Catatan Membaca; Six Thinking Hats
Judul: Six Thinking Hats
Penulis: Edward de Bono
Penerjemah: Yuniasari Shinta Dewi
Format: Paperback, 229 halaman
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2017
Harga: Rp. 25.000
Awalnya saya pikir ini buku self-help. Well, saya sebenarnya juga kurang paham dengan ruang lingkup genre self-help, sih. Tapi yang jelas, buku ini berisi panduan mengelola hubungan dalam sebuah organisasi. Cocok banget untuk para pimpinan di kantor yang kita hormati.
Buku ini sudah lama saya beli, hanya saja memang tertunda dibaca karena isinya agak kurang sesuai dengan ekspektasi saya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya saya hanya kurang meminati kegiatan berorganisasi sehingga pembahasan tentang rapat tidak terlalu saya sukai. Sungguh aneh, sebagai seorang organisatoris ketika kuliah, dan sekarang mengelola sebuah komunitas yang sedang berkembang mungkin kalian akan tidak percaya pada fakta bahwa saya sangat tidak menyukai berinteraksi dengan orang lain.
Tapi mau bagaimana lagi?! Pada kenyataannya hidup ini nggak bisa selalu mengikuti kemauan sendiri, kan?! Meskipun saya sangat tidak suka basa-basi dan segala interaksi yang berbelit-belit, pada akhirnya saya harus menerima bahwa saya butuh orang lain untuk membantu hidup. Dan beginilah jadinya, saya yang super introvert jadi founder komunitas dengan member ratusan 😅.
***
Jadi, sesungguhnya awal penyebab saya beli buku ini adalah karena nama buku Edward de Bono yang judulnya How to Have a Beautiful Mind. Saya ingin beli karena sejujurnya saya ingin sekali mengajarkan cara berpikir kepada orang lain, terutama anak saya. Biar saya bisa menularkan rasa curiosity kepada mereka, gitu lah. Ketika mau beli buku itu, kalau tidak salah ada tulisan yang mengatakan bahwa konsep 6 topi berpikir harus sudah dipahami dulu. Maka saya belilah buku ini.
Singkatnya, metode enam topi yang dibahas di buku ini adalah sebuah teknik sederhana yang sangat efektif berdasarkan ragam cara berpikir otak. Kecerdasan, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki setiap orang dimanfaatkan guna mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat dengan cepat. Demikian sinopsis di bagian belakang buku menjelaskan. Lalu, bagaimana pengalaman saya membaca bukunya?!
Kita mulai dari Pengantar. Saya akan menuliskan kembali bagian-bagian yang saya highlight dan mungkin akan saya bahas kemudian. Berpikir adalah sumber daya manusia yang mendasar. Begitu saya membaca kalimat itu, rasanya bahagia sekali. Dan kalimat-kalimat berikutnya menjelaskan bahwa manusia pada umumnya selalu berpikir untuk berusaha menjadi lebih baik. Hanya manusia rendahan yang merasa bahwa tujuan berpikir adalah untuk mendapatkan pembenaran. Nah, kesulitan utama dari berpikir adalah kebingungan. Kita berusaha melakukan terlalu banyak secara bersamaan. Merasa relatable nggak kalimatnya?! Enam topi berpikir ini mengajarkan kita untuk memisahkan emosi dari logika, kreativitas dari informasi dan seterusnya. Pokoknya keenam topi berpikir ini memungkinkan kita untuk mengatur pemikiran kita layaknya seorangg konduktor memimpin sebuah orkestra.
Baru satu halaman lewat, sudah ada catatan khusus untuk si topi hitam. Katanya, topi hitam adalah topi yang sering disalahpahami. Lho, kok kayak saya?! Padahal topi hitam adalah topi yang paling berharga dan mengenakannya berarti bersikap waspada dan hati-hati. Membaca bagian itu saya langsung curiga, jangan-jangan saya pemilik topi hitam 😏.
Berlanjut ke bagian Pendahuluan, di sinilah mulai dijelaskan tentang maksud dari enam topi berpikir. Dengan pengantar sejarah tentang awal mula pemikiran Barat dan logika berpikir, dijelaskan bahwa nilai dari topi sebagai sebuah simbol adalah menyatakan peran. Topi-topi adalah arah, bukan penjabaran. Ketika pemimpin rapat mengatakan, "Saya ingin topi merah dipakai untuk hal ini." berarti kita membutuhkan perasaan, intuisi, dan emosi terhadap situasi tersebut. Atau ketika dikatakan, "Mari kita mengenakan sebentar topi berpikir putih di sini." berarti semua harus berfokus pada informasi.
Penjabaran berurusan dengan apa yang telah terjadi. Sementara arah berurusan dengan apa yang akan terjadi. "Saya ingin Anda melihat ke arah timur" sangat berbeda dengan "Anda telah melihat ke arah timur." Ada godaan sangat besar untuk menggunakan topi-topi guna menggambarkan dan mengelompokkan orang-orang. Memang, orang-orang mungkin lebih suka satu cara daripada cara yang lain. Meskipun begitu, topi-topi bukanlah kategori orang-orang. (h. 7-8)
Jadi intinya, metode enam topi berpikir adalah meminta semua yang hadir dalam rapat untuk mengenakan topi tertentu pada waktu yang ditentukan. Sehingga kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin kecerdasan dan pengalaman semua orang.
***
Enam topi memiliki warnanya masing-masing sesuai dengan kegunaannya. Topi putih, netral dan objektif. Topi putih berurusan dengan fakta-fakta dan angka-angka yang objektif.
Topi merah menandakan kemarahan (rasa jengkel), murka, dan emosi. Topi merah memberikan pandangan emosional.
Topi hitam berarti suram dan serius. Topi hitam berarti bersikap waspada dan hati-hati. Ini menunjukkan kelemahan-kelemahan pada setiap gagasan.
Topi kuning berarti cerah dan positif. Topi kuning berarti bersikap optimistis dan mencakup harapan dan berpikir positif.
Topi hijau berarti rumput, tumbuh-tumbuhan, dan pertumbuhan yang subur, berlebihan. Topi hijau menandakan kreativitas dan gagasan baru.
Topi biru berarti tenang, dan juga merupakan warna langit, yang lebih tinggi dari segalanya. Topi biru berurusan dengan kendali, pengaturan dari proses berpikir dan pemakaian topi-topi lainnya.
Kita juga harus mengingat tiga pasang topi;
Putih dan merah
Hitam dan kuning
Hijau dan biru
Penggunaan topi bisa dengan beberapa cara. Apakah terpisah, berurutan, atau dengan cara-cara lain yang disampaikan di dalam buku ini. Menurut saya, jika buku ini dibaca oleh sebuah tim atau orang-orang yang bekerja sama dan mereka bisa berkomitmen untuk melaksanakannya dalam setiap rapat, maka aktivitas rapat bisa jadi lebih efektif. Karena gagasan yang disampaikan dalam buku ini sangat aplikatif.
Setelah buku ini, saya ingin mencoba membaca buku Edward de Bono yang lain; Kursus Lima Hari dalam Berpikir. Saya sudah tidak peduli apakah buku itu nanti akan membahas tentang rapat lagi atau sesuai dengan harapan saya; mengajari kaidah berpikir yang saya bayangkan. Yang jelas, panduan-panduan tersebut saya yakini akan bermanfaat untuk aktivitas sosial saya.
Tidak ada komentar
Posting Komentar