Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 3)
Jumat, 31 Januari 2025
"Tidaklah seseorang itu menjadi orang yang bertakwa, hingga dia benar-benar lebih mengoreksi dirinya sendiri dibandingkan mengoreksi temannya. Dan hingga dia mengetahui dengan pasti dari manakah dia mendapatkan pakaiannya, makanannya dan juga minumannya?"
Nasihat pertama yang disampaikan pada bagian ini adalah ajakan untuk muhasabah. Mengoreksi diri sendiri secara jujur dan tidak mencari-cari alasan yang berujung melegalkan perbuatan salah diri sendiri. Bagi saya, nasihat ini sangat penting untuk penuntut ilmu terutama orang-orang yang sedang berhijrah. Seringkali ketika mendengar nasihat, yang kita lihat justru orang lain. Bukan diri sendiri.
Saya kemudian mencari-cari artikel yang menjelaskan tentang self-reflection dan menemukan salah satu artikel dari Harvard Business Review. Dalam artikel itu dijelaskan bahwa refleksi diri merupakan salah satu proses belajar, melihat kembali ke masa lalu (tanpa prasangka atau penyesalan) untuk merenungkan perilaku kita dan konsekuensinya. Hal ini membutuhkan duduk bersama diri sendiri, mengambil waktu sejenak untuk memikirkan apa yang terjadi, apa yang berhasil, apa yang tidak, apa yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak. Refleksi membutuhkan keberanian. Hal ini membutuhkan perhatian dan kesengajaan.
Being at the “top of your game” only comes when you extract from your past how to engage the future.
Di dalam buku ini sendiri pun disebutkan bagaimana cara melakukan releksi diri yang bertujuan mengoreksi, yaitu;
Pertama, berdoa dengan sungguh-sungguh
Kedua, senantiasa bersemangat mencari waktu untuk mengoreksi diri
Ketiga, menerima nasihat dari orang lain, jika orang yang menasihatinya itu benar
Keempat, meminta nasihat dari orang yang berilmu dan orang shalih.
Kemudian di bab berikutnya tentang adab penuntut ilmu di masjid, saya merangkum 5 hal;
- Bersegera menuju ke masjid dan bersemangat dalam hal ini bagi penuntut ilmu memiliki pengaruh yang kuat kepada para jama'ah yang shalat bersamanya, karena sesungguhnya pengaruh perbuatan lebih kuat daripada pengaruh perkataan
- Menyampaikan ilmu semampunya kepada para jama'ah
- Membacakan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang terjadi ketika permasalahan itu terjadi
- Mengadakan majelis-majelis pengajaran Al-Quran
- Mengundang para syaikh dan penuntut ilmu untuk turut serta menyebarkan ilmu.
Dalam bergaul dengan jama'ah di masjid, hendaknya kita bersikap pertengahan terutama jika berperan sebagai imam. Hendaknya seorang imam menghindari sikap berlebihan dan meremehkan sikap syar'i yang seharusnya dilakukan yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip syari'at.
Sementara ketika di rumah, seorang penuntut ilmu harus sangat memperhatikan keluarganya terutama anak-anaknya. Memberika teladan dengan beribadah di hadapan anak-anaknya agar hal tersebut tertanam kuat di dalam benak mereka. Beberapa yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya adalah; Iman, Islam, Al-Quran, ihsan; tata cara mandi, tata cara wudhu, tata cara tayammum, tata cara shalat, hal-hal wajib dan sunnah-sunnah utama lainnya.
'Segeralah mengajari anak-anak kalian sebelum dia disibukkan dengan berbagai kesibukan, sehingga benaknya menjadi terpecah belah.' (al-Mawardi)
Highlight: Membaca/mempelajari tentang pendidikan anak
Kita juga dilarang untuk begadang karena banyaknya keburukan yang bisa timbul karenanya. Diantaranya;
![]() |
Photo by nine koepfer on Unsplash |
- Begadang termasuk hal yang mendatangkan bencana secara umum
- Dosa yang bertingkat-tingkat bila begadang dilakukan untuk suatu hal yang tidak bermanfaat bagi pelakunya
- Banyak yang terlewatkan lantaran begadang; dari melalaikan kewajiban atau mengakhirkannya
- Berat untuk melaksanakan shalat witir; karena lelah yang menghinggapi
- Bahwa waktu begadang malam adalah sebagian dari waktu yang akan ditanyakan tentangnya di hari kiamat.
Beberapa waktu lalu Saya membaca sebuah jurnal tentang dampak begadang terhadap kesehatan. Akhirnya saya menemukan dari mana referensi yang menyebutkan bahwa kurang tidur bukan hanya membuat badan lemas, tapi juga mengacaukan sistem metabolisme. Menurut National Sleep Foundation, orang dewasa idealnya tidur 7-9 jam per malam, dan jika kurang dari itu, tubuh akan mengalami ketidakseimbangan hormon, terutama hormon ghrelin dan leptin yang mengatur rasa lapar.
Selain itu, begadang juga berdampak pada kemampuan otak dalam berpikir. Saya ingat sebuah penelitian dari University of Pennsylvania yang menunjukkan bahwa kurang tidur selama beberapa malam berturut-turut menurunkan fungsi kognitif seperti konsentrasi, memori, dan kemampuan membuat keputusan.
Yang menarik adalah, disebutkan dalam buku bahwa Ibnu Hibban berkata, "Telah disebutkan riwayat kedua yang menunjukkan bahwa larangan begadang malam selepas akhir waktu Isya, tidak termasuk di dalamnya begadang dalam hal mendapatkan ilmu." (hlm. 135)
Dalam dunia pendidikan, banyak nasihat menekankan pentingnya tidur cukup dan menghindari belajar hingga larut malam. Namun, di balik peringatan tersebut, ada sisi lain yang sering luput dari perhatian: belajar di malam hari, dalam kondisi yang tepat, justru bisa memberikan manfaat signifikan bagi sebagian orang.
Salah satu alasan utamanya adalah terkait dengan chronotype, yaitu kecenderungan alami tubuh seseorang dalam mengatur waktu tidur dan bangun. Penelitian oleh Preckel et al. (2011) menunjukkan bahwa individu dengan evening chronotype—atau yang sering disebut “tipe burung hantu”—memiliki performa kognitif yang lebih baik di sore hingga malam hari. Bagi mereka, malam hari menjadi waktu di mana otak berada dalam kondisi paling aktif dan siap menerima informasi baru.
Selain itu, malam hari menawarkan suasana yang lebih kondusif untuk belajar. Minimnya distraksi dari lingkungan sosial, lalu lintas, dan notifikasi digital, menciptakan ruang yang ideal untuk mencapai konsentrasi mendalam. Hal ini penting, terutama dalam proses belajar yang menuntut pemahaman konsep sulit atau analisis yang mendalam.
Menariknya, suasana malam juga disebut-sebut dapat meningkatkan kreativitas. Sebuah studi oleh Wieth dan Zacks (2011) menunjukkan bahwa ketika seseorang belajar atau menyelesaikan masalah di luar jam produktif biasanya, otak lebih mudah berpikir secara divergen, sehingga ide-ide kreatif lebih sering muncul.
Fakta dan penelitian di atas menunjukkan bahwa dalil-dalil dan tradisi ulama Islam dalam mengatur jadwal dalam kesehariannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan maupun pendidikan. Persis seperti yang dikutip dari Sulaiman At-Tamimi, "Sesungguhnya mata jika engkau latih untuk tidur, maka ia akan terbiasa dengan tidur. Begitu pula jika engkau biasakan untuk begadang, maka ia akan terbiasa begadang." (hlm. 140)
Penuntut Ilmu bersama Para Muridnya
Bergaul dengan seseorang dalam waktu yang singkat saja dapat memberi pengaruh yang jelas, lantas bagaimana halnya dengan kebersamaan yang berkesinambungan, baik pada saat bepergian maupun berdiam diri?! Diantara perkara-perkara yang paling bermanfaat yang bisa dilakukan seorang ahli ilmu kepada murid-muridnya adalah:
- Membuat kesepakatan waktu dengan mereka untuk menyampaikan nasihat dan pengarahan
- Meluruskan kebengkokan mereka, semuanya sesuai dengan kekurangan mereka
- Tidak ikut campur tentang keadaan dan urusan mereka jika memang mampu, meski sekadar menanyakan tentang sebagian mereka kepada sebagian yang lain
- Berkunjung ke rumah mereka; karena hal ini memberi dampak yang besar dalam hal menguatkan ikatan dan cinta
- Menjauhi perkara-perkara yang dapat merendahkan dan menurunkan wibawanya, seperti banyak bercanda dan berlebihan dalam hal itu
- Memenuhi undangan mereka sesuai kemampuannya
- Bersemangat untuk menjenguk mereka yang sedang sakit; karena dalam hal tersebut terdapat sesuatu yang agung dari pengaruh perasaan dan makna
- Dan yang terpenting dari hal itu adalah, kecintaannya dalam mencari ilmu dan berkesinambungan terhadapnya, dengan membaca, menulis, mendengar, dan hadir secara langsung.
Seorang guru bukan hanya pengajar, tetapi juga figur yang menjadi model perilaku bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, sikap seorang guru sangat menentukan bagaimana proses belajar akan berjalan. Dalam teori perilaku, khususnya Social Learning Theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1977), dijelaskan bahwa manusia belajar bukan hanya melalui instruksi verbal, melainkan juga melalui pengamatan dan peniruan terhadap perilaku orang lain — terutama figur otoritatif seperti guru.
Guru yang baik tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga menunjukkan keteladanan dalam bersikap; mulai dari konsistensi ucapan dan tindakan, kesabaran dalam menghadapi murid, hingga kemampuan menegakkan aturan secara adil dan tegas. Ketika seorang guru memiliki wibawa, murid cenderung lebih mudah menghormati aturan, merasa aman, dan lebih fokus dalam proses belajar.
Sebaliknya, apabila seorang guru tidak mampu menjaga wibawanya, kelas bisa menjadi lingkungan yang tidak kondusif. Hilangnya wibawa dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar murid, meningkatnya perilaku indisipliner, dan berkurangnya rasa hormat terhadap guru. Menurut penelitian Marzano dan Marzano (2003) dalam The Key to Classroom Management, kepemimpinan guru yang lemah seringkali memicu ketidakstabilan emosional dalam kelas dan memperburuk iklim belajar.
Penuntut Ilmu di tengah Masyarakatnya
Seorang ahli ilmu sepatutnya menumbuhkan prasangka baik dalam memandang orang lain dan peristiwa di sekitarnya. Sikap ini akan mendorong ketenangan dalam mengambil keputusan serta mencegahnya dari prasangka yang keliru yang bisa merusak hubungan sosial. Dengan prasangka baik, ia juga akan lebih mudah memberikan pertolongan kepada siapa saja, tanpa dibatasi prasangka atau pertimbangan-pertimbangan pribadi yang sempit.
"Tidaklah ada dari amalan tentang sesuatu yang paling kuat di sisiku dari dua hal; aku tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku, dan hatiku selamat terhadap orang muslim." Zaid bin Aslam
Janji adalah bagian dari integritas seorang yang berilmu. Sebab kepercayaan masyarakat dibangun dari konsistensi dalam ucapan dan perbuatan. Jika seorang ahli ilmu mudah mengingkari janji, maka runtuhlah wibawa ilmunya di mata banyak orang.
Perangainya pun seyogyanya mencerminkan kelembutan dan ketenangan. Lembah lembut dalam berbicara dan bertindak, tidak terburu-buru dalam menilai, apalagi dalam menghukum. Ia selalu berusaha menjauhkan diri dari perangai buruk seperti kesombongan, merendahkan orang lain, atau merasa diri paling benar.
Ahli ilmu sejati justru merendah meskipun kedudukannya tinggi. Ia paham, ilmu adalah milik Allah, dan manusia hanyalah perantara. Sikap ini akan tampak pula dalam caranya berinteraksi: wajahnya berseri-seri, ramah, dan menyenangkan, sehingga orang tidak merasa terintimidasi mendekatinya. Ia berbicara dengan jelas, tidak berbelit, dan tidak menyulitkan dengan istilah-istilah akademik yang asing bagi orang awam, sebab ilmu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dimudahkan sampai ke hati manusia.
"Tawadhu adalah luluhnya hati karena Allah dan merendahkan perangai serta mencurahkan kasih sayang kepada makhluk, sehingga ia tidak melihat keutamaan pada dirinya atas orang lain dan tidak melihat ada hak baginya disisi orang lain, bahkan hak itu untuknya." Ibnul Qayyim
Ia pun bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga menjadi pendengar yang baik. Dengan mendengarkan, ia memahami kebutuhan dan kegelisahan masyarakat, sehingga ilmu yang ia sampaikan tepat sasaran, memberi solusi, bukan sekadar teori.
Said az-Zubaidi berkata, "Yang membuatku tidak senang terhadap sebagian qari`, bahwa di antara mereka ada yang humoris ketika bersama orang-orang, sementara ketika bersamaku ia tampakkan wajah masam, seakan ia mengharap aku menyembahnya! Semoga Allah tidak memperbanyak para qari` yang seperti itu."
Yang tak kalah penting, seorang ahli ilmu wajib mengajarkan pengetahuannya kepada yang lain. Ilmu yang tidak diajarkan ibarat air yang tertahan di wadah: lama-lama ia menggenang dan keruh. Sebaliknya, ilmu yang diajarkan akan terus mengalir, membersihkan, dan menumbuhkan manfaat di mana-mana.
"Dahulu apabila aku mendengar Abu Amr bin Al-Ala` berbicara, aku menyangka ia seorang yang tidak mengetahui apa pun, ia berbicara dengan perkataan yang mudah." Al-Ashma'i.
Di atas semua itu, ia juga perlu menjaga kearifan lokal dan adat kebiasaan masyarakat selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan nilai kebenaran. Menghormati tradisi yang baik adalah bagian dari menjaga jati diri masyarakat, dan ilmu tidak seharusnya datang merusak akar budaya yang telah tertanam rapi, melainkan memperkuatnya dengan pemahaman yang lebih dalam.