SLIDER

What I'm reading
Tampilkan postingan dengan label What I'm reading. Tampilkan semua postingan

Wasiat untuk para Penuntut Ilmu

Sabtu, 19 April 2025

Telah menjadi keharusan atas kita semua, untuk mengulang kembali apa yang telah kita dengar, dan saling mengingatkan satu sama lain atas apa yang telah kita hafal dan kita baca. 

Photo by Corina Rainer on Unsplash

Seorang penuntut ilmu memiliki ciri khas, akhlak, mampu menorehkan bekas terhadap dirinya dan orang lain. Tidak ada kebaikan pada seorang penuntut ilmu yang tidak menampakkan akhlak, kehormatan, wibawa seorang ahli ilmu.

  1. Niat yang ikhlas karena Allah dalam mencari dan mendapatkan ilmu
  2. Membaca kitab-kitab yang ada kaitannya dengan ilmu pengetahuan, menuntut ilmu, dan adab-adab penuntut ilmu. Jika ia membaca sejarah para penuntut ilmu dari kalangan salaf, maka ia akan mengetahui kemampuan dirinya dan mengetahui bahwa ia belum mencapai apa pun dibanding dengan apa yang mereka capai.
  3. Mendahulukan yang lebih utama dalam mencari ilmu
  4. Peringatan dari tindakan merasa lebih berilmu. Ini adalah tempat masuk setan yang tersembunyi atas kebanyakan orang; dimana seorang penuntut ilmu bila ia sedang bersama dengan orang yang lebih sedikit ilmu darinya.
  5. Memuji Allah Ta'ala ketika menyebut namaNya
  6. Mengucapkan shalawat dan salam atas nabi ﷺ ketika menyebut namanya
  7. Mengucapkan radhiyallahu 'anhu terhadap para sahabat radhiyallahu 'anhum ketika menyebut nama mereka
  8. Mengucapkan rahimahullah pada penyebutan ulama
  9. Tidak menyandarkan perkataan kepada referensi kecuali jika ia membaca informasi tentangnya
  10. Tidak menisbatkan hadits kepada selain ash-shahihain jika itu terdapat pada keduanya atau salah satunya
  11. Memastikan dalam melakukan penukilan
  12. Menyandarkan faedah kepada pemiliknya
  13. Tidak merendahkan faedah ilmu meskipun sedikit
  14. Peringatan dari menyembunyikan faedah ilmu, dan dari usaha untuk berlaku mementingkan diri sendiri daripada orang lain terkait faedah ilmu
  15. Peringatan dari mengambil syahid (dalil penguat) dengan hadits lemah dan palsu
  16. Tidak melemahkan suatu hadits kecuali setelah melakukan pembahasan dan bertanya
  17. Tidak menganggap remeh permasalahan yang ditanyakan kepadanya
  18. Membawa catatan kecil untuk menulis setiap faedah dan permasalahan
  19. Berusaha menyesuaikan pembicaraan pada setiap momen, atau pada setiap kejadian yang terjadi, atau pada setiap musim sebelum musim tersebut tiba
  20. Peringatan dari terlalu sibuk dengan hal-hal yang mubah
  21. Menjauhkan diri dari kesibukan terhadap sesuatu yang tidak utama, dan meninggalkan sesuatu yang utama
  22. Mengunjungi beberapa perpustakaan dan menelaah kitab-kitab yang ada
  23. Mengontrol perpustakaan pribadi
  24. Menghindari generalisasi istilah yang serupa dalam lafadz; ini biasanya dilakukan dalam penulisan kitab
  25. Semangat untuk membaca kitab-kitab yang menjelaskan tentang istilah-istilah yang digunakan para penulis, atau yang menerangkan tentang metode kitab, atau juga pembahasan kitab
  26. Tidak terburu-buru dalam memahami suatu perkataan
  27. Memperbanyak membaca kitab-kitab fatwa
  28. Tidak terburu-buru dalam menafikan keumuman
  29. Jika engkau menyampaikan hadits secara makna, maka jelaskanlah hal itu
  30. Menjauhi penggunaan lafadz-lafadz yang menunjukkan pengagungan dan kebesaran untuk memuji diri sendiri
  31. Menerima masukan dan nasihat dengan lapang dada
  32. Ketidakacuhan terhadap sedikitnya orang yang mengambil manfaat
  33. Peringatan dari menghabiskan waktu dalam mencari beberapa perkara yang tidak ada manfaat darinya
  34. Tidak sibuk dengan faedah-faedah lain di tengah pengkajian terhadap suatu permasalahan
  35. Tidak tercerai-berai di tengah bacaan
  36. Tidak berbelit dalam memilih lafadz
  37. Peringatan terhadap perkataan tanpa ilmu, dan merasa berat untuk meninggalkan pertanyaan tanpa jawaban
  38. Tidak terpengaruh dengan hinaan yang sifatnya pribadi bila agamamu selamat
  39. Tidak putus asa dan kecil hati dalam menuntut ilmu, dan waspada terhadap patah semangat. Seandainya engkau tidak memperoleh ilmu pada hari ini, maka kerahkanlah kesungguhanmu untuk hari kedua, ketiga, keempat, setahun dan dua tahun. Engkau telah mengetahui bahwa penguasaan menurut para ahli hadits terbagi menjadi dua:
  • Penguasaan hati (kuatnya hafalan)
  • Penguasaan kitab
Setiap kita menulis dan membaca, namun jika tidak diulangi terus-menerus, maka sedikit demi sedikit akan terlupakan. Bersemangatlah engkau dalam memanfaatkan setiap detik dari waktumu, boleh jadi Allah ﷻ akan memberi manfaat pada negerimu melalui dirimu, bahkan bisa jadi kepada kaum muslimin seluruhnya.

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 5)

Jumat, 18 April 2025

Pada bagian kelima ini saya langsung termenung membaca halaman pertama. Betapa menjadi penuntut ilmu itu adalah sebuah privilege bagi seorang muslim. Penulis menyampaikan,

penuntut ilmu memiliki ciri khas dari yang lainnya terhadap apa yang Allah berikan berupa kemuliaan dari penyandaran kepada golongan yang diberkahi tersebut (yakni ahli ilmu)

Sebagaimana ahli Al-Qur'an, seorang ahli ilmu disandari sesuatu yang merupakan milik Allah semata. Maka kemuliaan itu pun melekat kepadanya karena kemuliaan ilmu itu. Dengan kemuliaan itu, wajib bagi seorang ahli ilmu untuk menjaganya dengan kesungguhan. Salah satunya adalah dengan menjaga shalat malam. Penulis memberi gambaran para salafus shalih yang melakukan shalat malam sesuai dengan kadar kemampuan masing-masing.

Dalil-dalil tentang keutamaan shalat malam sudah sering saya baca. Nasihat-nasihatnya juga sudah sering saya dengar. Tapi sampai sekarang shalat malam masih belum jadi kebiasaan. Alasannya jelas karena belum saya jadikan prioritas.

Photo by Ava W. Burton on Unsplash

Ibnu Mas'ud berkata, "Sepatutnya bagi pengemban Al-Qur'an untuk dikenali dengan malamnya ketika manusia lelap tertidur, dengan siang harinya di saat manusia sedang makan, dengan sikap wara'nya ketika manusia tidak peduli dengan halal dan haram, dengan kerendahan hatinya ketika manusia sombong, dengan kesedihannya ketika manusia berbahagia, dengan tangisannya ketika manusia tertawa, dan dengan diamnya ketika manusia banyak bicara,"

Penuntut Ilmu dan Berbakti Kepada Orang Tua

Ibu dari Imam Abu Hanifah telah bersumpah, lalu ia melanggarnya. Sang ibu lantas meminta fatwankepada Abu Hanifah, maka Abu Hanifah pun memberikan fatwa kepadanya, namun ibunya tidak terima (dengan fatwanya Abu Hanifah). Ibunya berkata, "Aku tidak terima kecuali dengan apa yang dikatakan oleh Zur'ah Al-Qash!" Maka Abu Hanifah pun pergi bersama ibunya menemui Zur'ah, lalu Zur'ah berkata, "Apakah engkau meminta fatwa kepadaku padahal bersamamu ada seorang yang paling berilmu di Kufah?" Maka Abu Hanifah berkata, "Fatwakanlah dengan begini dan begini." Maka ia (Zur'ah) pun memfatwakan hal itu kepadanya, lantas sang ibu pun menerima.

Kisah-kisah semacam ini, yang menunjukkan sisi kemanusiaan para ahli ilmu adalah penghibur bagi saya. Yang mengingatkan bahwa mereka juga manusia biasa, yang kelakuannya bisa random juga kadang-kadang. Dan ternyata ibunya Imam Abu Hanifah pun sama seperti ibu-ibu kebanyakan, yang sering meragukan kemampuan anaknya sendiri dan malah membandingkannya dengan anak tetangga. 😂

Penuntut Ilmu Ketika dalam Perdebatan Ilmiah

Beberapa adab yang selayaknya bagi seorang penuntut ilmu untuk beradab dengannya, ketika ia berada dalam sebuah diskusi:

  1. Hendaknya yang menjadi tujuan dalam diskusi adalah untuk mencari ridha Allah swt, dalam rangka menampakkan kebenaran
  2. Hendaknya seseorang yang berdiskusi mengetahui dan memahami dengan benar tentang permasalahan yang didiskusikannya
  3. Menampakka perasaan cinta dan persaudaraan, sebelum perdebatan, di tengah-tengah perdebatan, dan di akhir perdebatan
  4. Menahan diri dan tidak emosi
  5. Bersegera kembali kepada kebenaran ketika kebenaran itu nampak bersama pemiliknya
  6. Tidak ingin dikenal ketika ia mengalahkan lawannya dalam majelis diskusi
  7. Berterimakasih kepada saudaramu tatkala nampak benarnya hujjahmu atasnya, dan memujinya atas ketersediaannya kembali kepada kebenaran
  8. Menutup pintu diskusi, jika engkau melihat adanya pembangkangan dari lawan diskusimu

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 4)

Selasa, 08 April 2025

Photo by Yazid N on Unsplash

Penuntut Ilmu dan Kitab

Kecintaan seorang penuntut ilmu dalam kepemilikan terhadap kitab-kitab adalah perkara yang tidak dapat dibantah. Sedangkan kondisi para penuntut ilmu terkait kecintaan dan kesukaannya memiliki kitab-kitab dan rujukan-rujukan, ada yang berlebihan dan ada yang kurang antusias. Dalam memilih kitab-kitab yang hendak ditelaah, hendaknya memerhatikan hal-hal berikut ini:

  1. Meminta petuah dari sebagian guru atau para penuntut ilmu yang mumpuni sebelum menelaah kitab yang hendak dibeli
  2. Jika kitab yang hendak dibeli tersebut adalah kitab syarah dari sebuah kitab, maka hendaknya dipastikan apakah ada syarah lain dari kitab tersebut? Jika ada, maka hendaknya ia memastikan manakah di antara syarah tersebut yang paling lengkap dan memiliki kandungan ilmu yang banyak?
  3. Jika dihadapkan pada pilihan terhadap syarah tertentu dari kitab tertentu, maka yang lebih utama adalah memastikan dari penerbit mana syarah tersebut dikeluarkan? Jika syarah tersebut dikeluarkan oleh lebih dari satu penerbitan, maka hendaknya berusaha untuk menanyakan tentang penerbit mana yang terbaik?
  4. Jika kitab yang hendak dibeli telah ditahqiq, maka hendaknya ia berusaha untuk mendapatkan tahqiq yang terbaik
  5. Jika kitab tersebut terdiri dari beberapa juz, maka hendaknya ia memerhatikan nomor juz yang tertera di sampul luar kitab dan memastikan nomor tersebut
  6. Berusaha memeriksa dengan cepat lembaran-lembaran kitab, khawatir terdapat lembaran yang cacat
  7. Berusaha memerhatikan jilid demi jilid dan bentuk tulisan yang jelas. Adz-Dzahabi berkata, "Di antara perkara yang paling disukai oleh para ahli hadits adalah menghasilkan naskah yang jelas."
  8. Apabila kitab tersebut besar, maka jika mampu hendaknya memeriksa daftar isi; karena dalam hal tersebut terdapat kebaikan yang banyak, dengannya dapat diketahui kandungan kitab secara umum
  9. Tidak meremehkan kitab dengan melemparnya, atau mendudukinya, atau hal yang serupa dengan itu. Nu'aim bin Na'im berkata, "Tatkala Imam Ahmad ditanya, "Apakah seseorang boleh menaruh kitab-kitab di bawah kepalanya?" Ia balik bertanya, "Kitab apa yang kamu maksud?" Penanya berkata, "Kitab-kitab hadits." Maka Imam Ahmad menjawab, "Jika itu dilakukan karena seseorang khawatir kitabnya akan dicuri, maka tidak mengapa. Namun jika ia menjadikannya sebagai bantal saja, maka itu tidak diperkenankan."
  10. Menghubungi perpustakaan dan penyalur kitab via telepon untuk menanyakan keberadaan kitab dan mengetahui keberagaman harga. Dengan demikian, ada dua keuntungan bagi Anda; yakni menjaga sebagian waktu, dan juga harta Anda.
  11. Diantara perkara yang hendaknya penuntut ilmu berhati-hati dengannya adalah, janganlah sampai tujuan dan maksud satu-satunya dari membeli kitab-kitab tersebut hanya untuk memperbanyak dan memenuhi laci lemari rumahnya, agar dapat dilihat oleh orang-orang yang datang. Sungguh ini merupakan ketergelinciran yang sangat berbahaya dan buruk

Kecintaan para ulama dan ahli ilmu telah banyak kita ketahui dan salah satu yang menarik bagi saya adalah kisah tentang al-Hasan bin Ahmad yang memimpikan sebuah kota penuh dengan buku, dan dia disibukkan dengan buku-buku itu di kota tersebut. Membaca kisah ini saya pun makin meyakini bahwa kita benar-benar bisa memiliki kebahagiaan versikita sendiri di surga nanti. Sebagaimana petani yang memiliki tanah pertaniannya sendiri nanti di surga, saya pun memimpikan buku-buku yang belum sempat saya baca di dunia ini agar bisa saya tuntaskan di akhirat nanti. Ketika saya punya semua waktu yang dibutuhkan untuk membaca buku, saya tidak akan pernah kehabisan bahan bacaan dan sibuk hanya dengan buku-buku saya. Jika ini tidak bisa membuat para pencinta buku bersemangat mengejar surga, entah apa lagi yang bisa?

Begitu berharganya buku dan kitab bagi ahli ilmu, di dalam buku disebutkan tata cara dan adab-adabnya dalam meminjam buku. Saya tidak memiliki catatan khusus pada bab ini karena sudah sejak lama memutuskan untuk tidak berurusan dengan orang lain perihal buku. Sudah terlalu sering saya tidak berhasil meminjamkan atau meminjam buku. Ya, saya juga sangat sulit mengembalikan buku. Bukan karena tidak ingin mengembalikan, tapi karena saya jarang sekali meninggalkan rumah. Mengembalikan buku itu berarti harus bertemu pemiliknya dan itu bukan sesuatu yang biasa saya lakukan. Jadi, saya mencukupkan diri dengan koleksi buku pribadi. Terima kasih. ☮

Hafalan Al-Quran

Menghapal Al-Qur'an bagi penuntut ilmu merupakan perkara mendasar yang mana setiap penuntut ilmu harus memulai darinya. Meskipun menghapal Al-Qur'an bukanlah perkara yang wajib bagi penuntut ilmu, namun menghapalkan Al-Qur'an merupakan kunci bagi metode menghapal dan pemahaman.

Beberapa orang akan mengelak dan mengatakan bahwa hapalan dan daya ingatnya lemah, padahal jiwa jika tiap kali dibiasakan, lambat laun akan terbiasa. Beberapa langkah yang dapat membantu dalam menghapal Al-Qur'an adalah:

  1. Ikhlas karena Allah
  2. Membaca tafsir ayat-ayat yang hendak dihapalkan
  3. Membaca ayat-ayat yang telah dihapal pada shalat malam
  4. Mengulang pembacaannya di luar shalat
  5. Menghapalkan dengan metode talaqqi
  6. Menghapal dengan menggunakan satu nuskhah

Salah satu tips yang diberikan untuk mengulang hapalan adalah dengan menyediakan kurang lebih satu jam setiap hari, yaitu pada waktu di antara azan dan iqamah. Jika seorang penuntut ilmu berusaha dengan bersungguh-sungguh untuk datang ke masjid lebih awal, bersamaan dengan azan atau beberapa saat sebelumnya, maka ia memperoleh banyak waktu sebelum shalat jama'ah dimulai.

Lisan Seorang Penuntut Ilmu

Dua bab terakhir pada bagian ini berkaitan dengan akhlak penuntut ilmu terkait dengan apa yang dikatakannya. Ketahuilah bahwa perkataan 'aku tidak tahu' dari seorang yang ditanya, itu tidaklah merendahkan kedudukannya. Imam Al-Ghazali berkata, "Sekiranya orang yang tidak mengetahui itu diam saja, tentu perselisihan akan lebih sedikit terjadi. Barangsiapa yang pendek akalnya, dan sempit pandangannya dari perkataan ulama umat ini serta pengkajiannya, maka apa perlunya dia berbicara tentang sesuatu yang tidak diketahuinya? Dan ikut campur ke dalam sesuatu yang tidak bermanfaat baginya? Yang benar dalam hal ini hendaknya ia diam."

Dan diantara permasalahan lisan penuntut ilmu adalah desas-desus. Seorang penuntut ilmu hendaknya menahan diri agar tidak menjadi seperti orang-orang yang suka mengorek berita. Iyas bin Muawiyah mewasiatkan kepada Sufyan bin Hasan, ia berkata, "Camkanlah apa yang aku katakan kepadamu, 'Hendaklah engkau menjauhi desas-desus dalam pembicaraan; karena tidak sedikit orang yang mnembawa desas-desus itu melainkan ia mendapat kehinaan pada dirinya dan didustai perkataannya."

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 3)

Jumat, 31 Januari 2025

"Tidaklah seseorang itu menjadi orang yang bertakwa, hingga dia benar-benar lebih mengoreksi dirinya sendiri dibandingkan mengoreksi temannya. Dan hingga dia mengetahui dengan pasti dari manakah dia mendapatkan pakaiannya, makanannya dan juga minumannya?"

Nasihat pertama yang disampaikan pada bagian ini adalah ajakan untuk muhasabah. Mengoreksi diri sendiri secara jujur dan tidak mencari-cari alasan yang berujung melegalkan perbuatan salah diri sendiri. Bagi saya, nasihat ini sangat penting untuk penuntut ilmu terutama orang-orang yang sedang berhijrah. Seringkali ketika mendengar nasihat, yang kita lihat justru orang lain. Bukan diri sendiri.

Saya kemudian mencari-cari artikel yang menjelaskan tentang self-reflection dan menemukan salah satu artikel dari Harvard Business Review. Dalam artikel itu dijelaskan bahwa refleksi diri merupakan salah satu proses belajar, melihat kembali ke masa lalu (tanpa prasangka atau penyesalan) untuk merenungkan perilaku kita dan konsekuensinya. Hal ini membutuhkan duduk bersama diri sendiri, mengambil waktu sejenak untuk memikirkan apa yang terjadi, apa yang berhasil, apa yang tidak, apa yang bisa dilakukan, dan apa yang tidak. Refleksi membutuhkan keberanian. Hal ini membutuhkan perhatian dan kesengajaan.

Being at the “top of your game” only comes when you extract from your past how to engage the future.

Di dalam buku ini sendiri pun disebutkan bagaimana cara melakukan releksi diri yang bertujuan mengoreksi, yaitu;

Pertama, berdoa dengan sungguh-sungguh

Kedua, senantiasa bersemangat mencari waktu untuk mengoreksi diri

Ketiga, menerima nasihat dari orang lain, jika orang yang menasihatinya itu benar

Keempat, meminta nasihat dari orang yang berilmu dan orang shalih.

Kemudian di bab berikutnya tentang adab penuntut ilmu di masjid, saya merangkum 5 hal;

  1. Bersegera menuju ke masjid dan bersemangat dalam hal ini bagi penuntut ilmu memiliki pengaruh yang kuat kepada para jama'ah yang shalat bersamanya, karena sesungguhnya pengaruh perbuatan lebih kuat daripada pengaruh perkataan
  2. Menyampaikan ilmu semampunya kepada para jama'ah
  3. Membacakan jawaban dari permasalahan-permasalahan yang terjadi ketika permasalahan itu terjadi
  4. Mengadakan majelis-majelis pengajaran Al-Quran
  5. Mengundang para syaikh dan penuntut ilmu untuk turut serta menyebarkan ilmu.

Dalam bergaul dengan jama'ah di masjid, hendaknya kita bersikap pertengahan terutama jika berperan sebagai imam. Hendaknya seorang imam menghindari sikap berlebihan dan meremehkan sikap syar'i yang seharusnya dilakukan yaitu sesuai dengan prinsip-prinsip syari'at.

Sementara ketika di rumah, seorang penuntut ilmu harus sangat memperhatikan keluarganya terutama anak-anaknya. Memberika teladan dengan beribadah di hadapan anak-anaknya agar hal tersebut tertanam kuat di dalam benak mereka. Beberapa yang harus diajarkan orang tua kepada anaknya adalah; Iman, Islam, Al-Quran, ihsan; tata cara mandi, tata cara wudhu, tata cara tayammum, tata cara shalat, hal-hal wajib dan sunnah-sunnah utama lainnya.

'Segeralah mengajari anak-anak kalian sebelum dia disibukkan dengan berbagai kesibukan, sehingga benaknya menjadi terpecah belah.' (al-Mawardi)

Highlight: Membaca/mempelajari tentang pendidikan anak

Kita juga dilarang untuk begadang karena banyaknya keburukan yang bisa timbul karenanya. Diantaranya;

Photo by nine koepfer on Unsplash

  • Begadang termasuk hal yang mendatangkan bencana secara umum
  • Dosa yang bertingkat-tingkat bila begadang dilakukan untuk suatu hal yang tidak bermanfaat bagi pelakunya
  • Banyak yang terlewatkan lantaran begadang; dari melalaikan kewajiban atau mengakhirkannya
  • Berat untuk melaksanakan shalat witir; karena lelah yang menghinggapi
  • Bahwa waktu begadang malam adalah sebagian dari waktu yang akan ditanyakan tentangnya di hari kiamat.

Beberapa waktu lalu Saya membaca sebuah jurnal tentang dampak begadang terhadap kesehatan. Akhirnya saya menemukan dari mana referensi yang menyebutkan bahwa kurang tidur bukan hanya membuat badan lemas, tapi juga mengacaukan sistem metabolisme. Menurut National Sleep Foundation, orang dewasa idealnya tidur 7-9 jam per malam, dan jika kurang dari itu, tubuh akan mengalami ketidakseimbangan hormon, terutama hormon ghrelin dan leptin yang mengatur rasa lapar. 

Selain itu, begadang juga berdampak pada kemampuan otak dalam berpikir. Saya ingat sebuah penelitian dari University of Pennsylvania yang menunjukkan bahwa kurang tidur selama beberapa malam berturut-turut menurunkan fungsi kognitif seperti konsentrasi, memori, dan kemampuan membuat keputusan.

Yang menarik adalah, disebutkan dalam buku bahwa Ibnu Hibban berkata, "Telah disebutkan riwayat kedua yang menunjukkan bahwa larangan begadang malam selepas akhir waktu Isya, tidak termasuk di dalamnya begadang dalam hal mendapatkan ilmu." (hlm. 135)

Dalam dunia pendidikan, banyak nasihat menekankan pentingnya tidur cukup dan menghindari belajar hingga larut malam. Namun, di balik peringatan tersebut, ada sisi lain yang sering luput dari perhatian: belajar di malam hari, dalam kondisi yang tepat, justru bisa memberikan manfaat signifikan bagi sebagian orang.

Salah satu alasan utamanya adalah terkait dengan chronotype, yaitu kecenderungan alami tubuh seseorang dalam mengatur waktu tidur dan bangun. Penelitian oleh Preckel et al. (2011) menunjukkan bahwa individu dengan evening chronotype—atau yang sering disebut “tipe burung hantu”—memiliki performa kognitif yang lebih baik di sore hingga malam hari. Bagi mereka, malam hari menjadi waktu di mana otak berada dalam kondisi paling aktif dan siap menerima informasi baru.

Selain itu, malam hari menawarkan suasana yang lebih kondusif untuk belajar. Minimnya distraksi dari lingkungan sosial, lalu lintas, dan notifikasi digital, menciptakan ruang yang ideal untuk mencapai konsentrasi mendalam. Hal ini penting, terutama dalam proses belajar yang menuntut pemahaman konsep sulit atau analisis yang mendalam.

Menariknya, suasana malam juga disebut-sebut dapat meningkatkan kreativitas. Sebuah studi oleh Wieth dan Zacks (2011) menunjukkan bahwa ketika seseorang belajar atau menyelesaikan masalah di luar jam produktif biasanya, otak lebih mudah berpikir secara divergen, sehingga ide-ide kreatif lebih sering muncul.

Fakta dan penelitian di atas menunjukkan bahwa dalil-dalil dan tradisi ulama Islam dalam mengatur jadwal dalam kesehariannya tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip kesehatan maupun pendidikan. Persis seperti yang dikutip dari Sulaiman At-Tamimi, "Sesungguhnya mata jika engkau latih untuk tidur, maka ia akan terbiasa dengan tidur. Begitu pula jika engkau biasakan untuk begadang, maka ia akan terbiasa begadang." (hlm. 140)

Penuntut Ilmu bersama Para Muridnya

Bergaul dengan seseorang dalam waktu yang singkat saja dapat memberi pengaruh yang jelas, lantas bagaimana halnya dengan kebersamaan yang berkesinambungan, baik pada saat bepergian maupun berdiam diri?! Diantara perkara-perkara yang paling bermanfaat yang bisa dilakukan seorang ahli ilmu kepada murid-muridnya adalah:

  1. Membuat kesepakatan waktu dengan mereka untuk menyampaikan nasihat dan pengarahan
  2. Meluruskan kebengkokan mereka, semuanya sesuai dengan kekurangan mereka
  3. Tidak ikut campur tentang keadaan dan urusan mereka jika memang mampu, meski sekadar menanyakan tentang sebagian mereka kepada sebagian yang lain
  4. Berkunjung ke rumah mereka; karena hal ini memberi dampak yang besar dalam hal menguatkan ikatan dan cinta
  5. Menjauhi perkara-perkara yang dapat merendahkan dan menurunkan wibawanya, seperti banyak bercanda dan berlebihan dalam hal itu
  6. Memenuhi undangan mereka sesuai kemampuannya
  7. Bersemangat untuk menjenguk mereka yang sedang sakit; karena dalam hal tersebut terdapat sesuatu yang agung dari pengaruh perasaan dan makna
  8. Dan yang terpenting dari hal itu adalah, kecintaannya dalam mencari ilmu dan berkesinambungan terhadapnya, dengan membaca, menulis, mendengar, dan hadir secara langsung.

Seorang guru bukan hanya pengajar, tetapi juga figur yang menjadi model perilaku bagi murid-muridnya. Oleh karena itu, sikap seorang guru sangat menentukan bagaimana proses belajar akan berjalan. Dalam teori perilaku, khususnya Social Learning Theory yang dikembangkan oleh Albert Bandura (1977), dijelaskan bahwa manusia belajar bukan hanya melalui instruksi verbal, melainkan juga melalui pengamatan dan peniruan terhadap perilaku orang lain — terutama figur otoritatif seperti guru.

Guru yang baik tidak hanya dituntut menguasai materi pelajaran, tetapi juga menunjukkan keteladanan dalam bersikap; mulai dari konsistensi ucapan dan tindakan, kesabaran dalam menghadapi murid, hingga kemampuan menegakkan aturan secara adil dan tegas. Ketika seorang guru memiliki wibawa, murid cenderung lebih mudah menghormati aturan, merasa aman, dan lebih fokus dalam proses belajar.

Sebaliknya, apabila seorang guru tidak mampu menjaga wibawanya, kelas bisa menjadi lingkungan yang tidak kondusif. Hilangnya wibawa dapat menyebabkan menurunnya motivasi belajar murid, meningkatnya perilaku indisipliner, dan berkurangnya rasa hormat terhadap guru. Menurut penelitian Marzano dan Marzano (2003) dalam The Key to Classroom Management, kepemimpinan guru yang lemah seringkali memicu ketidakstabilan emosional dalam kelas dan memperburuk iklim belajar.

Penuntut Ilmu di tengah Masyarakatnya

Seorang ahli ilmu sepatutnya menumbuhkan prasangka baik dalam memandang orang lain dan peristiwa di sekitarnya. Sikap ini akan mendorong ketenangan dalam mengambil keputusan serta mencegahnya dari prasangka yang keliru yang bisa merusak hubungan sosial. Dengan prasangka baik, ia juga akan lebih mudah memberikan pertolongan kepada siapa saja, tanpa dibatasi prasangka atau pertimbangan-pertimbangan pribadi yang sempit.

"Tidaklah ada dari amalan tentang sesuatu yang paling kuat di sisiku dari dua hal; aku tidak berbicara tentang sesuatu yang tidak bermanfaat bagiku, dan hatiku selamat terhadap orang muslim." Zaid bin Aslam

Janji adalah bagian dari integritas seorang yang berilmu. Sebab kepercayaan masyarakat dibangun dari konsistensi dalam ucapan dan perbuatan. Jika seorang ahli ilmu mudah mengingkari janji, maka runtuhlah wibawa ilmunya di mata banyak orang.

Perangainya pun seyogyanya mencerminkan kelembutan dan ketenangan. Lembah lembut dalam berbicara dan bertindak, tidak terburu-buru dalam menilai, apalagi dalam menghukum. Ia selalu berusaha menjauhkan diri dari perangai buruk seperti kesombongan, merendahkan orang lain, atau merasa diri paling benar.

Ahli ilmu sejati justru merendah meskipun kedudukannya tinggi. Ia paham, ilmu adalah milik Allah, dan manusia hanyalah perantara. Sikap ini akan tampak pula dalam caranya berinteraksi: wajahnya berseri-seri, ramah, dan menyenangkan, sehingga orang tidak merasa terintimidasi mendekatinya. Ia berbicara dengan jelas, tidak berbelit, dan tidak menyulitkan dengan istilah-istilah akademik yang asing bagi orang awam, sebab ilmu bukan untuk dipamerkan, melainkan untuk dimudahkan sampai ke hati manusia.

"Tawadhu adalah luluhnya hati karena Allah dan merendahkan perangai serta mencurahkan kasih sayang kepada makhluk, sehingga ia tidak melihat keutamaan pada dirinya atas orang lain dan tidak melihat ada hak baginya disisi orang lain, bahkan hak itu untuknya." Ibnul Qayyim

Ia pun bukan hanya pandai berbicara, tetapi juga menjadi pendengar yang baik. Dengan mendengarkan, ia memahami kebutuhan dan kegelisahan masyarakat, sehingga ilmu yang ia sampaikan tepat sasaran, memberi solusi, bukan sekadar teori.

Said az-Zubaidi berkata, "Yang membuatku tidak senang terhadap sebagian qari`, bahwa di antara mereka ada yang humoris ketika bersama orang-orang, sementara ketika bersamaku ia tampakkan wajah masam, seakan ia mengharap aku menyembahnya! Semoga Allah tidak memperbanyak para qari` yang seperti itu."

Yang tak kalah penting, seorang ahli ilmu wajib mengajarkan pengetahuannya kepada yang lain. Ilmu yang tidak diajarkan ibarat air yang tertahan di wadah: lama-lama ia menggenang dan keruh. Sebaliknya, ilmu yang diajarkan akan terus mengalir, membersihkan, dan menumbuhkan manfaat di mana-mana.

"Dahulu apabila aku mendengar Abu Amr bin Al-Ala` berbicara, aku menyangka ia seorang yang tidak mengetahui apa pun, ia berbicara dengan perkataan yang mudah." Al-Ashma'i.

Di atas semua itu, ia juga perlu menjaga kearifan lokal dan adat kebiasaan masyarakat selama kebiasaan itu tidak bertentangan dengan nilai kebenaran. Menghormati tradisi yang baik adalah bagian dari menjaga jati diri masyarakat, dan ilmu tidak seharusnya datang merusak akar budaya yang telah tertanam rapi, melainkan memperkuatnya dengan pemahaman yang lebih dalam.

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 2)

Sabtu, 25 Januari 2025

Dua Masalah Penting dalam Proses Menuntut Ilmu

Salah satu hal yang sering saya temukan dari para penuntut ilmu adalah pertanyaan 'mulai dari mana dulu?' Biasanya orang yang baru memulai perjalanan hijrah akan bersemangat menghadiri majelis-majelis ilmu, tapi lama-kelamaan dia akan hanya menghadiri majelis yang sesuai dengan hasrat hatinya. Lebih para lagi, banyak yang bahkan meninggalkan majelis ilmu sama sekali.

Di dalam buku, penulis memberikan penjelasan tentang prinsip mendasar dalam menuntut ilmu, yaitu:

1. Prioritas dalam Menuntut Ilmu

Contoh-contoh di buku ini membuat saya merasa maklum sama pertanyaan-pertanyaan 'ajaib' yang sering muncul ketika kajian atau di kolom komentar para ustadz di sosial media. Seringkali kita sebagai penuntut ilmu, nggak cukup tawadhu untuk memperhatikan apa yang sedang dijelaskan dalam kajian dan justru fokus pada keinginan pribadi kita. Pertanyaan 'apakah aku boleh berwudhu dengan air kacang?' di buku ini jadi contoh, --karena masuk dalam riwayat-- betapa kita seharusnya lebih memprioritaskan hal yang lebih penting untuk kita pelajari daripada sibuk pada urusan yang belum tentu akan kita hadapi. 

Selain itu, tahapan dalam menuntut ilmu terutama ilmu agama juga menjadi perkara krusial lain yang sepertinya penting sekali untuk kita perhatikan. Sebagai salah satu orang yang beruntung pernah mendapat pendidikan diniyah dasar yang berurutan, saya seringkali memberi saran kepada teman-teman untuk memposisikan diri seperti anak-anak ketika sedang belajar agama. Ini akan lebih mudah lagi kalau kita sudah punya anak. Sambil mendampingi anak belajar, kita juga belajar sehingga kita dan anak-anak kita pun bisa tumbuh bersama. Sayangnya, yang sering jadi kendala adalah kita sudah merasa terlalu tua untuk belajar sehingga melimpahkan kewajiban belajar itu kepada anak kita. Padahal sudah tahu bahwa kewajiban menuntut ilmu itu tidak terbatas usia. Kita terlalu semangat untuk mendapat mahkota penghafal Al-Quran dari anak kita tapi abai untuk menjadi penghafal Al-Quran sendiri. Kalau mau jujur, sebenarnya bukankah perilaku itu sama saja seperti menjadikan anak investasi akhirat dengan egoisme? Kewajiban menuntut ilmu bagi kita kan nggak gugur begitu saja dengan kita mengirim anak kita ke lembaga pendidikan agama?

Penulis juga memberikan rekomendasi buku-buku yang bisa dibaca untuk pemula:

  • Tafsir As-Sa'di
  • Zadul Muslim al-Yaumi karya Syaikh Abdullah bin Jarillah
  • Arba'in Nawawiyah
  • Kitab Tauhid
  • Aqidah Wasithiyah
  • Sifat Shalat Nabi
  • Sifat Wudhu Nabi
  • Riyadhus Shalihin
  • Manzhumah al-Baiquniyah
  • Al-Ushul min Ilmil Ushul
  • Kitab-kitab fatwa

2. Beberapa Contoh Pembangkit Semangat

Menuntut ilmu tidak selalu mudah. Terkadang semangat menurun, waktu terasa sempit, dan gangguan duniawi datang silih berganti. Wajib bagi kita untuk banyak membaca sejarah hidup para ulama salaf, sebab di dalamnya terdapat kebaikan yang besar. Dan ternyata, beberapa ulama besar kita menjadi bersemangat hanya karena satu kalimat dari guru-gurunya;

  • Imam Bukhari terdorong untuk mengumpulkan hadits karena ucapan Ishaq bin Rahawaih, "Seandainyanya saja ada di antara kalian, yang mau mengumpulkan dalam satu buku khusus, yang berisi hadits-hadits shahih dari Nabi shallallahu 'alaihi wasallam!"
  • Imam Dzahabi menjadi cinta kepada ilmu hadits karena pujian seorang ulama bernama Barzali, "Sungguh tulisanmu ini seperti tulisannya para pakar hadits!"
  • Shilah bin Asy-yam, setiap kali berjalan melewati beberapa anak muda yang sedang bermain-main selalu mengulang-ulang nasihat, "Beritahukan kepadaku tentang suatu kaum yang hendak bersafar, namun setiap kali siang tiba mereka mampir, dan setiap kali malam tiba mereka tidur, maka kapankah mereka akan sampai tujuan?" hingga suatu saat ada salah satu pemuda yang tersentuh oleh nasihat tersebut.

Hasad dalam Menuntut Ilmu

Pada bab ini penulis memberikan kita cara untuk mengobati hasad dan juga sebab-sebab mengapa hasad bisa muncul dalam hati para penuntut ilmu;

Tanda-tanda orang yang hasad:

  1. Senang dengan kesalahan temannya
  2. Senang dengan ketidakhadiran temannya
  3. Senang dan merasa puas jika temannya tercela
  4. Menjelekkan temannya apabila ia ditanya tentangnya
  5. Hatinya terasa sedikit sakit dan dadanya terasa sempit, jika ada pertanyaan dilontarkan kepada orang lain, atau temannya ditanya, sementara dia ada
  6. Tidak menghargai manfaat atau ilmu yang didapatkan oleh temannya
  7. Mencoba menyalahkan pembicaraan temannya dan mengkritiknya apabila temannya menjawab
  8. Tidak menisbatkan keutamaan dan pelajaran yang ia dapatkan kepada yang menunjukkannya; diantara berkah ilmu adalah menyandarkan suatu jasa kebaikan kepada pemiliknya.

Obat hasad yang terjadi di antara sesama penuntut ilmu;

  1. Mendoakan teman tanpa sepengetahuannya
  2. Berusaha mencintainya, menanyakan keadaannya dan keluarganya
  3. Mengunjunginya dan mengakui keutamaannya
  4. Bersikap tidak rela dengan ghibah terhadap temannya, dan tidak rela dengan ejekan serta celaan terhadap temannya
  5. Mendahulukannya daripada diri Anda sendiri
  6. Meminta pendapat dan nasihat padanya

HIGHLIGHTS

Ilmu itu tidaklah didapati hanya dengan angan-angan dan khayalan, akan tetapi didapatkan dengan niat yang jujur, yang dibenarkan dengan lisan dan juga anggota tubuh.

Diantara bentuk semangat adalah menyalin kitab-kitab yang penting dalam dunia ilmu.

"Aku telah mempelajari tentang I'rab Al-Quran selama empat puluh lima tahun, atau empat puluh tahun" Al-Hur bin Abdullah.

Ilmu itu bukanlah harta warisan, bukan pula didapat dengan nasab dan kedudukan, namun sesungguhnya ilmu adalah karunia yang diberikan Allah kepada siapa saja yang dikehendakiNya.

"Tidak ada jasad yang selamat dari hasad, akan tetapi orang yang mulia menyembunyikannya, sementara orang yang tercela menampakkannya." Ibnu Taimiyah

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 1)

Sabtu, 18 Januari 2025

Struktur buku ini cukup menarik, meski di bagian mukaddimah membahas seputar keutamaan ilmu dan kemuliaan menuntut ilmu namun bagian inti bukunya langsung menyinggung tentang faktor-faktor penghalang dalam menuntut ilmu. Ini seperti berlawanan dengan kitab-kitab tentang adab menuntut ilmu yang sudah ada lebih dulu. 

Buku ini kami pilih untuk menjadi pengisi spesial season Quran Study Rahmah Study Club karena kami memahami bahwa urgensi mempelajari adab dalam menuntut ilmu itu tidak terhindarkan tapi nyatanya banyak dari kami yang seringkali masih abai dengannya, termasuk saya sendiri. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang perlu untuk dikaji ulang dari waktu ke waktu, ilmu tentang adab menuntut ilmu tentunya menjadi cabang ilmu yang paling butuh untuk selalu dimuraja'ah karena akan menjadi pondasi bagi kokohnya ilmu lain yang ingin dibangun.

Sudah nggak asing kan dengan fakta tentang buruknya adab manusia zaman sekarang? Jangankan anak-anak, orang tuanya juga sering ada yang kelakuannya bikin geleng-geleng kepala. Dan virus kurang adab ini secara pribadi juga saya rasakan dalam diri. Baca buku ini mudah-mudahan bisa memberikan dampak baik untuk saya.

Rangkuman Bacaan

Apa yang membuat aktifitas belajar jadi nggak bermanfaat?

1. Niat yang salah

"Tidak ada satu urusan yang lebih berat bagiku untuk aku obati selain daripada niat." Sufyan Ats-Tsauri

Kalau Sufyan Ats-Tsauri seorang imam besar agama ini saja mengatakan seperti itu, apa lagi saya? Saya adalah orang yang paling mudah kotor hatinya. Makanya seringkali khawatir kalau mau nambah ilmu. Lho?! Nah, ini salah satu penyakit tambahan lagi. Karena saya ini mudah sekali merasa sombong, saya jadi takut kalau misalnya nanti saya jadi berilmu lalu merasa lebih mulia dibanding orang lain. Sampai saat ini saya masih berusaha membenahi penyakit yang satu ini.

Tapi terlepas dari keadaan pribadi saya, kondisi yang disampaikan di dalam buku ini menunjukkan bahwa niat yang salah dalam menuntut ilmu itu bukan barang langka. Kemuliaan yang dijanjikan bagi para ahli ilmu tentu menjadi godaan yang sulit diabaikan. Dan disebutkan dengan jelas, niat ingin tampil, ingin terkenal, atau ingin menguasai majelis adalah beberapa niat salah yang sering menjangkiti para penuntut ilmu. Padahal harusnya menuntut ilmu itu kita niatkan untuk mendapatkan ridho Allah, karena menuntut ilmu adalah perintahNya. 

Berkaitan dengan niat ini, sebagai guru saya sering banget menemukan dan/atau mendengar berbagai alasan anak-anak murid sekarang ketika ditanya tujuan mereka belajar atau sekolah. Sebagian besar mereka (atau setidaknya murid-murid saya) nggak punya big reason yang membuat mereka ingin tampil maksimal di sekolah. Rata-rata mereka sekolah hanya karena orang tua mereka yang menyuruh untuk sekolah, atau ada yang bilang, 'kalo nggak sekolah emang mau ngapain?'. Deep in their hearts mereka menganggap bahwa sekolah nggak punya manfaat signifikan dalam hidup mereka, tapi tetap mereka tempuh karena ya hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Pada titik ekstrem satunya, anak-anak yang bersemangat sekolah punya tujuan yang sangat pragmatis untuk masa depannya, sampai-sampai mereka tanpa sadar menggadaikan ilmu agamanya untuk tujuan yang sangat remeh. Menghafal Al-Qur'an misalnya, banyak sekali yang berjuang demi menjadi hafidz Quran karena ingin bisa masuk PTN favorit tanpa tes atau melalui jalur undangan. Rasanya sulit sekali untuk membenahi cara berpikir pragmatis ini karena hal itu juga sudah ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat sekitar mereka.

2. Ingin terkenal dan cari popularitas

Menjadi pintar dan cerdas sepertinya sudah nggak istimewa lagi di zaman sekarang ini. Jadi mungkin poin ini nggak terlalu relevan, tapi bukan berarti nggak ada orang yang belajar untuk tujuan itu. Masih mirip dengan poin pertama, seseorang yang belajar atau menuntut ilmu dengan tujuan selain Allah berarti sudah salah niat.

"Sesuatu yang paling terakhir hilang dari orang-orang yang shalih adalah, keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk tampil." Imam Asy-Syathibi

Membaca penjelasan tentang poin ini membuat saya melihat pada posisi selebritas saat ini, terutama jika dibandingkan dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal (hal. 6) "...sungguh aku telah diuji dengan popularitas." Betapa terhormat dan mulianya posisi ahli ilmu saat itu sehingga menjadi ahli ilmu kedudukannya seperti selebritas atau pejabat. 

Pada circle tertentu saya masih menjumpai orang-orang yang mengidolakan ulama dengan berlebih-lebihan, dan hal itu pasti godaan yang sangat berat bagi para ulama tersebut. Dan sebagai penuntut ilmu, saya berharap dan berdoa agar tidak terjebak pada ambiguitas antara ghuluw dan penghormatan kepada ahli ilmu.

3. Lalai menghadiri majelis ilmu

Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-majelis ilmu tersebut hanya berupa ketenangan bagi yang menghadirinya, dan rahmat Allah ta'ala yang meliputi mereka, tentulah cukup dua hal itu saja sebagai pendorong untuk menghadirinya.

Padahal kebaikan dari majelis ilmu itu jauh lebih besar dari dua hal itu; ilmu yang bermanfaat yang bisa memberikan ganjaran pahala dan balasan surga di akhirat.

Masih teringat sangat jelas dalam ingatan saya ketika suatu hari ngobrol dengan beberapa teman, yang ternyata mereka menganggap bahwa pertemuan pekanan di forum liqo' itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan ilmiyah mereka. Saya sangat terkejut saat itu, karena ternyata bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa 'ngaji' sejak lama, kesadaran untuk menuntut ilmu syar'i itu belum tumbuh dan benar-benar merasa cukup dengan keadaan mereka itu. Lalu ketika ada hal-hal yang mereka belum ketahui, mereka hanya mendiskusikannya di grup-grup chat sesama mereka dan sama sekali nggak terpikir untuk mencarinya melalui kajian ilmiyah. Saya benar-benar nggak habis pikir ketika suatu hari teman saya menanyakan tentang penjelasan hadits, lalu teman lainnya membalas dengan screenshot jawaban dari Gemini. Like, don't you think of asking a real scholar, sis? Apalagi tema yang ditanyakan adalah hadits arba'in, tema yang sangat banyak bertebaran kajiannya di Youtube.

Saat itu saya langsung memberikan rekomendari kajian yang bisa disimak agar mereka nggak salah paham dan malah membuat kesimpulan sendiri. Tapi yang saya sadari adalah, ternyata kelalaian dalam menghadiri majelis ilmu itu bukan hanya ketika kita tidak memperhatikan dengan saksama ketika bermajelis tapi juga ketika merasa tidak butuh dengan majelis ilmu itu sendiri. Seperti kata Selir Gyokuyou, 'Ignorance is a sin'.

4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan

Bagian ini adalah kritikan paling keras untuk diri saya yang selalu merasa kehabisan waktu untuk belajar. To be fair, saya memang kehilangan waktu juga untuk bersenang-senang. Video-video Youtube yang biasanya bisa saya tonton langsung segera setelah tayang, sekarang jadi saya simpan dulu ke 'Tonton Nanti' dan jumlahnya sudah sampai ratusan. Sesibuk itu sampai-sampai rasanya burn out terus setiap hari.

Saya berharap nggak jadi salah satu dari orang-orang yang selalu beralasan untuk menghindari belajar. Terus, sekarang jadi teringat sama hafalan yang sudah lama nggak dimuroja'ah.

5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil

Sudah mafhum banget, tiap orang dewasa yang baru sadar dan berhijrah pasti menyesali masa mudanya. Bahkan saya yang beruntung bisa mendapat pendidikan agama dengan baik waktu masih kecil pun, menyesal karena nggak memanfaatkan masa-masa itu dengan baik dan malah memilih jalan lain.

6. Enggan mencari ilmu

Kalau tadi ada yang lalai dari majelis ilmu karena ignorance, ada juga ternyata orang-orang yang memang males aja buat belajar. Buat mereka belajar ilmu agama itu capek, dan bukan tugas mereka. Belajar agama itu tugasnya ustadz, atau orang yang ingin jadi ustadz. Ada juga orang yang paham urgensinya tapi nggak siap dengan kesulitannya, akhirnya jadi bikin-bikin alasan; umur udah nggak bersahabat, undah nggak ada waktu, dll, dsb.

Satu kutipan yang benar-benar membuat saya refleksi adalah ini;

Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan Allah ta'ala dilanggar, dan menangis karena larangan Allah ta'ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiatan yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan Nabi saw, mereka tidak berwudhu seperti wudhunya Rasulullah saw...;

Dan masih senada dengan poin nomor 3 tadi, poin ini membuat kondisi umat Islam dan bahkan yang mendaku sebagai aktifis dakwahnya menjadi semakin terpuruk. Banyak sekali saya temui orang-orang yang semangat berdakwahnya luar biasa tapi ternyata nggak punya pemahaman ilmu syar'i bahkan yang dasar sekalipun. Tentu ini disebabkan banyak hal dan bukan di sini tempatnya untuk dibahas, tapi ini jadi pengingat untuk diri saya bahwa keengganan dalam mencari ilmu berdampak sangat besar bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga umat Islam secara keseluruhan. Kebangkitan Islam nggak bisa tercapai kalau saya sebagai pribadi muslim nggak mau atau nggak peduli dengan peran saya sebagai hamba Allah. Karena peran inilah yang paling penting sebelum peran-peran lainnya. Maka, menuntut ilmu itu menjadi keharusan dan kebutuhan untuk saya supaya upaya saya dalam mendakwahkan Islam dilandasi dengan pemahaman yang benar. Bukan sekadar ikut-ikutan orang.

7. Menilai baik diri sendiri

Ini saya banget, sih! Entah gimana ya ngilangin perasaan ini. Sejauh ini cara yang saya lakukan adalah dengan menghindari ketenaran dan mengurangi tampil di hadapan banyak orang. Kalaupun tampil, bicaranya nggak boleh kebanyakan. Tapi setiap kali ketemu orang yang dipuji-puji orang padahal aslinya biasa saja, saya selalu mbatin, 'kok begitu doang kalian udah kagum sih?!' Innalillah...

8. Tidak mengamalkan ilmu

"...tidak mengamalkan ilmu merupakan sebab utama tidak berkahnya ilmu."

Salah satu hal yang saya perhatikan dari poin ini adalah, tentang zikir. Sudah lama sekali rasanya saya nggak mengamalkan zikir dan doa-doa kecil itu. Mestinya harus saya amalkan lagi. Dan saya berdoa semoga saya bisa mengamalkan setiap ilmu yang saya pelajari.

"... adapun zakat ilmu adalah dengan mengamalkan dan mengajarkannya...."

9. Putus asa dan rendah diri

10. Sikap menunda-nunda

Saya yang suka nunggu momen tertentu untuk memulai kebaikan, saya yang suka nunggu tahun baru untuk mulai kebiasaan baik, saya yang nunggu hari tertentu untuk melakukan sesuatu. Pokoknya ini saya yang suka menunda-nunda.

Photo by Nik on Unsplash

Kesempatan yang sering disia-siakan oleh sebagian penuntut ilmu

1. Ziarah (saling mengunjungi)

Yang saya ingat dari bacaan ini mungkin nggak ada kaitannya, tapi menurut saya juga penting. Di podcast ini, beliau menyebutkan bahwa sistem pesantren itu bagus banget dan highlightnya beliau bilang, 'kita tuh nggak bisa sholeh sendirian'. Saya yang seintrovert ini pun percaya kalau saya nggak bikin RSC, mungkin saya nggak akan bersemangat untuk belajar. Saya bersyukur hidup di zaman ini di mana untuk berkumpul dalam majelis nggak perlu sampai meninggalkan rumah.

2. Sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting

"...jika Anda memiliki kemampuan lebih, janganlah Anda menghalangi diri Anda untuk melakukan sesuatu yang baik, dan memanfaatkan waktu. Sungguh umur kita sangat pendek dan ilmu itu sangat luas."

"Jika kita mau mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur waktu untuk membaca dan menghafal, niscaya kita akan mendapatkan kelezatan dan menisnya ilmu. Kita akan merasa rindu untuk banyak membaca dan membahas tentang ilmu."

3. Kaset, CD, atau rekaman kajian

Ketidakpedulian kita dalam mengatur waktu, lebih tepatnya tidak pandainya kita dalam menempatkan prioritas membuat kita gagal dalam mengambil manfaat dari kemudahan yang kita miliki hari ini. Dengan menulis 'kita' ini maksudnya saya.

4. Waktu antara adzan dan iqomah

Contoh yang ditulis pada bagian ini kembali menyadarkan saya tentang betapa berharganya waktu mustajab yang satu ini dan betapa kita seringkali mengabaikannya. Saya sendiri biasa menunggu waktu shalat jamaah dengan tilawah. Tapi seperti yang ditulis di buku ini, saya lebih sering lalai karena hadir ke jama'ah terlambat sehingga nggak punya waktu untuk memaksimalkan kesempatan baik ini.

5. Membaca secara bebas

Saya sebagai pembaca novel, dengan egois akan mengatakan bahwa novel-novel yang saya baca itu ada manfaatnya. Jadi, kalaupun saya nggak baca buku pelajaran juga nggak pa-pa 😅.

Adab Penuntut Ilmu

Yang paling dibutuhkan dalam menuntut ilmu sebelum yang lainnya adalah memurnikan niat hanya untuk Allah. Menuntut ilmu juga membutuhkan pengorbanan; baik yang terkait dengan pengorbanan jasmani, waktu, jiwa atau pun harta.

Bahkan dengan segala kemudahan yang kita miliki saat ini, menuntut ilmu tetap membutuhkan usaha yang luar biasa terutama usaha untuk mengalahkan nafsu dan syahwat. Bagi saya dan tentu sebagian orang lain, membeli buku adalah pengeluaran tersier yang selalu berada di prioritas akhir dibanding makan dan lainnya.Tapi dengan adanya ulama-ulama yang tersebar, mestinya kita masih tetap bisa mengambil manfaat dari mereka. Internet, adalah alat yang sangat baik untuk bisa menjangkau kemanfaatan ilmu di zaman sekarang.

1. Niat yang ikhlas

2. Antusias untuk menghadiri berbagai majelis ilmu

Semangat ini tentunya adalah karunia dari Allah, maka jangan pernah lupa untuk meminta kepadaNya untuk diberikan semangat dalam menuntut ilmu dan bersyukurlah karena Allah telah membuat hati ini cenderung kepada ilmu.

3. Bersegera mendatangi majelis ilmu di awal waktu dan tidak terlambat

Sepertinya ini adalah kritik keras untuk para penuntut ilmu, apalagi di Indonesia yang budayanya lebih menghargai orang yang terlambat dibanding yang tepat waktu. Saking parahnya, saya sering merasa kurang nyaman untuk hadir di awal waktu karena yang lain pasti terlambat.

4. Mencari tahu pelajaran yang tertinggal

Jika di pondok ada istilah menambal kitab. Dulu ketika sekolah pun kita terbiasa bertanya kepada teman jika sekiranya kita nggak hadir di hari sebelumnya. Tapi sekarang, budaya ini sepertinya sudah hilang. 11 tahun jadi guru, saya belum pernah mendapati murid yang mengerjakan tugas yang dia tinggalkan ketika absen. Hal ini benar-benar mengkhawatirkan. Murid-murid yang nggak merasa rugi ketika meninggalkan kelas, nggak peduli dengan kewajibannya, apa yang bisa kita harapkan darinya?

5. Mencatat faedah-faedah yang penting pada buku cetak

Tradisi ini yang sedang kami coba bangun di RSC. Bukan hanya membaca, tapi juga menuliskan manfaat yang kami dapatkan dari buku tersebut. Dan yang sekarang ini juga sedang saya coba lakukan.

Pesan lain yang ada di bagian ini juga mengingatkan saya pada buku How to Read a Book karya Mortimer J. Adler. Melihat dan membaca informasi buku secara garis besar atau inspectional reading, membantu kita mengetahui tema besar apa yang dibahas dalam buku tersebut sehingga kita bisa menentukan apakah kita perlu membacanya segera atau bisa ditunda untuk lain waktu. Beberapa tahun belakangan kebiasaan anotasi mulai populer, dan hal itu juga adalah salah satu poin yang disarankan di buku How to Read a Book. Kalau kalian punya kesempatan untuk membaca buku itu, saya sangat rekomendasikan karena di dalamnya ada banyak sekali manfaat yang bisa membantu aktifitas membaca kita menjadi lebih menarik.

6. Diam ketika pelajaran disampaikan, dan tidak menyibukkan diri dengan hal yang lain

7. Menghadiri berbagai majelis ilmu yang memungkinkan untuk dihadiri

Sungguh Allah ta'ala telah banyak memberikan kita nikmat berupa sarana-sarana yang dapat memudahkan kita untuk menuntut ilmu, baik berupa buku-buku maupun kaset-kaset. Namun itu semua tidak dapat menggantikan secara persis kehadiran kita di dalam majelis ilmu; karena dengan menghadiri majelis ilmu itu ada ganjaran yang tidak didapatkan dengan membaca buku, ataupun mendengarkan kaset.

8. Tidak mudah putus asa

Apa yang paling sering membuat saya putus asa? Hafalan Quran dan Nahwu-Sharaf. 😓

9. Tidak memotong pembicaraan guru

10. Beradab dalam bertanya

Dua jenis pertanyaan yang nggak perlu ditanyakan kepada guru ketika sedang berada dalam majelis; pertanyaan yang kita sudah tahu jawabannya, dan pertanyaan yang menunjukkan kebodohan kita. Untuk yang pertama ini saya cukup sering menyaksikannya, bahkan salah satunya baru saja kejadian pekan lalu. Salah seorang teman saya bertanya kepada guru kami tentang hukum sebuah perbuatan dan dia mengatakan bahwa ustadz A berpendapat begini. Lalu saya langsung menimpali, "Kalau sudah tahu ustadz A mengatakan begini, mengapa masih bertanya kepada Umi?"

Teman saya ini mengatakan bahwa dia hanya ingin mendengar pendapat lain, terutama dari guru kami tersebut. Apakah beliau memiliki pendapat yang berbeda, ataukah sama. Tapi itu bukanlah adab yang baik karena seolah-olah kita ingin mengadu pendapat satu guru dengan yang lain. Bahkan banyak diantara jenis pertanyaan yang dilontarkan dengan cara yang sama ini, kebanyakan penanya hanya ingin mencari guru yang memiliki jawaban yang sesuai dengan hawa nafsunya. 

Untuk jenis yang kedua memang agak sulit untuk dikenali. Tapi dari pengalaman mengajar, saya sering menemukan murid-murid yang jengkel jika salah satu teman mereka menanyakan hal yang baru saja saya jelaskan. Mungkin itu jadi salah satu contoh, karena menanyakan hal yang baru saja dijelaskan guru itu menunjukkan bahwa kita kurang memperhatikan selama pelajaran berlangsung, yang tentu sama saja seperti menyia-nyiakan waktu. Dan dengan menanyakannya, kita bukan hanya menyia-nyiakan waktu kita sendiri tapi juga waktu teman-teman kita yang sedang belajar bersama kita. Dan dulu di pesantren, kami jarang sekali bertanya kepada guru ketika di kelas, namun biasanya pertanyaan-pertanyaan itu kami lontarkan kepada sesama teman ketika mudzakarah bersama. Jika ternyata kami sama-sama tidak menemukan jawaban, maka barulah kami akan tanyakan kepada guru di pertemuan berikutnya.

11. Meneladani akhlak guru

Sejujurnya ini adalah bagian paling mengerikan buat saya sebagai seorang guru. Sebagai murid, saya selalu memperhatikan bagaimana guru saya membawakan pelajaran di dalam majelis. Dan saya sangat sadar bahwa anak-anak murid saya juga pasti melakukan hal yang sama kepada saya. Sementara saya ini adalah orang paling random di sekolah 😂. Semoga Allah jaga saya dan menyembunyikan semua keburukan saya di hadapan murid-murid saya.

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

Sabtu, 04 Januari 2025

Saya sudah tahu buku ini sejak pertama rilis dan langsung penasaran. Tapi karena ada yang bilang kalau bagusan versi aslinya, jadi saya agak menahan diri untuk beli sampai akhirnya sempat kehilangan keinginan untuk baca. Kayak udah terlambat gitu lho, sudah lewat 4 tahun sejak bukunya rilis. Untungnya bulan Oktober kemarin saya ngide bikin bookclub ala-ala dengan beberapa murid. Waktu saya cerita sedikit sinopsis buku ini, anak-anak langsung setuju untuk baca bareng buku ini selama bulan November.

Sayangnya saya nggak bisa tepat waktu nuntasin baca bukunya. Tentu saja karena banyak kerjaan dan memang kalau baca buku bahasa Inggris saya butuh effort lebih banyak dibanding baca buku bahasa Indonesia. Eh, tergantung juga sih. Soalnya baca The Apothecary Diaries bisa sehari tamat satu jilid 😅. Saya baca buku ini pelan-pelan, diantara alasannya adalah karena tema bukunya yang lumayan berat dan awalnya saya ingin buat reading vlog untuk buku ini. Ternyata saya kehilangan mood di tengah jalan, jadi saya tulis saja reviewnya di sini. Mungkin nanti saya tetap buat video reviewnya setelah menulis ini.

Author : Zoulfa Katouh
Published : 2022
Genre : Historical Fiction, Romance, YA
Seeting : Homs, Syria, 2011s

As Long As The Lemon Trees Grow. Mengapa judulnya seperti itu? Salah seorang teman ada yang pernah bertanya kepada saya. Sejujurnya itu juga yang saya pikirkan ketika pertama kali melihat buku ini berseliweran di YouTube. Lalu setelah saya telusuri, ternyata buah lemon adalah salah satu komoditas utama di Suriah. Saya baca di sini, betapa buah lemon memiliki arti yang mendalam bagi orang Arab secara umum. Mungkin seperti buah zaitun bagi orang Palestina. Buah lemon bukan hanya melambangkan kebersamaan keluarga, tapi juga persistensi dan keteguhan harapan mereka.

Dan tema inilah yang ingin diangkat oleh Zoulfa Katouh dalam novelnya. Bercerita tentang Salama, gadis berusia 18 tahun yang seharusnya masih menjadi mahasiswa farmasi, tapi terpaksa membantu sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di daerahnya karena perang saudara yang terjadi. Salama tinggal berdua dengan kakak ipar yang juga teman baiknya, Layla yang sedang hamil 7 bulan. Kakak dan Ayahnya ditangkap oleh tentara Suriah karena 'memberontak'. Ibunya meninggal tidak lama setelah itu karena bom, dan dia juga hampir saja kehilangan Layla belum lama ini.

Salama harus mengambil pilihan yang sulit. Di satu sisi dia ingin menyelamatkan Layla dan calon keponakannya dengan mencari suaka ke Eropa, tapi di sisi lain jumlah tenaga medis makin menipis dan dia tidak bisa mengabaikan tanggung jawab itu begitu saja. Di sepanjang novel ini kita akan mengikuti pergulatan batin Salama dan bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan segala kekacauan yang terjadi di negerinya.

Bagian romantis dari novel ini dimulai setelah Kenan muncul, seorang pemuda 19 tahun yang ingin menjadi bagian dari revolusi. Kehadiran Kenan membuat Salama semakin berani menghadapi ketakutan dan traumanya sambil menumbuhkan harapan dalam hatinya.

Di As Long As The Lemon Trees Grow, kesehatan mental merupakan dasar bagi alur cerita dan karakter. Salama yang masih muda dan awalnya adalah anak bungsu dari keluarga bahagia, harus kehilangan keluarga secara mendadak dan tragis. Hal itu membuatnya trauma dan akhirnya muncullah sosok Khawf yang mungkin adalah produk dari PTSDnya. Bukan hanya Salama, karakter lain juga digambarkan mengalami trauma seperti Yusuf yang kesulitas bicara.

Kehadiran Khawf dalam novel mau tidak mau mengingatkan saya pada karakter Xiu Bai-jiu di film Wu Xia. Setiap kali Khawf muncul, caranya hadir yang mengusik Salama selalu tergambar seperti adegan di film itu. Kalau kalian belum nonton, saya rekomendasikan banget film ini😉. Jika mau dianalisis lebih jauh, sepertinya sosok seperti Khawf bisa dijadikan kajian tersendiri, apakah dia adalah simbolis dari rasa takut seperti yang disampaikan Salama? Khawf berarti 'takut' dalam bahasa Arab, btw. Pun kalau akan dikategorikan sebagai antagonis, sesungguhnya dia yang selalu membimbing Salama untuk menghadapi kehilangan yang dirasakan Salama selama perang.

Awalnya saya pikir karakter Kenan sama sekali nggak perlu ada di novel ini. Dan saya sempat mengira kehadirannya dibuat hanya untuk menarik pembaca saja. Tapi ternyata setelah membaca sampai sekitar 2/3 bagian buku, barulah saya sadar kalau Kenan memiliki peran vital dalam memulihkan kestabilan emosi Salama dan hubungan mereka memberikan harapan di tengah kehancuran kota Homs dan Suriah.

Sepanjang baca novel ini, saya selalu terbayang video-video tentang Palestina yang sering muncul di beranda sosial media. Saya bersyukur Zoulfa Katouh menulis novel ini dan akhirnya laris di pasaran, karena sejujurnya saya juga sudah mulai lupa pada konflik Suriah sejak pertama kali mendengar beritanya ketika masih kuliah dulu. Membaca novel ini di akhir tahun 2024, sepertinya jadi takdir baik karena nggak lama setelah itu terdengar kabar bahwa Bassar Al-Assad pergi meninggalkan Suriah. Saat ini rakyat Suriah sedang bersuka cita merayakan kemerdekaan mereka atas penjajahan pemimpinnya sendiri.

Meskipun beberapa kali nangis pada adegan-adegan sedih, ada beberapa hal yang membuat saya sering gemas ketika membaca novel ini. Pertama, karena terlalu fokus pada Salama, saya jadi nggak punya gambaran utuh tentang karakter-karakter pendukung lainnya. Sejujurnya saya ingin tahu, ada berapa dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit itu. Karena sepanjang novel yang disebut namanya hanya Dr Ziad dan Nour, setiap kali adegan di rumah sakit saya selalu membayangkan petugas yang berada di sana hanya mereka bertiga. Beberapa kali juga peristiwa dalam sehari diceritakan begitu cepat, sehingga saya merasa Salama yang baru saja berangkat ke rumah sakit di halaman sekian lalu sudah pulang di halaman sebelahnya.

Kedua, saya ingin kenal lebih jauh dengan karakter Am. Pencitraan yang saya terima dari sudut pandang Salama membuat Am tampak seperti sosok yang pragmatis. Tapi entah mengapa saya merasa Am nggak seperti itu. Saya ingin tahu kenapa dia seperti enggan setiap kali Salama menanyakan kabar anaknya. Apakah Am nggak kenal Layla? Apakah benar dia nggak mau meninggalkan Suriah karena bisnis yang dijalaninya itu menghasilkan uang? Apa maksudnya ketika bilang ke Salama, "Don't think about asking for forgiveness." By the way, lewat novel ini juga saya jadi punya gambaran yang jelas tentang bisnis serupa di Palestina. Kalau tidak salah, beberapa tahun lalu Narasi pernah melakukan liputan tentang bisnis ini di channel YouTube mereka.

Ada banyak Quotes yang saya tandai di buku ini, terutama yang berkaitan dengan harapan dan menemukan kebahagiaan. Salah satunya adalah ini,

You deserve to be happy. You deserve to be happy here. Because if you won't try it in Syria, then you won't try in Germany.

Adegan ini semacam pengingat bagi saya tentang alasan orang-orang di Palestina selalu tetap terlihat bahagia dan teguh pendiriannya. Bahwa semenyeramkan apapun kondisi yang mereka hadapi, harus tetap ada usaha untuk mengisi hati agar tetap bersyukur dan menikmati kehidupan yang sementara. Karena pada akhirnya, kematian akan menjemput semua orang. Bagi mereka di Suriah, jika tidak mati karena perang, mungkin mati karena kelaparan.

Meskipun dikategorikan sebagai YA, novel in melampaui batasan usia. Menyentuh hati dan pikiran pembaca dari segala usia. Novel ini bisa menjadi pengingat bahwa tema-tema tentang ketangguhan, harapan dan kegigihan meraih masa depan yang lebih baik adalah nilai-nilai yang dimiliki semua orang tidak peduli dimanapun mereka berada dan dalam kondisi apapun kehidupan mereka. Wajar saja kalau buku ini banyak direkomendasikan, karena memang mampu menyentuh dan menumbuhkan pemahaman serta empati bagi banyak orang yang terkena dampak perang. Karena buku ini, banyak orang di dunia mengenal Suriah dan memahami keganasan yang terjadi di sana. Karena buku ini, saya jadi teringat kembali kepada Suriah dan mendokannya.

Kemarau; One of a kind classic literature

Rabu, 07 Agustus 2024

Saya cukup yakin pernah membaca karya AA Navis yang paling populer berjudul Robohnya Surau Kami ketika masih SMP dulu. Makanya tempo hari ketika memilih bacaan yang bertema Islami dalam video blog terbaru, saya memilih karya beliau lagi untuk jadi pelengkap. Dan saya benar-benar puas, akhirnya menemukan lagi salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini.


Judul: Kemarau
Penulis: AA. Navis
Format: E-book, 178 halaman
Platform: iPusnas

Buku ini tidak tebal, hanya berjumlah 178 halaman dengan pengantar dari Sapardi Djoko Damono berisi pujian tak berkesudahan yang saya amini setiap baris kalimatnya. Diawali dengan gambaran kemarau panjang, kalimat-kalimat sederhana namun 'berisi', Kemarau adalah sindiran lain terhadap praktik beragama dan tradisi sosial masyarakat kita yang ternyata tidak banyak berubah sejak buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1957. Saya yang membacanya di tahun 2024, masih saja manggut-manggut setuju dan sesekali tersenyum getir membaca tiap adegan yang digambarkan ternyata masih sering saya temui juga di masa ini.

Berkisah tentang Sutan Duano, seorang lelaki berusia 50 tahunan yang menjadi anomali dari masyarakat di kampung tempat ia tinggal. Sutan Duano digambarkan sebagai pekerja keras, ketika masyarakat sudah menyerah pada keadaan dan usaha-usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, Sutan Duano menunjukkan kepada kita bahwa ikhtiar terbaik seorang manusia dalam menghadapi ujian dari Tuhan adalah dengan mengerahkan usaha manusiawinya hingga sebab takdir diberikan oleh Tuhan. Masyarakat kampung yang malas hanya mengandalkan dukun-dukun untuk mengundang hujan, dan baru ketika dukun-dukun itu tidak berhasil menghadirkan hujan barulah mereka ingat Tuhan. Gambaran itu seperti menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kampung tersebut hanya menganggap Tuhan sama seperti dukun. Saya melihatnya seperti mereka menganggap Tuhan sebagai candaan. Dan kenyataannya, pada kehidupan nyata sering kita dapati masyarakat melakukan hal yang serupa itu.

Disusun dengan bab-bab yang pendek, tiap bab menjelaskan penggal-penggal episode kehidupan Sutan Duano dan perlahan kita akan digiring untuk mengenal masa lalunya. Sutan Duano yang merupakan pendatang di kampung, dalam waktu 10 tahun telah menjadi tokoh yang dihormati karena kerja kerasnya. Meski awalnya kehadirannya cukup mengejutkan masyarakat karena memilih untuk tinggal di surau padahal usianya masih 40 tahun, kehadiran seorang prajurit revolusi yang mengungsi di kampung tersebut seperti menandai diterimanya Sutan Duano di kampung.

Sindiran dalam Kemarau benar-benar dilancarkan AA Navis secara bertubi-tubi. Sejak bab pertama hingga halaman terakhir. Setelah menyindir sikap malas dan apatis masyarakat di bab pertama, di bab kedua sindiran itu diperkuat dengan gambaran orang-orang kampung yang lebih memilih 'pengetahuan umum' dibanding bekerja mengolah tanahnya. Dan betapa kedudukan dan status sosial sangat dijunjung tinggi, hingga apapun yang dilakukan mereka hanyalah untuk memenuhi tujuan tersebut.

Sutan Duano yang pekerja keras akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat karena kemurahan hatinya. Meskipun menjalani hidup yang sama sekali lain dengan masyarakat kampung, kepada Sutan Duano-lah mereka meminta pertolongan setiap terjadi masalah, hingga akhirnya Sutan Duano diminta menjadi guru ngaji di surau tempatnya tinggal.

Lebih lanjut tentang kedangkalan berpikir masyarakat, saya jadi teringat dengan trend sindiran IQ rata-rata yang dipakai belakangan ini untuk menjelaskan daya nalar masyarakat Indonesia yang dibawah rata-rata. Sutan Duano digambarkan begitu kesulitan untuk menyadarkan masyarakat kampung tentang konsep tawakkal dan ikhtiar. Dan meskipun dia telah berjuang sepuluh tahun dalam memperbaiki keadaan itu, pada akhirnya yang terjadi ternyata sangat bertentangan dengan harapannya. Dia mengharapkan kecerdasan, namun masyarakat justru mengidolakan dirinya. Kedangkalan berpikir itu makin diperkuat dengan adegan berita palsu yang begitu mudah dipercaya dan disebarkan dengan membabi-buta oleh masyarakat kampung padahal muncul dari mulut seorang anak kecil. Betapapun Sutan Duano memberi teladan kepada masyarakat, tak tergerak juga mereka untuk berubah.

Tapi meskipun Sutan Duano sudah berusaha tampil menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, nyatanya dirinya sendiri pun bukan sosok yang sempurna. Pelan-pelan kelamnya masa lalu Sutan Duano mulai terkuak dan membawa kita pada akhir cerita ini, dan bagi saya endingnya inilah satu-satunya hal yang saya kurang sukai dari buku ini.

Menulis ulasan ini membuat saya ingin memiliki buku fisiknya. Saya yakin, tiap halaman pasti ada bagian yang bisa dihighlight dan didiskusikan. Dan sampai saat ini saya masih belum paham, mengapa karya ini tidak masuk daftar bacaan Sastra Masuk Kurikulum padahal muatan moralnya sangat baik untuk diajarkan kepada anak-anak kita.


How to be a mindful muslim; beraktifitas dengan sadar

Minggu, 06 Agustus 2023

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
 

Sejak beberapa tahun yang lalu, mungkin tepatnya tahun 2018 saya mulai aware dengan isu mental health. Salah satu sebabnya ketika buku Ikigai mulai populer di Indonesia, dan akun-akun psikologi bertebaran di Instagram. Lalu ibu mertua saya yang mengalami Anxiety Disorder tanpa bisa disembuhkan, membuat saya makin penasaran dengan masalah kesehatan mental.

Macam-macam artikel saya baca --tentu yang ringan saja--, video-video youtube juga saya simak sampai saya mulai mengenal beberapa istilah yang selama ini tidak pernah saya ketahui sama sekali sebagai hal-hal yang berkaitan dengan mental health.

Segala pembahasan mengenai mental health yang berseliweran di sosial media saya baca. Tapi ternyata makin banyak saya membaca, makin aneh saya menangkap pesan mental health awareness yang dikampanyekan orang-orang di sosial media itu. Lalu sampailah masanya saya membaca buku Stop Pretending Start Practicing. Sebuah buku yang berisi transkrip ceramah Syaikh Hamza Yusuf, seorang ulama terkenal di Amerika Serikat yang juga merupakan presiden Zaytuna College, institusi pendidikan tinggi yang jurusan-jurusannya khusus tentang Islamic Knowledge. Jujur saja, institusinya itu menawarkan program-program belajar yang sangat menarik.




Pada salah satu tulisan yang berjudul "Doa sebagai senjata andalan orang mukmin" Syaikh Hamza Yusuf membahas tentang pentingnya doa dalam kehidupan seorang Muslim, serta bagaimana doa dapat menjadi sumber kekuatan dan keberkahan. Beliau juga membahas tentang beberapa doa yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis, serta bagaimana cara untuk memperdalam hubungan kita dengan Allah melalui doa. Namun ada beberapa kutipan yang sangat membekas dalam pikiran saya, yaitu;

Doa secara harfiah juga adalah cara untuk membangunkan kesadaran orang. Dengan kata lain, Anda memulai tindakan Anda sebagai manusia yang sadar, bukan sebagai pejalan tidur seperti yang terjadi pada kebanyakan orang. (Hlm 111)

Ketika membaca bagian itu, pikiran saya langsung teringat dengan teori mindfulness. Dalam teori psikologi, mindfulness didefinisikan sebagai sebuah moment-to-moment awareness of one's experience without judgement. Sebagian orang mengasosiasikan mindfulness dengan meditasi, walaupun sebenarnya tidak. Mindfulness is a state, not a trait.



Sebagai seorang muslim, seluruh aktifitas keseharian kita hampir selalu diiringi dengan panduan doa dan zikir. Selain itu, hampir setiap amalan pun ada aturannya. Di halaman 113, Syaikh Hamza Yusuf mengatakan;

Kemudian, Nabi membaca doa saat beliau berpakaian. Beliau pun berpakaian dengan cara tersendiri. Beliau mengenakan sirwal (kain) sambil duduk di lantai. Beliau tidak mengenakan sirwal sambil berdiri. Beliau benar-benar duduk dan mengenakannya sambil duduk di lantai. Beliau mengikat serbannya dengan cara tersendiri. Beliau melakukan takwir (memutar) terhadap serbannya dari kanan ke kiri. Sangat menarik. Cara yang sama seperti Anda mengitari Ka'bah. Setiap hal tersebut, tak perlu diragukan lagi, memiliki makna. Tidak perlu diragukan lagi. Sebab, ini adalah proses untuk "bangun tidur" sebagai manusia.

Setiap doa dan adab ini sesungguhnya adalah 'meditasi' khusus bagi orang beriman untuk menjaga kita tetap 'sadar' ketika beramal. Agar setiap aktifitas yang kita lakukan memiliki nilai/makna bahkan pahala. Dan setelah menuntaskan satu bab di buku tersebut, saya sungguh menyayangkan diri sendiri dan umat muslim saat ini yang banyak mencari ketenangan dan makna kehidupan dari berbagai macam teori self-help di luar Islam.

Photo by Nick Page on Unsplash

Dalam artikel di Yaqeen Institute disebutkan bahwa Islam mengenal mindfulness dengan istilah Muraqabah. Sebuah istilah yang berasal dari akar kata yang berarti "melihat, mengamati, memperhatikan dengan penuh perhatian." Sebagai istilah teknis spiritual, muraqabah didefinisikan sebagai "pengetahuan hamba yang konstan dan keyakinan dalam pengawasan Al-Haq, memujiNya, atas kondisi lahiriah dan batiniah seseorang." Artinya, seorang Muslim yang berada dalam keadaan muraqabah berada dalam pengetahuan penuh yang terus menerus bahwa Allah Maha Mengawasi dirinya, baik secara lahir maupun batin. Ini adalah keadaan penuh kesadaran diri yang penuh kewaspadaan dalam hubungan seseorang dengan Allah dalam hati, pikiran, dan tubuh. Dasar dari muraqabah adalah pengetahuan kita bahwa Allah selalu mengawasi kita setiap saat dan, sebagai konsekuensinya, kita mengembangkan perhatian dan kepedulian yang lebih besar terhadap tindakan, pikiran, perasaan, dan kondisi batin kita. Sebagaimana firman Allah, "Ingatlah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam jiwamu, maka bertakwalah kepada-Nya." (QS Al-Baqarah: 235)

Dalam praktik keseharian seorang Muslim, sesungguhnya shalat adalah sarana meditasi terbaik untuk menjaga diri agar tetap berkesadaran penuh dan terkendali. Namun bukan hanya itu, doa, zikir, tilawah Al-Qur'an dan tafakkur juga merupakan sarana-sarana 'meditasi Islam' yang seharusnya menyehatkan bukan hanya pikiran tapi juga jiwa kita.

Mudah-mudahan kita mampu menjadikan shalat, doa dan zikir-zikir kita sebagai sarana 'meditasi' agar hidup kita tetap 'mindfulness' dan tidak tertinggal dengan trend mental health yang sedang berkembang sekarang 😜.


Catatan Membaca; Six Thinking Hats

Senin, 31 Juli 2023


Judul: Six Thinking Hats
Penulis: Edward de Bono
Penerjemah: Yuniasari Shinta Dewi
Format: Paperback, 229 halaman
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2017
Harga: Rp. 25.000

Awalnya saya pikir ini buku self-help. Well, saya sebenarnya juga kurang paham dengan ruang lingkup genre self-help, sih. Tapi yang jelas, buku ini berisi panduan mengelola hubungan dalam sebuah organisasi. Cocok banget untuk para pimpinan di kantor yang kita hormati.

Buku ini sudah lama saya beli, hanya saja memang tertunda dibaca karena isinya agak kurang sesuai dengan ekspektasi saya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya saya hanya kurang meminati kegiatan berorganisasi sehingga pembahasan tentang rapat tidak terlalu saya sukai. Sungguh aneh, sebagai seorang organisatoris ketika kuliah, dan sekarang mengelola sebuah komunitas yang sedang berkembang mungkin kalian akan tidak percaya pada fakta bahwa saya sangat tidak menyukai berinteraksi dengan orang lain.

Tapi mau bagaimana lagi?! Pada kenyataannya hidup ini nggak bisa selalu mengikuti kemauan sendiri, kan?! Meskipun saya sangat tidak suka basa-basi dan segala interaksi yang berbelit-belit, pada akhirnya saya harus menerima bahwa saya butuh orang lain untuk membantu hidup. Dan beginilah jadinya, saya yang super introvert jadi founder komunitas dengan member ratusan 😅.

***

Jadi, sesungguhnya awal penyebab saya beli buku ini adalah karena nama buku Edward de Bono yang judulnya How to Have a Beautiful Mind. Saya ingin beli karena sejujurnya saya ingin sekali mengajarkan cara berpikir kepada orang lain, terutama anak saya. Biar saya bisa menularkan rasa curiosity kepada mereka, gitu lah. Ketika mau beli buku itu, kalau tidak salah ada tulisan yang mengatakan bahwa konsep 6 topi berpikir harus sudah dipahami dulu. Maka saya belilah buku ini.

Singkatnya, metode enam topi yang dibahas di buku ini adalah sebuah teknik sederhana yang sangat efektif berdasarkan ragam cara berpikir otak. Kecerdasan, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki setiap orang dimanfaatkan guna mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat dengan cepat. Demikian sinopsis di bagian belakang buku menjelaskan. Lalu, bagaimana pengalaman saya membaca bukunya?!


Kita mulai dari Pengantar. Saya akan menuliskan kembali bagian-bagian yang saya highlight dan mungkin akan saya bahas kemudian. Berpikir adalah sumber daya manusia yang mendasar. Begitu saya membaca kalimat itu, rasanya bahagia sekali. Dan kalimat-kalimat berikutnya menjelaskan bahwa manusia pada umumnya selalu berpikir untuk berusaha menjadi lebih baik. Hanya manusia rendahan yang merasa bahwa tujuan berpikir adalah untuk mendapatkan pembenaran. Nah, kesulitan utama dari berpikir adalah kebingungan. Kita berusaha melakukan terlalu banyak secara bersamaan. Merasa relatable nggak kalimatnya?! Enam topi berpikir ini mengajarkan kita untuk memisahkan emosi dari logika, kreativitas dari informasi dan seterusnya. Pokoknya keenam topi berpikir ini memungkinkan kita untuk mengatur pemikiran kita layaknya seorangg konduktor memimpin sebuah orkestra.

Baru satu halaman lewat, sudah ada catatan khusus untuk si topi hitam. Katanya, topi hitam adalah topi yang sering disalahpahami. Lho, kok kayak saya?! Padahal topi hitam adalah topi yang paling berharga dan mengenakannya berarti bersikap waspada dan hati-hati. Membaca bagian itu saya langsung curiga, jangan-jangan saya pemilik topi hitam 😏.

Berlanjut ke bagian Pendahuluan, di sinilah mulai dijelaskan tentang maksud dari enam topi berpikir. Dengan pengantar sejarah tentang awal mula pemikiran Barat dan logika berpikir, dijelaskan bahwa nilai dari topi sebagai sebuah simbol adalah menyatakan peran. Topi-topi adalah arah, bukan penjabaran. Ketika pemimpin rapat mengatakan, "Saya ingin topi merah dipakai untuk hal ini." berarti kita membutuhkan perasaan, intuisi, dan emosi terhadap situasi tersebut. Atau ketika dikatakan, "Mari kita mengenakan sebentar topi berpikir putih di sini." berarti semua harus berfokus pada informasi.

Penjabaran berurusan dengan apa yang telah terjadi. Sementara arah berurusan dengan apa yang akan terjadi. "Saya ingin Anda melihat ke arah timur" sangat berbeda dengan "Anda telah melihat ke arah timur." Ada godaan sangat besar untuk menggunakan topi-topi guna menggambarkan dan mengelompokkan orang-orang.  Memang, orang-orang mungkin lebih suka satu cara daripada cara yang lain. Meskipun begitu, topi-topi bukanlah kategori orang-orang. (h. 7-8)

Jadi intinya, metode enam topi berpikir adalah meminta semua yang hadir dalam rapat untuk  mengenakan topi tertentu pada waktu yang ditentukan. Sehingga kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin kecerdasan dan pengalaman semua orang.

***

Enam topi memiliki warnanya masing-masing sesuai dengan kegunaannya. Topi putih, netral dan objektif. Topi putih berurusan dengan fakta-fakta dan angka-angka yang objektif.

Topi merah menandakan kemarahan (rasa jengkel), murka, dan emosi. Topi merah memberikan pandangan emosional.

Topi hitam berarti suram dan serius. Topi hitam berarti bersikap waspada dan hati-hati. Ini menunjukkan kelemahan-kelemahan pada setiap gagasan.

Topi kuning berarti cerah dan positif. Topi kuning berarti bersikap optimistis dan mencakup harapan dan berpikir positif.

Topi hijau berarti rumput, tumbuh-tumbuhan, dan pertumbuhan yang subur, berlebihan. Topi hijau menandakan kreativitas dan gagasan baru.

Topi biru berarti tenang, dan juga merupakan warna langit, yang lebih tinggi dari segalanya. Topi biru berurusan dengan kendali, pengaturan dari proses berpikir dan pemakaian topi-topi lainnya.

Kita juga harus mengingat tiga pasang topi;

Putih dan merah
Hitam dan kuning
Hijau dan biru

Penggunaan topi bisa dengan beberapa cara. Apakah terpisah, berurutan, atau dengan cara-cara lain yang disampaikan di dalam buku ini. Menurut saya, jika buku ini dibaca oleh sebuah tim atau orang-orang yang bekerja sama dan mereka bisa berkomitmen untuk melaksanakannya dalam setiap rapat, maka aktivitas rapat bisa jadi lebih efektif. Karena gagasan yang disampaikan dalam buku ini sangat aplikatif.

Setelah buku ini, saya ingin mencoba membaca buku Edward de Bono yang lain; Kursus Lima Hari dalam Berpikir. Saya sudah tidak peduli apakah buku itu nanti akan membahas tentang rapat lagi atau sesuai dengan harapan saya; mengajari kaidah berpikir yang saya bayangkan. Yang jelas, panduan-panduan tersebut saya yakini akan bermanfaat untuk aktivitas sosial saya.
© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.