Islam itu ramah, bukan marah; sebuah review
Judul : Islam itu Ramah, Bukan Marah
Penulis : Irfan Amalee
Format : Paperback, 197 halaman
Penerbit : Noura Publishing (2017)
Harga : Rp. 20.000
Dari judulnya saja saya sudah bisa menebak bahwa buku ini akan membahas tentang karakter muslim yang dianggap 'sumbu pendek' belakangan ini. Entah memang begitu, atau stereotype itu memang sengaja ditampilkan untuk merusak citra Islam, saya tak tahu.
Pertama kali tahu buku ini dari seorang bookstagramer Malaysia. Katanya bukunya bagus, dan karena harganya juga murah yaudah checkout saja. Apalagi endorse preface-nya Prof. Komaruddin Hidayat. 😅 Entahlah sampai sekarang saya masih saja terlena sama endorse preface. Padahal kan itu bisa saja cuma akal-akalan orang jualan.
Tampaknya, buku ini merupakan kumpulan tulisan di blog atau platform lainnya. Karena kalau dilihat dari sistematikanya menurut saya kurang teratur. Jadi, kita bisa baca secara acak tanpa harus memulai dari awal bab sampai akhir. Terbagi menjadi 2 bagian, penulis membahas tentang perdamaian di bagian 1 dan character building di bagian 2. Tapi sebelum membahas isinya, saya ingin bahas dulu pengantarnya.
Jadi, seperti buku-buku pada umumnya di sini juga ada kata pengantarnya. Kunci Sukses Dakwah Nabi, judul pengantar yang katanya dari penerbit. Membacanya membuat hati saya sedikit terganjal. There's no wrong sama pengantarnya, hanya saja sang perwakilan penerbit, Ahmad Najib kok membandingkan dakwah persuasif Nabi Muhammad dengan perlawanan rakyat Palestina yang menurutnya frontal. Menurut saya yo nggak nyambung. Lalu di bagian akhir dia bilang, "Sebagian umat Islam pada zaman kini lebih senang menggunakan cara kekerasan dalam menampilkan Islam..." Entah kenapa kok saya jadi merasa tertuduh. Karena kalau berkaitan dengan non-muslim, selama ini kegaduhan yang saya lihat di kalangan umat Islam itu justru karena para pengusung Islam ramah itu malah menyudutkan saudaranya sesama Muslim. Kan jadi agak gimana gitu ya?!
Lalu sampailah kita pada bab "Unsur Menakut-nakuti dalam Pendidikan Kita". Penulis mengaitkan pola dalam dunia advertisement dengan dunia pendidikan.
Orangtua kita dulu sering menakut-nakuti anaknya dengan hantu, agar anaknya tak keluyuran malam-malam. Untuk menjaga hutan lindung, para sesepuh adat membuat mitos kualat yang menyeramkan yang membuat warganya tak berani menjarah hutan. Agar umat taat beragama, para da'i sering mengancam dengan pedihnya siksa neraka. (hlm 60)
Sekali lagi, nggak ada yang salah sepertinya dari pernyataan itu. Tapi masalahnya adalah, 2 hal yang pertama adalah mitos, sementara yang terakhir adalah fakta. Saya sering merasa heran dan penasaran sama orang-orang yang anti neraka, semengerikan apa sih dulu gurunya bercerita tentang neraka sampai-sampai nggak mau denger tentang neraka?! Padahal di awal-awal dakwahnya, Nabi Muhammad itu justru sering sekali membahas tentang kiamat dan neraka. Lihat saja surat-surat di juz 30 itu isinya rata-rata ancaman semua.
Lalu penulis mengatakan bahwa Allah lebih memilih kata بشّر ketika membahas tentang kabar gembira di dalam Al-Quran, yang itu tandanya berulang-ulang kabar gembiranya. Tapi sependek pengetahuan saya, tiap ayat tentang kabar gembira dan peringatan selalu menggunakan redaksi بشيرا و نذيرا. Lagi-lagi, saya juga nggak bisa menjudge pernyataan penulis karena bisa jadi saya yang kurang jauh ngajinya. (Yaiyalah, saya baru lahir dia udah nyantri...🙄)
Yasudah itu saja hal-hal yang menurut saya kurang cocok sama prinsip saya. Sisanya, buku ini isinya bagus dan cukup padat. Bukan sekadar mengajak kita untuk lebih selow dalam beragama, tapi juga mengajak kita untuk belajar dan membaca sebagaimana para ulama kita dulu menjalankan agama. Dengan harganya yang murah, buku ini bisa jadi bacaan ringan dan renyah tapi tetap berbobot dan bergizi.
Rating: 3/5 ⭐⭐⭐
Tidak ada komentar
Posting Komentar