SLIDER

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

Sabtu, 04 Januari 2025

Saya sudah tahu buku ini sejak pertama rilis dan langsung penasaran. Tapi karena ada yang bilang kalau bagusan versi aslinya, jadi saya agak menahan diri untuk beli sampai akhirnya sempat kehilangan keinginan untuk baca. Kayak udah terlambat gitu lho, sudah lewat 4 tahun sejak bukunya rilis. Untungnya bulan Oktober kemarin saya ngide bikin bookclub ala-ala dengan beberapa murid. Waktu saya cerita sedikit sinopsis buku ini, anak-anak langsung setuju untuk baca bareng buku ini selama bulan November.

Sayangnya saya nggak bisa tepat waktu nuntasin baca bukunya. Tentu saja karena banyak kerjaan dan memang kalau baca buku bahasa Inggris saya butuh effort lebih banyak dibanding baca buku bahasa Indonesia. Eh, tergantung juga sih. Soalnya baca The Apothecary Diaries bisa sehari tamat satu jilid 😅. Saya baca buku ini pelan-pelan, diantara alasannya adalah karena tema bukunya yang lumayan berat dan awalnya saya ingin buat reading vlog untuk buku ini. Ternyata saya kehilangan mood di tengah jalan, jadi saya tulis saja reviewnya di sini. Mungkin nanti saya tetap buat video reviewnya setelah menulis ini.

Author : Zoulfa Katouh
Published : 2022
Genre : Historical Fiction, Romance, YA
Seeting : Homs, Syria, 2011s

As Long As The Lemon Trees Grow. Mengapa judulnya seperti itu? Salah seorang teman ada yang pernah bertanya kepada saya. Sejujurnya itu juga yang saya pikirkan ketika pertama kali melihat buku ini berseliweran di YouTube. Lalu setelah saya telusuri, ternyata buah lemon adalah salah satu komoditas utama di Suriah. Saya baca di sini, betapa buah lemon memiliki arti yang mendalam bagi orang Arab secara umum. Mungkin seperti buah zaitun bagi orang Palestina. Buah lemon bukan hanya melambangkan kebersamaan keluarga, tapi juga persistensi dan keteguhan harapan mereka.

Dan tema inilah yang ingin diangkat oleh Zoulfa Katouh dalam novelnya. Bercerita tentang Salama, gadis berusia 18 tahun yang seharusnya masih menjadi mahasiswa farmasi, tapi terpaksa membantu sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di daerahnya karena perang saudara yang terjadi. Salama tinggal berdua dengan kakak ipar yang juga teman baiknya, Layla yang sedang hamil 7 bulan. Kakak dan Ayahnya ditangkap oleh tentara Suriah karena 'memberontak'. Ibunya meninggal tidak lama setelah itu karena bom, dan dia juga hampir saja kehilangan Layla belum lama ini.

Salama harus mengambil pilihan yang sulit. Di satu sisi dia ingin menyelamatkan Layla dan calon keponakannya dengan mencari suaka ke Eropa, tapi di sisi lain jumlah tenaga medis makin menipis dan dia tidak bisa mengabaikan tanggung jawab itu begitu saja. Di sepanjang novel ini kita akan mengikuti pergulatan batin Salama dan bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan segala kekacauan yang terjadi di negerinya.

Bagian romantis dari novel ini dimulai setelah Kenan muncul, seorang pemuda 19 tahun yang ingin menjadi bagian dari revolusi. Kehadiran Kenan membuat Salama semakin berani menghadapi ketakutan dan traumanya sambil menumbuhkan harapan dalam hatinya.

Di As Long As The Lemon Trees Grow, kesehatan mental merupakan dasar bagi alur cerita dan karakter. Salama yang masih muda dan awalnya adalah anak bungsu dari keluarga bahagia, harus kehilangan keluarga secara mendadak dan tragis. Hal itu membuatnya trauma dan akhirnya muncullah sosok Khawf yang mungkin adalah produk dari PTSDnya. Bukan hanya Salama, karakter lain juga digambarkan mengalami trauma seperti Yusuf yang kesulitas bicara.

Kehadiran Khawf dalam novel mau tidak mau mengingatkan saya pada karakter Xiu Bai-jiu di film Wu Xia. Setiap kali Khawf muncul, caranya hadir yang mengusik Salama selalu tergambar seperti adegan di film itu. Kalau kalian belum nonton, saya rekomendasikan banget film ini😉. Jika mau dianalisis lebih jauh, sepertinya sosok seperti Khawf bisa dijadikan kajian tersendiri, apakah dia adalah simbolis dari rasa takut seperti yang disampaikan Salama? Khawf berarti 'takut' dalam bahasa Arab, btw. Pun kalau akan dikategorikan sebagai antagonis, sesungguhnya dia yang selalu membimbing Salama untuk menghadapi kehilangan yang dirasakan Salama selama perang.

Awalnya saya pikir karakter Kenan sama sekali nggak perlu ada di novel ini. Dan saya sempat mengira kehadirannya dibuat hanya untuk menarik pembaca saja. Tapi ternyata setelah membaca sampai sekitar 2/3 bagian buku, barulah saya sadar kalau Kenan memiliki peran vital dalam memulihkan kestabilan emosi Salama dan hubungan mereka memberikan harapan di tengah kehancuran kota Homs dan Suriah.

Sepanjang baca novel ini, saya selalu terbayang video-video tentang Palestina yang sering muncul di beranda sosial media. Saya bersyukur Zoulfa Katouh menulis novel ini dan akhirnya laris di pasaran, karena sejujurnya saya juga sudah mulai lupa pada konflik Suriah sejak pertama kali mendengar beritanya ketika masih kuliah dulu. Membaca novel ini di akhir tahun 2024, sepertinya jadi takdir baik karena nggak lama setelah itu terdengar kabar bahwa Bassar Al-Assad pergi meninggalkan Suriah. Saat ini rakyat Suriah sedang bersuka cita merayakan kemerdekaan mereka atas penjajahan pemimpinnya sendiri.

Meskipun beberapa kali nangis pada adegan-adegan sedih, ada beberapa hal yang membuat saya sering gemas ketika membaca novel ini. Pertama, karena terlalu fokus pada Salama, saya jadi nggak punya gambaran utuh tentang karakter-karakter pendukung lainnya. Sejujurnya saya ingin tahu, ada berapa dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit itu. Karena sepanjang novel yang disebut namanya hanya Dr Ziad dan Nour, setiap kali adegan di rumah sakit saya selalu membayangkan petugas yang berada di sana hanya mereka bertiga. Beberapa kali juga peristiwa dalam sehari diceritakan begitu cepat, sehingga saya merasa Salama yang baru saja berangkat ke rumah sakit di halaman sekian lalu sudah pulang di halaman sebelahnya.

Kedua, saya ingin kenal lebih jauh dengan karakter Am. Pencitraan yang saya terima dari sudut pandang Salama membuat Am tampak seperti sosok yang pragmatis. Tapi entah mengapa saya merasa Am nggak seperti itu. Saya ingin tahu kenapa dia seperti enggan setiap kali Salama menanyakan kabar anaknya. Apakah Am nggak kenal Layla? Apakah benar dia nggak mau meninggalkan Suriah karena bisnis yang dijalaninya itu menghasilkan uang? Apa maksudnya ketika bilang ke Salama, "Don't think about asking for forgiveness." By the way, lewat novel ini juga saya jadi punya gambaran yang jelas tentang bisnis serupa di Palestina. Kalau tidak salah, beberapa tahun lalu Narasi pernah melakukan liputan tentang bisnis ini di channel YouTube mereka.

Ada banyak Quotes yang saya tandai di buku ini, terutama yang berkaitan dengan harapan dan menemukan kebahagiaan. Salah satunya adalah ini,

You deserve to be happy. You deserve to be happy here. Because if you won't try it in Syria, then you won't try in Germany.

Adegan ini semacam pengingat bagi saya tentang alasan orang-orang di Palestina selalu tetap terlihat bahagia dan teguh pendiriannya. Bahwa semenyeramkan apapun kondisi yang mereka hadapi, harus tetap ada usaha untuk mengisi hati agar tetap bersyukur dan menikmati kehidupan yang sementara. Karena pada akhirnya, kematian akan menjemput semua orang. Bagi mereka di Suriah, jika tidak mati karena perang, mungkin mati karena kelaparan.

Meskipun dikategorikan sebagai YA, novel in melampaui batasan usia. Menyentuh hati dan pikiran pembaca dari segala usia. Novel ini bisa menjadi pengingat bahwa tema-tema tentang ketangguhan, harapan dan kegigihan meraih masa depan yang lebih baik adalah nilai-nilai yang dimiliki semua orang tidak peduli dimanapun mereka berada dan dalam kondisi apapun kehidupan mereka. Wajar saja kalau buku ini banyak direkomendasikan, karena memang mampu menyentuh dan menumbuhkan pemahaman serta empati bagi banyak orang yang terkena dampak perang. Karena buku ini, banyak orang di dunia mengenal Suriah dan memahami keganasan yang terjadi di sana. Karena buku ini, saya jadi teringat kembali kepada Suriah dan mendokannya.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.