SLIDER

Fitrah: Sifat bawaan setiap anak

Rabu, 08 Mei 2024

Mengapa anak-anak tidak mengalami kesulitan untuk beriman kepada Allah dan risalah-Nya, meskipun mereka tidak dapat melihat-Nya? Mengapa seorang anak merasa begitu mudah dan alamiah untuk berdoa, berpuasa, dan mengenakan hijab, dan seringkali menikmati prosesnya? Mengapa seorang anak yang baru berusia dua tahun mampu salat sendiri, melindungi dirinya dari segala bentuk gangguan?

Jawaban dari pertanyaan-pertanyaan ini sangat jelas dan sederhana -Allah telah menempatkan di dalam diri kita masing-masing sebuah anugerah yang menarik dan istimewa yang tidak akan kita sadari jika bukan karena Islam. Ini adalah anugerah fitrah (kecenderungan bawaan untuk mengenal Allah). Ini adalah salah satu cara agar kita dapat memahami keberadaan Allah (selain alam, wahyu, dan akal) dan menyadari tujuan penciptaan kita. Ini juga merupakan nikmat yang penting bagi orang tua ketika mereka berusaha untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang Allah dan agama Islam. Ini adalah fondasi yang menjadi dasar dari segala sesuatu yang dibangun, yang sudah ada sejak lahir. Ini adalah benih yang ditanam di dalam diri setiap anak kita yang perlu dipelihara untuk menghasilkan tanaman yang berbunga indah. Sebagai orang tua, kita hanya perlu menyediakan air dan sinar matahari. Dengan pemahaman ini, pendekatan pengasuhan anak menjadi lebih positif dan penuh harapan.

Photo by Wil Stewart on Unsplash

Apa itu fitrah?

Fitrah biasanya digambarkan sebagai sifat bawaan dan murni dalam diri manusia yang membuat manusia mampu mengenal Allah dan menerima agama-Nya. Fitrah adalah kecenderungan bawaan menuju kesadaran akan Allah dan penegasan akan keberadaan-Nya; pengetahuan bahwa ada Dzat Yang Maha Esa yang menciptakan kita dan dunia di sekitar kita. Ini adalah kemampuan yang diciptakan oleh Allah di dalam diri manusia yang terukir di dalam jiwa kita. Hal ini dijelaskan dalam Al-Qur'an oleh Allah .

فَأَقِمْ وَجْهَكَ لِلدِّينِ حَنِيفًۭا ۚ فِطْرَتَ ٱللَّهِ ٱلَّتِى فَطَرَ ٱلنَّاسَ عَلَيْهَا ۚ لَا تَبْدِيلَ لِخَلْقِ ٱللَّهِ ۚ ذَٰلِكَ ٱلدِّينُ ٱلْقَيِّمُ وَلَـٰكِنَّ أَكْثَرَ ٱلنَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

"Maka, hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama (Islam sesuai) fitrah (dari) Allah yang telah menciptakan manusia menurut (fitrah) itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah (tersebut). Itulah agama yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (QS Ar-Rum:30)

Pada dasarnya, maksudnya adalah bahwa setiap orang dilahirkan dalam keadaan suci di mana tauhid menjadi pusatnya. Hal ini kemudian mendorong seseorang untuk tunduk sepenuhnya pada kehendak Allah dan mencari cara untuk lebih dekat dengan-Nya. Islam sendiri disebut sebagai din al-fitrah (agama fitrah manusia) karena Islam adalah agama yang akan membimbing manusia menuju keimanan yang benar kepada Allah dan pemenuhan potensi ini secara sempurna. Para nabi diutus untuk mengingatkan manusia akan fitrah ini dan mengajarkan mereka hukum Islam sebagai panduan komprehensif untuk hidup dalam ketundukan kepada Allah. Para nabi sendiri, sebagai berkah dari Allah, mempraktikkan panduan ini dan menjadi contoh yang teguh dan patut diteladani bagi umat manusia.

Perjanjian tauhid yang tertulis pada setiap jiwa

Pada saat jiwa-jiwa diciptakan, setiap orang membuat perjanjian dengan Allah. Allah  menyebutkan perjanjian tersebut dalam ayat berikut:

هَـٰذَا مَا تُوعَدُونَ لِكُلِّ أَوَّابٍ حَفِيظٍۢ. مَّنْ خَشِىَ ٱلرَّحْمَـٰنَ بِٱلْغَيْبِ وَجَآءَ بِقَلْبٍۢ مُّنِيبٍ

"(Dikatakan kepada mereka,) “Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang bertobat lagi patuh. (Dialah) orang yang takut kepada Zat Yang Maha Pengasih (sekalipun) dia tidak melihat-Nya dan dia datang (menghadap Allah) dengan hati yang bertobat." (QS Qaf:32-33)

Dalam ayat lain, Dia  menjelaskan perjanjian ini,

وَإِذْ أَخَذَ رَبُّكَ مِنۢ بَنِىٓ ءَادَمَ مِن ظُهُورِهِمْ ذُرِّيَّتَهُمْ وَأَشْهَدَهُمْ عَلَىٰٓ أَنفُسِهِمْ أَلَسْتُ بِرَبِّكُمْ ۖ قَالُوا۟ بَلَىٰ ۛ شَهِدْنَآ ۛ أَن تَقُولُوا۟ يَوْمَ ٱلْقِيَـٰمَةِ إِنَّا كُنَّا عَنْ هَـٰذَا غَـٰفِلِينَ

"(Ingatlah) ketika Tuhanmu mengeluarkan dari tulang punggung anak cucu Adam, keturunan mereka dan Allah mengambil kesaksiannya terhadap diri mereka sendiri (seraya berfirman), “Bukankah Aku ini Tuhanmu?” Mereka menjawab, “Betul (Engkau Tuhan kami), kami bersaksi.” (Kami melakukannya) agar pada hari Kiamat kamu (tidak) mengatakan, “Sesungguhnya kami lengah terhadap hal ini,” (QS Al-A'raf:172)

Dengan demikian, salah satu cara kita mengetahui tentang Allah adalah bahwa Allah ada di dalam jiwa kita sendiri; Allah ada di dalam fitrah kita. Keyakinan akan tauhid (keesaan Allah) terukir di dalam diri kita. Ini adalah perjanjian kita dengan Allah. Setiap anak dilahirkan dengan kecenderungan alami untuk percaya dan menyembah Allah, untuk menjadi orang yang saleh dan berbudi luhur, dan untuk memiliki pemahaman yang benar tentang posisinya di alam semesta. Dia yang berserah diri secara alami akan menjadi seorang Muslim, karena semua manusia dilahirkan sebagai Muslim. Jika tidak ada perubahan yang terjadi pada pembawaan anak, ia secara alami akan condong kepada Allah dan akan mengikuti kehendak-Nya. Ketika ia mencapai usia baligh, ia akan dengan mudah memilih agama Islam daripada sistem kepercayaan lainnya. Inilah hubungan dengan Sang Pencipta yang akan membimbing anak pada pemahaman tentang kebaikan dan keburukan, serta kebenaran dan kebatilan sepanjang hidupnya.

Photo by Collabstr on Unsplash

Pengaruh orang tua

Anda mungkin bertanya pada diri sendiri, “Mengapa begitu banyak orang yang menjauh dari sifat alami mereka? Mengapa begitu banyak orang memilih penindasan di bumi?” Hal ini dapat dijelaskan oleh hadis Nabi  berikut ini, yang mengatakan: “Setiap anak yang baru lahir dilahirkan dalam keadaan fitrah. Kemudian kedua orang tuanya yang menjadikannya Yahudi, Nasrani, atau Majusi, sebagaimana seekor binatang dilahirkan dalam keadaan fitrah. Apakah kamu melihat ada di antara mereka yang dilahirkan dalam keadaan dimutilasi?” Hadits ini menjelaskan fakta bahwa pengaruh lingkungan setelah kelahiran membuat seseorang menyimpang dari fitrah dan jalan Allah. Penyimpangan ini tidak ada hubungannya dengan sesuatu yang salah dalam diri seseorang, karena fitrah itu murni dan baik. Mereka yang menolak agama Islam, pada dasarnya, melawan fitrah mereka. Jika dibiarkan sendiri, tanpa campur tangan, seseorang akan secara alamiah beriman kepada Allah, tauhid, dan Islam.

Seperti yang disebutkan dalam hadis, orang tua adalah faktor lingkungan utama yang menjauhkan seseorang dari fitrahnya. Orang tua yang membesarkan anak sebagai seorang Yahudi, Nasrani, Majusi, atau penganut agama lain, seringkali mewariskan agama yang sama dengan yang diajarkan oleh orang tua mereka. Orang tua berbagi keyakinan, nilai, moral, dan cita-cita dengan anak-anak mereka. Hal ini dilakukan melalui pemodelan, interaksi, pengajaran, dan sebagainya. Penelitian, pada kenyataannya, telah menunjukkan bahwa ketika anak muda memasuki usia dewasa, mereka membawa nilai dan moral yang sama atau serupa dengan yang diajarkan oleh orang tua mereka. Efeknya umumnya menarik dan bertahan lama. Penting untuk dicatat bahwa meskipun orang tua adalah faktor kunci dalam penyimpangan dari fitrah, pengaruh lingkungan lainnya juga dapat berperan. Sekolah, guru, teman, anggota keluarga besar, dan media semuanya memberikan pengaruh terhadap pikiran dan perilaku seorang anak.

Pengaruh setan

Setan juga berperan dalam upaya mengganggu fitrah. Tekanan dan kekuatan setan dan para pendukungnya dalam kehidupan manusia sangat jelas. Setan akan berusaha menipu kita dengan cara apa pun yang ia bisa, dan ia mulai bekerja pada anak-anak sejak mereka dilahirkan. Kita diperingatkan dalam Al-Qur'an,

قَالَ فَبِمَآ أَغْوَيْتَنِى لَأَقْعُدَنَّ لَهُمْ صِرَٰطَكَ ٱلْمُسْتَقِيمَ. ثُمَّ لَـَٔاتِيَنَّهُم مِّنۢ بَيْنِ أَيْدِيهِمْ وَمِنْ خَلْفِهِمْ وَعَنْ أَيْمَـٰنِهِمْ وَعَن شَمَآئِلِهِمْ ۖ وَلَا تَجِدُ أَكْثَرَهُمْ شَـٰكِرِينَ

"Ia (Iblis) menjawab, “Karena Engkau telah menyesatkan aku, pasti aku akan selalu menghalangi mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian, pasti aku akan mendatangi mereka dari depan, dari belakang, dari kanan, dan dari kiri mereka. Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur.” (QS Al-A'raf:16-17)

Sarana yang telah Allah berikan kepada orang-orang beriman dirancang untuk melindungi fitrah dari tipu daya dan jebakan setan.

Tanggung jawab orang tua dalam kaitannya dengan Fitrah

Pengetahuan ini secara eksplisit menyoroti peran penting orang tua dalam membesarkan anak-anak mereka. Orang tua bertanggung jawab untuk memelihara kecenderungan fitrah dan melindunginya dari kerusakan. Hal ini dapat dilakukan dengan mengajarkan anak tentang Allah dan Islam sejak ia dilahirkan. Kata-kata pertama yang didengar oleh seorang bayi adalah “Allahu akbar, Allahu akbar”, bagian dari adzan, yang diucapkan di telinga anak pada saat ia lahir. Kehidupan anak harus ditanamkan dengan mengingat Allah sejak saat itu dan seterusnya. Ia harus melihat orang tuanya berdoa dan membaca Al Qur'an setiap hari dan mendengar mereka mengucapkan bismillah, alhamdulillah, dan bentuk-bentuk pujian lainnya kepada Allah. Semua bentuk keburukan harus dihindari sejauh mungkin. Jika hal-hal ini tercapai, anak akan mengembangkan iman dan taqwa dan akan berusaha untuk menaati Allah. Pengembangan pemikiran dan perilaku Islami pada anak kemudian akan menjadi tugas yang mudah, hampir tanpa usaha.

Benih fitrah membutuhkan sinar matahari dan air yang dapat disediakan oleh orang tua. Hal ini akan memungkinkan iman tumbuh menjadi tanaman yang kuat dan indah. Adalah tanggung jawab orang tua untuk menjadi tukang kebun dan pemelihara fitrah ini. Orang tua berkewajiban untuk mengarahkan wajah anaknya ke arah agama Islam. Mereka tidak boleh membiarkan pengaruh lingkungan merusak tanaman yang sedang tumbuh ini. Allah telah menciptakan kita dengan cara tertentu dan Dia telah memberi kita alat untuk menyelesaikan tugas tersebut. Sebagaimana tanaman yang dipelihara akan tumbuh dengan mudah, demikian juga dengan iman anak Anda. Dengan dasar fitrah, pertumbuhan iman merupakan pengalaman alamiah manusia.

Pengetahuan dan Pendidikan dalam Islam

Rabu, 01 Mei 2024

"Pandanglah orang yang lebih rendah derajatnya darimu, tetapi janganlah kamu memandang orang yang lebih tinggi derajatnya darimu, karena hal itu akan membuat nikmat (yang dianugerahkan Allah kepadamu) menjadi tidak berarti (di matamu)."

Pentingnya ilmu pengetahuan

Rasulullah  bersabda: "Mencari ilmu itu wajib bagi setiap Muslim." Tanggung jawab ini dimulai sejak kita dilahirkan dan tidak akan berakhir hingga kita meninggal dunia. Nabi  juga bersabda: "Jika seseorang menempuh suatu jalan untuk mencari ilmu, maka Allah akan memudahkan baginya jalan menuju surga." Kemampuan untuk belajar dan memahami inilah yang membedakan manusia dengan ciptaan Allah lainnya dan secara langsung berkaitan dengan konsep kehendak bebas. Membuat keputusan tentu akan menjadi hal yang ceroboh tanpa adanya kemampuan untuk mendapatkan pengetahuan.

Photo by Kyle Glenn on Unsplash

Pengetahuan dan pencarian pengetahuan menuntun kita pada jalan yang benar dalam hidup - jalan yang lurus. Tanpa pengetahuan yang benar, perjalanan hidup kita tidak akan berhasil. Pentingnya hal ini sering ditekankan dalam Al Qur'an dan Hadis. Allah  menyebutkan,

إِنَّمَا يَخْشَى ٱللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ ٱلْعُلَمَـٰٓؤُا۟ ۗ إِنَّ ٱللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ 

Di antara hamba-hamba Allah yang takut kepada-Nya, hanyalah para ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS Faathir:28)

وَتِلْكَ ٱلْأَمْثَـٰلُ نَضْرِبُهَا لِلنَّاسِ ۖ وَمَا يَعْقِلُهَآ إِلَّا ٱلْعَـٰلِمُونَ

Perumpamaan-perumpamaan itu Kami buat untuk manusia. Namun, tidak ada yang memahaminya, kecuali orang-orang yang berilmu. (QS Al-'Ankabut:43)

هَلْ يَسْتَوِى ٱلَّذِينَ يَعْلَمُونَ وَٱلَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ ۗ إِنَّمَا يَتَذَكَّرُ أُو۟لُوا۟ ٱلْأَلْبَـٰبِ

“Apakah sama orang-orang yang mengetahui (hak-hak Allah) dengan orang-orang yang tidak mengetahui (hak-hak Allah)?” Sesungguhnya hanya Ulul Albab (orang yang berakal sehat) yang dapat menerima pelajaran. (QS Az-Zumar:9)

Rasulullah  bersabda: "Kepada orang yang dikehendaki Allah kebaikan, Dia menganugerahkan ilmu tentang iman." Beliau juga bersabda: "Ketika seseorang memulai perjalanannya untuk memperoleh ilmu, Allah memudahkan jalannya ke surga, dan para malaikat, untuk mengekspresikan penghargaan mereka terhadap tindakannya, membentangkan sayap mereka, dan semua makhluk yang ada di langit dan di bumi, termasuk ikan-ikan di dalam lautan, memohonkan ampun untuk orang yang berilmu. Orang yang berilmu lebih utama dari seorang ahli ibadah sebagaimana bulan purnama lebih utama dari semua bintang. Orang yang berilmu adalah pewaris para nabi, dan para nabi tidak meninggalkan warisan berupa dirham dan dinar (harta benda), tetapi mereka meninggalkan ilmu sebagai warisannya. Dengan demikian, seseorang yang memperoleh ilmu akan memperoleh bagiannya secara penuh." Lebih penting lagi, beliau menyatakan: "Tidak ada iri hati kecuali dalam dua hal. Yang pertama adalah orang yang diberi kekayaan oleh Allah dan ia membelanjakannya dengan benar; yang kedua adalah orang yang diberi kebijaksanaan oleh Allah (Al-Qur'an) dan ia mengamalkannya serta mengajarkannya kepada orang lain."

Ayat-ayat Al-Qur'an dan hadits-hadits tersebut dengan jelas menunjukkan pentingnya memperoleh pengetahuan serta mengajarkannya kepada orang lain. Islam adalah agama pengetahuan karena dikaitkan dengan banyak keutamaan dan pahala. Ini adalah salah satu aspek paling mulia yang dapat diupayakan oleh manusia, dan yang paling terhormat untuk dicapai. Pengetahuan datang sebelum amalan dan tidak ada amalan tanpa pengetahuan.

Hakikat pengetahuan

Sebagian besar umat Islam, bagaimanapun, tidak memahami arti sebenarnya dari ilmu dan fakta bahwa ada beberapa kategori ilmu. Sering diasumsikan bahwa hadis Nabi  yang disebutkan di atas mengacu pada semua pengetahuan, baik duniawi maupun agama, dan bahwa keduanya disatukan menjadi satu kategori besar. Kita mungkin mendengar orang lain berkata, “Putra atau putri saya perlu pergi ke sekolah menengah atau perguruan tinggi sekuler karena pengetahuan adalah kewajiban bagi umat Islam.” Meskipun hal ini mungkin terlihat masuk akal di permukaan, analisis yang lebih rinci akan mengungkapkan beberapa kelemahan.

Perbedaan penting yang telah dibuat oleh para cendekiawan Islam adalah antara pengetahuan yang merupakan kewajiban pribadi dan pengetahuan yang merupakan kewajiban bersama. Jenis pengetahuan yang pertama adalah pengetahuan yang diwajibkan bagi setiap individu. Ini termasuk pengetahuan dasar agama, termasuk keyakinan ('aqidah) dan praktik (salat, puasa, zakat, hubungan sosial, dan sebagainya). Jenis ilmu yang kedua adalah ilmu yang diwajibkan bagi sebagian anggota masyarakat Muslim, namun tidak semua. Ini adalah kewajiban komunal yang dicabut ketika beberapa anggota masyarakat menjadi dokter untuk merawat orang sakit, maka seluruh masyarakat dibebaskan dari tanggung jawab ini; jika tidak ada yang menjadi dokter, maka seluruh masyarakat bertanggung jawab. Kategori ini akan mencakup pengetahuan rinci tentang Islam dan Syariah, kedokteran, pendidikan, teknik, dan sebagainya.

Dalam hadis tentang kewajiban mencari ilmu, Nabi  secara khusus menekankan pemahaman agama. Hikmah ini berasal dari Kitabullah dan Sunnah Nabi . Termasuk di dalamnya adalah mengenal Allah, nama-nama dan sifat-sifat-Nya, dan hak-hak-Nya atas ciptaan-Nya; mengetahui jalan menuju kepada-Nya; mengetahui tujuan penciptaan kita; dan mengetahui balasan di akhirat. Pada intinya, ini berarti memahami prinsip-prinsip iman dan rukun Islam. Hal ini diprioritaskan di atas pengetahuan duniawi karena memiliki implikasi untuk keabadian, tidak hanya untuk rentang waktu tujuh puluh tahun atau lebih.

Pengetahuan dan orang tua

Poin-poin yang berkaitan dengan pengetahuan ini perlu ditekankan kepada para orang tua, terutama bagi mereka yang merasa bahwa mendidik anak tentang Islam bukanlah hal yang penting. Seperti yang telah disebutkan di atas, menuntut ilmu adalah kewajiban bagi laki-laki dan perempuan. Salah satu tugas utama orang tua adalah menjaga anak-anak mereka, baik secara fisik, emosional, spiritual, dan intelektual. Pendidikan adalah faktor kunci dalam semua ini dengan tujuan membesarkan Muslim yang sehat, berpengetahuan luas, dan kuat. Hal ini bahkan mungkin lebih penting bagi perempuan karena posisi mereka dalam keluarga. Pengajaran dapat dilakukan secara langsung, seperti pengajian di rumah atau di masjid, tetapi banyak juga yang tidak langsung, melalui pemodelan dan pengamatan. Seorang ibu, melalui kontaknya yang terus menerus dengan anggota keluarga lainnya, memiliki potensi untuk menjadi guru yang sangat baik. Sebagian besar hal ini dapat dilakukan hanya dengan belajar tentang Islam dan menerapkan nilai-nilai kebijaksanaannya. Anak-anak belajar banyak dari melihat orang-orang di sekitar mereka, terutama orang tua mereka. Sebagai contoh, seorang anak yang melihat ibunya mengenakan jilbab, membaca Al-Qur'an, dan shalat tepat waktu, kemungkinan besar akan mengikuti contoh tersebut dan tidak terlalu sulit untuk melakukannya dibandingkan dengan anak yang tidak pernah melihat orangtuanya melakukan hal-hal tersebut. Pemodelan dan pengamatan adalah kekuatan yang kuat dan ibu adalah faktor penting dalam hal ini.

Hal ini sama sekali tidak meniadakan peran ayah dalam mendidik anak-anaknya. Para ayah juga harus memahami pentingnya pendidikan dan bekerja sama dengan ibu dalam menyediakan lingkungan belajar yang Islami. Sebagai suami dan istri, mereka harus mendorong satu sama lain untuk belajar secara terus menerus dan berbagi pengetahuan yang baru diperoleh satu sama lain. Membaca Al-Qur'an, hadits dan buku-buku; menghadiri majelis taklim; mendengarkan ceramah; berpartisipasi dalam konferensi-konferensi Islam, dan menemukan situs-situs yang dapat dipercaya tentang Islam di Internet adalah cara-cara yang dapat dilakukan oleh pasangan suami istri untuk memelihara pertumbuhan intelektual satu sama lain. Ketika hal ini dilakukan bersama-sama, hal ini dapat membantu memperkuat dan meningkatkan hubungan pernikahan.

Pengetahuan dan pengasuhan anak

Dalam kaitannya dengan pengasuhan anak, pendidikan dan pembelajaran harus dibangun di atas dasar pengetahuan Islam. Prioritas harus diberikan pada aspek pembelajaran agama, karena ini adalah kewajiban individu. Kehidupan seorang anak Muslim harus dibenamkan dalam pengetahuan Islam sejak dini. Pengetahuan, pemikiran, dan persepsinya harus difokuskan pada hal tersebut. Al-Qur'an, Hadis, sirah, dan bahasa Arab harus menjadi makanan sehari-harinya. Kepalanya harus beristirahat di atas tempat tidur dengan kisah-kisah para nabi, para Sahabat, dan kisah-kisah orang-orang saleh.

Jenis pengetahuan lainnya kemudian dapat dibangun di atas fondasi yang kuat ini. Faktanya, pengetahuan duniawi apa pun harus selalu dihubungkan dengan sumber-sumber asli Islam, yaitu Al-Qur'an dan Sunnah. Sebagai contoh, bagaimana mungkin seseorang dapat mempelajari ilmu pengetahuan alam tanpa mengaitkannya dengan kebijaksanaan, kesempurnaan, dan keteraturan Allah di alam semesta, serta keajaiban ilmiah Al-Qur'an? Seorang siswa tidak dapat mempelajari bisnis tanpa memahami perspektif Islam tentang ekonomi, keuangan, dan manajemen. Mempelajari psikologi berarti pertama-tama memahami apa yang telah dinyatakan oleh Sang Pencipta tentang ciptaan-Nya, karena Dia mengenal kita lebih baik daripada kita mengenal diri kita sendiri.

Penting juga untuk menyadari bahwa pengetahuan yang bertentangan dengan Islam atau prinsip-prinsip Islam sama sekali tidak dapat diterima. Dilarang mempelajari filosofi dan kepercayaan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam. Mengirim anak-anak kita ke sekolah sekuler, misalnya, menimbulkan bahaya serius karena mengekspos anak-anak kita pada sistem dan praktik kepercayaan yang menyimpang. Selain itu, hal ini memberikan pesan bahwa agama hanyalah sebuah kompartemen dalam kehidupan dan kita dapat memahami disiplin ilmu lain tanpa harus mengacu pada agama. Agama di sekolah-sekolah semacam ini kurang mendapat prioritas, jika ada, dibandingkan dengan ilmu pengetahuan dan mata pelajaran lainnya. Agama dalam bentuk apa pun, pada kenyataannya, dapat diejek dan direndahkan dalam sistem seperti itu.

Penting untuk dicatat bahwa kita tidak boleh mengabaikan aspek material dari kehidupan ini, karena menjaga dan memelihara diri kita sendiri adalah bagian dari agama juga. Sebagai contoh, dilaporkan bahwa Nabi  sering berdoa: “Ya Allah, berikanlah kepada kami semua kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat, dan selamatkanlah kami dari siksa api neraka.” Mempelajari ilmu pengetahuan, matematika, atau mata pelajaran lain yang tidak bertentangan dengan prinsip-prinsip Islam dapat diterima, tetapi kita tidak boleh berkonsentrasi pada kehidupan dunia dengan mengorbankan kehidupan akhirat. Allah  berfirman:

فَمَآ أُوتِيتُم مِّن شَىْءٍۢ فَمَتَـٰعُ ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا ۖ وَمَا عِندَ ٱللَّهِ خَيْرٌۭ وَأَبْقَىٰ لِلَّذِينَ ءَامَنُوا۟ وَعَلَىٰ رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

"Apapun ˹kesenangan˺ yang diberikan kepada kalian, tidak lebih dari sekedar kenikmatan duniawi yang sementara. Tetapi apa yang ada di sisi Allah jauh lebih baik dan lebih kekal bagi orang-orang yang beriman dan bertawakal;" (QS Asy-Syuura:36)

Lebih dari sekadar pengetahuan semata

Perolehan pengetahuan jelas bukan satu-satunya elemen penting dalam perjalanan hidup kita. Semua pengetahuan di dunia tidak akan berarti apa-apa jika tidak disertai dengan iman, taqwa, keikhlasan, dan keyakinan akan keesaan Allah. Ada banyak orang yang memiliki pengetahuan, tetapi masih berada di jalan yang salah. Jika kita memiliki semua komponen ini, pemahaman yang kita peroleh dalam pencarian ilmu akan membantu kita untuk mengetahui jalan mana yang harus kita tempuh menuju Allah dan bagaimana menghindari situasi yang berbahaya dan merugikan. Hal yang penting untuk diingat adalah bahwa kita bertanggung jawab atas anak-anak kita dan akan dimintai pertanggungjawaban atas apa yang telah kita ajarkan kepada mereka. Untuk menjaga agama kita, kita harus mendidik diri kita sendiri dan anak-anak kita. Kekuatan umat Islam secara langsung terkait dengan tingkat pengetahuan para pemeluknya.

Photo by Rawan Yasser on Unsplash

Bahasa Arab

Bahasa Arab adalah bahasa Al-Qur'an yang mulia, bahasa Hadis, dan bahasa Islam. Seseorang tidak dapat benar-benar mencapai kedalaman pengetahuan dan pemahaman Islam tanpa bahasa Arab. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata,

Bahasa Arab adalah bagian dari agama, dan mempelajarinya adalah sebuah kewajiban. Karena sesungguhnya memahami Al-Qur'an dan As-Sunnah adalah sebuah kewajiban, dan keduanya tidak dapat dipahami kecuali dengan memahami bahasa Arab, dan setiap kewajiban yang tidak terpenuhi kecuali dengan langkah-langkah tertentu, maka langkah-langkah itu sendiri menjadi wajib (untuk memenuhi kewajiban awal).

Pengetahuan tentang bahasa Arab sangat penting bagi setiap Muslim untuk memahami prinsip-prinsip keimanan dan keyakinan, untuk melakukan ibadah, dan untuk mahir dalam membaca Al-Qur'an yang mulia.

Allah menyebutkan bahasa Arab di beberapa tempat di dalam Al-Qur'an:

إِنَّآ أَنزَلْنَـٰهُ قُرْءَٰنًا عَرَبِيًّۭا لَّعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ

"Sesungguhnya Kami menurunkannya (Kitab Suci) berupa Al-Qur’an berbahasa Arab agar kamu mengerti." (QS Yusuf:2)

كِتَـٰبٌۭ فُصِّلَتْ ءَايَـٰتُهُۥ قُرْءَانًا عَرَبِيًّۭا لِّقَوْمٍۢ يَعْلَمُونَ

"Kitab yang ayat-ayatnya dijelaskan sebagai bacaan dalam bahasa Arab untuk kaum yang mengetahui," (QS Fushilat:3)

وَإِنَّهُۥ لَتَنزِيلُ رَبِّ ٱلْعَـٰلَمِينَ. نَزَلَ بِهِ ٱلرُّوحُ ٱلْأَمِينُ. عَلَىٰ قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ ٱلْمُنذِرِينَ. بِلِسَانٍ عَرَبِىٍّۢ مُّبِينٍۢ

"Sesungguhnya ia (Al-Qur’an) benar-benar diturunkan Tuhan semesta alam. Ia (Al-Qur’an) dibawa turun oleh Ruhulamin (Jibril). (Diturunkan) ke dalam hatimu (Nabi Muhammad) agar engkau menjadi salah seorang pemberi peringatan. (Diturunkan) dengan bahasa Arab yang jelas." (QS Asy-Syu'ara:192-195)

Sangat menyedihkan melihat bahwa umat Islam di zaman sekarang ini tampaknya telah melupakan pentingnya pesan ini dan peran penting bahasa Arab. Anda akan menemukan umat Islam menghabiskan ribuan dolar untuk anak-anak mereka belajar bahasa asing, sementara pada saat yang sama mengabaikan bahasa wahyu. Generasi muda telah dicuci otaknya untuk berpikir bahwa bahasa Arab sudah ketinggalan jaman dan tidak penting untuk zaman modern. Berbagai upaya dilakukan untuk mengesampingkan bahasa Arab dalam aspek ilmiah dan pragmatis atau kehidupan kita dengan mengutamakan bahasa asing dan menggunakan bahasa-bahasa ini untuk mengajar di setiap mata pelajaran. Karena alasan ini dan alasan lainnya, generasi muda berpaling dari bahasa Arab dan memfokuskan energi mereka pada pengetahuan yang lebih 'duniawi'. Hebatnya, Anda akan menemukan banyak Muslim di negara-negara Arab yang tidak dapat berbicara, membaca, atau menulis bahasa Arab.

Para orang tua harus menanamkan dalam benak mereka bahwa mempelajari bahasa Arab (jika mereka belum menguasainya) dan mengajarkannya kepada anak-anak mereka adalah sebuah kewajiban. Bahasa Arab harus menjadi bahasa pertama yang didengar oleh seorang anak (adzan saat lahir) dan menjadi 'bahasa pertama' sepanjang hidupnya. Mempelajari, belajar, dan berbicara bahasa Arab harus menjadi rutinitas sehari-hari, karena bahasa Arab sangat penting untuk memahami Al Qur'an, hadits-hadits Nabi Muhammad , dan seluruh ajaran agama. Sebagai mantan non-Muslim yang telah beralih dari tidak tahu satu huruf pun dari alfabet Arab menjadi lancar membaca Al Qur'an dengan pemahaman yang baik, saya dapat membuktikan bahwa saya sekarang benar-benar menghargai signifikansi dan kedalaman bahasa Arab.

Sangat menarik untuk dicatat bahwa penelitian telah mengkonfirmasi bahwa penguasaan bahasa jauh lebih mudah selama masa kanak-kanak. Faktanya, penelitian telah menemukan bahwa rentang waktu dari lahir hingga usia lima tahun sangat penting untuk pemerolehan bahasa. Saat lahir, anak-anak memiliki kemampuan untuk menghasilkan suara apa pun dari bahasa apa pun di dunia. Dengan paparan dan pembentukan, mereka kehilangan kemampuan untuk membuat suara yang tidak terdengar atau jarang terdengar. Untuk alasan ini, orang tua harus mengekspos anak-anak mereka pada bahasa Arab sejak lahir. Penting bagi mereka untuk mendengar suara dan mulai berkomunikasi dalam bahasa Arab. Bahasa Arab adalah bahasa yang rumit untuk dipelajari, sebagaimana yang akan dibuktikan oleh siapa pun yang telah mencobanya di masa dewasa. Namun, bagi anak-anak, hal ini menjadi sangat mudah karena proses alamiah ini. Hal ini, tentu saja, berlaku juga untuk mempelajari Al-Qur'an dan aturan pelafalan yang tepat dalam pembacaan Al-Qur'an. Orang tua harus memanfaatkan tahun-tahun yang berharga ini sebelum mereka menghilang.

Metode pendidikan dan pengajaran Nabi Muhammad 

Nabi Muhammad  adalah teladan ideal untuk diikuti dalam semua aspek kehidupan, termasuk pendidikan dan pengajaran. Beliau adalah pendidik dan guru terbaik bagi para sahabatnya, dan beliau menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengajari mereka aspek-aspek rinci dari agama. Dalam pengajarannya, beliau menggunakan berbagai metode pendidikan yang dapat diterapkan dalam pengasuhan anak. Beberapa di antaranya dibahas di bawah ini untuk membantu para orang tua dalam mengembangkan dan meningkatkan gaya mereka sendiri.

Penting untuk dipahami bahwa pendidikan dan pelatihan adalah proses yang kompleks. Mereka melibatkan lebih dari sekedar mengajarkan prinsip-prinsip agama dan aturan hukum Islam. Orang tua sebagai guru harus terlebih dahulu menjalin hubungan dengan anak-anaknya, dan kemudian terus berusaha untuk membangun konsep-konsep dengan kuat di dalam pikiran dan hati mereka melalui penggunaan berbagai metode. Untuk tujuan ini, Nabi ﷺ memvariasikan teknik-tekniknya, yang meliputi: perumpamaan ilustrasi, kisah-kisah naratif, membuat sumpah, teladan, dan nasihat. Pilihan teknik yang digunakan bergantung pada sifat topik atau masalah, kepribadian orang yang terlibat, dan aspek-aspek situasional atau keadaan.

Perumpamaan ilustratif

Nabi  sering menggunakan perumpamaan ketika mengilustrasikan konsep-konsep abstrak untuk membantu orang-orang dalam pemahaman. Perumpamaan adalah cerita fiktif singkat yang menggambarkan sikap moral atau prinsip agama. Perumpamaan telah digunakan sepanjang sejarah oleh para nabi dan orang-orang terpelajar. Abu Bakar رضي الله عنه berkata: "Saya mendengar Rasulullah  bersabda: 'Lihatlah! Dapatkah ada kotoran yang tersisa di tubuh salah satu dari kalian jika ada sungai di depan pintunya, di mana ia membasuh dirinya sendiri lima kali sehari?' Mereka menjawab, "Tidak ada kotoran yang tersisa di tubuhnya.' Beliau bersabda: 'Itu seperti lima shalat yang dengannya Allah menghapuskan dosa-dosa'."

Kisah-kisah naratif

Bercerita adalah metode yang brilian, menyenangkan, dan efektif untuk mengajarkan keyakinan, nilai, dan moral kepada anak-anak. Hal ini terutama berlaku untuk anak-anak kecil yang memiliki rentang perhatian yang pendek dan membutuhkan interaksi yang menarik perhatian. Nabi  sering menggunakan metode ini dengan para sahabatnya. Dalam sebuah kesempatan, diriwayatkan bahwa Nabi  bersabda: "Allah lebih senang dengan taubatnya hamba-Nya yang beriman daripada orang yang berangkat dalam perjalanan dengan membawa bekal makanan dan minuman di punggung untanya. Dia melanjutkan perjalanannya hingga tiba di padang pasir yang tidak berair dan dia merasa ingin tidur. Maka ia pun beristirahat di bawah naungan pohon, lalu tertidur dan untanya pun lari. Ketika ia bangun, ia mencoba mengeceknya (untanya) berdiri di atas gundukan tanah, tetapi tidak menemukannya. Dia kemudian naik ke gundukan yang lain, tetapi tidak dapat melihat apa-apa. Dia kemudian naik ke gundukan ketiga, tetapi tidak melihat apa-apa sampai dia kembali ke tempat di mana dia tidur sebelumnya. Dan ketika dia sedang duduk (dengan sangat kecewa), datanglah kepadanya untanya, hingga unta itu meletakkan tali kekangnya di tangannya. Allah lebih senang dengan taubatnya hamba-Nya daripada orang yang menemukan (untanya yang hilang) dalam keadaan seperti ini."

Mengucapkan sumpah

Kadang-kadang, Nabi  akan menarik perhatian seseorang dengan cara bersumpah. Ini adalah teknik yang sangat berharga, terutama untuk menekankan konsep-konsep penting. Abu Syuraih رضي الله عنه meriwayatkan bahwa Nabi  berkata: "Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Demi Allah, dia tidak beriman! Beliau ditanya: Siapakah orang itu, wahai Rasulullah? Beliau menjawab: Orang itu adalah orang yang tetangganya tidak merasa aman dari kejahatannya."

Bertahap

Memahami kompleksitas dan kesulitan hidup, Nabi Muhammad  mengambil pendekatan bertahap dalam mengajarkan beberapa prinsip agama. Hal ini paling sering digunakan dalam pelarangan kemungkaran sosial seperti alkohol, tetapi juga dapat diterapkan pada perintah-perintah. Alasan dari metode ini adalah untuk memberikan waktu yang dibutuhkan untuk mengubah hati dan pikiran melalui persuasi dan pendidikan, daripada hanya memaksakan aturan dan hukum. Hal ini akan memastikan bahwa anak-anak menerima aturan-aturan Islam atas pilihan mereka sendiri, bukan karena dipaksa. Contoh penerapan praktisnya bisa berupa mengenakan hijab, belajar cara salat yang benar, berpuasa selama bulan Ramadhan, dan lain sebagainya.

Photo by Guillaume QL on Unsplash

Menawarkan alternatif yang tepat

Ketika mengoreksi kesalahan orang, Nabi  akan menawarkan alternatif yang tepat untuk perilaku yang tidak pantas dari individu tersebut. Dengan melakukan hal ini, orang tersebut akan terhindar dari rasa malu dan mengurangi kemungkinan ia akan menolak untuk berubah. Dalam sebuah hadits diriwayatkan bahwa "Nabi melihat dahak ke arah kiblat dan hal ini membuatnya sangat kesal sehingga kemarahannya terlihat di wajahnya. Beliau berdiri dan menghapusnya dengan tangan, lalu berkata: 'Apabila salah seorang dari kalian berdiri untuk shalat, maka ia sedang berbicara dengan Tuhannya. Tuhannya berada di antara dia dan kiblat, maka janganlah seorang pun meludah ke arah kiblat, hendaklah ia meludah ke kiri atau ke bawah kakinya.' Kemudian beliau mengambil ujung jubahnya, meludahinya dan menggosokkan sebagiannya ke sebagian yang lain, lalu bersabda: 'Atau lakukan seperti ini.'"

Memperhatikan aspek-aspek yang tertanam dalam sifat manusia

Nabi  memahami sifat dasar manusia dan perasaan serta emosi alamiah yang mungkin mereka alami. Karena alasan ini, beliau bersabar terhadap kesalahan atau perilaku orang lain yang tidak pantas. Konsep ini tentu saja dapat diterapkan dalam kasus anak-anak yang sering bertindak melalui naluri alamiah. "Nabi  sedang bersama salah satu istrinya ketika salah seorang Ummul Mukminin mengirimkan sebuah bejana besar berisi makanan kepadanya. Istri yang rumahnya sedang dikunjungi Nabi  memukul tangan pelayan tersebut, sehingga bejana itu jatuh dan pecah menjadi dua. Nabi  memungut pecahan-pecahan itu dan menyatukannya, lalu mengumpulkan makanan yang ada di dalam bejana dan berkata: 'Ibumu cemburu.' Kemudian beliau meminta pelayan tersebut untuk menunggu sampai diberikan bejana milik istri yang ada di rumahnya, lalu beliau mengirimkan bejana yang utuh kepada istri yang bejananya pecah dan menyimpan bejana yang pecah di rumah istri yang memecahkannya."

Masih banyak lagi contoh-contoh lain dari metode pendidikan Rasulullah saw. Hal ini berada di luar cakupan buku ini untuk membahasnya secara mendalam. Beberapa telah dibahas untuk memberikan saran-saran bagi para orang tua.

April yang melelahkan

Minggu, 28 April 2024

Rasanya lega sekali bulan April sudah berakhir. Perjalanan panjang menjalani Ramadhan yang penuh tantangan dengan acara online dan diteruskan dengan Lebaran dan segala printilan aktifitas bersosialnya yang melelahkan akhirnya selesai. Saking banyaknya energi yang terkuras di bulan ini, saya sampai nggak punya tenaga lagi untuk sekadar me time di rumah, terlebih karena liburan sekolah dan suami yang menjadi pengangguran sementara membuat saya nggak pernah bisa sendirian di rumah. Capek banget, ya Allah.... 😵

Photo by Laura Chouette on Unsplash

Karena terlalu banyak energi yang terkuras, akibatnya saya jadi lupa dan abai dengan target-target pribadi yang ingin saya kerjakan. I don’t think any ground-breaking progress was made with my habits and routines. I really didn’t do that great with my workouts – life was just so busy. Dan untuk menutupi rasa bersalah itu, saya ingin menuliskan hal-hal apa saja yang saya lakukan selama bulan April kemarin dan mensyukuri produktifitas saya selama sebulan ini.

Ramadhan Intensive Class

Kelas ini memang berlangsung di bulan Maret, tapi karena persiapannya butuh maraton sejak bulan Desember tahun lalu, rasa capeknya berlanjut sampai bulan April mulai datang. Dan meskipun saya nggak punya banyak andil, tapi acara ini jadi cikal bakal kelelahan ekstra yang saya rasakan di hari-hari yang saya lalui berikutnya. Secapek itu saya tiap lihat WhatsApp dan isi chat di grup maupun komunitas. Sampai-sampai, kayaknya HP saya jadi ikutan introvert. Entah kenapa sekarang semua chat nggak bisa masuk kalau aplikasinya nggak saya buka. Padahal saya nggak pernah matiin notifikasi.

Tarawih, buka bareng dan semacamnya

Menjelang idul fitri saya jadi ikut terus tiap suami jadi imam shalat tarawih ke rumah kakak ipar. Dan karena rumahnya jauh, kami harus menghabiskan waktu 2 jam perjalanan pulang-pergi hampir tiap hari; 1 jam berangkat dan 1 jam pulang. Kalau jalanan macet, bisa lebih. Itu capeknya luar biasa buat saya. Sejujurnya saya penasaran sampai kapan suami saya akan terus bertahan kayak gitu, menempuh perjalanan jauh tiap Ramadan karena mushola di sana nggak ada imamnya. Saya masih nggak habis pikir kenapa nggak pernah ada kepikiran di kepalanya untuk cari tempat tinggal yang agak dekat dengan rumah kakak ipar supaya dia nggak terlalu kerepotan tiap Ramadan.

Untungnya tahun ini cuma ada 1 acara buka bareng yang harus saya ikuti. It was OK. Kayaknya saya nggak ngomong sesuatu yang bikin saya overthinking, jadi insyaAllah aman-aman aja.

So far, Ramadhan saya lalui dengan baik-baik saja meskipun lelah. Kalau dibandingkan dengan Ramadhan tahun lalu jelas tahun ini jauh lebih baik karena saya menjalaninya di rumah, bukan di sekolah. 😂

Menjadi 34

Satu hal ini nggak terpikirkan sebelumnya sampai saya nulis postingan ini. Yang saya perhatikan belakangan ini saya jadi lebih perhatian dengan penampilan. Nggak tahu kenapa, apa karena saya lagi puber kedua?! 😆 Tapi selain itu, nggak ada hal istimewa lainnya yang saya rasakan di usia 34 ini selain uban yang bertambah dan badan yang makin gampang lelah.

Idul Fitri dan ceritanya

Ini biang kerok semua kelelahan saya bulan ini. Saya shalat 'Id di masjid dekat rumah baru kemudian mengunjungi ibu kandung di kampung. Menginap satu malam dan balik ke Bandar Lampung, besoknya lagi berangkat ke Lampung Timur, lalu besoknya lagi berangkat ke Padang. Di sela-sela timeline itu, ada cerita lucu yang saya alami ketika berada di masjid.

Pertama, waktu shalat 'Id. Menjelang shalat dimulai, kan biasanya ada pengumuman tuh. Kebetulan saya kok lagi nyimak dengan saksama, lalu penjelasan bapak pengumuman bikin saya mikir keras. Jadi si bapak jelasin tata cara chalat 'Id ke jamaah. Wajar kan, biasanya ada aja yang nggak pernah shalat dan nggak tahu caranya. Nah, bapaknya tuh bilang, "nanti pas imam baca Al-Fatihah, Bapak-Ibu baca doa iftitah. Pas imam baca surat-suratnya entah panjang atau pendek, Bapak-Ibu baca surat Al-Fatihah." Saya dengernya kayak, 'eh, nggak salah tuh penjelasannya?!' Saya celingak-celinguk nyari orang yang kira-kira nangkep keanehan penjelasan si bapak supaya bisa diajak bingung bareng, tapi kayaknya semua orang sibuk masing-masing, entah sibuk sama anak-anaknya yang kelayapan atau selfi cantik pakai mukena baru. Jadilah saya bingung sendiri sampai shalat mulai dan imam mulai baca surat Al-A'la di rakaat pertama, saya pengen ngelus dada tapi takut batal. Bukan karena tajwid pak imam yang kurang bagus, kalau cuma soal tajwid sih udah biasa. Ini lebih keren lagi. Si bapak baca suratnya disingkat. Jadi lompat-lompat gitu loh. Dia nggak mulai dari ayat 1, tiba-tiba langsung ke ayat 7 abis itu digabung ke ayat 12. Pokoknya chaotic banget deh. Sampai rumah saya coba cerita ke suami, dan ternyata dia bilang memang ada yang shalat jamaahnya kayak penjelasan bapak tadi. Yang makmumnya bacaannya beda sama imamnya. Dia sih nasihatin saya, 'ya begitulah Islam nusantara, harus dimaklumi.' Nah berkaitan dengan bacaan surat yang dirangkum, ternyata suami saya nggak ngerasa begitu. Tapi karena saya lebih pinter dari suami kalo urusan hafalan Qur'an, saya berkesimpulan kalau suami saya yang nggak nyimak dengan benar. Dan baruuu banget beberapa hari yang lalu kejadian waktu kami shalat jamaah di rumah, suami saya merangkum surat Al-Fatihah tanpa dia sadar. Jadi dia baca ayat 6 & 7 jadi satu ayat, kayak gini...

اهدنا الصراط اللذين أنعمت عليهم ...

Dan dia nggak sadar dong kalau dia bacanya gitu, njuk aku kudu piye? 😔 

Cerita kedua, waktu ke Lampung Timur kami mampir shalat Asar di salah satu masjid. Alhamdulillah kami mampir di masjid pas lagi azan jadi bisa ikut shalat jamaahnya. Nah ternyata di rakaat terakhir pak imam pake doa Qunut dong. 😁 Sehabis shalat jadi bahan obrolan baru lagi deh antara saya dan suami, dan kali ini kami sepakat kalau ini pengalaman pertama kali shalat Asar pakai doa Qunut.

Selebihnya, idul fitri yang saya jalani masih sama seperti tahun-tahun sebelumnya di mana saya selalu dibuat takjub dengan keanehan suami saya dalam memahami dan memaknai kehidupan bersosial, baik dengan teman maupun saudara. Kadang kalau dipikir-pikir, rasanya lebih baik saya lebaran sendiri saja tanpa suami saking nggak ngertinya dia sama konsep berkeluarga besar dan bersilaturahim di hari lebaran. Bisa jadi yang bikin saya capek kayaknya ya salah satunya adalah suami saya sendiri. 😂

Padang

Maunya sih cerita panjang kali lebar tentang 10 hari perjalanan ke Padang, kayak orang-orang gitu. Tapi karena saya orangnya nggak suka jalan-jalan jadi nggak ada yang menarik bagi saya untuk diceritakan. Jadi ya foto-foto aja yang saya titipkan di sini. Selebihnya, cukup disyukuri saja atas keberhasilan saya menjalaninya dengan tabah.











Cabut gigi bungsu

Alhamdulillah gigi bungsu bagian kanan atas sudah dicabut. Saya pikir bakal butuh rujukan dan operasi di rumah sakit, ternyata cuma dicongkel dan ditarik-tarik sebentar di klinik dan nggak sakit sama sekali. Sekarang dramanya tinggal ngilu-ngilu yang tersisa di gigi kiri atas yang saya curiga gara-gara gigi bungsu juga. Tapi mau periksa lagi masih malu takut dokternya bosen. 😆 Mungkin bulan depan aja saya ke klinik lagi sambil pura-pura ngeluh lagi supaya gigi bungsu bagian kiri dicabut juga (kalau memang benar ada).

Ke pantai

Saya berjanji kepada diri sendiri ini adalah terakhir kalinya saya ketemu orang di bulan ini. Secapek itu saya ketemu orang tapi tiba-tiba suami bilang mau ke pantai ikut acara rihlah sekolah buat perpisahan dia. Nggak tahunya sudah sampai pantai acara perpisahannya juga nggak jadi lagi karena nggak ada waktunya. Jadi mungkin nanti akan diagendakan di lain waktu, lagi. 



Reset untuk bulan Mei

Dengan nulis postingan ini saya sedang berusaha mengembalikan energi untuk kembali menjalani rutinitas seperti sebelumnya dan kembali fokus dengan target-target yang ingin saya capai untuk tahun ini. Let's see...

Dasar-dasar Pengasuhan Anak

Minggu, 10 Maret 2024

Sebelum membahas elemen-elemen inti dari penanaman iman pada anak, ada baiknya kita membahas beberapa dasar-dasar pengasuhan anak sebagai fondasi. Bagian berikut ini akan membahas pentingnya relasi pernikahan dan hubungannya dengan pengasuhan anak, peran gender, serta peran sebagai ibu dan ayah. Bagian ini juga membahas perlunya orang tua untuk memupuk iman mereka sendiri, dan menyadari hak-hak dasar anak (kewajiban orang tua), hak-hak dasar orang tua (kewajiban anak), dan pentingnya pemberian ASI, ikatan batin, dan keterikatan awal. Buku ini diakhiri dengan nasihat berharga tentang berdoa untuk anak yang saleh.

Photo by Towfiqu barbhuiya on Unsplash

Pentingnya hubungan pernikahan

وَمِنْ ءَايَـٰتِهِۦٓ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَٰجًۭا لِّتَسْكُنُوٓا۟ إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُم مَّوَدَّةًۭ وَرَحْمَةً ۚ إِنَّ فِى ذَٰلِكَ لَـَٔايَـٰتٍۢ لِّقَوْمٍۢ يَتَفَكَّرُونَ ٢١

"Di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah bahwa Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari (jenis) dirimu sendiri agar kamu merasa tenteram kepadanya. Dia menjadikan di antaramu rasa cinta dan kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berpikir." (QS Ar-Rum: 21)

Keluarga mungkin merupakan institusi paling penting dalam masyarakat karena merupakan blok bangunan dari keseluruhan struktur. Karena alasan ini, banyak aturan yang ada dalam hukum Islam yang menjamin kelestarian unit penting ini. Di dalam keluarga, hubungan pernikahan adalah pusat di mana semua elemen lainnya berputar. Jika pusat ini berjalan dengan lancar dan harmonis, maka kemungkinan besar seluruh sistem juga akan seimbang. Ketika ada gangguan atau perselisihan, maka seluruh sistem akan mengalami kerusakan. Pernikahan yang kuat akan menghasilkan keluarga yang berfungsi dengan baik dan, pada gilirannya, menjadi fondasi yang kokoh bagi masyarakat.

Pernikahan sangat penting dalam Islam, sampai-sampai Nabi ﷺ bersabda: "Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian yang mampu menikah, maka menikahlah..." Beliau juga bersabda: "Barangsiapa yang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh dari imannya. Maka hendaklah ia bertakwa kepada Allah pada separuh sisanya." Dengan demikian, pernikahan adalah bentuk ibadah dan kesempatan untuk meningkatkan ketundukan seseorang kepada Allah. Dalam kehidupan ini, Allah telah menciptakan laki-laki dan perempuan dari satu jiwa dan menyucikan ikatan pernikahan agar mereka dapat hidup bersama untuk mencapai ketenangan hati, saling mendukung, dan saling membantu dalam beribadah kepada Allah. Ketika kita tunduk kepada Allah di dalam dan melalui pernikahan kita, kita akan menemukan ketenangan dan kedamaian yang disebutkan dalam hadits di atas.

Sebagai sebuah ibadah, baik suami maupun istri harus berniat untuk menyenangkan Allah selama proses ini dan bertindak sesuai dengan hukum-hukum-Nya. Pasangan suami istri harus fokus untuk bertumbuh bersama dalam ketaatan dan kecintaan kepada Allah, dan harus mencari pengetahuan Islam dengan tujuan mengembangkan iman dan rasa takut kepada Allah di dalam hati mereka. Kehidupan dan keputusan hidup mereka harus didasarkan pada ajaran Al-Qur'an yang mulia dan Sunnah Nabi ﷺ, dan anak-anak mereka harus dibina dalam lingkungan yang kental dengan ajaran tersebut.

Pertimbangan dalam pernikahan

Sebelum menikah, seseorang akan memilih pasangan dengan sangat hati-hati, dengan mengutamakan iman atau keimanan orang tersebut dan bukan status sosial, kekayaan, kebangsaan, kecantikan, dan sebagainya. Rasulullah ﷺ bersabda: "Seorang wanita dinikahi karena empat hal: hartanya, status keluarganya, kecantikannya, dan agamanya. Maka menikahlah dengan orang yang lebih baik agamanya, jika tidak, engkau akan menjadi orang yang merugi." Tak satu pun dari elemen-elemen lain yang akan berguna dalam membangun keluarga Islam yang kuat, selain pengetahuan dan iman yang tak ternilai harganya. Seseorang juga harus memasuki pernikahan dengan komitmen terhadap hubungan tersebut dan mengikuti petunjuk Allah dalam segala hal dan keputusan.

Sepanjang pernikahan, perlakuan yang baik dan penuh perhatian terhadap pasangan dan pemenuhan kewajiban adalah persyaratan minimum.

وَعَاشِرُوهُنَّ بِٱلْمَعْرُوفِ ۚ فَإِن كَرِهْتُمُوهُنَّ فَعَسَىٰٓ أَن تَكْرَهُوا۟ شَيْـًۭٔا وَيَجْعَلَ ٱللَّهُ فِيهِ خَيْرًۭا كَثِيرًۭا ١٩

"...Pergaulilah mereka dengan cara yang patut. Jika kamu tidak menyukai mereka, (bersabarlah) karena boleh jadi kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan kebaikan yang banyak di dalamnya." (QS An-Nisa: 19)

Nabi ﷺ bersabda: "Muslim yang paling sempurna imannya adalah yang paling baik perilakunya, dan yang paling baik di antara kalian adalah yang paling baik perilakunya terhadap istrinya." Pernikahan adalah sebuah hubungan yang di dalamnya harus ada rasa saling mencintai, kasih sayang, dan saling menyayangi di antara pasangan, dan di dalamnya suami bersikap melindungi, peduli, dan murah hati kepada istrinya, dan istri taat dan hormat kepada suaminya.

Hubungan tersebut haruslah hubungan yang saling menguntungkan, saling ketergantungan, kerja sama dan kompromi karena Allah, sambil merayakan perbedaan yang telah Allah ciptakan. Intinya, kedua belah pihak dari pasangan harus fokus untuk merawat dan memenuhi kebutuhan pasangannya. Kebahagiaan pasangan harus selalu ditempatkan di atas kehendak atau keinginan diri sendiri. Melalui upaya ini, pasangan akan menemukan ketenangan dan keharmonisan dalam kebersamaan satu sama lain.

Pernikahan adalah sebuah berkah, namun juga bisa menjadi ujian dari Allah ﷻ. Pernikahan membutuhkan empati, komitmen, pengertian, saling memaafkan, dan kerendahan hati. Terkadang, perlu ada pengorbanan yang dilakukan dan tingkat fleksibilitas dan kompromi. Pasangan harus bersabar satu sama lain dan menerima kesalahan dan kelemahan satu sama lain. Jika salah satu pasangan melakukan sesuatu yang bertentangan dengan Islam, adalah kewajiban pasangannya untuk memberikan nasihat yang baik dan membimbingnya kembali kepada kebenaran. Ketika masalah muncul, pasangan harus mendiskusikan solusi yang memungkinkan dengan cara yang tepat. Masing-masing harus bertawakal kepada Allah, berusaha mencapai yang terbaik di jalan-Nya, dan bergantung pada bimbingan dan keputusan Allah dalam segala urusan.

Pernikahan dan pengasuhan anak

Dalam kaitannya dengan pengasuhan anak, pasangan harus berupaya memperkuat pernikahan mereka demi anak-anak mereka. Jika pernikahan adalah pusat dari keluarga, maka masuk akal jika ada upaya untuk memperkuat dan memperkaya hubungan ini. Pasangan harus memahami tanggung jawab dan hak-hak pernikahan mereka dari sudut pandang Islam dan berusaha untuk memenuhinya sebaik mungkin. Mereka harus memperoleh pengetahuan tentang pengasuhan anak dari perspektif Islam serta informasi yang berkaitan dengan hal-hal praktis (misalnya, disiplin, perkembangan, dan kesehatan). Sangat disarankan untuk melakukan diskusi terkait dengan berbagai teknik disiplin dan kesepakatan tentang prosedur yang akan diterapkan. Hal ini akan menghasilkan pengasuhan yang lebih efektif, dapat diprediksi dan bebas konflik.

Penting untuk dipahami bahwa suami dan istri memberikan contoh kehidupan pernikahan kepada anak-anak mereka, begitu juga dengan model pengasuhan anak. Model ini memiliki pengaruh besar pada keyakinan, sikap, dan perilaku anak yang sedang berkembang. Anak-anak, pada kenyataannya, belajar lebih banyak dengan mengamati orang lain daripada dengan apa yang diberitahukan kepada mereka. Untuk itu, orang tua harus sangat berhati-hati dalam berinteraksi di hadapan anak-anak mereka. Penelitian menunjukkan, misalnya, bahwa konflik antara suami dan istri memiliki banyak dampak negatif pada anak-anak. Konflik suami-istri harus dihindari di depan anak-anak, dan sebagai gantinya, model dialog, kompromi, dan kesabaran harus diberikan. Konsultasi, keadilan, sikap wajar, dan ketenangan hati adalah unsur penting untuk unit keluarga yang harmonis.

Peran gender

Dalam perspektif Islam, pria dan wanita memiliki sifat spiritual yang sama dan keduanya diberi tanggung jawab sebagai pengemban amanah Islam di muka bumi. Dengan demikian, mereka memiliki tugas dan tanggung jawab keagamaan yang sama. Mereka berdua akan dimintai pertanggungjawaban pada Hari Kiamat atas keyakinan dan tindakan mereka di dunia ini. Tidak ada superioritas satu jenis kelamin di atas jenis kelamin lainnya. Superioritas sebagai sebuah konstruksi sebenarnya diukur dalam hal kesalehan dan ketakwaan. Allah ﷻ berfirman dalam Al-Qur'an,

يَـٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَـٰكُم مِّن ذَكَرٍۢ وَأُنثَىٰ وَجَعَلْنَـٰكُمْ شُعُوبًۭا وَقَبَآئِلَ لِتَعَارَفُوٓا۟ ۚ إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِندَ ٱللَّهِ أَتْقَىٰكُمْ ۚ

"Wahai manusia, sesungguhnya Kami telah menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan perempuan. Kemudian, Kami menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sesungguhnya yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertakwa..." (QS Al-Hujurat: 13)

Ayat ini menjelaskan bahwa variabel seperti gender, latar belakang etnis, dan bahasa tidak menjadi dasar superioritas atau inferioritas.

Dalam kerangka umum ini, Allah telah menetapkan peran spesifik untuk laki-laki dan perempuan dalam fungsi sehari-hari. Kedua peran tersebut adalah peran yang terhormat dan saling melengkapi. Setiap jenis kelamin telah diberikan kualitas dan sifat-sifat khusus untuk memenuhi peran masing-masing. Allah menyebutkan,

ٱلرِّجَالُ قَوَّٰمُونَ عَلَى ٱلنِّسَآءِ بِمَا فَضَّلَ ٱللَّهُ بَعْضَهُمْ عَلَىٰ بَعْضٍۢ وَبِمَآ أَنفَقُوا۟ مِنْ أَمْوَٰلِهِمْ ۚ فَٱلصَّـٰلِحَـٰتُ قَـٰنِتَـٰتٌ حَـٰفِظَـٰتٌۭ لِّلْغَيْبِ بِمَا حَفِظَ ٱللَّهُ ۚ

"Laki-laki (suami) adalah penanggung jawab atas para perempuan (istri) karena Allah telah melebihkan sebagian mereka (laki-laki) atas sebagian yang lain (perempuan) dan karena mereka (laki-laki) telah menafkahkan sebagian dari hartanya. Perempuan-perempuan saleh adalah mereka yang taat (kepada Allah) dan menjaga diri ketika (suaminya) tidak ada karena Allah telah menjaga (mereka)..." (QS An-Nisa: 34)

Laki-laki adalah pemelihara dan pemimpin rumah tangga serta pendidik keluarga. Wanita bertanggung jawab untuk membesarkan anak-anak dan menanamkan moral dan perilaku yang baik kepada mereka, serta mengurus rumah. Mereka juga harus taat kepada suami mereka selama mereka tidak diminta untuk bertindak melawan perintah Allah. Pembedaan peran ini diperlukan agar unit keluarga dapat berfungsi secara efektif, karena Allah menciptakan sistem dengan keseimbangan dan keteraturan. Keluarga adalah sebuah sistem dan berfungsi paling efisien ketika hukum alam dan hukum Allah diterapkan. Ketika keseimbangan terganggu, manusia akan menanggung akibatnya.

Meskipun konsep peran gender tradisional ini juga ditemukan dalam kelompok agama dan budaya dunia lainnya, tren (atau bahkan norma) di banyak daerah di dunia mengarah pada penghapusan pembedaan tersebut. Di Barat, khususnya, ada upaya untuk menggantikan peran tradisional ini dengan konsep 'kesetaraan' atau kesamaan. Perempuan telah didorong untuk berpartisipasi secara 'setara' dengan laki-laki dalam semua aspek kehidupan, dan peran sebagai ibu dipandang kurang berharga dibandingkan dengan karier di luar rumah. Fenomena ini terjadi bahkan di negara-negara Muslim. Umat Islam harus menyadari hal ini dan waspada terhadap upaya-upaya yang dilakukan untuk mengganggu peran gender tradisional yang telah ditetapkan oleh Allah.

Peran terhormat sebagai seorang ibu

Peran sebagai ibu sangat dihormati dalam Islam dan merupakan sarana bagi seorang wanita untuk memperoleh pahala spiritual yang sangat besar. Dalam sebuah hadits Nabi ﷺ yang terkenal, hal ini diriwayatkan: "Suatu ketika seorang laki-laki mendatangi Nabi ﷺ dan bertanya: Wahai Rasulullah, siapakah di antara manusia yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan pergaulan yang baik dari saya? Nabi menjawab: Ibumu. Kemudian orang itu bertanya lagi: Siapa yang berikutnya? dan Nabi menjawab: Ibumu. Orang itu kembali bertanya: Siapa yang berikutnya? dan lagi-lagi Nabi menjawab: Ibumu. Orang itu bertanya sekali lagi: Siapa yang berikutnya? dan Nabi menjawab: Ayahmu." Hadits ini menyoroti signifikansi khusus yang diberikan kepada peran ibu. Menjadi seorang ibu adalah pekerjaan yang paling berharga dalam kehidupan duniawi, karena ia akan membesarkan generasi berikutnya dan membangun fondasi yang kokoh bagi masyarakat. Waktunya akan dihabiskan untuk mengasuh, mengajar, dan membimbing - tugas utamanya sebagai seorang ibu. Untuk alasan ini, ia diberi kehormatan dan penghormatan yang layak diterimanya.

Allah telah menciptakan peran ini secara khusus untuk perempuan sebagai bagian dari kasih sayang-Nya. Rasulullah ﷺ bersabda: "Allah menciptakan, pada hari yang sama ketika Dia menciptakan langit dan bumi, seratus bagian rahmat. Setiap bagian dari rahmat itu sama dengan jarak antara langit dan bumi, dan Dia, dari rahmat itu, menganugerahkan satu bagian kepada bumi, dan karena itulah seorang ibu menunjukkan kasih sayang kepada anaknya." Untuk tujuan ini, Allah telah menganugerahkan kepada wanita kualitas dan karakteristik unik yang diperlukan untuk memenuhi peran ini secara efektif. Wanita cenderung lebih mengayomi, penyayang, sensitif, dan sabar: semua kualitas yang dibutuhkan untuk menciptakan suasana yang hangat, penuh kasih, dan damai di dalam rumah.

Menjadi seorang ibu adalah karier penuh waktu, yang meliputi kehamilan, melahirkan, menyusui, dan pengasuhan anak selama bertahun-tahun. Ini adalah tanggung jawab yang sudah cukup bagi seorang individu tanpa menambah beban tambahan karena harus menafkahi keluarga. Merupakan bagian dari rahmat Allah bahwa wanita tidak diharuskan bekerja di luar rumah untuk mencari nafkah bagi anak-anak mereka. Beban tersebut, dalam banyak kasus, akan lebih dari yang dapat ditanggungnya. Situasi yang ideal memungkinkannya untuk memenuhi tanggung jawab utamanya dengan sebaik-baiknya.

Perempuan dan pekerjaan

Meskipun demikian, menjadi seorang ibu tidak selalu menghalangi wanita untuk bekerja di luar rumah. Bagi seorang wanita yang memiliki anak kecil dan tidak memiliki kebutuhan mendesak untuk bekerja, akan lebih ideal baginya untuk tetap berada di dalam rumah untuk menjalankan perannya sebagai ibu dengan sebaik-baiknya. Perempuan harus memahami bahwa pahala terbesar akan datang kepadanya melalui peran keibuannya. Membangun keluarga harus didahulukan, karena ini adalah kewajiban utama bagi perempuan. Gagasan ini harus selalu ada dalam pikirannya.

Namun, ada beberapa situasi di mana seorang ibu mungkin perlu bekerja, seperti untuk membantu memenuhi kebutuhan keuangan keluarga atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat (misalnya, dokter, bidan, dan guru). Yang terakhir ini dianggap sebagai kewajiban komunal yang harus dipenuhi oleh beberapa anggota masyarakat agar kewajiban tersebut dapat dihilangkan. Dalam hal ini, manfaatnya harus ditimbang dengan cermat terhadap kerugian yang mungkin timbul. Penting untuk diingat bahwa tanggung jawab pribadi lebih diutamakan daripada tanggung jawab komunal.

Dari perspektif Islam, perempuan tidak sepenuhnya dilarang untuk bekerja, tetapi masalah ini adalah salah satu hal yang harus dipertimbangkan dan didiskusikan secara serius sebelum mengambil keputusan. Ada beberapa pedoman utama yang harus diikuti ketika membuat keputusan ini:

  1. seorang perempuan harus terlebih dahulu mendapatkan persetujuan dari suaminya, terutama karena ia mungkin memiliki perspektif yang lebih luas tentang bagaimana pekerjaannya dapat memengaruhi keluarga dan fungsinya;
  2. seorang perempuan harus memastikan bahwa rumah dan anak-anaknya diurus dengan baik dan tidak ada pengabaian dalam aspek ini; ketidakhadirannya tidak boleh menyebabkan kerugian bagi keluarganya;
  3. harus berhati-hati dalam memilih pekerjaan yang sesuai dan cocok dengan sifat khusus perempuan sesuai dengan norma-norma hukum Islam;
  4. harus berhati-hati untuk menghindari pekerjaan yang dapat menyebabkan pelanggaran batas-batas Islam (seperti percampuran gender yang berlebihan);
  5. dia harus mematuhi prinsip-prinsip Islam sehubungan dengan pakaian dan sikapnya.

Peran sebagai ayah

Seperti yang telah disebutkan, suami bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan nafkah dan kebutuhan istri dan anak-anaknya. Hal ini termasuk penyediaan makanan, pakaian, tempat tinggal, dan kebutuhan dasar lainnya sesuai dengan pendapatan finansial dan norma-norma sosial. Secara umum, ia bertanggung jawab atas kesejahteraan fisik dan kesehatan mereka, yang juga mencakup keselamatan dan keamanan. Pentingnya hal ini tidak dapat diabaikan, sebagaimana sabda Nabi ﷺ: "Cukuplah dosa bagi seseorang jika ia mengabaikan orang-orang yang wajib ia nafkahi."

Karena tanggung jawab ini, ayah adalah otoritas dalam keluarga dan pemimpin unit keluarga. Tidak ada organisasi yang dapat berfungsi secara efektif tanpa seorang manajer, dan dalam keluarga, ayah mengambil peran penting ini. Pada intinya, ini berarti bahwa dia layak mendapatkan kepatuhan dari semua anggota keluarga dan dia memiliki keputusan akhir dalam semua masalah. Hal ini tidak mengesampingkan diskusi dan kompromi dalam hal-hal yang penting, tetapi ayah harus dihormati dan ditaati.

Bekerja sama dengan ibu, ayah juga memperhatikan aspek spiritual, psikologis, dan intelektualitas anak-anak mereka. Dia harus memastikan bahwa mereka menerima pendidikan Islam yang tepat, dan dia harus membantu mereka dalam mengembangkan sifat-sifat terpuji dan sopan santun. Hal ini, tentu saja, berarti bahwa ia harus terlibat dalam pendidikan dan pengasuhan anak-anaknya. Banyak ayah yang melalaikan tugas ini karena terlalu bersemangat untuk memenuhi kewajiban nafkah lahir. Agar keluarga dapat berfungsi secara efektif, harus ada keseimbangan antara berbagai hak dan tanggung jawab ini.

Anak-anak membutuhkan interaksi dan waktu dengan ayah mereka seperti halnya dengan ibu mereka. Hal ini terutama berlaku untuk anak laki-laki, yang membutuhkan panutan laki-laki yang sesuai. Menjadi ayah yang aktif merupakan hal yang penting bagi peran seorang pria dalam kehidupan dan perkembangan anak-anaknya. Anak-anak perlu tahu bahwa ayah mereka mencintai dan peduli pada mereka, dan bahwa ayah mereka memikirkan kepentingan terbaik mereka. Ayah Muslim adalah panutan yang menginspirasi, guru, teman, dan sumber nasihat nyata.

Ada banyak penelitian tentang pengaruh keterlibatan ayah terhadap anak. Sebuah tinjauan tentang dampak peran ayah oleh Institut Nasional Kesehatan Anak dan Perkembangan Manusia AS menunjukkan bahwa anak yang ayahnya terlibat memiliki keterampilan sosial yang lebih baik pada saat ia mencapai usia taman kanak-kanak, berprestasi lebih baik secara akademis, dan lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami masalah perilaku di masa depan. Sekali lagi, penelitian ilmiah membuktikan hikmah ajaran Islam.

Memelihara iman diri sendiri

Sangatlah penting untuk menyebutkan bahwa agar para orang tua dapat berhasil secara maksimal dalam misi mereka, mereka harus memfokuskan waktu untuk meningkatkan keimanan mereka sendiri. Pelajaran yang diperoleh selama membaca buku ini tidak hanya berlaku bagi anak-anak, tetapi juga bagi mereka yang memegang buku ini. Inilah, pada kenyataannya, salah satu tujuan dari usaha ini. Sebuah prinsip yang sudah lama berlaku di bidang pendidikan adalah bahwa kita cenderung belajar paling banyak melalui mengajar orang lain. Mengasuh anak memberikan kesempatan yang tak ternilai harganya. Selain materi ini, orang tua perlu mengeksplorasi cara-cara lain untuk meningkatkan keimanan mereka, apakah itu melalui mencari pengetahuan ( esensial ), meningkatkan ibadah, atau berkontribusi pada komunitas Muslim. Dengan melakukan hal ini, tugas untuk memupuk iman pada anak-anak akan menjadi lebih mudah.

Hak-hak dasar anak (Kewajiban orang tua)

Berikut ini adalah beberapa hak dasar anak yang tercermin dalam tugas dan tanggung jawab orang tua:

  • Hak untuk mendapatkan nafkah dan perlindungan sampai dewasa

Ini termasuk makanan, pakaian, dan tempat tinggal sebagai bekal. Hal ini juga mencakup perlindungan terhadap bahaya fisik, emosional, intelektual dan moral. Aspek ini dimulai sejak pembuahan dan berlanjut selama masa kehamilan, masa kanak-kanak, dan hingga dewasa.

  • Hak atas cinta dan kasih sayang

Anak-anak memiliki kebutuhan psikologis yang harus dipenuhi. Ini termasuk cinta, kasih sayang, belas kasihan, dan persahabatan. Ini adalah peran dasar pengasuhan anak untuk memenuhi kebutuhan ini melalui ciuman, pelukan, kata-kata yang baik, dan waktu yang dihabiskan bersama. Hal ini sangat penting untuk pengasuhan dan disiplin yang efektif.

  • Hak untuk mendapatkan hak asuh dan warisan

Setiap anak memiliki hak untuk mengetahui garis keturunan dan orang tuanya. Karena alasan inilah kesucian ikatan perkawinan sangat dilindungi dan penggunaan materi reproduksi asing dilarang. Karena alasan ini pula, adopsi dilarang dalam Islam*, dan untuk alasan yang sama seorang anak membawa nama ayahnya. Hak untuk mendapatkan warisan dijamin oleh hukum Islam.

  • Hak atas pendidikan yang layak

Dasar dari pendidikan adalah pelatihan moral dan agama karena ini adalah jenis pendidikan yang paling penting (seperti yang akan dibahas di bab berikutnya). Hal ini memerlukan pendidikan Islam yang tepat untuk membangun aqidah, tauhid, dan iman. Ilmu pengetahuan dan informasi keduniaan juga harus diberikan dalam proporsi yang tepat. Pertumbuhan kepribadian dan potensi seorang anak bergantung pada pendidikan yang tepat.

Hak-hak dasar orang tua (Kewajiban anak)

Anak juga memiliki kewajiban yang menjadi hak orang tua:

  • Hak untuk dihormati dan dipatuhi

Orang tua umumnya memberikan perintah dan instruksi yang sesuai dengan kebutuhan anak. Oleh karena itu, sudah menjadi kewajiban anak untuk menghormati dan mematuhi orang tua dalam segala hal. Mereka tidak boleh mempertanyakan otoritas ini atau mengikuti keinginan mereka sendiri yang bertentangan dengan orang tua mereka. Hal ini tentu saja tidak berlaku jika orang tua mereka meminta anak untuk melakukan tindakan maksiat kepada Allah.

  • Hak untuk menegur dan mengingatkan

Merupakan kewajiban orang tua untuk melindungi anak-anak mereka dari bahaya. Jika anak tergoda untuk melakukan perbuatan yang membahayakan, maka orang tua berkewajiban untuk mencegahnya dari perbuatan tersebut. Jika perlu, mereka dapat menggunakan cara menasihati, menegur, atau memperingatkan. Anak tidak boleh membalas dengan kasar atau berdebat dengan orang tua. Nasihat orang tua harus didengarkan dan diikuti, meskipun bertentangan dengan keinginan anak.

  • Hak atas kata-kata yang baik dan perilaku yang baik
وَوَصَّيْنَا ٱلْإِنسَـٰنَ بِوَٰلِدَيْهِ إِحْسَـٰنًا ۖ حَمَلَتْهُ أُمُّهُۥ كُرْهًۭا وَوَضَعَتْهُ كُرْهًۭا ۖ وَحَمْلُهُۥ وَفِصَـٰلُهُۥ ثَلَـٰثُونَ شَهْرًا ۚ

"Kami wasiatkan kepada manusia agar berbuat baik kepada kedua orang tuanya. Ibunya telah mengandungnya dengan susah payah dan melahirkannya dengan susah payah (pula). Mengandung sampai menyapihnya itu selama tiga puluh bulan..." (QS Al-Ahqaf: 15)

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوٓا۟ إِلَّآ إِيَّاهُ وَبِٱلْوَٰلِدَيْنِ إِحْسَـٰنًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِندَكَ ٱلْكِبَرَ أَحَدُهُمَآ أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُل لَّهُمَآ أُفٍّۢ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُل لَّهُمَا قَوْلًۭا كَرِيمًۭا ٢٣

"Tuhanmu telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berusia lanjut dalam pemeliharaanmu, sekali-kali janganlah engkau mengatakan kepada keduanya perkataan “ah” dan janganlah engkau membentak keduanya, serta ucapkanlah kepada keduanya perkataan yang baik." (QS Al-Isra': 23)

Ayat-ayat Al-Qur'an ini mendorong anak-anak untuk bertutur kata lembut kepada orang tua dan menunjukkan rasa hormat dan kebaikan kepada mereka. Mereka tidak boleh melupakan jasa dan pengorbanan orang tua mereka, tetapi harus membalasnya dengan kata-kata yang lembut dan kebaikan. Hal ini memerlukan kesabaran, kasih sayang, rasa syukur, dan kerendahan hati.

  • Hak untuk dibantu

Anak-anak diwajibkan untuk membantu orang tua mereka dalam pekerjaan rumah tangga dan tanggung jawab lainnya sesuai kemampuan mereka. Misalnya, mereka dapat membantu mengasuh adik-adik mereka. Seiring bertambahnya usia orang tua, bantuan juga dapat diberikan di bidang lain.

  • Hak untuk dirawat

Anak-anak yang sudah dewasa harus membalas budi orang tua mereka dengan merawat mereka di hari tua. Hal ini termasuk menjaga kebutuhan fisik dan keuangan, serta kebutuhan psikologis dan persahabatan. Sebagaimana orang tua mereka merawat mereka selama orang tua mereka lemah di usia tua. Hal ini harus diwujudkan dengan keadilan, kedermawanan, dan ihsan.

Pentingnya menyusui, ikatan batin, dan keterikatan awal

Menyusui

 وَٱلْوَٰلِدَٰتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَـٰدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ ۖ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ ٱلرَّضَاعَةَ ۚ

"Ibu-ibu hendaklah menyusui anak-anaknya selama dua tahun penuh, bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan..." (QS Al-Baqarah: 233)

Menyusui adalah perpanjangan alami dari kehamilan dan penelitian telah berulang kali menunjukkan bahwa menyusui adalah cara terbaik untuk memberi makan bayi. Selain manfaat fisik yang bervariasi dan tak terbantahkan, menyusui juga menawarkan manfaat psikologis dan emosional bagi ibu dan bayi. Hal ini terutama terjadi melalui proses yang dikenal sebagai ikatan atau kelekatan, sebuah faktor penting dalam dasar pengasuhan anak. Karena alasan inilah menyusui sangat dianjurkan dalam Islam. Faktanya, menyusui merupakan hak penting bagi bayi.

Ikatan dan keterikatan

Hari-hari dan minggu-minggu setelah kelahiran adalah periode sensitif di mana ibu dan bayi secara unik siap untuk ingin dekat satu sama lain. Keterikatan yang erat setelah kelahiran dan seterusnya memungkinkan perilaku alamiah yang mendorong keterikatan dari bayi dan kualitas intuitif dan pemberian perhatian dari ibu untuk bersatu. Kedua anggota pasangan biologis ini memulai dengan awal yang tepat pada saat bayi paling membutuhkan dan ibu paling siap untuk mengasuh. Menyusui dan kedekatan yang menyertainya memainkan peran penting dalam proses ini.

Manfaat utama dari kelekatan adalah bahwa bayi mengembangkan kepercayaan pada pengasuh dan orang dewasa lainnya dalam dunianya. Ia percaya bahwa kebutuhannya akan terpenuhi dan bahwa dunia adalah tempat yang aman. Ia juga percaya bahwa bahasanya (tangisannya) didengarkan dan dengan demikian percaya pada kemampuannya sendiri untuk memberikan isyarat. Hubungan antara ibu dan bayi menjadi sinkron dan harmonis karena bayi memberikan isyarat dan ibu merespons dengan tepat.

Pekerjaan mengasuh anak menjadi lebih mudah karena sinkronisasi ini dan kepercayaan pada bayi. Dengan hubungan yang kuat melalui ikatan dan keterikatan, hubungan orang tua dan anak menjadi lebih alami dan menyenangkan. Pola asuh kelekatan juga membantu anak dalam mengembangkan kemandirian, karena mendorong keseimbangan yang tepat antara ketergantungan dan kemandirian. Karena anak yang memiliki kelekatan mempercayai orangtuanya untuk membantunya merasa aman, maka ia akan merasa lebih aman untuk menjelajahi lingkungan sekitarnya. Sebagai contoh, penelitian menunjukkan bahwa balita yang memiliki kelekatan yang aman dengan ibunya cenderung lebih mudah beradaptasi dengan situasi bermain yang baru dan bermain lebih mandiri daripada balita yang kurang memiliki kelekatan. Ikatan dan kelekatan dini memiliki implikasi positif bagi perkembangan hubungan orangtua-anak seiring dengan tumbuh kembang anak. Manfaat ini terbawa hingga masa kanak-kanak awal dan menengah, yang mengarah pada disiplin dan pengasuhan yang lebih mudah. Penelitian telah menunjukkan pentingnya peran hubungan orang tua-anak dalam disiplin yang efektif.

Berdoa untuk anak yang saleh

Orang tua Muslim harus senantiasa mendoakan anak-anak mereka. Allah ﷻ menyebutkan,

وَٱلَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَٰجِنَا وَذُرِّيَّـٰتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍۢ وَٱجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

"Dan, orang-orang yang berkata, “Wahai Tuhan kami, anugerahkanlah kepada kami penyejuk mata dari pasangan dan keturunan kami serta jadikanlah kami sebagai pemimpin bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS Al-Furqan: 74)

Orang tua harus mendoakan anak-anak mereka agar menjadi anak yang saleh dan salehah serta menyejukkan mata. Mereka kemudian akan menjadi sumber kebahagiaan karena kesalehan mereka. Pahala akan diberikan kepada orang tua atas doa mereka dan upaya yang dilakukan untuk membesarkan anak-anak mereka dalam Islam.

Para nabi sendiri mendoakan anak-anak mereka. Nabi Zakariya ؑ berdoa,

هُنَالِكَ دَعَا زَكَرِيَّا رَبَّهُۥ ۖ قَالَ رَبِّ هَبْ لِى مِن لَّدُنكَ ذُرِّيَّةًۭ طَيِّبَةً ۖ إِنَّكَ سَمِيعُ ٱلدُّعَآءِ ٣٨

"Di sanalah Zakaria berdoa kepada Tuhannya. Dia berkata, “Wahai Tuhanku, karuniakanlah kepadaku keturunan yang baik dari sisi-Mu. Sesungguhnya Engkau Maha Mendengar doa.” (QS Ali Imran: 38)

Nabi Ibrahim ؑ berdoa kepada Allah ﷻ

رَبِّ هَبْ لِى مِنَ ٱلصَّـٰلِحِينَ ١٠٠ فَبَشَّرْنَـٰهُ بِغُلَـٰمٍ حَلِيمٍۢ ١٠١

(Ibrahim berdoa,) “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (keturunan) yang termasuk orang-orang saleh." Maka, Kami memberi kabar gembira kepadanya dengan (kelahiran) seorang anak (Ismail) yang sangat santun." (QS Ash-Shaffat: 100-101)

Pada saat melakukan hubungan seksual, suami dan istri dianjurkan untuk berdoa kepada Allah untuk mendapatkan perlindungan-Nya atas anak yang mungkin dikandung. Rasulullah bersabda: "Apabila salah seorang di antara kalian hendak mendatangi istrinya, maka hendaklah ia berdoa: Dengan menyebut nama Allah, Ya Allah, lindungilah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari apa yang Kau anugerahkan kepada kami." Dengan demikian pengasuhan anak sebenarnya dimulai dengan niat pada saat pembuahan dengan doa ini untuk melindungi anak dari gangguan setan, Doa ini harus dilanjutkan sepanjang hidup anak. Pada saat-saat tertentu, orang tua mungkin menyadari, pada kenyataannya, hanya doa dan kehendak Allah yang akan mengubah situasi. Alhamdulillah, sebagai Muslim kita selalu memiliki harapan ini.

Ramadhan yang tak terlihat

Sabtu, 09 Maret 2024

Ramadhan sebentar lagi tiba. (sambil nyanyi-nyanyi marhaban tiba, marhaban tiba, marhaban tiba) 🎤

Pagi ini saya buka email dan  beberapa subscription mengirim notifikasi blogpost dengan tema yang sama; menyiapkan anak menyambut Ramadan. Keduanya memberi saran dan perspektif yang bagus, seperti biasanya. Tapi kemudian saya mengenang masa-masa kecil dan pengalaman pribadi saya selama Ramadhan, lalu bertanya-tanya dalam hati "hubungan apa yang saya miliki dengan Ramadhan ketika masih kecil? Apa yang membuat bulan ini istimewa bagi saya yang masih anak-anak? Apakah itu mempengaruhi diri saya setelah dewasa?"

Photo by Rachael Gorjestani on Unsplash

Pertanyaan-pertanyaan itu makin menguat karena memang belakangan perbincangan parenting makin simpang siur, terutama di kalangan orang tua muslim. Saya sebagai orang tua apa adanya, selalu jadi penonton setiap ada dialog-dialog mengenai pendidikan agama diangkat disetiap obrolan grup atau komunitas. Bahkan kalau ada postingan Instagram tentang parenting, saya selalu rajin menyimak kolom komentar hanya demi memantau respon para orang tua dan cerita-cerita mereka. Tidak jarang perdebatan mana yang benar dan salah membuat keributan makin menarik disimak.

Tentang Ramadhan, sejak kecil saya tidak pernah merasakan ada penyambutan yang luar biasa di rumah. Justru perayaan menyambut Ramadhan itu saya rasakan sebagai komunitas masyarakat. Tradisi saling mengirim makanan dan menabuh bedug seharian menjelang malam Ramadhan menjadi momen paling saya tunggu setiap tahun. Tidak ada aktivitas membersihkan rumah apalagi dekorasi ulang, justru perhatian kami terpusat pada masjid. Anak-anak akan berkumpul di masjid dan mencuci lantai masjid (literally mencuci pakai deterjen dan main plesetan di dalam masjid) serta membersihkan apapun yang bisa dibersihkan pagi hari menjelang Ramadhan.

Pengalaman puasa pun tidak saya anggap istimewa. Satu hal yang mungkin agak berbeda bagi saya adalah bahwa saya tidak diwajibkan berpuasa oleh orang tua sampai saya mau sendiri berpuasa. Seingat saya, yang agak galak nyuruh saya puasa itu kakak. Saya pernah dimarahi ketika ketahuan makan siang waktu bulan puasa, padahal Mamak dan Bapak saja nggak pernah marah walaupun mereka tahu saya nggak puasa.

Orang tua saya tidak pernah menyuruh saya berpuasa. Mungkin memang agak aneh, berbeda dengan orang tua kebanyakan. Saya tidak pernah diajari berpuasa setengah hari dulu buat latihan dan seterusnya. Tapi saya tetap merasakan pengalaman bangun sahur, berangkat tarawih dan tadarus Al-Qur'an bersama teman-teman di masjid. Setelah dewasa pernah saya bertanya kepada Mamak, kenapa tidak menyuruh saya berpuasa waktu saya masih kecil. Beliau bilang, 'Kan sudah ngaji, kalau sudah paham pasti nanti puasa sendiri. Lagian masih anak-anak kan memang belum wajib.' Sampai hari ini pun saya masih bingung dengan jawaban itu, tapi memang begitulah adanya.

Mamak tidak pernah menyuruh berpuasa, tapi selalu membangunkan saya sahur dan memaksa saya ikut makan sahur. Saya masih ingat diejek oleh teman-teman karena tidak berpuasa dan makan cemilan ketika sedang bermain. Tapi saya yang memang dasarnya cuek tidak menggubris ejekan mereka dan melanjutkan makan sambil pamer. Baru sekitar kelas 4 SD kalau tidak salah ingat, saya mulai puasa karena buku laporan puasa saya yang sebelumnya selalu jadi masalah ketika diserahkan kembali ke wali kelas. 😂

Apakah didikan orang tua saya itu benar? Saya tidak tahu. Faktanya sejak saya memutuskan untuk puasa memang saya tidak pernah batal. Tapi teman-teman saya sepertinya juga mendapatkan pengalaman yang tidak terlalu jauh berbeda dengan saya(?!) 

Photo by Arham on Unsplash

Setelah jadi orang tua, sebenarnya saya ingin mempraktikkan pengalaman saya itu kepada anak-anak tapi tentu saja suami tidak setuju. Suami memutuskan membesarkan anak seperti orang-orang kebanyakan dan saya memilih untuk mematuhinya karena pasti akan sangat berat untuk dia menjadi anomali diantara teman-temannya. Dia nggak akan sanggup. 😆 Tapi sekarang yang menyebalkan adalah kami harus membuat dekorasi menyambut Ramadhan setiap tahun sebagai tugas sekolah. Hal yang nggak pernah kami lakukan ketika kami masih kecil.

Dan yang makin memalaskan adalah alasan dibalik tugas itu; katanya supaya anak-anak menganggap Ramadhan lebih menyenangkan dibanding ulang tahun. Masalahnya, kami nggak pernah merayakan apapun. Kami bukan tipe keluarga yang suka perayaan. Kami adalah keluarga yang santai, dan merayakan keberhasilan atau kebahagiaan dengan berkumpul bersama di kamar dan menceritakan pengalamannya sambil menertawakan kesalahan-kesalahan kecil. Dekorasi-dekorasi yang nantinya akan dihapus lagi kami anggap mubazir, dan bukannya mubazir itu salah satu kebiasaan setan?!

Tapi tentu saja kami tidak bisa mempertahankan prinsip itu karena ada tuntutan dari sekolah. Mau bagaimana lagi. Dan kalau tugas itu tidak kami laksanakan, kemeriahan Ramadhan mungkin benar-benar tidak akan anak-anak rasakan sama sekali karena sekarang di tempat mereka tinggal tidak ada tradisi penyambutan Ramadhan yang bersifat komunal seperti yang saya rasakan ketika masih kecil. Satu-satunya cara untuk membuat mereka merasakan dan melihat Ramadhan adalah dengan mengenalkan Ramadhan di dalam rumah.


© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.