Drama sakit gigi berlanjut ke rumah sakit
Setelah drama sakit gigi di klinik berakhir di season pertama (karena saya yakin akan ada season berikutnya), petualangan saya berlanjut ke Rumah Sakit yang jarak tempuhnya butuh sekitar 45 menit dari rumah. Saya tahu kalau 45 menit itu nggak lama buat sebagian orang di kota-kota besar, tapi buat saya yang tinggal di Bandar Lampung, waktu tempuh 45 menit itu jauh banget.
Jadi ceritanya saya dirujuk ke Rumah Sakit Airan Raya, sebuah rumah sakit baru di Bandar Lampung. Awalnya sih katanya mau dirujuk ke Advent, tapi ternyata ketika mau didaftarkan tidak berhasil. Akhirnya dengan pasrah saya mengiyakan saja untuk dirujuk ke rumah sakit di ujung Bandar Lampung itu. Sesuai keterngan mbak resepsionis klinik, saya cukup datang ke rumah sakit dan menunjukkan aplikasi JKN ke petugas rumah sakit.
Sambil menanti kepastian jadwal kosong suami, saya pun mulai mencari-cari info tentang rumah sakit itu. Karena jaraknya yang jauh, saya nggak mau dong kena zonk. Dari Google sampai instagram, tidak banyak informasi yang saya dapat. DM nggak terbalas, website juga nggak update. Jadi yasudah, bermodal bismillah saya berangkat.
Sampai di rumah sakit, karena baru pertama kali ke sana kami butuh muter-muter dulu untuk menemukan area lobi rumah sakitnya. Dengan ragu-ragu saya langsung menemui seorang petugas di loket-loket yang berbaris. Ternyata saya salah. Sebelum ke loket harus registrasi dulu untuk mendapatkan nomor antrean. OK, pindah ke petugas registrasi ternyata saya tidak bisa dilayani. 😂
Untungnya mamas petugasnya dengan sabar dan ramah menjelaskan dengan sangat detil. Waktu saya bilang mau periksa gigi, dia kayaknya langsung tahu kalau saya baru pertama kali ke sana dan seketika saya dipersilakan duduk. Dari mamas inilah saya tahu kalau semua rujukan untuk pemeriksaan gigi di Lampung sekarang hanya ada di rumah sakit Airan Raya. Waktu saya dengar itu, sebenarnya saya pengen nanya, "lho, kok bisa? Aneh banget? Jadi apa gunanya rumah sakit umum sebesar itu ada dua njogrok di sana?" tapi saya tahan karena pasti buang-buang waktu. Saya dikasih tahu kalau saya harus mendaftar dulu di aplikasi, dan dia menyarankan untuk mendaftar sejak pagi sekali karena di rumah sakit hanya ada 2 dokter gigi setiap harinya dan masing-masing mereka hanya bisa menangani 20 pasien. Bayangkan 2 orang dokter harus melayani pasien BPJS se-provinsi dong, itu gimana antrenya? Sejak tengah malam, saudara-saudara. Nggak bisa pagi-pagi.
Sesuai instruksi mamas registrasi, besoknya saya coba daftar lewat aplikasi. Dan ternyata sang dokter sudah full booked sampai 3 hari ke depan. Besoknya saya coba lagi daftar lewat aplikasi setelah shalat subuh, sudah full booked lagi. Begitu terus sampai akhir pekan dan akhirnya jadwal tindakan untuk gigi saya tertunda karena saya tiba-tiba jalan-jalan ke Jawa selama 10 hari. Selama perjalanan inilah saya secara nggak sengaja berhasil mendaftar. Gara-gara nggak bisa tidur di bus, saya coba buka aplikasi dan mendaftar pas jam 12 malam. Akhirnya saya tahu waktu yang tepat untuk mendaftar.
Pulang dari Jawa, jadilah saya ke rumah sakit untuk pemeriksaan yang pertama. Kali ini saya nggak berharap gimana-gimana sama dokternya. Sudah pasrah saja lah. Dan jujur, saya cukup kagum dengan pelayanan di rumah sakit ini. Mungkin karena proses pendaftarannya yang harus lewat aplikasi jadi yang datang ke rumah sakit memang orang-orang yang benar-benar akan ditangani jadi rumah sakitnya tidak terlihat sumpek. Dari proses registrasi sampai saya masuk ke ruang poli, semua petugas melayani dengan cekatan dan cepat serta ramah. Begitu masuk ke ruangan juga saya nggak berharap akan diajak ngobrol sama dokternya. Rasanya udah kasihan aja sih kalau teringat bu dokter harus menangani 20 orang pasien BPJS setiap hari tanpa tahu akan dapat bayaran atau nggak. #eh
Tindakan pertama saya nggak sengaja menelan obat yang disemprotkan ke gigi gara-gara nahan napas karena terlalu tegang. Sepanjang perjalanan pulang mulut saya rasanya kayak ngemut Byclean dan mual luar biasa. Tindakan kedua, karena gagal bangun tengah malam saya terpaksa mendaftar dengan dokter yang lain. Tapi alhamdulillah dokter yang baru ini pun nggak ribet.
Di tindakan terakhir yang bikin saya agak gimanaaaa gitu ya, karena saya pikir akan butuh waktu lama. Ternyata tambalan gigi saya cuma seperti tambalan aspal jalanan yang bolong itu lho, gaes 😆. Nggak ada seninya sama sekali. Saya juga nggak berharap bakal kayak yang di video-video Youtube para dokter gigi itu sih, tapi saya juga nggak nyangka bakal sesederhana itu. Untungnya suami saya menenangkan, sudah disyukuri saja bisa berobat gratis yang aslinya butuh biaya jutaan. Dan kalau dipikir-pikir memang iuran BPJS saya kalau ditotalkan seluruhnya pun nggak akan bisa menutupi pelayanan kesehatan yang saya dapat. Walaupun saya nggak pernah pakai BPJS kalau berobat biasa, tapi biaya melahirkan 2 anak saya saja sudah bisa buat DP rumah kalau nggak dicover BPJS.
Saya yakin drama gigi ini akan berlanjut karena nasib gigi bungsu saya belum juga ada kejelasan. Sayang sekali dari 5 dokter gigi yang memeriksa saya, hanya 1 orang yang mau dengan rela memeriksa mulut saya secara menyeluruh yang sebenarnya nggak butuh waktu lama. Akhirnya nggak ada satupun dari 4 dokter yang menyarankan saya untuk cabut gigi. Bayangkan kalau saya nggak ketemu sama dokter pertama waktu itu, saya nggak akan tahu kalau saya punya gigi bungsu dan mungkin baru akan ke dokter gigi lagi ketika sakit gigi, dan saya pernah dengar kalau tindakan gigi bungsu juga butuh effort bagi dokter gigi sendiri. Saya cuma berharap lain kali kalau saya periksa lagi, dokternya mau meluangkan sedikit waktu untuk melihat lebih dalam dan bilang, "lho, ada gigi bungsunya ini, Bu. Harus dicabut ya, bahaya kalau dibiarin."
Tidak ada komentar
Posting Komentar