya beda orang karena merasa tone dari bahasa chatnya agak berubah. Dan saya jadi dipanggil Bu. Tapi sampai malam saya tunggu, masih nggak ada juga totalan jumlah harga yang harus saya bayar, dan saya yang harus inisiatif menghitung sendiri orderan saya. Setelah saya hitung termasuk biaya ongkir pun balasannya "ongkir 8k". I was like, 'ya itu saya totalin sudah sama ongkiiiiir' 😈. Dan ndelalahnya kok pas mau transfer m-bankingnya lagi gangguan, persis seperti waktu orderan pertama.

Sambil menulis ini pun saya masih bertanya-tanya, apakah saya yang terlalu sensitif atau memang ada yang kurang baik dengan pelayanan si ibu catering? Saya nggak berani membayangkan bagaimana nada bicara si ibu admin kalau misalnya saya mencoba menelponnya. Tapi yang jelas kejadian ini jadi pelajaran penting buat saya, bahwa bekerja di bidang pelayanan itu memang butuh skill komunikasi yang sangat baik. Sesuatu yang saya nggak punya, tapi sepertinya saya juga masih nggak gitu-gitu amat ketika komunikasi itu berkaitan dengan pekerjaan. Mudah-mudahan saya mampu bertahan kalau ternyata ke depan masih harus terus berhubungan dengan ibu catering itu dan masih dilayani dengan cara yang sama.


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.