SLIDER

3 helai uban untuk disyukuri

Jumat, 04 Agustus 2023

Kemarin, satu helai lagi uban menyembul di kepala bagian depan. Kali ini di bagian kanan. Beberapa waktu lalu ketika melihat helai demi helai rambut saya mulai memutih, saya sudah berpikiran untuk menuliskan sebuah refleksi. Hari ini, saya memutuskan untuk mengeksekusinya; menulis kekhawatiran saya tentang fakta penuaan ini.

Photo by Abdiel Ibarra on Unsplash

Ketika pertama kali menemukan uban di rambut, saya merasakan 'sesuatu' yang sulit saya jelaskan. Rasanya berbeda dengan ketika stretchmark di perut makin melebar dan tidak bisa diselamatkan. Pun berbeda juga ketika merasakan tiap persendian memainkan iramanya setiap shalat. Ada perasaan takut yang 'aneh' ketika melihatnya. Dan saya sempat bertanya-tanya, apakah ini juga yang dirasakan orang-orang ketika pertama kali melihat uban di kepalanya?

Yang muncul dalam pikiran saya tentang perasaan aneh ini adalah mungkin karena uban memiliki kisah sendiri dalam sejarah kehidupan Rasulullah ﷺ. Maka di postingan ini, saya ingin mencoba mengumpulkan dalil-dalil yang berkaitan dengan uban ini sebagai pengingat diri.

Uban sang pemberi peringatan

أَوَلَمْ نُعَمِّرْكُم مَّا يَتَذَكَّرُ فِيهِ مَن تَذَكَّرَ وَجَآءَكُمُ ٱلنَّذِيرُ ۖ فَذُوقُوا۟ فَمَا لِلظَّـٰلِمِينَ مِن نَّصِيرٍ


"...dan apakah Kami tidak memanjangkan umurmu dalam masa yang cukup untuk berfikir bagi orang yang mau berfikir, dan (apakah tidak) datang kepadamu pemberi peringatan? Maka rasakanlah (azab Kami) dan tidak ada bagi orang-orang yang zalim seorang penolongpun." (QS Fathir: 37)


Sesungguhnya perasaan aneh yang muncul ini agak kurang pas, karena orang-orang di sekitar saya sudah banyak yang beruban. Suami saya sudah banyak ubannya. Adik saya bahkan sejak masih usia awal 20-an sudah beruban. Tapi saya sama sekali tidak berpikir untuk beruban di usia 33 tahun. Padahal dulu saya sempat mengira tidak akan berumur panjang karena penyakitan 😅. Namun yang saya syukuri adalah bahwa saya menyadari uban ini adalah pemberi peringatan bahwa waktu saya di dunia semakin berkurang. 

Kalau membaca ayat di atas dengan lengkap, rasanya mengerikan sekali kalau nanti di akhirat saya meminta kepada Allah untuk dihidupkan kembali ke dunia dan berharap bisa memperbaiki keadaan. Meski belum membaca tafsirnya, tapi dengan terjemahannya saja sudah cukuplah bahwa 3 helai uban ini adalah peringatan dari Allah untuk saya bahwa sedikit lagi waktu saya di dunia akan habis.

Uban sebagai cahaya di hari kiamat

Photo by asim alnamat

Dari Amr bin Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya, bahwa Rasulullah ﷺ bersabda,

لَا تَنْتِفُوا الشَّيْبَ مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَشِيبُ شَيْبَةً فِي الْإِسْلَامِ إِلَّا كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَة

"Janganlah mencabut uban. Tidaklah seorang muslim yang memiliki sehelai uban, melainkan uban tersebut akan menjadi cahaya baginya pada hari kiamat nanti." (HR. Abu Daud)

Dalam riwayat lain disebutkan,

أنه نور المؤمن

"Sesungguhnya uban itu cahaya bagi orang-orang mukmin."

Ka'b bin Murrah berkata,"Saya pernah mendengar Rasulullah ﷺ bersabda:

مَنْ شَابَ شَيْبَةً فِي الإِسْلامِ كَانَتْ لَهُ نُورًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ

"Barangsiapa yang telah beruban dalam Islam, maka dia akan mendapatkan cahaya di hari kiamat." (HR.  Tirmidzi)

Setidaknya, saat ini saya punya 3 helai cahaya yang bisa menerangi jalan nanti di hari kiamat. Cahaya lainnya mungkin bisa saya upayakan melalui amalan-amalan lain. 

Uban tanda kewibawaan

Bagian ini agak meragukan 😁. Saya menyadari di usia yang sudah 33 ini saya masih sangat kekanak-kanakan. Tapi lagi-lagi yang saya syukuri kali ini adalah saya menyadari bahwa seharusnya saya sudah bisa bersikap selayaknya manusia yang berwibawa dan layak dihormati orang-orang yang lebih muda. Sudah seharusnya saya berhenti sok muda, karena nyatanya saya sudah beruban.

Dari Sa'id bin Musayyib, berkata:

كام ابراهيم أول من ضيف الضيف وأول الناس كَانَ إِبْرَاهِيمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوَّلَ النَّاسِ ضَيَّفَ الضَّيْفَ وَأَوَّلَ النَّاسِ اخْتَتَنَ وَأَوَّلَ النَّاسِ قَصَّ الشَّارِبَ وَأَوَّلَ النَّاسِ رَأَى الشَّيْبَ فَقَالَ يَا رَبِّ مَا هَذَا فَقَالَ اللَّهُ تَبَارَكَ وَتَعَالَى وَقَارٌ يَا إِبْرَاهِيمُ فَقَالَ يَا رَبِّ زِدْنِي وَقَارًا

"Ibrahim adalah orang pertama yang menjamu tamu, orang pertama yang berkhitan, orang pertama yang memotong kumis, dan orang pertama yang melihat uban lalu berkata: Apakah ini wahai Tuhanku? Maka Allah berfirman: kewibawaan, wahai Ibrahim. Ibrahim berkata: Wahai Tuhanku, tambahkan aku kewibawaan." (HR. Bukhari dalam Adabul Mufrad)

Maka saya pun ingin melantunkan doa yang sama kepadaMu ya Allah, ya Hakam. Tambahkanlah kebijaksanaan dalam diriku...

Yang berat adalah istiqomah

Surat Hud, terutama ayat 112 menurut riwayat dikabarkan sebagai ayat yang terberat bagi Rasulullah ﷺ hingga membuat beliau beruban. Tentang istiqomah ini, sejak pertama kali saya mempelajari hadits tentangnya pun ia menjadi motto hidup bagi saya. Dan memang seberat itu untuk tetap istiqomah dalam ketaatan.

Yang saya syukuri dari kesulitan-kesulitan menghadapi hawa nafsu diri dan godaan syahwat adalah kesadaran ketika berbuat maksiat. Setidaknya saya masih sadar setiap kali berbuat salah, bahwa yang saya lakukan itu adalah sebuah kemaksiatan. Saya tidak pernah mencari-cari alasan atau pembenaran apapun atas kedurhakaan yang saya lakukan. Saya berharap kesadaran ini tidak pernah hilang dari hati, dan semoga saya bisa terus berupaya untuk meninggalkan hal-hal yang membuat Allah menahan rahmatNya untuk saya.

Sembari menulis postingan ini, saya pun sedang membaca sebuah artikel di muslimmatters.org dan mencoba merefleksikan pesan dalam artikel tersebut ke dalam diri saya pribadi. Rasulullah ﷺ, memiliki hubungan yang begitu kuat dengan Al-Qur'an hingga turunnya wahyu bisa memberi dampak yang sangat besar kepada beliau. Bukan hanya dari mental dan kepribadian, tapi juga fisiknya. Bagaimana sebuah surat terasa sangat berat pesannya beliau terima, hingga tumbuh uban di kepalanya.

Di sisi lain, beliau adalah seorang ayah, suami dari banyak istri, pemimpin umat dan dengan urusan yang membuatnya sibuk itu bukanlah hal-hal tersebut yang membuatnya menua. Seringkali ketika orang lain mengatakan sesuatu tentang kondisi fisik saya yang sebenarnya dari dulu memang kurus-kurus saja, saya menjawab respon tersebut dengan alasan-alasan sederhana. Banyak pikiran, sedang sibuk, dan lain-lain. Tapi, bagi Rasulullah ﷺ bukanlah urusan-urusan besar yang harus dihadapinya yang membuat beliau menua dan beruban. Adalah surat Hud dan saudara-saudaranya yang terasa berat sehingga membuat beliau menua.

Sembari mengingat kembali pesan tadabbur surat Al-'Alaq yang beberapa pekan ini saya pelajari. Bahwa Al-Qur'an ini turun dengan beban, dengan usaha yang berat dan bukan dengan kenyamanan dalam istana mewah. Maka mengemban amanahnya adalah sebuah usaha berat yang butuh kekuatan besar. Kadang saya berpikir, kebaikan apa yang pernah saya lakukan sampai-sampai Allah berikan salah satu ilmu tentang Al-Qur'an ini kepada saya. Apakah ada kesalihan dari leluhur saya yang terwariskan kepada saya? Atau apakah ini adalah jawaban dari kekurangajaran saya ketika masih remaja, menuntut kehadiran Allah dalam perjalanan hidup saya?

Apapun itu, saya ingin mengingat uban ini dengan kesyukuran. Bahwa saya di usia 33 tahun ini adalah seseorang yang bisa berbicara tentang Tuhan dengan lebih beradab. Membatin, berbisik memanggilNya dengan harap dan takut. Bukan lagi bocah 13 tahun yang mempertanyakan keberadaanNya, menuntut bimbinganNya, dan mengancam kekuasaanNya. Oh, alangkah memalukan saya 20 tahun yang lalu 😢.


"How Do I Get My XXX To Pray?"; 28 July 2020

Selasa, 01 Agustus 2023

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 

In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful


Assalammualaikum Ladies,

Last week, I was on a call with some of my girlfriends when one of them suddenly blurted out, "guys, how do I get my husband to pray? I've tried everything, but now it just seems like I'm nagging when Allah knows I only have his best interest at heart!" Her loaded question opened up a whole new thread for our conversation and as everyone started sharing "tips" and "advises", I listened intently as this one question has not only troubled my girlfriend but unfortunately, so many other Sisters as well. Every other day, I'll receive emails and DMs asking me a variation of the same question of how does one get a loved one to come back to His path.

This topic is very dear to me. Because I am sure I was once the person whom my parents / friends would ask this question for.

"How do we get Aida to come back to Him?"

And I can tell you right away that none of my loved ones ever forced the religion on to me. Neither did they nagged. Nor did they give up. And I am incredibly grateful for that because doing Dawa' to your loved ones is the hardest.

Photo by ain murad on Unsplash

But here are some things I've found helpful to remember whenever we are inviting our loved ones to the Deen.

1) Dawa' = Invitation   

Dawa' ≠ Force / Nagging / Threaten

At the very core of it all, we have to understand that the act of Dawa' is one that invites people to Islam. This should already tell us that it's a deed that requires compassion, gentleness and kindness at the core of it. So if we are doing everything but that, then there's a danger that we might actually be making our loved ones go further away from Him. A good question to always ask: "if someone else were to come to me doing the same thing that I'm doing to (insert loved one here), would I be more drawn to Islam or would it drive me away instead?"

2) Be the best (insert your role here) you can be to your loved one first

The best form of Dawa' is through our character, so strive to be the best wife / sister / mother / friend to your loved one first. When our mannerisms, speech and personality are brimming with love and good-naturedness, (as we should be, as we are the Ummah of Rasulullah SAW ❤️), only then will our loved one feel "safe" and comfortable around ua. When I say "safe", I mean he / she is safe from judgement from you. A lot of us are guilty of being highly judgemental to our loved ones, and this is not a good place to be when you are trying to share the beauty of the Deen. Islam has no room for a "holier-than-thou attitude" because we are all sinners - we just sin differently.

3) Do not set a "deadline"

This is one of the biggest mistakes that we make when we are trying to call our loved ones back to His path. When we set a "deadline", i.e. place a time limit as to when he / she should start practising this faith, we are forgetting that everything in this Universe follows Allah's time, not ours.  What's worse is that when we get closer to approaching the "deadline" that we arrogantly set, still not seeing any significant difference in our loved one, we start pressuring him / her, or worse, we completely give up altogether. Also, remember this: Rasulullah SAW, who is the best man ever lived, the most kind, the most gentle, the most fitting and equipped to do Dawa, took 23 years to finish his mission. Who are we to think that we can even come close to doing what he SAW did in a span of a month?

4) To Note: Time / Place / Tone / Vibe

Being aware of these 4 things - timing, location, tone, and "vibe" / "energy" of a situation - is extremely crucial when you are planning to share more about the Deen. I'm a huge believer that there is a time and place for everything and this is especially true when it comes to Dawa'. Do not bring it up when your loved one is hungry (hangry is a thing, guys), exhausted, stressed, upset, worried. Do not bring it up when you are in public or in a social gathering. Watch the tone always - are you being preachy? Insensitive? Pushy? As a wife / mother / sister / friend, we should be able to know when will be the best time to gently have a discussion about this. 

3 extra tips:

A: recite the Dua that Prophet Musa AS said before he spoke to Firaun before speaking to your loved one!

B: Figure out which aspect of the Deen will "attract" your loved one more. Some of us are drawn more towards Stories of the Prophets and Companions, others lean towards logic and science - everyone is different. Whatever it is, Islam is a faith that is whole and perfect, so there are bound to be something that your loved one will be interested in. Start there! 

C: Keep on seeking Knowledge. We won't be able to share the beauty of the Deen if we don't even know it ourselves! Read up, learn more, go to Classes, find knowledgeable teachers! When you equip yourself with more knowledge, you will then be more prepared to answer questions your loved ones might have about the faith too.

5) Be OK with not being their "Bridge"

Often times, doing dawa' to your loved ones is not only a test of our patience. But it is also a test of our sincerity. I've learned that, sometimes, Allah has not willed that you be the catalyst, or the bridge that helps your loved ones return to His path, AND THAT IS OK. For example, you may have been trying to share with your sister about the Deen for years but your efforts have been futile. And then one day, a friend of hers simply shared the very same thing you've been trying to share for years, but her sharing had a more positive effect on your Sister than yours - that only means that friend of hers is the one chosen by Allah to be your Sister's bridge, and that is amazing! We have to put aside our ego when it comes to Da'wa with our loved ones which is why I always make the Dua, "Ya Allah, please use me to be the person who can help bring XYZ closer to You, but if that is not what You have willed, then please send XYZ other beautiful companions to take on that role. And You know best, Ya Rabb."  

6) Dua for them. In Secret. In the still of the night. 

Which brings me to this all-important point: make a looooooooooooooooooooot of Dua for your loved one. I cannot stress this enough. Rasulullah SAW would stay up all night praying for us, for his Ummah, because he was worried for us and the state of our hearts and our faith. So follow his Sunnah, SAW. If you are concerned for a loved one, make Dua for them, constantly, secretly. And especially in the third of the night, in Tahajjud, as Imam Shafi'i said, "a dua made at Tahajjud is like an arrow that never misses its target."

7) Ally yourself with Allah

I saved the most important point for last. We have to understand that the hearts of your loved ones belong solely to Allah SWT, therefore He is the only One who can completely soften and change the state of their hearts. I know of someone who would wake up every night to pray for her beloved husband for 7 years and counting. When her father in law found out that his son wasn't praying, he asked her, "why didn't you tell us?". Hearing this, she just smiled and answered, "I tell Allah. Everyday."

For her, Allah SWT is her al-Wali, her Ally, her protecting Friend. Which is why she has been able to find the strength to continue praying for her husband all these years. 

One of my teachers taught me that when you "empower" yourself with just yourself, you "empower" yourself with nothing. Because we are flawed and weak ourselves. But when we empower ourselves with Allah SWT, then we empower ourselves with the Greatest! As Allah is al-Malik (the Supreme King), and al-Aziz (the All Mighty).

So lean on to Him when the going gets tough. Fill your own hearts with the remembrance of Him so that you can pour love and light to your loved ones. Because without Him, you are just running on empty.

-

Ladies, the truth is, even Allah's beloved Prophets (may Allah bless them all) struggle with their families and their loved ones when it comes to inviting them to the Deen. Prophet Ibrahim AS struggled with his father, Prophet Nuh AS with his son, and Rasulullah SAW too with his Uncle. But they didn't give up, and tried their hardest till the end.

And so should we.

Because if the roles were reversed, wouldn't you want your loved ones to try and pray for you till the end as well? :)

Love and prayers always,

A



Catatan Membaca; Six Thinking Hats

Senin, 31 Juli 2023


Judul: Six Thinking Hats
Penulis: Edward de Bono
Penerjemah: Yuniasari Shinta Dewi
Format: Paperback, 229 halaman
Penerbit: Elex Media Komputindo, 2017
Harga: Rp. 25.000

Awalnya saya pikir ini buku self-help. Well, saya sebenarnya juga kurang paham dengan ruang lingkup genre self-help, sih. Tapi yang jelas, buku ini berisi panduan mengelola hubungan dalam sebuah organisasi. Cocok banget untuk para pimpinan di kantor yang kita hormati.

Buku ini sudah lama saya beli, hanya saja memang tertunda dibaca karena isinya agak kurang sesuai dengan ekspektasi saya. Tapi setelah dipikir-pikir, sepertinya saya hanya kurang meminati kegiatan berorganisasi sehingga pembahasan tentang rapat tidak terlalu saya sukai. Sungguh aneh, sebagai seorang organisatoris ketika kuliah, dan sekarang mengelola sebuah komunitas yang sedang berkembang mungkin kalian akan tidak percaya pada fakta bahwa saya sangat tidak menyukai berinteraksi dengan orang lain.

Tapi mau bagaimana lagi?! Pada kenyataannya hidup ini nggak bisa selalu mengikuti kemauan sendiri, kan?! Meskipun saya sangat tidak suka basa-basi dan segala interaksi yang berbelit-belit, pada akhirnya saya harus menerima bahwa saya butuh orang lain untuk membantu hidup. Dan beginilah jadinya, saya yang super introvert jadi founder komunitas dengan member ratusan 😅.

***

Jadi, sesungguhnya awal penyebab saya beli buku ini adalah karena nama buku Edward de Bono yang judulnya How to Have a Beautiful Mind. Saya ingin beli karena sejujurnya saya ingin sekali mengajarkan cara berpikir kepada orang lain, terutama anak saya. Biar saya bisa menularkan rasa curiosity kepada mereka, gitu lah. Ketika mau beli buku itu, kalau tidak salah ada tulisan yang mengatakan bahwa konsep 6 topi berpikir harus sudah dipahami dulu. Maka saya belilah buku ini.

Singkatnya, metode enam topi yang dibahas di buku ini adalah sebuah teknik sederhana yang sangat efektif berdasarkan ragam cara berpikir otak. Kecerdasan, pengalaman, dan pengetahuan yang dimiliki setiap orang dimanfaatkan guna mencapai kesimpulan-kesimpulan yang tepat dengan cepat. Demikian sinopsis di bagian belakang buku menjelaskan. Lalu, bagaimana pengalaman saya membaca bukunya?!


Kita mulai dari Pengantar. Saya akan menuliskan kembali bagian-bagian yang saya highlight dan mungkin akan saya bahas kemudian. Berpikir adalah sumber daya manusia yang mendasar. Begitu saya membaca kalimat itu, rasanya bahagia sekali. Dan kalimat-kalimat berikutnya menjelaskan bahwa manusia pada umumnya selalu berpikir untuk berusaha menjadi lebih baik. Hanya manusia rendahan yang merasa bahwa tujuan berpikir adalah untuk mendapatkan pembenaran. Nah, kesulitan utama dari berpikir adalah kebingungan. Kita berusaha melakukan terlalu banyak secara bersamaan. Merasa relatable nggak kalimatnya?! Enam topi berpikir ini mengajarkan kita untuk memisahkan emosi dari logika, kreativitas dari informasi dan seterusnya. Pokoknya keenam topi berpikir ini memungkinkan kita untuk mengatur pemikiran kita layaknya seorangg konduktor memimpin sebuah orkestra.

Baru satu halaman lewat, sudah ada catatan khusus untuk si topi hitam. Katanya, topi hitam adalah topi yang sering disalahpahami. Lho, kok kayak saya?! Padahal topi hitam adalah topi yang paling berharga dan mengenakannya berarti bersikap waspada dan hati-hati. Membaca bagian itu saya langsung curiga, jangan-jangan saya pemilik topi hitam 😏.

Berlanjut ke bagian Pendahuluan, di sinilah mulai dijelaskan tentang maksud dari enam topi berpikir. Dengan pengantar sejarah tentang awal mula pemikiran Barat dan logika berpikir, dijelaskan bahwa nilai dari topi sebagai sebuah simbol adalah menyatakan peran. Topi-topi adalah arah, bukan penjabaran. Ketika pemimpin rapat mengatakan, "Saya ingin topi merah dipakai untuk hal ini." berarti kita membutuhkan perasaan, intuisi, dan emosi terhadap situasi tersebut. Atau ketika dikatakan, "Mari kita mengenakan sebentar topi berpikir putih di sini." berarti semua harus berfokus pada informasi.

Penjabaran berurusan dengan apa yang telah terjadi. Sementara arah berurusan dengan apa yang akan terjadi. "Saya ingin Anda melihat ke arah timur" sangat berbeda dengan "Anda telah melihat ke arah timur." Ada godaan sangat besar untuk menggunakan topi-topi guna menggambarkan dan mengelompokkan orang-orang.  Memang, orang-orang mungkin lebih suka satu cara daripada cara yang lain. Meskipun begitu, topi-topi bukanlah kategori orang-orang. (h. 7-8)

Jadi intinya, metode enam topi berpikir adalah meminta semua yang hadir dalam rapat untuk  mengenakan topi tertentu pada waktu yang ditentukan. Sehingga kita bisa memanfaatkan semaksimal mungkin kecerdasan dan pengalaman semua orang.

***

Enam topi memiliki warnanya masing-masing sesuai dengan kegunaannya. Topi putih, netral dan objektif. Topi putih berurusan dengan fakta-fakta dan angka-angka yang objektif.

Topi merah menandakan kemarahan (rasa jengkel), murka, dan emosi. Topi merah memberikan pandangan emosional.

Topi hitam berarti suram dan serius. Topi hitam berarti bersikap waspada dan hati-hati. Ini menunjukkan kelemahan-kelemahan pada setiap gagasan.

Topi kuning berarti cerah dan positif. Topi kuning berarti bersikap optimistis dan mencakup harapan dan berpikir positif.

Topi hijau berarti rumput, tumbuh-tumbuhan, dan pertumbuhan yang subur, berlebihan. Topi hijau menandakan kreativitas dan gagasan baru.

Topi biru berarti tenang, dan juga merupakan warna langit, yang lebih tinggi dari segalanya. Topi biru berurusan dengan kendali, pengaturan dari proses berpikir dan pemakaian topi-topi lainnya.

Kita juga harus mengingat tiga pasang topi;

Putih dan merah
Hitam dan kuning
Hijau dan biru

Penggunaan topi bisa dengan beberapa cara. Apakah terpisah, berurutan, atau dengan cara-cara lain yang disampaikan di dalam buku ini. Menurut saya, jika buku ini dibaca oleh sebuah tim atau orang-orang yang bekerja sama dan mereka bisa berkomitmen untuk melaksanakannya dalam setiap rapat, maka aktivitas rapat bisa jadi lebih efektif. Karena gagasan yang disampaikan dalam buku ini sangat aplikatif.

Setelah buku ini, saya ingin mencoba membaca buku Edward de Bono yang lain; Kursus Lima Hari dalam Berpikir. Saya sudah tidak peduli apakah buku itu nanti akan membahas tentang rapat lagi atau sesuai dengan harapan saya; mengajari kaidah berpikir yang saya bayangkan. Yang jelas, panduan-panduan tersebut saya yakini akan bermanfaat untuk aktivitas sosial saya.

Selera Linguistik

Selasa, 25 Juli 2023

Istilah ini pertama kali saya dengar dari guru Al-Qur'an kami ketika di Ma'had Mahasiswa. Ketika itu, beliau sedang membahas tentang waqaf. Karena sebagian kami belum pernah belajar bahasa Arab sebelumnya, beliau mengatakan bahwa modal paling awal untuk mengenali tempat waqaf bagi orang yang tidak mempunyai pengetahuan bahasa Arab adalah Dzauqul Lughah. Beliau mendefinisikannya dengan 'perasaan berbahasa'. Menghadirkan hati ketika melihat, membaca atau mendengar sebuah kalimat. Tidak hanya menggunakan indera, karena lagipula Al-Qur'an diturunkan untuk hati.

Photo by Debby Hudson on Unsplash

FYI, kami tidak disarankan memakai Al-Qur'an terjemahan atau jenis-jenis Al-Qur'an dengan tools bantuan ketika belajar. Maka saya perhatikan bagaimana teman-teman saya belajar, sampai mereka akhirnya menemukan polanya di mana harus berhenti dan mengulang bacaan. Lalu, saya pun iri. Keirian yang ditertawakan guru kami. Karena saya sudah tahu bahasa Arab dasar, seharusnya tidak perlu iri dengan yang tidak bisa bahasa Arab. Tapi, saya merasa selama ini tidak pernah menggunakan hati ketika tilawah. Hanya berbekal pengetahuan bahasa Arab untuk memahami maknanya. Sementara teman-teman saya, tanpa bisa bahasa Arab justru bisa menghadirkan hatinya hingga mampu mengenali kalimat-kalimatnya dengan tepat.


Sejak saat itu, kehadiran hati menjadi satu hal yang saya wajibkan untuk diri saya. Mungkin karena itulah saya jadi tidak bisa membaca Al-Qur'an dengan cepat, bahkan tidak bisa membaca dengan lirih. Saya perlu bisa mendengar suara saya dengan jelas ketika tilawah, sehingga seringkali malu kalau mau tilawah di tempat ramai seperti kantor atau masjid. Beneran semalu itu, soalnya suara saya bakalan memenuhi ruangan 😅. Kan nggak ahsan ya, masa perempuan suaranya membahana?!


Dua tahun kemudian, saya menjadi guru di sekolah. Saya mendapati seorang murid perempuan, yang lancar membaca Al-Qur'annya, dan tepat waqaf-ibtida'nya. Ketika saya tanya apakah dia  belajar bahasa Arab, dijawabnya ,


'hanya yang di sekolah'. Saya sambung pertanyaan,


'Tapi teman-temanmu yang lain tidak punya ketepatan seperti kamu.'


Sambil nyengir dia menjawab, 'pakai perasaan aja, Bu.'


Jawabannya membuat saya mengingat kembali istilah Dzauqul Lughah. 


Fast forward, ketika mengikuti Akademi Al-Quran, Ustaz Herfi kembali menyebut istilah ini dengan frasa Dzauq al-Lughawi dengan definisi yang sedikit berbeda. Mungkin karena konteks materi yang berbeda, maka definisi yang beliau jelaskan pun berbeda. Kalau tidak salah beliau memberi jawaban atas pertanyaan seorang murid, mengenai kemampuan menikmati i'jaz Al-Qur'an jika seseorang tidak mengerti bahasa Arab. Dan jawaban beliau adalah Dzauq al-Lughawi, ketertarikan pada keindahan bahasa.

Photo by Rawan Yasser on Unsplash

Hari ini, tiba-tiba saya teringat lagi pada istilah ini. Lalu menelusuri Google dengan keyword tersebut, dan sebuah blog menarik perhatian saya. Artikel itu berjudul Keindahan Bahasa Arab. Namun di dalamnya penulis menyampaikan bahwa kini bahasa Arab telah rusak, dan salah satu subjudul dalam artikel itu berjudul Rusaknya Dzauq al-Lughawi, yang ketika saya pindahkan teks itu ke Google Translate ternyata bermakna Selera Linguistik


Salah satu bagian paling menarik perhatian saya adalah tulisan berikut;


لكننا للأسف تكوّن لدينا جيل لا يأبه باللغة ولا يتذوق جمالها ولايفرّق بين المعنى الجميل والتشبيه الرائع وبين الكلمة السخيفة الفارغة التي لامعنى لها لافي العربية ولا حتى في العامية المحكية.


وكان القرآن الكريم يتلى حتى على المشركين فيهتزون لقوته وبلاغته ويسدون أسماعهم حتى لايتأثروا فيه!! حتى قال فيه الوليد بن المغيرة وهو مشرك ( والله إن له لحلاوة، وإن عليه لطلاوة، وإن أسفله لمورق، وإن أعلاه لمثمر، ومايقول هذا بشر )


لكننا اليوم نقرأ القرآن فلا تهتز لسماعه ولايصلنا جمال كلماته وبلاغته وقوة بيانه، لأننا فقدنا الذوق اللغوي يوم أن ابتعدنا عن لغتنا الجميلة لغة القرآن العظيم.


Jika diterjemahkan secara bebas, artinya sebagai berikut;


Sayangnya generasi kita saat ini tidak peduli dengan bahasa, tidak bisa merasakan keindahannya, dan tidak bisa membedakan antara makna yang indah dan perumpamaan yang indah. Dan kalimat-kalimat hampa tanpa makna kini menjadi percakapan sehari-hari.


Padahal Al-Qur'an yang Mulia ketika dibacakan kepada orang-orang musyrik bisa membuat hati mereka terguncang oleh kekuatan dan kefasihannya, sampai-sampai mereka menutup telinga mereka agar tidak terpengaruh olehnya. Hingga Walid bin Mughirah berkata 'Demi Allah, (Al-Qur'an) itu mengandung keindahan. Bagian atasnya berbuah ranum, bagian bawahnya rimbun dengan dedaunan, dan padanya terdapat buah yang manis. Ini bukanlah perkataan manusia.'


Akan tetapi hari ini kita membaca Al-Qur'an, tanpa terguncang demi mendengarnya, tidak memahami keindahan kata-katanya, kefasihan dan kekuatan penjelasannya tidak sampai kepada kita. Karena kita telah kehilangan adz-Dzauq al-Lughawi tepat ketika kita meninggalkan bahasa kita yang indah, bahasa Al-Qur'an.


Saya pikir apa yang dibahas dalam tulisan tersebut juga terjadi pada kita di Indonesia. Beberapa kali saya menyimak Ivan Lanin menyampaikan hal serupa, -walaupun tidak setegas itu- dan sepertinya Nara Bahasa berdiri memang untuk mengembalikan nilai Bahasa Indonesia kepada pemiliknya.


Dalam sebuah postingan, Abun Nada juga pernah membahas tentang pentingnya berbahasa dengan benar dan fasih;


Terus terang, sejak mengetahui bahwa bahasa menjadi salah satu hal paling penting dalam sebuah peradaban saya jadi sangat tertarik pada pembahasannya. Namun sampai saat ini, referensi yang saya dapatkan masih sangat terbatas. Pengalaman saya mengajar sebenarnya sudah menunjukkan bahwa kwalitas generasi saat ini sangat buruk dan kemampuan berbahasa mereka juga memprihatinkan.


Seringkali saya dibuat terkejut ketika anak-anak murid meminta penjelasan atas istilah-istilah yang seharusnya sudah bisa dipahami oleh manusia seusia mereka. Film-film kartun di TV yang dulu berbahasa baku pun sekarang dibuat dengan dibuat dengan percakapan yang lebih kasual. Lebih parah lagi ketika mendengar bagaimana mereka berinteraksi, bahasa yang digunakan benar-benar membuat saya tepok jidat.


Kembali mengutip dari blog di atas, para ulama mengatakan bahwa barangsiapa yang belajar bahasa Arab maka akan melembutkan akhlaqnya. Mungkin, keburukan akhlaq generasi kita saat ini adalah manifestasi dari tidak adanya selera berbahasa dan tidak adanya upaya untuk membangun kecintaan terhadap keindahan bahasa tersebut. Dari muatan pelajaran bahasa Indonesia saja misalnya, anak-anak sekarang tidak lagi diwajibkan menghafal peribahasa-peribahasa lama. Pembahasan karya sastra pun sekadar pengenalan nama sastrawan dan judul-judul karyanya.


Entahlah, mungkin kapan-kapan postingan ini akan berlanjut. Setidaknya, saat ini hanya ini yang ingin saya tulis walaupun ada banyak sampah di kepala. 

Suatu hari, ku tak peduli pada lingkaran itu lagi

Rabu, 12 Juli 2023

Suatu hari, beberapa kenalan di Instagram membagikan postingan Amar Ar-risalah di story mereka. Sebuah postingan reflektif tentang liqo', sebutan untuk halaqah jama'ah tarbiyah yang kini entah sudah berganti jadi apa namanya. Atas dasar kepo yang berlebihan, saya baca juga tulisan itu. Saya akui, dia memang jagoan bikin kata-kata indah yang menyentuh hati.

Intinya, tulisan itu merupakan ajakan kepada orang-orang yang sudah tidak melingkar lagi untuk kembali. Kembali melingkar lagi, mengaji bersama murabbi dan mungkin berjama'ah lagi. Seketika membaca tulisan itu saya bertanya-tanya dalam hati. Dan pertanyaan-pertanyaan itu mau saya tulis di sini sekalian saya mau mengeluh dan mengungkapkan isi hati 😌.

Photo by Hasan Almasi on Unsplash

Sejak dulu, -dulunya tuh dulu banget, sekitar tahun 2007an waktu awal-awal saya mulai liqo'- ketika mendengar cerita tentang orang-orang yang meninggalkan jama'ah setelah menikah atau lulus kuliah saya tidak pernah terlalu judgemental. Kata salah seorang teman, kemungkinan karena saya dari latar belakang Nahdhiyin yang sudah terbiasa mengaji sejak kecil maka kebutuhan berjama'ah tidak terlalu penting buat saya. Meskipun begitu, saya juga bukan termasuk orang yang meremehkan tarbiyah. Butuh waktu sekitar 2 tahun untuk saya mempelajari Ikhwanul Muslimin sebelum akhirnya memutuskan untuk meminta dicarikan murabbi.

Saya bukan kader rekrutan yang ditemukan para senior kampus lalu terjebak dalam pembinaan wajib mata kuliah agama. Saya membaca Risalah Pergerakan sampai tuntas Syarah Ushul 'Isyrin sebelum dijadikan kader. Setelah menjadi kader pun, saya bukanlah tipe kader yang taat membeo kepada senior. Lagi-lagi, kata seorang teman memang seperti itu tipikal kader yang sudah berwarna ketika bergabung dengan jama'ah tarbiyah.

Ketika memutuskan untuk bergabung, saya tidak melihat jama'ah ini sebagai sebuah bangunan tanpa cela. FYI, saya bergabung ketika masa-masa kader-kader ini masih seperti orang-orang salafi hari ini. Urusan bid'ah dan tidak nyunnah, beberapa kali saya ributkan dengan kakak sendiri. Berkali-kali saya ingatkan para senior-senior dakwah itu untuk belajar Bahasa Arab supaya tidak mempermalukan diri sendiri dan jama'ah. Belakangan saya baru sadar, kalau karakter ndablegnya para senior itu sesungguhnya sudah terlihat dari dulu, sayanya saja yang terlalu naif. Buktinya hampir tiap hari saya beri tahu kalau kaburo maqtan itu tidak ada hubungannya dengan kemunafikan, masiiiih saja dipakai sebagai ungkapan harian.

Ketika sudah masuk kuliah pun, saya seringkali dicurigai sebagai kader yang mbalelo. Ngobrol santai dengan teman laki-laki, salaman dengan dosen laki-laki sampai cium tangan, pasang foto profil di facebook, nggak pakai kaos kaki di rumah meskipun ada tamu, pokoknya hal-hal yang dulu dianggap tabu bagi jama'ah sudah saya lakukan tanpa rasa bersalah. Saya masih ingat ketika ada cerita menyebar tentang seorang akhwat senior yang hampir pingsan di tempat KKN karena bersikeras tidak mau dibonceng teman lelakinya padahal harus menempuh jalan berkilometer, semua kader menjadikannya sebagai bahan tausiyah di lingkaran-lingkaran pekanan itu. Sekian tahun kemudian, ketika Gojek merajalela beberapa kali saya berpapasan dengan beliau menggunakan jasa Goride di jalan 😐.

Photo by Rizal Hamzah on Unsplash

Jadi mengapa saya dulu memutuskan untuk bergabung? Karena saya melihat harapan. Orang-orang yang tidak terlalu paham agama -ini yang di sekitar saya, ya...- tapi semangat sekali mengamalkannya. Mereka masih belajar, tapi ruh dakwahnya membara sampai-sampai saya yang sudah ngaji sejak kecil kadang merasa malu melihat semangat mereka. Apalagi setelah membaca buku-bukunya, saya kemudian berpikir kalau sepertinya memang jama'ah yang ini lebih sesuai untuk saya.

Begitu bergabung, saya lompat kelas. Langsung bergabung membina ROHIS SMA di Bandar Lampung bahkan mengisi beberapa kajiannya. Ya mau bagaimana lagi, ada label jebolan pesantren nancep di jidat jadi harus dimanfaatkan dengan sebaik-baiknya, kan?! Kelompok lingkaran otomatis bukan dengan anak-anak baru. Meskipun teman-teman saya seumuran, tapi mereka adalah anak-anak yang terbina sejak masuk SMP dan jadi pengurus inti di lembaga dakwah sekolah masing-masing. Bicara soal strategi dakwah dan jama'ah sudah jadi bahasan wajib setiap pekan. Bahkan bahasan tentang partai pun sudah biasa buat kami, padahal ada yang masih dibawah 17 tahun usianya.

Menjalani hari-hari bersama dalam lingkaran dakwah tarbiyah sangat tidak mudah. Setidaknya itu yang saya pahami dari orang-orang yang memilih keluar. Bukan hanya karena amanah dan tuntutan komitmen yang berat, tapi juga karena orang-orangnya yang ternyata tidak mudah untuk diajak berjama'ah. Ironi sekali, kan?! Dulu saya pikir, kondisi dakwah kampus saja yang bermasalah. Tapi ternyata sedikit demi sedikit saya amati, memang ada yang aneh dengan jama'ah ini.

Photo by Edho Pratama on Unsplash

Mari mulai dari konflik. Seingat saya, keributan internal itu mulai saya rasakan di tahun 2010. Saat itu saya baru pulang dari Jogja, dan mendapati bahwa ternyata teman-teman yang dikirim ke Jogja bersama saya adalah kader-kader 'bermasalah'. Mereka dikenal sebagai kader pemberontak yang disinyalir sedang melakukan 'gerakan' bawah tanah yang dicurigai akan merusak tatanan dakwah di kampus. Memang kalau dipikir-pikir, keikutsertaan saya ke Jogja waktu itu cukup aneh. Dari 7 orang mahasiswa dari Lampung yang lulus sertifikasi kader, cuma saya sendiri yang dari IAIN. Dan karena 6 orang lainnya adalah kader calon blacklist, tentu saja saya jadi pantas juga dicurigai.

Usut punya usut, ternyata 6 orang kader itu hanya ingin melakukan pembaruan di kampus. Menurut mereka cara kader dakwah menjalankan pemerintahan kampus sudah sama saja dengan orang lain. Tidak demokratis. Dan karena saya berteman dengan kedua pihak, maka saya konfirmasi ke pihak lain. Dari sisi lain, mereka dianggap tidak paham dengan metode dakwah. Namun yang membuat saya akhirnya memihak mereka adalah cara para senior itu memperlakukan mereka. Tiba-tiba mereka diblacklist dari daftar kader, tidak diizinkan liqo' dan diboikot. Gila!

Dari kejadian itu, rentetan kejadian lain mulai bermunculan. Prahara paling besar memang terjadi di kampus Unila dan saya yang waktu itu kuliah di IAIN tidak terlalu mau tahu. Lagipula karakter kader di IAIN memang tidak terlalu terpengaruh dengan kebijakan jama'ah. Lagi-lagi, alasannya karena kebanyakan kader-kader di kampus IAIN adalah orang-orang yang tidak buta agama sehingga untuk mengenalkan mereka dengan gerakan atau manhaj dakwah tertentu akan terlalu beresiko terhadap jalannya proses kaderisasi. Little did I know, saya adalah kader yang paling diwaspadai karena saya bersahabat sangat dekat dengan kader terbaik kampus. Para senior sangat khawatir saya akan mempengaruhi pemikiran si kader ini dan membuat rusak sistem dakwah kampus. Dari mana saya tahu? Beberapa hari sebelum sahabat saya ini pulang kampung karena ternyata lulus tes CPNS, dia ceritakan semua dugaan buruk sangka dari para senior yang pernah disampaikan ke dia. Ternyata, salah satu hal yang membuat dia mau bersahabat dengan saya adalah rasa penasaran pada gosip tentang saya yang dia dengar sejak saya masuk kampus 😐.

Tidak lama sejak kejadian itu, kelompok liqo' saya dirombak dan tebak.... ternyata yang dirombak cuma saya sendiri. Yes, saya berada dalam kelompok liqo' yang pembahasan pekanannya adalah tentang strategi dakwah kampus. Dan ternyata adanya saya di kelompok itu hanya karena sahabat saya ini yang meminta. Karena pemikiran saya dibutuhkan, maka permintaan itu dikabulkan. Tapi setelah sahabat saya ini pergi, mereka tidak mau lagi mengambil resiko berdebat dengan saya setiap kali rapat atau liqo' karena mungkin tidak akan ada lagi penengahnya. Dari mana saya tahu, teman liqo' saya yang menyampaikan. Setelah saya tidak lagi menjadi anggota kelompok liqo' itu tidak ada perubahan anggota liqo'. Tidak ada anggota baru yang masuk, padahal pekan sebelumnya murabbi kami bilang kalau ini adalah perombakan rutin dan kami bahkan sampai tukar kado. 😂

Photo by Tim Mossholder on Unsplash

Saya tidak pernah ambil pusing dengan hal-hal itu. Jujur, sejak awal bergabung dengan jama'ah tarbiyah saya tidak pernah menganggap mereka yang ada di dalamnya adalah orang-orang yang istimewa. Saya selalu memandang mereka seperti muslim lainnya, dan tentu saja masih banyak muslim yang lebih baik dari mereka. Mengapa saya harus sampaikan seperti ini? Karena ada tendensi ujub yang saya rasakan dari kader-kader yang berada dalam jama'ah ini. Perasaan menganggap orang yang tidak bersama mereka adalah orang yang tidak mendapat hidayah, atau orang yang memusuhi mereka adalah orang yang belum terbuka hatinya. Pernah dengar kalimat, "dia baik orangnya, tapi sayang jilbabnya masih kecil..." Dan kembali ke peristiwa pembuangan saya, sejujurnya tidak masalah bagi saya. Masalah baru muncul ketika ternyata saya menikah dengan salah satu pimpinan kader kampus 😆.

Saya tidak akan cerita tentang tragedi pernikahan, karena ini menyangkut suami saya jadi saya harus menjaga nama baiknya -tsaaaah-. Tapi yang jelas, pernikahan kami bukanlah pernikahan yang diharapkan oleh para petinggi dakwah kampus. Kebetulan kami akhirnya menjadi guru sekolah, maka ada alasan untuk menonaktifkan kami dari dakwah kampus. Saya dipindahkan kelompok liqo'nya ke kelompok yang tidak aktif 😝 dan suami diminta untuk fokus pada dakwah sekolah. Dan suami saya adalah kader paling loyal yang pernah saya lihat, dia jalankan amanah baru itu dengan sungguh-sungguh sampai akhirnya sekarang saya tahu dia sudah masuk ke dalam barisan kader paling penting. Ada istilah untuk kelompok mereka tapi tidak akan saya sebutkan namanya karena -really- kader jama'ah tarbiyah ini penakut sekali.

Berpindah liqo' dari kampus ke dunia kerja membuat saya melihat ketidakteraturan dalam pembinaan jama'ah tarbiyah terhadap kader-kadernya. Terhitung sejak tahun 2013 sampai 2023 ini, saya baru 4 kali berganti murabbi. Padahal normalnya, kelompok liqo' itu ganti tiap tahun. Selain itu, selama 10 tahun agenda pekanan tidak pernah berjalan normalnya kegiatan liqo' yang saya kenal. Entah untuk alasan apa, saya merasa kader-kader yang tidak masuk dalam lingkaran partai tidak mendapat perhatian layaknya kader yang bisa dimanfaatkan untuk partai. Darimana saya bisa dapat kesimpulan itu? Karena sekarang saya mulai masuk ke dalam pembinaan partai, tanpa izin saya. Mungkin suatu saat ketika saya mulai menolak tugas-tugas partai, saya akan dipindahkan lagi?! Who knows.

Bisa dibilang, berada dalam kelompok kader-kader yang aktif dengan kegiatan partai cukup mengobati kerinduan saya pada kegiatan liqo' yang dinamis. Materi yang disampaikan juga lebih terstruktur. Dan ini membuat saya bertanya-tanya, mengapa di kelompok liqo' yang anggotanya bukan kader partai suasana ilmiahnya sama sekali tidak terasa? Bahkan murabbinya pun seperti tidak punya energi untuk membina? 10 tahun saya berganti-ganti teman liqo', tidak sekalipun saya merasa ada diskusi menarik tentang materi yang disampaikan atau encouragement dari murabbi untuk mengajak kader belajar Islam.

Lalu apakah di kelompok kader partai kondisinya lebih baik? Tidak juga sebenarnya. Sama saja, tidak ada encouragement dari murabbi untuk mengajak kader belajar Islam lebih jauh. Hal-hal yang fundamental biasanya hanya disampaikan lewat agenda-agenda besar seperti seminar online tapi tidak ada follow up di liqo'. Tapi mungkin itu bukan salah sistemnya. Mungkin hanya kondisi kadernya saja yang memang jumud, sampai-sampai di usia sudah hampir 30an banyak yang masih belum pernah mendengar tentang hadits-hadits yang cukup umum. Padahal dia sudah lama ngaji. Pun ketika ada diskusi di liqo' pandangan-pandangan mereka masih dilandasi sudut pandang yang sangat sempit. Karakter ujub dan menganggap diri lebih utama dibanding kelompok atau manhaj lain membuat jama'ah tarbiyah kekurangan sumber belajar karena mereka tidak punya ustadz rujukan. Tradisi ilmiah pun kurang berjalan karena imbas dari hal sebelumnya, referensi bacaan para murabbi pun terbatas dan kemampuan membaca konteks sebuah dalil jadi sangat terbatas juga. Seringkali saya merasa putus asa ketika dalam kajian sebuah ayat dicomot seenaknya untuk menguatkan tugas tertentu yang padahal tidak ada hubungannya. Saya melihat kader-kader di jama'ah ini seperti orang-orang kebingungan yang patuh saja pada penggembalanya.

Masih banyak yang bisa diceritakan untuk mengungkapkan kekecewaan saya pada lingkaran ini. Tapi sepertinya jadi kurang baik, karena seolah-olah saya malah membuka aib sendiri. Dan mengapa saya masih saja bertahan di sini? Sejujurnya karena suami saya. Mungkin kalau suami saya bukan suami saya yang sekarang, mungkin saya sudah meninggalkan lingkaran itu sejak lama. Alasan kedua adalah karena saya sudah tidak memandang lingkaran itu dengan kacamata yang lain. Kalau dulu saya hadir di lingkaran sebagai sebuah komitmen seorang muslim dan tentara Allah, sekarang saya hadir untuk menjalin silaturahim dengan sesama muslim. Saya butuh bersosialisasi dengan manusia yang bisa saya jabat tangannya. Selebihnya, saya tidak peduli lagi. Mungkin tulisan saya ini terasa sangat arogan, tapi sungguh saya merasakan arogansi yang luar biasa dari sistem jama'ah ini yang tidak bisa saya pahami. Mungkin, suatu saat jika ruh dakwah bisa kembali saya rasakan dari lingkaran itu saya akan hadir dengan semangat yang seperti dulu lagi. Untuk saat ini, saya hanya akan menjalaninya sedemikian adanya.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.