I quit (again), and now it's for good
Per tahun ajaran baru ini saya sudah tidak lagi mengajar di sekolah (lagi)✌️. Beberapa orang tua murid menanyakan alasan, dan Alhamdulillah saya punya alasan yang cukup baik untuk menjawabnya. Sesungguhnya perihal resign kerja ini sudah pernah saya tulis di blog saya yang sebelumnya. Tapi karena blognya sudah saya sembunyikan jadi saya tulis lagi di sini. Sekalian saya mau curhat maksimal 👀.
Sejak mulai mengajar mengaji di usia 16 tahun, saya sudah merasakan bahwa ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Konsep tentang "sumur itu didatangi, bukan mendatangi" yang sudah nancep mantep di hati membuat saya sulit menghadapi model-model murid yang pemalas. Hal itu yang akhirnya membuat saya nggak bertahan lama ngajar ngaji privat.
Tahun 2013 ketika akhirnya saya memutuskan mendaftar menjadi guru sekolah, sesungguhnya saya berpikir akan mengajar tahsin, saja. Tapi ternyata dunia sekolah sungguh berbeda. Yang tadinya saya pikir sekolah Islam eksklusif akan punya caranya sendiri dalam mendidik murid, pun ternyata hanya khayalan saja.
Ada target hafalan yang harus tercapai, sementara kompetensi anak tidak memadai. Pembiasaan ibadah hingga ke sunnah, tapi adab dan akhlak pribadinya sungguh memprihatinkan. Lebih miris lagi, ternyata gurunya pun tidak jauh berbeda. Dalam hal ini, tentu saja saya sedang membicarakan diri sendiri juga. Saya dulu sampai curhat juga tentang kecewanya saya kepada diri sendiri di blog.
Karena saya mengajar SMP, saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa anak-anak lulusan SD IT dengan hafalan rata-rata 1 sampai 2 juz masih belum benar bacaan Al-Qur'annya. Dulu, saya mengira bahwa anak-anak yang bisa menghafal juz 30 itu luar biasa. Tapi mendapati kenyataannya, saya justru sedih melihatnya. Lebih menyedihkan lagi, yang saya kira hal itu hanya terjadi di sekolah saya ternyata adalah fenomena hampir di sekian banyak sekolah Islam yang saya ketahui. Belum lagi pengelolaan yang sangat tidak profesional, membuat saya makin kecewa melihat bagaimana 'orang-orang soleh' ini seperti tidak ubahnya pejabat birokrasi berlabel yayasan dakwah.
Satu tahun bekerja di satu sekolah pada naungan yayasan tertentu, saya memilih pindah bekerja bersama suami di bawah naungan yayasan yang punya tempat khusus di hati saya. Selain karena memudahkan bekerja bersama suami, saya pikir pada hal-hal tertentu saya akan lebih mudah mendapatkan apresiasi jika mengutarakan pendapat karena saya tahu yayasan ini digerakkan dengan ruh dakwah.
Namun saya kembali kecewa. Harapan untuk menumbuhkan tradisi belajar ala salaf di lingkungan sekolah asrama ternyata tidak bisa diterima. Entah dari mana orang-orang itu mengambil teori pendidikan, tapi hampir kesemuanya justru hanyalah kebalikan dari konsep pendidikan Islam yang saya kenal.
Maka kemudian saya belajar kembali, mencari-cari referensi dunia pendidikan kekinian. Lalu saya menemukan, ternyata apa yang dipraktikkan sekolah-sekolah Islam kenamaan ini pun hanyalah sepenggal-sepenggal dari berbagai konsep yang sekarang pun mulai tenggelam di negara tempat konsep itu pertama kali dikenalkan. Setiap kali pelatihan membahas konsep-konsep itu, otak saya tidak berhenti teriak, "what the hell are they thinking? Ini konsep udah basiiii!!!"
Karena sadar kalau kerusakan ini sudah sistemik, saya bertahan dengan satu harapan; semoga ada satu atau dua orang anak yang mendapatkan inspirasi dari saya. Harapan itulah satu-satunya yang membuat saya tetap semangat mengulik kurikulum aqidah terbaik untuk dimodifikasi supaya cocok dengan model pengajaran sekolah. Harapan itu yang membuat saya rela membayar mahal untuk mendaftar Sekolah Adab bagi Guru beberapa tahun yang lalu. Harapan itu yang mendorong saya untuk terus belajar, agar tetap bisa catch up dengan teori-teori dan penemuan terbaru di dunia pendidikan. Sampai akhirnya saya merasa bahwa harapan itu tidak lagi layak saya perjuangkan.
Tahun 2017 saya memutuskan resign. Ada banyak hal yang melatarbelakangi keputusan itu, tapi yang paling utama adalah karena saya butuh menjaga kewarasan. Saya kehilangan banyak hal dengan mempertahankan satu harapan yang belum pasti terwujud. Sebagai guru Al-Quran saya malah merasa semakin jauh dengan Al-Quran ketika menjalani hari-hari selama mengajar. Kok bisa?! I don't know how to explain it.
Saya tetap mengajar, di tempat yang berbeda, sesuai keinginan saya sendiri. Dan saya juga kembali belajar. Bisa dibilang, masa-masa dimana saya menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan itu sungguh membahagiakan. Secara finansial memang keluarga kami merasa kekurangan, tapi secara emosional saya merasa nyaman. Satu-satunya yang membuat tidak nyaman hanyalah kekhawatiran suami 😅.
Atas dasar kekhawatiran suami itulah saya menerima ketika tawaran mengajar datang lagi di tahun 2020. Saya masih bisa mengingat dengan jelas, saya pindah ke asrama tepat satu pekan sebelum kehadiran Covid-19 menghantui seluruh dunia. Saya kembali mengajar dengan paradigma baru; lakukan apa yang bisa dilakukan, jangan terlalu banyak berharap. Saya tahu itu bukanlah cara berpikir yang optimis, tapi itulah hal paling realistis yang bisa dilakukan supaya perjalanan kerja saya tetap lancar.
Sekolah online cukup banyak memberikan cerita, tapi saya tidak mau terlalu mempermasalahkan hal itu. Toh semua orang mengalami kesulitan yang sama, bahkan sebagian orang benar-benar menderita di masa-masa itu. Penyebab saya memutuskan untuk resign lagi justru paling besar adalah dari pemikiran internal saya sendiri.
Terlalu banyak kehilangan yang saya alami lagi setelah kembali mengajar, terutama sejak lokasi sekolah pindah. Secara emosional, finanasial bahkan spiritual. Yang terakhir ini sesungguhnya menjadi alasan paling utama. Sangat tidak masuk akal, menjadi guru Al-Quran tapi justru rasanya malah menambah dosa dari hari ke hari. Akan sangat banyak kalau mau diuraikan permasalahan yang saya rasakan selama menjadi guru, tapi mungkin perlu ruang tersendiri dan keberanian lebih untuk menuliskannya. Yang jelas, saya sudah mantapkan hati bahwa saya tidak perlu kembali menjadi guru di sekolah itu lagi terutama jika keadaannya masih saja seperti ini.
Mba, terima kasih banyak yaa..
BalasHapusTerima kasih..
sebab telah menuliskan kisah ini💕
Semoga sehat dan bahagia selalu mba..
Selamat melanjutkan kontemplasi diri. Semangatt
Sama-sama. Mudah-mudahan nggak bikin hati makin bertanya-tanya pas baca ceritanya. 😅
Hapus