SLIDER

What I'm reading
Tampilkan postingan dengan label What I'm reading. Tampilkan semua postingan

Catatan Baca: Adab dan Kiat dalam Menggapai Ilmu (bag. 1)

Sabtu, 18 Januari 2025

Struktur buku ini cukup menarik, meski di bagian mukaddimah membahas seputar keutamaan ilmu dan kemuliaan menuntut ilmu namun bagian inti bukunya langsung menyinggung tentang faktor-faktor penghalang dalam menuntut ilmu. Ini seperti berlawanan dengan kitab-kitab tentang adab menuntut ilmu yang sudah ada lebih dulu. 

Buku ini kami pilih untuk menjadi pengisi spesial season Quran Study Rahmah Study Club karena kami memahami bahwa urgensi mempelajari adab dalam menuntut ilmu itu tidak terhindarkan tapi nyatanya banyak dari kami yang seringkali masih abai dengannya, termasuk saya sendiri. Dan sebagaimana ilmu-ilmu lainnya yang perlu untuk dikaji ulang dari waktu ke waktu, ilmu tentang adab menuntut ilmu tentunya menjadi cabang ilmu yang paling butuh untuk selalu dimuraja'ah karena akan menjadi pondasi bagi kokohnya ilmu lain yang ingin dibangun.

Sudah nggak asing kan dengan fakta tentang buruknya adab manusia zaman sekarang? Jangankan anak-anak, orang tuanya juga sering ada yang kelakuannya bikin geleng-geleng kepala. Dan virus kurang adab ini secara pribadi juga saya rasakan dalam diri. Baca buku ini mudah-mudahan bisa memberikan dampak baik untuk saya.

Rangkuman Bacaan

Apa yang membuat aktifitas belajar jadi nggak bermanfaat?

1. Niat yang salah

"Tidak ada satu urusan yang lebih berat bagiku untuk aku obati selain daripada niat." Sufyan Ats-Tsauri

Kalau Sufyan Ats-Tsauri seorang imam besar agama ini saja mengatakan seperti itu, apa lagi saya? Saya adalah orang yang paling mudah kotor hatinya. Makanya seringkali khawatir kalau mau nambah ilmu. Lho?! Nah, ini salah satu penyakit tambahan lagi. Karena saya ini mudah sekali merasa sombong, saya jadi takut kalau misalnya nanti saya jadi berilmu lalu merasa lebih mulia dibanding orang lain. Sampai saat ini saya masih berusaha membenahi penyakit yang satu ini.

Tapi terlepas dari keadaan pribadi saya, kondisi yang disampaikan di dalam buku ini menunjukkan bahwa niat yang salah dalam menuntut ilmu itu bukan barang langka. Kemuliaan yang dijanjikan bagi para ahli ilmu tentu menjadi godaan yang sulit diabaikan. Dan disebutkan dengan jelas, niat ingin tampil, ingin terkenal, atau ingin menguasai majelis adalah beberapa niat salah yang sering menjangkiti para penuntut ilmu. Padahal harusnya menuntut ilmu itu kita niatkan untuk mendapatkan ridho Allah, karena menuntut ilmu adalah perintahNya. 

Berkaitan dengan niat ini, sebagai guru saya sering banget menemukan dan/atau mendengar berbagai alasan anak-anak murid sekarang ketika ditanya tujuan mereka belajar atau sekolah. Sebagian besar mereka (atau setidaknya murid-murid saya) nggak punya big reason yang membuat mereka ingin tampil maksimal di sekolah. Rata-rata mereka sekolah hanya karena orang tua mereka yang menyuruh untuk sekolah, atau ada yang bilang, 'kalo nggak sekolah emang mau ngapain?'. Deep in their hearts mereka menganggap bahwa sekolah nggak punya manfaat signifikan dalam hidup mereka, tapi tetap mereka tempuh karena ya hanya itu yang bisa mereka lakukan.

Pada titik ekstrem satunya, anak-anak yang bersemangat sekolah punya tujuan yang sangat pragmatis untuk masa depannya, sampai-sampai mereka tanpa sadar menggadaikan ilmu agamanya untuk tujuan yang sangat remeh. Menghafal Al-Qur'an misalnya, banyak sekali yang berjuang demi menjadi hafidz Quran karena ingin bisa masuk PTN favorit tanpa tes atau melalui jalur undangan. Rasanya sulit sekali untuk membenahi cara berpikir pragmatis ini karena hal itu juga sudah ditanamkan oleh orang tua dan masyarakat sekitar mereka.

2. Ingin terkenal dan cari popularitas

Menjadi pintar dan cerdas sepertinya sudah nggak istimewa lagi di zaman sekarang ini. Jadi mungkin poin ini nggak terlalu relevan, tapi bukan berarti nggak ada orang yang belajar untuk tujuan itu. Masih mirip dengan poin pertama, seseorang yang belajar atau menuntut ilmu dengan tujuan selain Allah berarti sudah salah niat.

"Sesuatu yang paling terakhir hilang dari orang-orang yang shalih adalah, keinginan untuk berkuasa dan keinginan untuk tampil." Imam Asy-Syathibi

Membaca penjelasan tentang poin ini membuat saya melihat pada posisi selebritas saat ini, terutama jika dibandingkan dengan perkataan Imam Ahmad bin Hanbal (hal. 6) "...sungguh aku telah diuji dengan popularitas." Betapa terhormat dan mulianya posisi ahli ilmu saat itu sehingga menjadi ahli ilmu kedudukannya seperti selebritas atau pejabat. 

Pada circle tertentu saya masih menjumpai orang-orang yang mengidolakan ulama dengan berlebih-lebihan, dan hal itu pasti godaan yang sangat berat bagi para ulama tersebut. Dan sebagai penuntut ilmu, saya berharap dan berdoa agar tidak terjebak pada ambiguitas antara ghuluw dan penghormatan kepada ahli ilmu.

3. Lalai menghadiri majelis ilmu

Seandainya kebaikan yang ada dalam majelis-majelis ilmu tersebut hanya berupa ketenangan bagi yang menghadirinya, dan rahmat Allah ta'ala yang meliputi mereka, tentulah cukup dua hal itu saja sebagai pendorong untuk menghadirinya.

Padahal kebaikan dari majelis ilmu itu jauh lebih besar dari dua hal itu; ilmu yang bermanfaat yang bisa memberikan ganjaran pahala dan balasan surga di akhirat.

Masih teringat sangat jelas dalam ingatan saya ketika suatu hari ngobrol dengan beberapa teman, yang ternyata mereka menganggap bahwa pertemuan pekanan di forum liqo' itu sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan ilmiyah mereka. Saya sangat terkejut saat itu, karena ternyata bahkan bagi mereka yang sudah terbiasa 'ngaji' sejak lama, kesadaran untuk menuntut ilmu syar'i itu belum tumbuh dan benar-benar merasa cukup dengan keadaan mereka itu. Lalu ketika ada hal-hal yang mereka belum ketahui, mereka hanya mendiskusikannya di grup-grup chat sesama mereka dan sama sekali nggak terpikir untuk mencarinya melalui kajian ilmiyah. Saya benar-benar nggak habis pikir ketika suatu hari teman saya menanyakan tentang penjelasan hadits, lalu teman lainnya membalas dengan screenshot jawaban dari Gemini. Like, don't you think of asking a real scholar, sis? Apalagi tema yang ditanyakan adalah hadits arba'in, tema yang sangat banyak bertebaran kajiannya di Youtube.

Saat itu saya langsung memberikan rekomendari kajian yang bisa disimak agar mereka nggak salah paham dan malah membuat kesimpulan sendiri. Tapi yang saya sadari adalah, ternyata kelalaian dalam menghadiri majelis ilmu itu bukan hanya ketika kita tidak memperhatikan dengan saksama ketika bermajelis tapi juga ketika merasa tidak butuh dengan majelis ilmu itu sendiri. Seperti kata Selir Gyokuyou, 'Ignorance is a sin'.

4. Beralasan dengan banyaknya kesibukan

Bagian ini adalah kritikan paling keras untuk diri saya yang selalu merasa kehabisan waktu untuk belajar. To be fair, saya memang kehilangan waktu juga untuk bersenang-senang. Video-video Youtube yang biasanya bisa saya tonton langsung segera setelah tayang, sekarang jadi saya simpan dulu ke 'Tonton Nanti' dan jumlahnya sudah sampai ratusan. Sesibuk itu sampai-sampai rasanya burn out terus setiap hari.

Saya berharap nggak jadi salah satu dari orang-orang yang selalu beralasan untuk menghindari belajar. Terus, sekarang jadi teringat sama hafalan yang sudah lama nggak dimuroja'ah.

5. Menyia-nyiakan kesempatan belajar di waktu kecil

Sudah mafhum banget, tiap orang dewasa yang baru sadar dan berhijrah pasti menyesali masa mudanya. Bahkan saya yang beruntung bisa mendapat pendidikan agama dengan baik waktu masih kecil pun, menyesal karena nggak memanfaatkan masa-masa itu dengan baik dan malah memilih jalan lain.

6. Enggan mencari ilmu

Kalau tadi ada yang lalai dari majelis ilmu karena ignorance, ada juga ternyata orang-orang yang memang males aja buat belajar. Buat mereka belajar ilmu agama itu capek, dan bukan tugas mereka. Belajar agama itu tugasnya ustadz, atau orang yang ingin jadi ustadz. Ada juga orang yang paham urgensinya tapi nggak siap dengan kesulitannya, akhirnya jadi bikin-bikin alasan; umur udah nggak bersahabat, undah nggak ada waktu, dll, dsb.

Satu kutipan yang benar-benar membuat saya refleksi adalah ini;

Sangat disayangkan, banyak aktifis muda yang marah apabila larangan Allah ta'ala dilanggar, dan menangis karena larangan Allah ta'ala dilecehkan, namun mereka meremehkan berbagai kemaksiatan yang lainnya seperti ghibah, namimah, dan lainnya. Mereka tidak melaksanakan shalat seperti yang dicontohkan Nabi saw, mereka tidak berwudhu seperti wudhunya Rasulullah saw...;

Dan masih senada dengan poin nomor 3 tadi, poin ini membuat kondisi umat Islam dan bahkan yang mendaku sebagai aktifis dakwahnya menjadi semakin terpuruk. Banyak sekali saya temui orang-orang yang semangat berdakwahnya luar biasa tapi ternyata nggak punya pemahaman ilmu syar'i bahkan yang dasar sekalipun. Tentu ini disebabkan banyak hal dan bukan di sini tempatnya untuk dibahas, tapi ini jadi pengingat untuk diri saya bahwa keengganan dalam mencari ilmu berdampak sangat besar bukan hanya untuk diri saya sendiri tapi juga umat Islam secara keseluruhan. Kebangkitan Islam nggak bisa tercapai kalau saya sebagai pribadi muslim nggak mau atau nggak peduli dengan peran saya sebagai hamba Allah. Karena peran inilah yang paling penting sebelum peran-peran lainnya. Maka, menuntut ilmu itu menjadi keharusan dan kebutuhan untuk saya supaya upaya saya dalam mendakwahkan Islam dilandasi dengan pemahaman yang benar. Bukan sekadar ikut-ikutan orang.

7. Menilai baik diri sendiri

Ini saya banget, sih! Entah gimana ya ngilangin perasaan ini. Sejauh ini cara yang saya lakukan adalah dengan menghindari ketenaran dan mengurangi tampil di hadapan banyak orang. Kalaupun tampil, bicaranya nggak boleh kebanyakan. Tapi setiap kali ketemu orang yang dipuji-puji orang padahal aslinya biasa saja, saya selalu mbatin, 'kok begitu doang kalian udah kagum sih?!' Innalillah...

8. Tidak mengamalkan ilmu

"...tidak mengamalkan ilmu merupakan sebab utama tidak berkahnya ilmu."

Salah satu hal yang saya perhatikan dari poin ini adalah, tentang zikir. Sudah lama sekali rasanya saya nggak mengamalkan zikir dan doa-doa kecil itu. Mestinya harus saya amalkan lagi. Dan saya berdoa semoga saya bisa mengamalkan setiap ilmu yang saya pelajari.

"... adapun zakat ilmu adalah dengan mengamalkan dan mengajarkannya...."

9. Putus asa dan rendah diri

10. Sikap menunda-nunda

Saya yang suka nunggu momen tertentu untuk memulai kebaikan, saya yang suka nunggu tahun baru untuk mulai kebiasaan baik, saya yang nunggu hari tertentu untuk melakukan sesuatu. Pokoknya ini saya yang suka menunda-nunda.

Photo by Nik on Unsplash

Kesempatan yang sering disia-siakan oleh sebagian penuntut ilmu

1. Ziarah (saling mengunjungi)

Yang saya ingat dari bacaan ini mungkin nggak ada kaitannya, tapi menurut saya juga penting. Di podcast ini, beliau menyebutkan bahwa sistem pesantren itu bagus banget dan highlightnya beliau bilang, 'kita tuh nggak bisa sholeh sendirian'. Saya yang seintrovert ini pun percaya kalau saya nggak bikin RSC, mungkin saya nggak akan bersemangat untuk belajar. Saya bersyukur hidup di zaman ini di mana untuk berkumpul dalam majelis nggak perlu sampai meninggalkan rumah.

2. Sibuk dengan urusan yang tidak terlalu penting

"...jika Anda memiliki kemampuan lebih, janganlah Anda menghalangi diri Anda untuk melakukan sesuatu yang baik, dan memanfaatkan waktu. Sungguh umur kita sangat pendek dan ilmu itu sangat luas."

"Jika kita mau mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur dan menjaga waktu dari berbagai kesibukan, agar selalu bermanfaat lalu mengatur waktu untuk membaca dan menghafal, niscaya kita akan mendapatkan kelezatan dan menisnya ilmu. Kita akan merasa rindu untuk banyak membaca dan membahas tentang ilmu."

3. Kaset, CD, atau rekaman kajian

Ketidakpedulian kita dalam mengatur waktu, lebih tepatnya tidak pandainya kita dalam menempatkan prioritas membuat kita gagal dalam mengambil manfaat dari kemudahan yang kita miliki hari ini. Dengan menulis 'kita' ini maksudnya saya.

4. Waktu antara adzan dan iqomah

Contoh yang ditulis pada bagian ini kembali menyadarkan saya tentang betapa berharganya waktu mustajab yang satu ini dan betapa kita seringkali mengabaikannya. Saya sendiri biasa menunggu waktu shalat jamaah dengan tilawah. Tapi seperti yang ditulis di buku ini, saya lebih sering lalai karena hadir ke jama'ah terlambat sehingga nggak punya waktu untuk memaksimalkan kesempatan baik ini.

5. Membaca secara bebas

Saya sebagai pembaca novel, dengan egois akan mengatakan bahwa novel-novel yang saya baca itu ada manfaatnya. Jadi, kalaupun saya nggak baca buku pelajaran juga nggak pa-pa ๐Ÿ˜….

Adab Penuntut Ilmu

Yang paling dibutuhkan dalam menuntut ilmu sebelum yang lainnya adalah memurnikan niat hanya untuk Allah. Menuntut ilmu juga membutuhkan pengorbanan; baik yang terkait dengan pengorbanan jasmani, waktu, jiwa atau pun harta.

Bahkan dengan segala kemudahan yang kita miliki saat ini, menuntut ilmu tetap membutuhkan usaha yang luar biasa terutama usaha untuk mengalahkan nafsu dan syahwat. Bagi saya dan tentu sebagian orang lain, membeli buku adalah pengeluaran tersier yang selalu berada di prioritas akhir dibanding makan dan lainnya.Tapi dengan adanya ulama-ulama yang tersebar, mestinya kita masih tetap bisa mengambil manfaat dari mereka. Internet, adalah alat yang sangat baik untuk bisa menjangkau kemanfaatan ilmu di zaman sekarang.

1. Niat yang ikhlas

2. Antusias untuk menghadiri berbagai majelis ilmu

Semangat ini tentunya adalah karunia dari Allah, maka jangan pernah lupa untuk meminta kepadaNya untuk diberikan semangat dalam menuntut ilmu dan bersyukurlah karena Allah telah membuat hati ini cenderung kepada ilmu.

3. Bersegera mendatangi majelis ilmu di awal waktu dan tidak terlambat

Sepertinya ini adalah kritik keras untuk para penuntut ilmu, apalagi di Indonesia yang budayanya lebih menghargai orang yang terlambat dibanding yang tepat waktu. Saking parahnya, saya sering merasa kurang nyaman untuk hadir di awal waktu karena yang lain pasti terlambat.

4. Mencari tahu pelajaran yang tertinggal

Jika di pondok ada istilah menambal kitab. Dulu ketika sekolah pun kita terbiasa bertanya kepada teman jika sekiranya kita nggak hadir di hari sebelumnya. Tapi sekarang, budaya ini sepertinya sudah hilang. 11 tahun jadi guru, saya belum pernah mendapati murid yang mengerjakan tugas yang dia tinggalkan ketika absen. Hal ini benar-benar mengkhawatirkan. Murid-murid yang nggak merasa rugi ketika meninggalkan kelas, nggak peduli dengan kewajibannya, apa yang bisa kita harapkan darinya?

5. Mencatat faedah-faedah yang penting pada buku cetak

Tradisi ini yang sedang kami coba bangun di RSC. Bukan hanya membaca, tapi juga menuliskan manfaat yang kami dapatkan dari buku tersebut. Dan yang sekarang ini juga sedang saya coba lakukan.

Pesan lain yang ada di bagian ini juga mengingatkan saya pada buku How to Read a Book karya Mortimer J. Adler. Melihat dan membaca informasi buku secara garis besar atau inspectional reading, membantu kita mengetahui tema besar apa yang dibahas dalam buku tersebut sehingga kita bisa menentukan apakah kita perlu membacanya segera atau bisa ditunda untuk lain waktu. Beberapa tahun belakangan kebiasaan anotasi mulai populer, dan hal itu juga adalah salah satu poin yang disarankan di buku How to Read a Book. Kalau kalian punya kesempatan untuk membaca buku itu, saya sangat rekomendasikan karena di dalamnya ada banyak sekali manfaat yang bisa membantu aktifitas membaca kita menjadi lebih menarik.

6. Diam ketika pelajaran disampaikan, dan tidak menyibukkan diri dengan hal yang lain

7. Menghadiri berbagai majelis ilmu yang memungkinkan untuk dihadiri

Sungguh Allah ta'ala telah banyak memberikan kita nikmat berupa sarana-sarana yang dapat memudahkan kita untuk menuntut ilmu, baik berupa buku-buku maupun kaset-kaset. Namun itu semua tidak dapat menggantikan secara persis kehadiran kita di dalam majelis ilmu; karena dengan menghadiri majelis ilmu itu ada ganjaran yang tidak didapatkan dengan membaca buku, ataupun mendengarkan kaset.

8. Tidak mudah putus asa

Apa yang paling sering membuat saya putus asa? Hafalan Quran dan Nahwu-Sharaf. ๐Ÿ˜“

9. Tidak memotong pembicaraan guru

10. Beradab dalam bertanya

Dua jenis pertanyaan yang nggak perlu ditanyakan kepada guru ketika sedang berada dalam majelis; pertanyaan yang kita sudah tahu jawabannya, dan pertanyaan yang menunjukkan kebodohan kita. Untuk yang pertama ini saya cukup sering menyaksikannya, bahkan salah satunya baru saja kejadian pekan lalu. Salah seorang teman saya bertanya kepada guru kami tentang hukum sebuah perbuatan dan dia mengatakan bahwa ustadz A berpendapat begini. Lalu saya langsung menimpali, "Kalau sudah tahu ustadz A mengatakan begini, mengapa masih bertanya kepada Umi?"

Teman saya ini mengatakan bahwa dia hanya ingin mendengar pendapat lain, terutama dari guru kami tersebut. Apakah beliau memiliki pendapat yang berbeda, ataukah sama. Tapi itu bukanlah adab yang baik karena seolah-olah kita ingin mengadu pendapat satu guru dengan yang lain. Bahkan banyak diantara jenis pertanyaan yang dilontarkan dengan cara yang sama ini, kebanyakan penanya hanya ingin mencari guru yang memiliki jawaban yang sesuai dengan hawa nafsunya. 

Untuk jenis yang kedua memang agak sulit untuk dikenali. Tapi dari pengalaman mengajar, saya sering menemukan murid-murid yang jengkel jika salah satu teman mereka menanyakan hal yang baru saja saya jelaskan. Mungkin itu jadi salah satu contoh, karena menanyakan hal yang baru saja dijelaskan guru itu menunjukkan bahwa kita kurang memperhatikan selama pelajaran berlangsung, yang tentu sama saja seperti menyia-nyiakan waktu. Dan dengan menanyakannya, kita bukan hanya menyia-nyiakan waktu kita sendiri tapi juga waktu teman-teman kita yang sedang belajar bersama kita. Dan dulu di pesantren, kami jarang sekali bertanya kepada guru ketika di kelas, namun biasanya pertanyaan-pertanyaan itu kami lontarkan kepada sesama teman ketika mudzakarah bersama. Jika ternyata kami sama-sama tidak menemukan jawaban, maka barulah kami akan tanyakan kepada guru di pertemuan berikutnya.

11. Meneladani akhlak guru

Sejujurnya ini adalah bagian paling mengerikan buat saya sebagai seorang guru. Sebagai murid, saya selalu memperhatikan bagaimana guru saya membawakan pelajaran di dalam majelis. Dan saya sangat sadar bahwa anak-anak murid saya juga pasti melakukan hal yang sama kepada saya. Sementara saya ini adalah orang paling random di sekolah ๐Ÿ˜‚. Semoga Allah jaga saya dan menyembunyikan semua keburukan saya di hadapan murid-murid saya.

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

As Long As The Lemon Trees Grow; the right book at the right time

Sabtu, 04 Januari 2025

Saya sudah tahu buku ini sejak pertama rilis dan langsung penasaran. Tapi karena ada yang bilang kalau bagusan versi aslinya, jadi saya agak menahan diri untuk beli sampai akhirnya sempat kehilangan keinginan untuk baca. Kayak udah terlambat gitu lho, sudah lewat 4 tahun sejak bukunya rilis. Untungnya bulan Oktober kemarin saya ngide bikin bookclub ala-ala dengan beberapa murid. Waktu saya cerita sedikit sinopsis buku ini, anak-anak langsung setuju untuk baca bareng buku ini selama bulan November.

Sayangnya saya nggak bisa tepat waktu nuntasin baca bukunya. Tentu saja karena banyak kerjaan dan memang kalau baca buku bahasa Inggris saya butuh effort lebih banyak dibanding baca buku bahasa Indonesia. Eh, tergantung juga sih. Soalnya baca The Apothecary Diaries bisa sehari tamat satu jilid ๐Ÿ˜…. Saya baca buku ini pelan-pelan, diantara alasannya adalah karena tema bukunya yang lumayan berat dan awalnya saya ingin buat reading vlog untuk buku ini. Ternyata saya kehilangan mood di tengah jalan, jadi saya tulis saja reviewnya di sini. Mungkin nanti saya tetap buat video reviewnya setelah menulis ini.

Author : Zoulfa Katouh
Published : 2022
Genre : Historical Fiction, Romance, YA
Seeting : Homs, Syria, 2011s

As Long As The Lemon Trees Grow. Mengapa judulnya seperti itu? Salah seorang teman ada yang pernah bertanya kepada saya. Sejujurnya itu juga yang saya pikirkan ketika pertama kali melihat buku ini berseliweran di YouTube. Lalu setelah saya telusuri, ternyata buah lemon adalah salah satu komoditas utama di Suriah. Saya baca di sini, betapa buah lemon memiliki arti yang mendalam bagi orang Arab secara umum. Mungkin seperti buah zaitun bagi orang Palestina. Buah lemon bukan hanya melambangkan kebersamaan keluarga, tapi juga persistensi dan keteguhan harapan mereka.

Dan tema inilah yang ingin diangkat oleh Zoulfa Katouh dalam novelnya. Bercerita tentang Salama, gadis berusia 18 tahun yang seharusnya masih menjadi mahasiswa farmasi, tapi terpaksa membantu sebagai tenaga kesehatan di rumah sakit di daerahnya karena perang saudara yang terjadi. Salama tinggal berdua dengan kakak ipar yang juga teman baiknya, Layla yang sedang hamil 7 bulan. Kakak dan Ayahnya ditangkap oleh tentara Suriah karena 'memberontak'. Ibunya meninggal tidak lama setelah itu karena bom, dan dia juga hampir saja kehilangan Layla belum lama ini.

Salama harus mengambil pilihan yang sulit. Di satu sisi dia ingin menyelamatkan Layla dan calon keponakannya dengan mencari suaka ke Eropa, tapi di sisi lain jumlah tenaga medis makin menipis dan dia tidak bisa mengabaikan tanggung jawab itu begitu saja. Di sepanjang novel ini kita akan mengikuti pergulatan batin Salama dan bagaimana dia menjalani hari-harinya dengan segala kekacauan yang terjadi di negerinya.

Bagian romantis dari novel ini dimulai setelah Kenan muncul, seorang pemuda 19 tahun yang ingin menjadi bagian dari revolusi. Kehadiran Kenan membuat Salama semakin berani menghadapi ketakutan dan traumanya sambil menumbuhkan harapan dalam hatinya.

Di As Long As The Lemon Trees Grow, kesehatan mental merupakan dasar bagi alur cerita dan karakter. Salama yang masih muda dan awalnya adalah anak bungsu dari keluarga bahagia, harus kehilangan keluarga secara mendadak dan tragis. Hal itu membuatnya trauma dan akhirnya muncullah sosok Khawf yang mungkin adalah produk dari PTSDnya. Bukan hanya Salama, karakter lain juga digambarkan mengalami trauma seperti Yusuf yang kesulitas bicara.

Kehadiran Khawf dalam novel mau tidak mau mengingatkan saya pada karakter Xiu Bai-jiu di film Wu Xia. Setiap kali Khawf muncul, caranya hadir yang mengusik Salama selalu tergambar seperti adegan di film itu. Kalau kalian belum nonton, saya rekomendasikan banget film ini๐Ÿ˜‰. Jika mau dianalisis lebih jauh, sepertinya sosok seperti Khawf bisa dijadikan kajian tersendiri, apakah dia adalah simbolis dari rasa takut seperti yang disampaikan Salama? Khawf berarti 'takut' dalam bahasa Arab, btw. Pun kalau akan dikategorikan sebagai antagonis, sesungguhnya dia yang selalu membimbing Salama untuk menghadapi kehilangan yang dirasakan Salama selama perang.

Awalnya saya pikir karakter Kenan sama sekali nggak perlu ada di novel ini. Dan saya sempat mengira kehadirannya dibuat hanya untuk menarik pembaca saja. Tapi ternyata setelah membaca sampai sekitar 2/3 bagian buku, barulah saya sadar kalau Kenan memiliki peran vital dalam memulihkan kestabilan emosi Salama dan hubungan mereka memberikan harapan di tengah kehancuran kota Homs dan Suriah.

Sepanjang baca novel ini, saya selalu terbayang video-video tentang Palestina yang sering muncul di beranda sosial media. Saya bersyukur Zoulfa Katouh menulis novel ini dan akhirnya laris di pasaran, karena sejujurnya saya juga sudah mulai lupa pada konflik Suriah sejak pertama kali mendengar beritanya ketika masih kuliah dulu. Membaca novel ini di akhir tahun 2024, sepertinya jadi takdir baik karena nggak lama setelah itu terdengar kabar bahwa Bassar Al-Assad pergi meninggalkan Suriah. Saat ini rakyat Suriah sedang bersuka cita merayakan kemerdekaan mereka atas penjajahan pemimpinnya sendiri.

Meskipun beberapa kali nangis pada adegan-adegan sedih, ada beberapa hal yang membuat saya sering gemas ketika membaca novel ini. Pertama, karena terlalu fokus pada Salama, saya jadi nggak punya gambaran utuh tentang karakter-karakter pendukung lainnya. Sejujurnya saya ingin tahu, ada berapa dokter dan perawat yang bekerja di rumah sakit itu. Karena sepanjang novel yang disebut namanya hanya Dr Ziad dan Nour, setiap kali adegan di rumah sakit saya selalu membayangkan petugas yang berada di sana hanya mereka bertiga. Beberapa kali juga peristiwa dalam sehari diceritakan begitu cepat, sehingga saya merasa Salama yang baru saja berangkat ke rumah sakit di halaman sekian lalu sudah pulang di halaman sebelahnya.

Kedua, saya ingin kenal lebih jauh dengan karakter Am. Pencitraan yang saya terima dari sudut pandang Salama membuat Am tampak seperti sosok yang pragmatis. Tapi entah mengapa saya merasa Am nggak seperti itu. Saya ingin tahu kenapa dia seperti enggan setiap kali Salama menanyakan kabar anaknya. Apakah Am nggak kenal Layla? Apakah benar dia nggak mau meninggalkan Suriah karena bisnis yang dijalaninya itu menghasilkan uang? Apa maksudnya ketika bilang ke Salama, "Don't think about asking for forgiveness." By the way, lewat novel ini juga saya jadi punya gambaran yang jelas tentang bisnis serupa di Palestina. Kalau tidak salah, beberapa tahun lalu Narasi pernah melakukan liputan tentang bisnis ini di channel YouTube mereka.

Ada banyak Quotes yang saya tandai di buku ini, terutama yang berkaitan dengan harapan dan menemukan kebahagiaan. Salah satunya adalah ini,

You deserve to be happy. You deserve to be happy here. Because if you won't try it in Syria, then you won't try in Germany.

Adegan ini semacam pengingat bagi saya tentang alasan orang-orang di Palestina selalu tetap terlihat bahagia dan teguh pendiriannya. Bahwa semenyeramkan apapun kondisi yang mereka hadapi, harus tetap ada usaha untuk mengisi hati agar tetap bersyukur dan menikmati kehidupan yang sementara. Karena pada akhirnya, kematian akan menjemput semua orang. Bagi mereka di Suriah, jika tidak mati karena perang, mungkin mati karena kelaparan.

Meskipun dikategorikan sebagai YA, novel in melampaui batasan usia. Menyentuh hati dan pikiran pembaca dari segala usia. Novel ini bisa menjadi pengingat bahwa tema-tema tentang ketangguhan, harapan dan kegigihan meraih masa depan yang lebih baik adalah nilai-nilai yang dimiliki semua orang tidak peduli dimanapun mereka berada dan dalam kondisi apapun kehidupan mereka. Wajar saja kalau buku ini banyak direkomendasikan, karena memang mampu menyentuh dan menumbuhkan pemahaman serta empati bagi banyak orang yang terkena dampak perang. Karena buku ini, banyak orang di dunia mengenal Suriah dan memahami keganasan yang terjadi di sana. Karena buku ini, saya jadi teringat kembali kepada Suriah dan mendokannya.

Kemarau; One of a kind classic literature

Rabu, 07 Agustus 2024

Saya cukup yakin pernah membaca karya AA Navis yang paling populer berjudul Robohnya Surau Kami ketika masih SMP dulu. Makanya tempo hari ketika memilih bacaan yang bertema Islami dalam video blog terbaru, saya memilih karya beliau lagi untuk jadi pelengkap. Dan saya benar-benar puas, akhirnya menemukan lagi salah satu buku terbaik yang saya baca tahun ini.


Judul: Kemarau
Penulis: AA. Navis
Format: E-book, 178 halaman
Platform: iPusnas

Buku ini tidak tebal, hanya berjumlah 178 halaman dengan pengantar dari Sapardi Djoko Damono berisi pujian tak berkesudahan yang saya amini setiap baris kalimatnya. Diawali dengan gambaran kemarau panjang, kalimat-kalimat sederhana namun 'berisi', Kemarau adalah sindiran lain terhadap praktik beragama dan tradisi sosial masyarakat kita yang ternyata tidak banyak berubah sejak buku ini diterbitkan pertama kali tahun 1957. Saya yang membacanya di tahun 2024, masih saja manggut-manggut setuju dan sesekali tersenyum getir membaca tiap adegan yang digambarkan ternyata masih sering saya temui juga di masa ini.

Berkisah tentang Sutan Duano, seorang lelaki berusia 50 tahunan yang menjadi anomali dari masyarakat di kampung tempat ia tinggal. Sutan Duano digambarkan sebagai pekerja keras, ketika masyarakat sudah menyerah pada keadaan dan usaha-usaha yang mereka lakukan tidak membuahkan hasil, Sutan Duano menunjukkan kepada kita bahwa ikhtiar terbaik seorang manusia dalam menghadapi ujian dari Tuhan adalah dengan mengerahkan usaha manusiawinya hingga sebab takdir diberikan oleh Tuhan. Masyarakat kampung yang malas hanya mengandalkan dukun-dukun untuk mengundang hujan, dan baru ketika dukun-dukun itu tidak berhasil menghadirkan hujan barulah mereka ingat Tuhan. Gambaran itu seperti menunjukkan kepada kita bahwa masyarakat kampung tersebut hanya menganggap Tuhan sama seperti dukun. Saya melihatnya seperti mereka menganggap Tuhan sebagai candaan. Dan kenyataannya, pada kehidupan nyata sering kita dapati masyarakat melakukan hal yang serupa itu.

Disusun dengan bab-bab yang pendek, tiap bab menjelaskan penggal-penggal episode kehidupan Sutan Duano dan perlahan kita akan digiring untuk mengenal masa lalunya. Sutan Duano yang merupakan pendatang di kampung, dalam waktu 10 tahun telah menjadi tokoh yang dihormati karena kerja kerasnya. Meski awalnya kehadirannya cukup mengejutkan masyarakat karena memilih untuk tinggal di surau padahal usianya masih 40 tahun, kehadiran seorang prajurit revolusi yang mengungsi di kampung tersebut seperti menandai diterimanya Sutan Duano di kampung.

Sindiran dalam Kemarau benar-benar dilancarkan AA Navis secara bertubi-tubi. Sejak bab pertama hingga halaman terakhir. Setelah menyindir sikap malas dan apatis masyarakat di bab pertama, di bab kedua sindiran itu diperkuat dengan gambaran orang-orang kampung yang lebih memilih 'pengetahuan umum' dibanding bekerja mengolah tanahnya. Dan betapa kedudukan dan status sosial sangat dijunjung tinggi, hingga apapun yang dilakukan mereka hanyalah untuk memenuhi tujuan tersebut.

Sutan Duano yang pekerja keras akhirnya mendapat tempat di hati masyarakat karena kemurahan hatinya. Meskipun menjalani hidup yang sama sekali lain dengan masyarakat kampung, kepada Sutan Duano-lah mereka meminta pertolongan setiap terjadi masalah, hingga akhirnya Sutan Duano diminta menjadi guru ngaji di surau tempatnya tinggal.

Lebih lanjut tentang kedangkalan berpikir masyarakat, saya jadi teringat dengan trend sindiran IQ rata-rata yang dipakai belakangan ini untuk menjelaskan daya nalar masyarakat Indonesia yang dibawah rata-rata. Sutan Duano digambarkan begitu kesulitan untuk menyadarkan masyarakat kampung tentang konsep tawakkal dan ikhtiar. Dan meskipun dia telah berjuang sepuluh tahun dalam memperbaiki keadaan itu, pada akhirnya yang terjadi ternyata sangat bertentangan dengan harapannya. Dia mengharapkan kecerdasan, namun masyarakat justru mengidolakan dirinya. Kedangkalan berpikir itu makin diperkuat dengan adegan berita palsu yang begitu mudah dipercaya dan disebarkan dengan membabi-buta oleh masyarakat kampung padahal muncul dari mulut seorang anak kecil. Betapapun Sutan Duano memberi teladan kepada masyarakat, tak tergerak juga mereka untuk berubah.

Tapi meskipun Sutan Duano sudah berusaha tampil menjadi teladan yang baik bagi masyarakat, nyatanya dirinya sendiri pun bukan sosok yang sempurna. Pelan-pelan kelamnya masa lalu Sutan Duano mulai terkuak dan membawa kita pada akhir cerita ini, dan bagi saya endingnya inilah satu-satunya hal yang saya kurang sukai dari buku ini.

Menulis ulasan ini membuat saya ingin memiliki buku fisiknya. Saya yakin, tiap halaman pasti ada bagian yang bisa dihighlight dan didiskusikan. Dan sampai saat ini saya masih belum paham, mengapa karya ini tidak masuk daftar bacaan Sastra Masuk Kurikulum padahal muatan moralnya sangat baik untuk diajarkan kepada anak-anak kita.


How to be a mindful muslim; beraktifitas dengan sadar

Minggu, 06 Agustus 2023

ุจِุณْู…ِ ุงู„ู„ู‡ِ ุงู„ุฑَّุญْู…ٰู†ِ ุงู„ุฑَّุญِูŠْู…ِ 
Dengan nama Allah yang Maha Pengasih, Maha Penyayang
 

Sejak beberapa tahun yang lalu, mungkin tepatnya tahun 2018 saya mulai aware dengan isu mental health. Salah satu sebabnya ketika buku Ikigai mulai populer di Indonesia, dan akun-akun psikologi bertebaran di Instagram. Lalu ibu mertua saya yang mengalami Anxiety Disorder tanpa bisa disembuhkan, membuat saya makin penasaran dengan masalah kesehatan mental.

Macam-macam artikel saya baca --tentu yang ringan saja--, video-video youtube juga saya simak sampai saya mulai mengenal beberapa istilah yang selama ini tidak pernah saya ketahui sama sekali sebagai hal-hal yang berkaitan dengan mental health.

Segala pembahasan mengenai mental health yang berseliweran di sosial media saya baca. Tapi ternyata makin banyak saya membaca, makin aneh saya menangkap pesan mental health awareness yang dikampanyekan orang-orang di sosial media itu. Lalu sampailah masanya saya membaca buku Stop Pretending Start Practicing. Sebuah buku yang berisi transkrip ceramah Syaikh Hamza Yusuf, seorang ulama terkenal di Amerika Serikat yang juga merupakan presiden Zaytuna College, institusi pendidikan tinggi yang jurusan-jurusannya khusus tentang Islamic Knowledge. Jujur saja, institusinya itu menawarkan program-program belajar yang sangat menarik.




Pada salah satu tulisan yang berjudul "Doa sebagai senjata andalan orang mukmin" Syaikh Hamza Yusuf membahas tentang pentingnya doa dalam kehidupan seorang Muslim, serta bagaimana doa dapat menjadi sumber kekuatan dan keberkahan. Beliau juga membahas tentang beberapa doa yang disebutkan dalam Al-Quran dan Hadis, serta bagaimana cara untuk memperdalam hubungan kita dengan Allah melalui doa. Namun ada beberapa kutipan yang sangat membekas dalam pikiran saya, yaitu;

Doa secara harfiah juga adalah cara untuk membangunkan kesadaran orang. Dengan kata lain, Anda memulai tindakan Anda sebagai manusia yang sadar, bukan sebagai pejalan tidur seperti yang terjadi pada kebanyakan orang. (Hlm 111)

Ketika membaca bagian itu, pikiran saya langsung teringat dengan teori mindfulness. Dalam teori psikologi, mindfulness didefinisikan sebagai sebuah moment-to-moment awareness of one's experience without judgement. Sebagian orang mengasosiasikan mindfulness dengan meditasi, walaupun sebenarnya tidak. Mindfulness is a state, not a trait.



Sebagai seorang muslim, seluruh aktifitas keseharian kita hampir selalu diiringi dengan panduan doa dan zikir. Selain itu, hampir setiap amalan pun ada aturannya. Di halaman 113, Syaikh Hamza Yusuf mengatakan;

Kemudian, Nabi membaca doa saat beliau berpakaian. Beliau pun berpakaian dengan cara tersendiri. Beliau mengenakan sirwal (kain) sambil duduk di lantai. Beliau tidak mengenakan sirwal sambil berdiri. Beliau benar-benar duduk dan mengenakannya sambil duduk di lantai. Beliau mengikat serbannya dengan cara tersendiri. Beliau melakukan takwir (memutar) terhadap serbannya dari kanan ke kiri. Sangat menarik. Cara yang sama seperti Anda mengitari Ka'bah. Setiap hal tersebut, tak perlu diragukan lagi, memiliki makna. Tidak perlu diragukan lagi. Sebab, ini adalah proses untuk "bangun tidur" sebagai manusia.

Setiap doa dan adab ini sesungguhnya adalah 'meditasi' khusus bagi orang beriman untuk menjaga kita tetap 'sadar' ketika beramal. Agar setiap aktifitas yang kita lakukan memiliki nilai/makna bahkan pahala. Dan setelah menuntaskan satu bab di buku tersebut, saya sungguh menyayangkan diri sendiri dan umat muslim saat ini yang banyak mencari ketenangan dan makna kehidupan dari berbagai macam teori self-help di luar Islam.

Photo by Nick Page on Unsplash

Dalam artikel di Yaqeen Institute disebutkan bahwa Islam mengenal mindfulness dengan istilah Muraqabah. Sebuah istilah yang berasal dari akar kata yang berarti "melihat, mengamati, memperhatikan dengan penuh perhatian." Sebagai istilah teknis spiritual, muraqabah didefinisikan sebagai "pengetahuan hamba yang konstan dan keyakinan dalam pengawasan Al-Haq, memujiNya, atas kondisi lahiriah dan batiniah seseorang." Artinya, seorang Muslim yang berada dalam keadaan muraqabah berada dalam pengetahuan penuh yang terus menerus bahwa Allah Maha Mengawasi dirinya, baik secara lahir maupun batin. Ini adalah keadaan penuh kesadaran diri yang penuh kewaspadaan dalam hubungan seseorang dengan Allah dalam hati, pikiran, dan tubuh. Dasar dari muraqabah adalah pengetahuan kita bahwa Allah selalu mengawasi kita setiap saat dan, sebagai konsekuensinya, kita mengembangkan perhatian dan kepedulian yang lebih besar terhadap tindakan, pikiran, perasaan, dan kondisi batin kita. Sebagaimana firman Allah, "Ingatlah bahwa Allah mengetahui apa yang ada dalam jiwamu, maka bertakwalah kepada-Nya." (QS Al-Baqarah: 235)

Dalam praktik keseharian seorang Muslim, sesungguhnya shalat adalah sarana meditasi terbaik untuk menjaga diri agar tetap berkesadaran penuh dan terkendali. Namun bukan hanya itu, doa, zikir, tilawah Al-Qur'an dan tafakkur juga merupakan sarana-sarana 'meditasi Islam' yang seharusnya menyehatkan bukan hanya pikiran tapi juga jiwa kita.

Mudah-mudahan kita mampu menjadikan shalat, doa dan zikir-zikir kita sebagai sarana 'meditasi' agar hidup kita tetap 'mindfulness' dan tidak tertinggal dengan trend mental health yang sedang berkembang sekarang ๐Ÿ˜œ.


Catatan Membaca; Six Thinking Hats

Senin, 31 Juli 2023


Judul: Six Thinking Hats
Penulis: Edward de Bono
Penerjemah: Yuniasari Shinta Dewi
Format: Paperback, 229 halaman
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2017
Harga: Rp. 25.000

Awalnya saya pikir ini buku self-help. Well, saya sebenarnya juga kurang paham dengan ruang lingkup genre self-help, sih. Tapi yang jelas, buku ini berisi panduan mengelola hubungan dalam sebuah organisasi. Cocok banget untuk para pimpinan di kantor yang kita hormati.

Buku ini sudah lama saya beli, hanya saja memang tertunda dibaca karena isinya agak kurang sesuai dengan ekspektasi saya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya saya hanya kurang meminati kegiatan berorganisasi sehingga pembahasan tentang rapat tidak terlalu saya sukai. Sungguh aneh, sebagai seorang organisatoris ketika kuliah, dan sekarang mengelola sebuah komunitas yang sedang berkembang mungkin kalian akan tidak percaya pada fakta bahwa saya sangat tidak menyukai berinteraksi dengan orang lain.

Tapi mau bagaimana lagi?! Pada kenyataannya hidup ini nggak bisa selalu mengikuti kemauan sendiri, kan?! Meskipun saya sangat tidak suka basa-basi dan segala interaksi yang berbelit-belit, pada akhirnya saya harus menerima bahwa saya butuh orang lain untuk membantu hidup. Dan beginilah jadinya, saya yang super introvert jadi founder komunitas dengan member ratusan ๐Ÿ˜….

***

Jadi, sesungguhnya awal penyebab saya beli buku ini adalah karena nama buku Edward de Bono yang judulnya How to Have a Beautiful Mind. Saya ingin beli karena sejujurnya saya ingin sekali mengajarkan cara berpikir kepada orang lain, terutama anak saya. Biar saya bisa menularkan rasa curiosity kepada mereka, gitu lah. Ketika mau beli buku itu, kalau tidak salah ada tulisan yang mengatakan bahwa konsep 6 topi berpikir harus sudah dipahami dulu. Maka saya belilah buku ini.

Singkatnya, metode enam topi yang dibahas di buku ini adalah sebuah teknik sederhana yang sangat efektif berdasarkan ragam cara berpikir otak. Kecerdasan, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki setiap orang dimanfaatkan guna mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat dengan cepat. Demikian sinopsis di bagian belakang buku menjelaskan. Lalu, bagaimana pengalaman saya membaca bukunya?!


Kita mulai dari Pengantar. Saya akan menuliskan kembali bagian-bagian yang saya highlight dan mungkin akan saya bahas kemudian. Berpikir adalah sumber daya manusia yang mendasar. Begitu saya membaca kalimat itu, rasanya bahagia sekali. Dan kalimat-kalimat berikutnya menjelaskan bahwa manusia pada umumnya selalu berpikir untuk berusaha menjadi lebih baik. Hanya manusia rendahan yang merasa bahwa tujuan berpikir adalah untuk mendapatkan pembenaran. Nah, kesulitan utama dari berpikir adalah kebingungan. Kita berusaha melakukan terlalu banyak secara bersamaan. Merasa relatable nggak kalimatnya?! Enam topi berpikir ini mengajarkan kita untuk memisahkan emosi dari logika, kreativitas dari informasi dan seterusnya. Pokoknya keenam topi berpikir ini memungkinkan kita untuk mengatur pemikiran kita layaknya seorangg konduktor memimpin sebuah orkestra.

Baru satu halaman lewat, sudah ada catatan khusus untuk si topi hitam. Katanya, topi hitam adalah topi yang sering disalahpahami. Lho, kok kayak saya?! Padahal topi hitam adalah topi yang paling berharga dan mengenakannya berarti bersikap waspada dan hati-hati. Membaca bagian itu saya langsung curiga, jangan-jangan saya pemilik topi hitam ๐Ÿ˜.

Berlanjut ke bagian Pendahuluan, di sinilah mulai dijelaskan tentang maksud dari enam topi berpikir. Dengan pengantar sejarah tentang awal mula pemikiran Barat dan logika berpikir, dijelaskan bahwa nilai dari topi sebagai sebuah simbol adalah menyatakan peran. Topi-topi adalah arah, bukan penjabaran. Ketika pemimpin rapat mengatakan, "Saya ingin topi merah dipakai untuk hal ini." berarti kita membutuhkan perasaan, intuisi, dan emosi terhadap situasi tersebut. Atau ketika dikatakan, "Mari kita mengenakan sebentar topi berpikir putih di sini." berarti semua harus berfokus pada informasi.

Penjabaran berurusan dengan apa yang telah terjadi. Sementara arah berurusan dengan apa yang akan terjadi. "Saya ingin Anda melihat ke arah timur" sangat berbeda dengan "Anda telah melihat ke arah timur." Ada godaan sangat besar untuk menggunakan topi-topi guna menggambarkan dan mengelompokkan orang-orang.  Memang, orang-orang mungkin lebih suka satu cara daripada cara yang lain. Meskipun begitu, topi-topi bukanlah kategori orang-orang. (h. 7-8)

Jadi intinya, metode enam topi berpikir adalah meminta semua yang hadir dalam rapat untuk  mengenakan topi tertentu pada waktu yang ditentukan. Sehingga kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin kecerdasan dan pengalaman semua orang.

***

Enam topi memiliki warnanya masing-masing sesuai dengan kegunaannya. Topi putih, netral dan objektif. Topi putih berurusan dengan fakta-fakta dan angka-angka yang objektif.

Topi merah menandakan kemarahan (rasa jengkel), murka, dan emosi. Topi merah memberikan pandangan emosional.

Topi hitam berarti suram dan serius. Topi hitam berarti bersikap waspada dan hati-hati. Ini menunjukkan kelemahan-kelemahan pada setiap gagasan.

Topi kuning berarti cerah dan positif. Topi kuning berarti bersikap optimistis dan mencakup harapan dan berpikir positif.

Topi hijau berarti rumput, tumbuh-tumbuhan, dan pertumbuhan yang subur, berlebihan. Topi hijau menandakan kreativitas dan gagasan baru.

Topi biru berarti tenang, dan juga merupakan warna langit, yang lebih tinggi dari segalanya. Topi biru berurusan dengan kendali, pengaturan dari proses berpikir dan pemakaian topi-topi lainnya.

Kita juga harus mengingat tiga pasang topi;

Putih dan merah
Hitam dan kuning
Hijau dan biru

Penggunaan topi bisa dengan beberapa cara. Apakah terpisah, berurutan, atau dengan cara-cara lain yang disampaikan di dalam buku ini. Menurut saya, jika buku ini dibaca oleh sebuah tim atau orang-orang yang bekerja sama dan mereka bisa berkomitmen untuk melaksanakannya dalam setiap rapat, maka aktivitas rapat bisa jadi lebih efektif. Karena gagasan yang disampaikan dalam buku ini sangat aplikatif.

Setelah buku ini, saya ingin mencoba membaca buku Edward de Bono yang lain; Kursus Lima Hari dalam Berpikir. Saya sudah tidak peduli apakah buku itu nanti akan membahas tentang rapat lagi atau sesuai dengan harapan saya; mengajari kaidah berpikir yang saya bayangkan. Yang jelas, panduan-panduan tersebut saya yakini akan bermanfaat untuk aktivitas sosial saya.

Student Hidjo dan Bagaimana Kita Mengapresiasinya

Rabu, 07 Juli 2021


Judul
: Student Hidjo
Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Bahasa : Indonesia, Belanda
Format : Paperback, 140 halaman
Penerbit : Narasi (2010) 
pertama terbit sebagai buku tahun 1919
Harga : Rp. 30.000,-

Menelisik sosok Mas Marco yang cukup berpengaruh terhadap pergerakan nasional sebelum kemerdekaan, awalnya saya mengira akan membaca sebuah karya sastra perlawanan. Tapi ternyata tidak. Setidaknya, karakter perlawanannya tidak sekuat Bumi Manusia. Buku ini berkisah tentang Hidjo, anak saudagar kaya di Solo yang oleh Ayahnya disuruh untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Selain karena anaknya memang cerdas, kekayaan saja tidaklah akan cukup untuk menaikkan status sosial keluarganya jika dibanding dengan bangsawan alami yang dekat dengan Gouvernement. Jika Hidjo lulus sekolah dari Belanda dan menjadi pegawai Gouvernement, maka mereka akan lebih dihormati seperti para priyayi lainnya. Di zaman dulu, memiliki status sosial yang tinggi dan diakui oleh pemerintah menjadi sesuatu yang penting. Dan sepertinya sampai hari ini hal itu juga tetap menjadi hal yang sangat penting, kan?! 

"Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani."

Ibunda Hidjo, Raden Nganten Potronojo sangat khawatir anaknya akan terpengaruh budaya Eropa yang tidak beradab. Selain itu, sekolah di Belanda tentu butuh waktu yang tidak sebentar. Setidaknya 7 tahun ia harus berjauhan dengan Hidjo dan dia tidak yakin akan bisa menahan rindu selama itu untuk tidak bertemu dengan anak semata wayangnya. Ditambah lagi Hidjo telah dijodohkan dengan Biroe, anak kerabatnya sendiri. Bagaimana kalau nanti Hidjo malah jatuh cinta dengan gadis Belanda yang cantik-cantik dan tidak tahu adab itu?!

Tapi meskipun berat hati melepas putranya, Raden Nganten Potronojo tetap harus rela mengantar kepergian Hidjo demi kebaikan masa depan anak kesayangannya itu. Bersama dengan Biroe dan keluarganya, Ayah dan Ibu Hidjo mengantar keberangkatan Hidjo hingga kapal meninggalkan Tanjung Priok. Hidjo sendiri berangkat bersama gurunya dan di Belanda nanti akan dititipkan kepada seorang pengusaha Belanda, saudara dari gurunya tersebut.

Konflik mulai muncul ketika sepulang dari mengantar Hidjo, rombongan keluarga Biroe dan Raden Potronojo menginap sebentar di sebuah hotel di Djarak. Di sana mereka bertemu dengan keluarga Regent Djarak yang ternyata anak laki-lakinya, Raden Mas Wardojo adalah teman dekat Hidjo di HBS. Pertemuan itu membuka fakta bahwa Raden Ajeng Woengoe, adik Wardojo selama ini menaruh hati pada Hidjo. Dan ketika melihat kecantikan Biroe, Wardojo yang tidak mengetahui bahwa ia adalah tunangan Hidjo, pun langsung tertarik pada Biroe. Jadi, kisah cinta macam apa ini? Cinta bujur sangkar?! ๐Ÿ˜

Keruwetan kisah cinta ini tidak berhenti pada 4 orang ini saja. Di Belanda, Hidjo yang selalu berusaha bersikap santun pun akhirnya jatuh pada godaan Betje, anak perempuan induk semangnya sendiri yang sudah tergila-gila padanya sejak pertama kali bertemu. Lalu di Indonesia, Raden Ajeng Woengoe yang jelita itupun dilamar oleh Controleur Walter yang baik hati dan begitu mencintai budaya Hindia terutama Jawa.

***

Secara narasi maupun plot, Student Hidjo bukanlah sebuah masterpiece. Bahkan bisa dibilang, ending kisah ini sangat payah karena hanya sebuah epilog ringkas sepanjang 7 baris di akhir novel. Padahal jika mau fokus pada tema kisah cinta Hidjo dan orang-orang di sekitarnya itu, mungkin novel ini bisa menjadi sebuah kisah romance yang cantik lalu melegenda seperti Sitti Nurbaya. Tapi sepertinya memang Mas Marco bukan tipe penulis yang seperti itu. Karena meskipun Student Hidjo adalah kisah roman, kita tetap akan merasakan aroma kritik pedas terhadap penguasa menyelisip di sela-sela keruwetan kisah cinta anak-anak priyayi Jawa itu.

Secara halus, Mas Marco ingin menunjukkan bahwa kedudukan manusia sesungguhnya setara. Baik orang Hindia maupun Belanda, pada dasarnya adalah sama-sama manusia. Hal itu ditunjukkan dalam sebuah adegan singkat ketika Hidjo baru sampai di Belanda,

"Kalau di Negeri Belanda, dan orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti di perintah oleh orang Belanda," begitu kata Hidjo dalam hati.

Student Hidjo juga menunjukkan bahwa ada orang Belanda yang baik hati, demikian pula banyak pribumi yang tidak tahu diri. Kita bisa lihat bagaimana Walter membela seorang jongos yang dihina oleh sesama orang Belanda dan membeberkan kelebihan-kelebihan orang Hindia dibanding Belanda. Di bagian ini sejujurnya saya merasa sedang membaca laporan jurnalistik ketimbang sebuah cerita. Di beberapa bagian juga Mas Marco menyinggung sedikit tentang mulai munculnya pergerakan Sarekat Islam di Jawa.

Hal lain yang juga membedakan Student Hidjo dengan karya sastra pada masanya adalah penggambaran tentang tradisi perjodohan yang tampak normal-normal saja di buku ini. Tidak ada perlawanan dari anak terhadap perjodohan yang disiapkan orang tuanya, -mungkin karena jodohnya juga rupawan dan sesama bangsawan?- tidak ada pertentangan kaum muda dan kaum tua, semuanya berjalan mulus-mulus saja. Mas Marco seolah ingin menyampaikan bahwa tidak selamanya perjodohan itu sebagai wujud sikap egoisme orang tua. Dan orang tua bukanlah manusia batu yang tidak bisa membaca hati anaknya. Cinta juga bukan satu-satunya hal yang paling penting di dunia, sehingga Mas Marco dengan seenaknya membuat ending yang 'begitu saja'. 

Jadi kalau mau menyimak kisah cinta menarik dengan plot yang rumit dan gaya penulisan yang puitis, novel ini jelas bukan pilihan. Bagi saya narasi di buku ini terlalu deskriptif, plotnya pun mengalir ringan saja tanpa ada tambahan konflik yang berarti. Tapi penggambaran karakter tokohnya cukup kuat sehingga saya bisa membayangkan tokoh-tokoh di novel ini. Dengan hanya 140 halaman saya bisa menyaksikan pergolakan batin Hidjo yang cerdas, kalem bahkan cenderung lugu menghadapi genitnya Betje dan diam-diam memendam rindu pada tanah airnya. Demikian juga karakter-karakter Biroe, Woengoe, Wardojo dan lain-lain.

***

Pertama kali kemunculannya sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Hindia tahun 1918, Student Hidjo diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip". Maka kita akan tahu mengapa tidak ada banyak tema perjuangan maupun perlawanan di novel ini. Dan ini menunjukkan keberanian Mas Marco dalam membuat sebuah karya sastra yang berbeda dengan sastra keluaran Balai Pustaka. Sayangnya, sampai seabad sejak Student Hidjo terbit baru tahun lalu saya mengenalnya. Itupun karena saya iseng mencari di google dengan keyword "sastra lama Indonesia". Sebelumnya, sastra lama Indonesia yang saya tahu hanyalah karya-karya penulis Balai Pustaka.

Menurut saya Student Hidjo cocok untuk dijadikan bacaan untuk siswa-siswa SMA agar nilai-nilai tradisi maupun semangat kesetaraan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu di bangsa kita bisa lebih dikenali oleh generasi muda bangsa ini. Kita butuh pandangan lebih objektif mengenai sejarah bangsa kita yang tercermin dari karya sastra yang beragam, bukan hanya tentang penindasan laki-laki atas perempuan atau tentang keegoisan kaum muda dan ketidakberdayaan anak muda. Yang mana nyatanya negara kita dibebaskan oleh anak-anak muda.

Islam itu ramah, bukan marah; sebuah review

Kamis, 24 Juni 2021

 





Judul : Islam itu Ramah, Bukan Marah
Penulis : Irfan Amalee
Format : Paperback, 197 halaman
Penerbit : Noura Publishing (2017)
Harga : Rp. 20.000

Dari judulnya saja saya sudah bisa menebak bahwa buku ini akan membahas tentang karakter muslim yang dianggap 'sumbu pendek' belakangan ini. Entah memang begitu, atau stereotype itu memang sengaja ditampilkan untuk merusak citra Islam, saya tak tahu.

Pertama kali tahu buku ini dari seorang bookstagramer Malaysia. Katanya bukunya bagus, dan karena harganya juga murah yaudah checkout saja. Apalagi endorse preface-nya Prof. Komaruddin Hidayat. ๐Ÿ˜… Entahlah sampai sekarang saya masih saja terlena sama endorse preface. Padahal kan itu bisa saja cuma akal-akalan orang jualan.


Tampaknya, buku ini merupakan kumpulan tulisan di blog atau platform lainnya. Karena kalau dilihat dari sistematikanya menurut saya kurang teratur. Jadi, kita bisa baca secara acak tanpa harus memulai dari awal bab sampai akhir. Terbagi menjadi 2 bagian, penulis membahas tentang perdamaian di bagian 1 dan character building di bagian 2. Tapi sebelum membahas isinya, saya ingin bahas dulu pengantarnya.

Jadi, seperti buku-buku pada umumnya di sini juga ada kata pengantarnya. Kunci Sukses Dakwah Nabi, judul pengantar yang katanya dari penerbit. Membacanya membuat hati saya sedikit terganjal. There's no wrong sama pengantarnya, hanya saja sang perwakilan penerbit, Ahmad Najib kok membandingkan dakwah persuasif Nabi Muhammad dengan perlawanan rakyat Palestina yang menurutnya frontal. Menurut saya yo nggak nyambung. Lalu di bagian akhir dia bilang, "Sebagian umat Islam pada zaman kini lebih senang menggunakan cara kekerasan dalam menampilkan Islam..." Entah kenapa kok saya jadi merasa tertuduh. Karena kalau berkaitan dengan non-muslim, selama ini kegaduhan yang saya lihat di kalangan umat Islam itu justru karena para pengusung Islam ramah itu malah menyudutkan saudaranya sesama Muslim. Kan jadi agak gimana gitu ya?! 


Masuk ke bagian 1, ada 12 tulisan pendek yang masuk kategori All About Peace. Tulisan pertamanya, "Hati yang Sakit, Cenderung Menyakiti" saya suka sekali. Apalagi gaya penulisannya yang ringan membuat pesannya mudah dipahami. Penulis mengangkat sebuah fenomena yang terjadi di kalangan umat Islam dan menyampaikan analisisnya terkait hal itu didukung dengan argumen-argumen yang kokoh. Dan gaya penulisan itu berlanjut terus. Di bab 2 misalnya, penulis menceritakan pengalamannya mengikuti sebuah workshop lalu mengaitkannya dengan fenomena tawuran di kalangan remaja kita.

Lalu sampailah kita pada bab "Unsur Menakut-nakuti dalam Pendidikan Kita". Penulis mengaitkan pola dalam dunia advertisement dengan dunia pendidikan. 

Orangtua kita dulu sering menakut-nakuti anaknya dengan hantu, agar anaknya tak keluyuran malam-malam. Untuk menjaga hutan lindung, para sesepuh adat membuat mitos kualat yang menyeramkan yang membuat warganya tak berani menjarah hutan. Agar umat taat beragama, para da'i sering mengancam dengan pedihnya siksa neraka. (hlm 60)

Sekali lagi, nggak ada yang salah sepertinya dari pernyataan itu. Tapi masalahnya adalah, 2 hal yang pertama adalah mitos, sementara yang terakhir adalah fakta. Saya sering merasa heran dan penasaran sama orang-orang yang anti neraka, semengerikan apa sih dulu gurunya bercerita tentang neraka sampai-sampai nggak mau denger tentang neraka?! Padahal di awal-awal dakwahnya, Nabi Muhammad itu justru sering sekali membahas tentang kiamat dan neraka. Lihat saja surat-surat di juz 30 itu isinya rata-rata ancaman semua.


Lalu penulis mengatakan bahwa Allah lebih memilih kata ุจุดّุฑ ketika membahas tentang kabar gembira di dalam Al-Quran, yang itu tandanya berulang-ulang kabar gembiranya. Tapi sependek pengetahuan saya, tiap ayat tentang kabar gembira dan peringatan selalu menggunakan redaksi ุจุดูŠุฑุง ูˆ ู†ุฐูŠุฑุง. Lagi-lagi, saya juga nggak bisa menjudge pernyataan penulis karena bisa jadi saya yang kurang jauh ngajinya. (Yaiyalah, saya baru lahir dia udah nyantri...๐Ÿ™„)


Yasudah itu saja hal-hal yang menurut saya kurang cocok sama prinsip saya. Sisanya, buku ini isinya bagus dan cukup padat. Bukan sekadar mengajak kita untuk lebih selow dalam beragama, tapi juga mengajak kita untuk belajar dan membaca sebagaimana para ulama kita dulu menjalankan agama. Dengan harganya yang murah, buku ini bisa jadi bacaan ringan dan renyah tapi tetap berbobot dan bergizi.

Rating: 3/5 ⭐⭐⭐

Reading Radio Silence as an adult (Book Review)

Selasa, 15 Juni 2021

 


Judul : Radio Silence
Penulis : Alice Oseman
Bahasa : Inggris
Format : EPub, 358 halaman
Penerbit : HarperCollins Publisher (2016)
Harga : Rp. 55.169

!!!!
Trigger Warning:
Anxiety
Emotionally abusive parent
LGBTQ+ characters
!!!!!

Blurb:
What if everything you set yourself up to be was wrong?  
Frances has been a study machine with one goal. Nothing will stand in her way; not friends, not a guilty secret – not even the person she is on the inside. Then Frances meets Aled, and for the first time she's unafraid to be herself.  
So when the fragile trust between them is broken, Frances is caught between who she was and who she longs to be. Now Frances knows that she has to confront her past. To confess why Carys disappeared…

Frances is going to need every bit of courage she has.

Engaging with themes of identity, diversity and the freedom to choose, Radio Silence is a tour de force by the most exciting writer of her generation.

Saya perlu berpikir agak lama untuk membuat review novel ini. Sebagai orang dewasa (ceileh), jarang membaca fiksi, tidak kenal dunia remaja, apa saya cukup capable untuk mereview sebuah novel Young Adult?! Tapi novel ini membuat saya nggak berhenti berpikir. Berpikir tentang kemampuan penulisnya yang luar biasa, tentang isu yang termuat di dalamnya, dan tentang diri saya sendiri yang juga pernah menjalani masa remaja. 

...

Oke, sudah cukup kontemplasinya. Langsung saja kita bahas novelnya.

Radio Silence bercerita tentang Frances, seorang anak SMA yang gila belajar. Dia pintar, head girl di sekolah, dan mau masuk Cambridge. "I was going to get a good job and earn lots of money, and I was going to be happy." Dari deskripsi ini kita bisa lihat kalau Frances adalah anak muda yang punya cita-cita dan tahu apa yang harus dia lakukan untuk masa depannya. Tapi ternyata tidak, saudara-saudara. Frances tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak mengerti mengapa dunia harus (terlihat) berjalan seperti itu. Dia menjalani hidupnya dengan semangat belajar yang tinggi hanya karena dia melihat bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan cara itu; belajar dan bekerja keras, kuliah di kampus ternama, pekerjaan tetap, karir cemerlang, penghasilan yang banyak. Itulah kebahagiaan yang dia lihat.

Tapi jauh di lubuk hatinya, sebenarnya dia sama sekali tidak peduli dengan itu semua. Dia menjadi study machine hanya karena ingin mencapai kebahagiaan yang sama dengan kebanyakan orang. Walaupun kebahagiaan versi dirinya sendiri adalah menyimak video podcast favoritnya di YouTube, Universe City lalu membuat fan art dan mempostingnya di Tumblr dengan memakai nama akun samaran. Dia tidak mau memakai nama aslinya karena tidak ingin terlihat orang sudah melakukan hal sia-sia, walaupun membuatnya bahagia. Tidak ada yang tahu bahwa School Frances hanyalah apa yang dia tampilkan di hadapan orang lain. Real Frances dia sembunyikan di dalam kamarnya, jauh dari jangkauan orang lain bahkan ibunya sendiri.

Kita akan menyimak cerita Frances menjalani tahun terakhir di sekolahnya sepanjang novel ini, dari sudut pandangnya. Semuanya bermula dari pertemuannya dengan Aled Last, cowok aneh yang sebenarnya adalah tetangga depan rumahnya tapi tidak pernah bertegur sapa. Mereka seumuran, tapi Aled setahun lebih tinggi level sekolahnya sehingga ketika Frances baru naik jadi senior Aled sudah masuk Universitas. 

Tidak ada yang aneh. Semua berjalan sesuai rencana. Hingga suatu hari, Frances mendapat DM di Twitter dari kreator Universe City yang meminta dia menjadi animator untuk acara podcast tersebut. Tentu saja Frances kegirangan dan menerima tawaran itu. Surprisingly, tak lama setelahnya Frances tidak sengaja mengetahui bahwa Aled adalah kreator Universe City. Dari situlah, persahabatan dua anak muda ini dimulai.

Semakin sering ngobrol, Frances menyadari bahwa ternyata dia memiliki banyak kesamaan dengan Aled. Dia merasa mereka punya selera yang sama dalam banyak hal, sehingga Frances merasa bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersama Aled. Aled menjadi satu-satunya sahabatnya. 

Konflik mulai muncul ketika Frances dan Aled ribut karena suatu hal. Aled yang sudah mulai masuk kuliah dan tinggal di asrama kampus, akhirnya menarik diri dan tidak bisa dihubungi lagi. Frances yang merasa sangat bersalah berusaha memperbaiki hubungan persahabatan mereka disela-sela kesibukannya sendiri mendaftar ke Cambridge.

***

Kalau cuma membaca sinopsis di atas, mungkin yang terbayang di benak kita adalah "yaaa..... tipikal cerita anak remaja jaman sekarang laaah....". Tapi saya berani bilang, "No, no, ini beda." Memang novel ini menceritakan permasalahan anak remaja yang kesannya biasa saja. Tapi karena kita membacanya dari sudut pandang Frances, kita bisa benar-benar merasakan apa yang dia rasakan, precisely

Kalau selama ini kita sering kebingungan menghadapi anak remaja dan tidak mengerti apa maunya mereka, bacalah novel ini. Karena di sini kita akan tahu apa yang sebenarnya dipikirkan mereka ketika berhadapan dengan orang dewasa. Saya sendiri sering tersenyum-senyum sendiri ketika bertemu dialog-dialog Frances dengan orang-orang di sekitarnya. Di mulut dia bilang begini, padahal dalam hatinya dia sendiri tidak setuju dengan dirinya sendiri.

She asked me, "Remind me why you wanted to be head girl?"
And I said, "Because I'm great at it," but I was thinking, because universities love it.

Atau ketika Frances merasa putus asa untuk menjelaskan sesuatu kepada kepala sekolahnya,

I stopped speaking. There was no point trying to argue. There was no way she was going to even attempt to listen to me.
They never do, do they? They never even try to listen to you.

Dua kutipan itu hanya sebagian kecil dari sempurnanya Alice Oseman meng-capture karakter Frances sebagai representasi jiwa remaja yang kebingungan. Dan di sepanjang novel ini, kita akan melihat bagaimana Frances mencoba memahami kejadian-kejadian penting dalam hidupnya yang sulit untuk dia hadapi. Kita akan menyaksikan Frances menertawakan keputusan-keputusannya sendiri, menangisi kebodohannya sendiri, merasa tidak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong orang yang dia sayangi, dan masih banyak lagi gejolak perasaan yang tergambar cantik dengan narasi-narasi yang pas.

Begitu tepat sampai pada titik tertentu saya ikut menangis melihat Frances yang putus asa karena benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Saya bahkan sampai menahan nafas ketika menyaksikan scene tentang abusive parent dari kacamata Frances yang memiliki ibu terbaik di dunia. Frances yang ketakutan, ingin menolong tapi juga tidak berdaya. Kita benar-benar diajak untuk berempati dengan anak-anak muda ini menghadapi kegagalan dalam hidup dan berdamai dengan kondisi-kondisi yang tidak mereka harapkan.

***

Di 2 bab pertama sejujurnya saya agak bosan membaca novel ini, karena tidak terlalu banyak yang terjadi dan menurut saya karena hal itu Alice justru jadi terlalu terburu-buru di bagian akhir. Hal ini yang membuat saya -awalnya- jadi malas melanjutkan ketika pertama kali membacanya. Novel ini sempat saya tinggalkan selama 2 bulan. Untungnya saya memutuskan untuk melanjutkan karena memang sejak awal sudah suka dengan penggambaran karakternya. Dan karena memang saya adalah character-focused reader, di bagian tengah cerita saya mulai merasakan emosi dari cerita ini.

Karena ini pertama kalinya saya baca novel luar negeri bergenre Young Adult, terus terang saya sangat kagum dengan gaya penulisannya. Apalagi jika dibandingkan dengan novel-novel Teenlit/Chicklit milik murid-murid yang sering saya temukan di asrama. Kualitas narasi novel ini jelas jauuuuuh melampaui itu semua. Kita bukan hanya diceritakan tentang kisah anak remaja yang remeh-temeh, tapi juga diajak mendalami perasaan mereka, memahami permasalahan yang mereka hadapi, dan peduli dengan pilihan-pilihan hidupnya.

Rating : 4/5 ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ

Monte Cristo (Book Review)

Kamis, 10 Juni 2021

 


Judul : Monte Cristo
Penulis : Alexandre Dumas
Bahasa : Indonesia
Penerjemah : Ermas
Format : Paperback, 754 halaman
Penerbit : KPG (Agustus 2016)
Harga : Rp. 35.000

Pertama kali memegang buku ini, saya sangat terintimidasi karena jumlah halamannya. Memang ini bukan pertama kalinya saya membeli buku yang sangat tebal, tapi buku-buku tebal yang biasanya saya miliki bukanlah buku fiksi melainkan buku-buku referensi yang tidak akan membuat saya merasa wajib untuk menamatkan. Sementara saya baru saja memulai petualangan untuk mengenal buku fiksi, tapi malah memilih buku setebal ini. Rasanya seperti bunuh diri. Dua alasan yang membuat saya membeli buku ini waktu itu adalah; 1. Bookstagramer favorit saya memberinya bintang 5, dan 2. Harganya yang sangat murah, hanya Rp. 35.000 di marketplace. Saya menduga buku ini tidak terlalu laku di pasaran sehingga dijual dengan sangat murah.

Marseille masa kini, salah satu latar cerita Monte Cristo. Kampung halaman Dantes.

Bersetting di Perancis pada masa perebutan kekuasaan antara Napoleon Bonaparte dan Raja Louis XVIII tahun 1815, Monte Cristo berkisah tentang seorang pemuda lugu 19 tahun yang memiliki kehidupan biasa saja. Edmond Dantes, adalah seorang awak kapal yang jujur dan tulus. Dia sangat mencintai ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan, dan juga seorang kekasih cantik yang selalu setia menanti kepulangannya, Mercedes. Begitu besar harapannya untuk membahagiakan kedua orang yang dicintainya itu, Edmond pun bekerja keras hingga pemilik kapal tempatnya bekerja, Tuan Morrel berniat menjadikannya kapten kapal untuk menggantikan kapten sebelumnya yang meninggal dunia selama perjalanan. Kehidupan Edmond Dantes terasa sempurna. Karir yang cerah, impian menikah, semua tampak begitu indah.

Namun menjadi orang yang terlalu baik kadangkala membuka pintu kebencian bagi orang lain yang berpenyakit hatinya. Dua orang yang merasa dirugikan dengan kesuksesan Edmond, diam-diam membuat rencana jahat untuknya dengan dibantu oleh tetangganya sendiri. Edmond pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara terpencil dengan tuduhan sebagai pengkhianat negara, tepat di hari pertunangannya. Hidup Edmond Dantes pun hancur seketika. 

Puri If (Chateau d’If), tempat Edmond Dantes dipenjara.

Di dalam penjara itulah, titik balik perjalanan hidup Edmond Dantes dimulai. Kita akan menyaksikan bagaimana Edmond belajar untuk lebih peka dalam menjalani kehidupannya, bahwa ternyata tidak semua orang sebaik dan setulus dirinya. Dia pun menemukan seorang guru di sana dan akhirnya setelah 14 tahun menyusun rencana dia berhasil kabur dari penjara. Selanjutnya, kita akan diajak mengikuti pembalasan dendam yang epik darinya untuk semua orang yang telah menghancurkan hidupnya di masa lalu. Tapi dia pun tidak lupa untuk membalas jasa orang-orang yang membelanya ketika dia masuk ke dalam penjara.


Sebelumnya, saya tidak tahu sama sekali siapa itu Alexandre Dumas. Sebegitu kosongnya pengetahuan saya tentang dunia sastra, sehingga tiap kali mau membeli novel saya selalu searching dulu di Google demi mendapat referensi yang meyakinkan bahwa buku yang saya pilih itu memang layak dibaca. Dan setelah mengetahui bahwa Dumas adalah penulis kisah legendaris Three Musketeers (yang saya juga belum tahu sama sekali kisahnya ๐Ÿ˜‚) saya pun mantap untuk mencoba membaca buku ini. Tidak disangka, 4 hari saja saya sudah menamatkan cerita ini.

Membaca kisah sepanjang ini, kita dituntut untuk bersabar dengan detil cerita yang kompleks dan plot yang bertumpuk. Tapi bagi saya justru disitulah menariknya. Dengan rentang waktu sepanjang itu tentu banyak hal yang terjadi dan tidak mungkin diceritakan dengan singkat saja. Dumas mengajak kita berkenalan dengan tokoh-tokoh dalam kisahnya dengan rinci hingga karakter mereka terasa hidup. Tidak ada satupun tokoh yang tidak penting di sini, jadi jangan lupakan satupun dari mereka. Tapi kalaupun terpaksa lupa, jangan khawatir, karena Dumas sudah mengantisipasinya dengan sesekali mengulas kembali cerita yang sudah lalu dengan porsi yang pas sehingga kita bisa mengingat kisah yang terlewat tanpa merasa plotnya menjadi terlalu repetitif. Saya pun mencoba mencari lokasi-lokasi yang pernah dikunjungi Edmond Dantes di internet, beberapa diantaranya bisa dilihat di postingan ini.

Salah satu sudut jalan lokasi rumah Monte Cristo di Paris, kawasan paling elit di negara itu.

Satu hal lagi yang membuat saya sangat menikmati novel ini adalah kisahnya yang menurut saya tidak terlalu berlebihan. Pembalasan dendam yang terlalu rapi, memang benar. Tapi Dumas mengemasnya dengan backstory yang masuk akal sehingga pada akhirnya semua menjadi bisa diterima. Dan seperti mengetahui apa yang akan pembaca pikirkan jika kisahnya terlalu sempurna, Dumas seolah sengaja membuat beberapa kegagalan yang lagi-lagi cocok dan cukup adil.

Sepanjang membaca Monte Cristo saya sering tersenyum setuju dengan ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya. Dumas menyisipkan sisi religius yang menurut saya cukup unik, terlebih saya sama sekali tidak mengerti konsep teologi Kristen. Tapi beberapa dialog dan narasi yang membawa nama Tuhan, sangat relate dengan kenyataan bagaimana kebanyakan manusia menjalani dan meletakkan agama dalam kehidupan. Saya juga bisa mengenal banyak tipe dan karakter manusia dari tokoh-tokoh di novel ini. Dari mereka saya belajar tentang kesetiaan, kejujuran, ketulusan, tekad yang kuat, dan tentu saja dendam dan keserakahan.


Dengan kerapian plot dan kekuatan karakter yang luar biasa, wajar kalau kemudian kisah ini menjadi abadi hingga akhirnya diangkat menjadi film dan TV Series. Selesai membaca novel ini, saya melanjutkan mencari review-review dan informasi lain dan ternyata versi asli novel ini pertama kali terbit tahun 1844 dalam bentuk serial bersambung. Dan buku terjemahan bahasa Inggris edisi lengkapnya setebal 1276 halaman. Jadi saya cukup yakin sepertinya yang saya miliki ini hasil terjemahan versi ringkasan. Meskipun ada satu baris yang menurut saya terpotong di halaman 288 tapi sama sekali tidak mengganggu kenikmatan mencerna keseluruhan cerita ini.

Saya tidak mengerti kalimat dengan post it merah itu. Ada yang bisa menjelaskan?!

Rating : 5/5 ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ๐ŸŒŸ 
© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.