Catatan setelah Pemilu tahun ini
Jumat, 16 Februari 2024
Photo by Element5 Digital on Unsplash |
Waktu saya masih kuliah, orang tua angkat saya pernah berseloroh kepada saya, "kuliah jurusan politik berarti nanti jadi politisi, dong?"
Saya yang masih semester 3, tertawa mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya saya sempat berpikir untuk berkarir di dunia politik, hanya karena terpengaruh oleh buku-buku bacaan saat itu. Kayaknya kok hebat bisa membuat nasib banyak orang berubah hanya lewat beberapa kalimat atau sebuah tanda tangan. Begitu mulai kuliah, saya langsung tergabung ke organisasi mahasiwa untuk belajar dan memahami cara kerja organisasi dengan lebih baik. Dan di semester 3 itu, tahun 2009 memang kebetulan sedang masanya Pemilu.
"Daftar Pemilu di sini lho, nduk. Buat latihan." Mamak saya menyarankan, tentu saja hanya bercanda. Syarat menjadi anggota legislatif memang hanya lulusan SMA.
Saya santai saja menjawab, "nanti lah, Mak. Kalau sudah lulus, tinggal mainkan pasar-pasar di Lampung Tengah." Lalu Mamak menyahut, "nyalon lewat PDI-P, nanti Mamak kenalkan sama ketua DPCnya."
"Yah, kalo sama PDI-P ya sama aja, nanti aku jadi koruptor!" Dengan cepat saya menyahut perkataan Mamak sambil tetap berusaha santai. Mamak pun balas menjawab, "Ya kalau mau menang di sini harus lewat PDI-P. Kalau lewat partai lain ya susah, lama. Keburu bangkrut."
Saya tertawa lebih keras mendengar alasan Mamak. Mamak angkat saya adalah pedagang besar. Hampir seluruh pasar di Lampung dikuasai, Kakak angkat saya yang menjalankan bisnis, punya banyak sekali kenalan orang penting. Ketika tawaran seloroh dari Mamak itu terlontar, yang saya pikirkan saat itu adalah bahwa Mamak memang hanyalah seorang pedagang. Beliau sangat tahu bagaimana caranya memenangkan persaingan di pasar. Tapi mestinya politik tidak boleh disamakan dengan bisnis. Ada idealisme yang harus diperjuangkan.
***
Seiring berjalannya waktu, saya belajar makin banyak lewat kuliah dan organisasi. Lalu saya mulai mendengar teman-teman saya yang kuliah di jurusan keguruan sering membicarakan sebuah gerakan baru bernama Indonesia Mengajar. Beberapa diantaranya berhasil bergabung menjadi Pengajar Muda di sana. Dari situlah saya mulai mendengar nama Anies Baswedan.
Pada waktu yang sama, beberapa teman di fakultas tiba-tiba menghilang dan diberitakan mendapat beasiswa ke Paramadina. Nama Anies Baswedan kembali saya dengar. Dan seterusnya, saya mengenal namanya sebagai salah satu aktor pendidikan baru yang berpengaruh saat itu.
Tapi postingan blog ini bukan hanya tentang Anies Baswedan, kok. Namanya saya sebut karena memang punya peran penting bagi saya dalam menentukan pilihan di Pemilu kemarin.
***
Ternyata setelah menjalani kuliah dan menjadi pengurus organisasi mahasiswa minat saya terhadap dunia politik justru menurun. Saya suka belajar teori-teori politik. Saya suka membaca cerita pemimpin-pemimpin besar dengan ideologi-ideologi mereka. Tapi saya jijik setiap kali hadir di acara-acara yang menghadirkan pejabat atau praktisi politik. Saya makin yakin untuk tidak menjadikan dunia politik sebagai pilihan karier setelah menyaksikan sendiri seperti apa kursi kekuasaan selevel kampus pun bisa menelan korban dan diperebutkan dengan cara yang sangat licik. Belum lagi pengelolaan anggaran dana yang membuat saya hampir ribut dengan teman, membuat saya berpikir 'kalau masih di kampus saja mereka bisa berbuat seperti ini apalagi nanti ketika mengurus negara?'
Lalu berita tentang mobil Esemka mencuat. Saya dan teman-teman di kosan pernah membicarakan berita itu dan salah satu diskusi ringan kami yang masih saya ingat adalah komentar teman saya saat itu, "Dia (Jokowi) diberitakan di mana-mana, pasti mau naik ke istana."
Saya si topi hitam yang instingnya hampir selalu benar kalau melihat wajah orang cuma nyeletuk, "manipulatif banget ya orangnya." Dan perjalanan panjang dihantui wajah Jokowi pun dimulai hari itu.
***
Awalnya saya berpikir kalau pilihan ketika Pemilu itu harus logis dan adil. Tapi setelah melihat perilaku pemilih di Indonesia selama ini dan menimbang pengalaman saya sendiri, sepertinya memang benar kalau memilih itu selalu berdasarkan kecenderungan hati. Sejak menjadi pemilih tahun 2007, saya sering sekali golput terutama pada pemilihan daerah. Di Lampung, siapapun calonnya pemenangnya sudah ditentukan oleh sang ratu. Jadi buat apa saya memilih?
Satu-satunya pemilihan umum yang saya benar-benar perhatikan hanyalah pemilihan presiden. Tahun 2009 pilihannya cukup mudah. SBY tidak punya riwayat buruk seperti kedua lawannya sehingga saya dengan mudah menentukan pilihan.
Saya sama sekali nggak menyangka kalau Jokowi akan masuk istana sebagai presiden. Dan percaya nggak percaya, hal itu sudah kami prediksi sejak dia mencalonkan diri sebagai gubernur Jakarta. Kami -saya dan teman-teman kosan-- yang saat itu menonton beritanya bereaksi macam-macam, tapi yang paling epic adalah salah satu teman saya yang kuliah di jurusan Hukum mengatakan, "seenaknya aja dia belum selesai tugasnya maju ke Jakarta, bisa-bisa nanti belum beres di Jakarta maju ke Presiden!" And guess what?! We know how the story goes 😌
Jujur, sejak pencalonan dirinya menjadi gubernur Jakarta saya langsung menutup hati pada Jokowi. Dan ketika dia benar-benar mencalonkan diri menjadi presiden, ucapan teman saya itulah yang terngiang di kepala saya. Tapi ada satu hal yang sangat mengganggu pikiran saya saat itu, adalah kemunculan Anies Baswedan di tim pemenangan Jokowi.
***
Kembali ke masa kuliah, salah satu teman saya ada yang bergabung menjadi Pengajar Muda di Indonesia Mengajar lalu meninggal. Saya sudah lupa apakah dia meninggal ketika menjalankan tugas atau ketika sudah selesai, tapi yang saya ingat Anies Baswedan hadir di pemakamannya. Dia datang ke Lampung untuk memberikan penghormatan kepada teman saya itu, Adit namanya.
Lalu ketika sedang field trip fakultas, salah satu tujuan perjalanan kami adalah ke Universitas Paramadina. Di sana kami bertemu Anies Baswedan. Iya, saya pernah ketemu Anies Baswedan. 😆 Mendengar dia bicara secara langsung, membahas tentang filsafat, pendidikan dan politik dalam kapasitasnya sebagai seorang rektor, bukan politisi.
Saya kurang ingat persis urutan 2 peristiwa itu, mana yangg lebih dulu, tapi sepertinya inilah yang membuat saya punya kesan positif kepada Anies. Mendengar ide-idenya tentang dunia pendidikan tinggi dan filsafat, rasanya memang seperti mendapat pencerahan. Membaca tulisan-tulisannya ketika masih menjadi rektor, saya benar-benar mengenalnya hanya sebagai seorang guru.
Dan melihatnya berkampanye di pemilihan presiden tahun 2014 membuat saya berpikir, 'kok bisa dia jadi timsesnya Jokowi? Aku yang bodoh aja tahu lho kalau itu orang nggak bener.' Tapi selorohan Mamak angkat saya tiba-tiba kembali teringat dan menyadarkan saya, kalau ternyata setelah sekian lama saya belajar di kampus saya tetaplah orang yang naif dan karenanya sudah tepat saya nggak memilih dunia politik untuk berkarier setelah lulus kuliah.
Anies Baswedan adalah orang baru di dunia politik. Dia tentunya sadar, menjadi terkenal hanya di kalangan akademisi tidak akan membuat dia naik daun dengan cepat. Dia butuh panggung, dan PDI-P adalah alat yang paling tepat. Persis seperti Mamak saya bilang, 'kalau mau menang harus lewat PDI-P.' Dan ketika melihat Anies Baswedan di kubu Jokowi saat itu, saya bilang ke suami, "pasti dia pengen jadi menteri pendidikan."
Kalau kamu merasa saya sok pintar dengan dugaan-dugaan yang kebetulan benar-benar terjadi, kamu salah. Bukan saya yang pintar, tapi karena sebenarnya permainan politik yang muncul di permukaan memang semudah itu dipahami kalau kita mau sedikit berpikir dan menonton berita dari berbagai macam saluran. Sehingga pikiran kita tidak diracuni oleh satu media yang dikendalikan orang tertentu. Lihat saja bagaimana Metro TV dan TV One menyajikan beritanya. Lihat bedanya antara 5 tahun yang lalu dengan sekarang.
***
Maka pemilihan umum tahun ini menjadi cukup istimewa bagi saya. Setelah dua kali memilih dengan alasan 'asal bukan Jokowi' akhirnya saya kali ini bisa memilih dengan tambahan alasan 'saya percaya Anies'. Meskipun di awal saya agak kecewa kenapa bukan Prof. Mahfud pasangannya, tapi kemudian saya segera sadar kalau mereka tidak mungkin bisa dipasangkan. Biarlah Prof. Mahfud menjadi penjaga dan penyambung mata kita di pemerintahan.
Anies Baswedan mungkin bukan orang yang baik-baik amat, karena saya hanya mengenalnya hanya lewat buku dan diskusi satu jam. Sama seperti saya mengenal Muhaimin Iskandar dan Prof. Mahfud MD. Sebagai gubernur pun, saya tidak menafikan beberapa kritikan terhadap kebijakan Anies memang valid. Tapi kalau dibanding dengan masa lalu Prabowo dan kebohongan Jokowi, ooooh tentu saja wajar kalau banyak yang memperlakukan Anies seperti penyelamat.
Mungkin Anies akan memenangkan pemilu seperti keajaiban di Jakarta. Mungkin juga akan kalah. Tapi yang jelas saya mulai optimis bahwa perbaikan negeri ini sedang berada di jalan yang benar. Kita memang melihat kurikulum pendidikan yang amburadul, tapi makin banyak lembaga pendidikan independen yang berdiri dan bebas dari kebrobrokan itu. Kalau memang Jokowi menang lagi tahun ini (karena memang majunya Gibran jadi cawapres intinya itu) berarti memang mayoritas masyarakat kita yang masih sama seperti dia. Penuh tipu daya, bermental feodal dan suka korupsi.