SLIDER

Are you "snooze-ing" His reminders?; 24 Desember 2019

Kamis, 25 Mei 2023

بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 

In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful


Foto oleh Miriam Alonso

 Assalammualaikum Ladies, 


One of the mornings last week, I woke up with a sudden jolt from the alarm that was blaring. It was either coming from K’s phone or mine and K, almost intuitively, “snoozed” the alarm and went back straight to sleep. So did I.


This pattern then repeated itself, with K and I taking turns to flick the almost desperate cries of the alarms off.  Before we knew it, an hour has elapsed, and thus it began: our frantic morning.


Unfortunately, this scenario is not just a one-off event, and from speaking to some of my closest ones, it’s something that a lot of us struggle with: this negotiation process that you have within yourself, the all too familiar “just 5 minutes more” tug of war between your good conscience and your cheekier counterpart. 


The funny (or sad?) thing is, we actually know that we will be hitting those “snooze” buttons, which is why we often set our alarms every 5 minutes, like this:

This is my 'actual' alarms look like on my phone 😉

-

Regretting the hour that I've just wasted, I sat silently while eating my breakfast and wondered about this far-fetched idea of anyone ever being able to just spring or jump out of bed. "Doesn't this just happen in the overly orchestrated morning routine YouTube videos or self-help books?", I asked out loud. And within a split second, Allah placed something in my heart which reminded me of the time where I actually did roll out of bed without the need of an alarm. The times where I actually took extra care to make sure I got my sacred one on one time with Him. The times where I felt excited to sit at my desk and just, write. The times where I use the blessed hours of the morning not being on my phone, but to just... be.


But what happened?


I could give a million reasons, and "snooze" my way out of this too, but who am I kidding? I know that these "reasons" are just excuses, as the truth of the matter is I've just been lazy, and laziness is a disease of the heart. 


With that realisation, I exhaled sharply and made the intention to begin and seize my day. I wanted to acknowledge this deafening "alarm" that Allah has sent me this morning, the one that reminded me of my laziness, and I made a promise to myself to not live my life in a slumber anymore. 


-


Lucky for us, our Rabb knows just how sorely we need constant "signs" and "reminders" like the ones I just had so that we can be, and do, better. He will continue to send us regular and periodic "alerts" to snap us out of heedlessness and oblivion out of His Love for us.


But...


If we have been stubbornly "snoozing" His alarms, then chances are, we will not only be wasting hours and hours of our lives "sleeping", but far worse than that, on the Day of Reckoning when we are finally awakened and summoned out of our graves, that frantic panic we will feel will be a million times worse than the frantic morning I just had. 


And I pray none of us will ever be in that state. 

-

With every reminder or alarm that Allah sends us, it should stir something in us to promptly spring into action. And it's that immediacy in taking action that will actually ensure us to win in this life and the next, In Sha Allah. Because like they say, "when you snooze, you lose."


One of the best stories that I can share with you about the power of taking immediate action upon Allah evoking something in our hearts, is of Sayyidina Umar RA (and it's one of my personal favourites). His conversion story is a beautiful one, so if you have time, please do read up about it - but here's the gist:


Before Sayyidina Umar RA embraced Islam, he was actually against Rasulullah SAW and had a deep hatred for the message that Rasulullah was trying to spread. He was even on his way to kill Rasulullah SAW when he ran into Na'im ibn Abdullah, who upon knowing Sayyidina Umar RA's intention, said to him, “By Allah, you have been overcome with anger to the extent that you cannot think properly. Oh Umar! Do you think Banu Abd-Manaf will let you remain on this earth if you kill Muhammed?! Why do you not return to your family and arrange your own affairs instead?”

So Sayyidina Umar asked, “What is the matter with my family?”


Na’im ibn Abdullah said, “Your sister’s husband, i.e. your brother-in-law, the son of your uncle Said ibn Zayd, and your sister Fatima, by Allah, they have embraced Islam and they follow Muhammed and his religion.”


Fuming, and feeling extremely betrayed (because he loves his sister a whole lot!), he stormed to his sister's home and upon entering, heard the recitation of the Quran. 


He then asked his sister and her husband Said ibn Zaid RA, “Have you left the faith of your forefathers?” And enraged, he then began attacking his sister and her husband. But when he saw the blood on her sister because of the hurt he had inflicted, he began feeling guilty. He then apologized to his sister and requested to read the words of the Qur’an. His sister then told him to clean himself (as he was going to read the sacred words of God!) and when he was reading the first few verses of Surah Taha, calm descended upon him, and Islam began to enter his heart.


When that happened, Sayyidina Umar RA immediately went to Rasulullah SAW, but now with a grander intention of proclaiming his faith to Islam, instead of his initial plan of actually killing Rasulullah SAW. What a complete 180!


The immediacy that Sayyidina Umar RA had, upon receiving this "alarm" or this reminder from Allah when He first read the verses from Surah Taha, is what inspires me. Imagine if he were to take his time to embrace Islam (i.e. "snoozed")? 

-

I pray that may we lose the complacency of delaying our intentions of coming back to Him. I pray that we recognise what immense blessing it is for Allah to consistently send us signs and reminders, because He does this from a place of Love, Mercy and Guidance. And I pray that may we not be from those who turn a blind eye to these signs, nor of the "snoozers", but of the winners, and the early risers, amin.  


Love and prayers always,

A



Istilah baru; POSER

Sabtu, 20 Mei 2023



Singkat cerita, karena sekarang lagi musim-musimnya penyanyi pada konser maka suatu hari di kelas saya sempat membahas hal tersebut bersama anak-anak murid. Salah satu yang kami bahas tentu saja konser Blackpink beberapa waktu yang lalu. Kemudian salah satu anak tiba-tiba nyeletuk, "pingin lho, nonton konser juga."


Lalu saya pun menanyakan, "emangnya kamu suka Blackpink juga?"


"Nggak sih, Umi. Tapi kayaknya seru aja gitu kan semuanya pada nonton."


Seketika saya langsung keceplosan, "eh, beneran ada ya orang kayak gitu?" Dan anak-anak pun bertanya-tanya maksud perkataan saya itu.


Poser, istilahnya. Saya baru tahu setelah beberapa kali postingan tentang istilah tersebut lewat di beranda sosial media. Ternyata istilah itu ditujukan untuk orang-orang yang ikut-ikutan trend hanya supaya diterima oleh lingkungan pertemanan tertentu. Dan seperti yang disampaikan di mana-mana, sepertinya hampir semua orang pernah mengalami masa ketika dirinya menjadi seorang poser.


Saya sendiri dulu pernah berpura-pura suka sama novel 5 cm hanya karena novel itu best seller dan disukai banyak orang. Padahal dalam hati saya waktu baca, sering bosan dengan dialog-dialognya. Tapi waktu itu saya berpikir saya yang salah karena nggak menyukai novel laris. Apakah itu juga termasuk poser?


Sementara kalau urusan musik, bisa dibilang saya termasuk yang punya pendirian 😁. Sejak dulu saya memang punya selera yang beda dengan orang-orang sekitar. Ya walaupun yang saya sukai adalah genre musik yang memang tenar pada masanya; semacam pop-punk/rock tapi tetap saja genre musik seperti itu bisa dibilang nggak pernah diputar di radio-radio kampung.

***

Nah, kembali ke cerita si anak tadi. Saya kemudian mencoba memperjelas pernyataannya. "Kalo misalnya kamu punya uang dan punya kesempatan, kamu mau berangkat nonton konser Blackpink?!"


"Mau lah, Umi." Dengan alasan yang sama seperti yang dia sampaikan diawal, 'kayaknya seru'.


Yang saya pikirkan tentang kejadian itu adalah, ada berapa banyak anak-anak kita sekarang yang punya pola pikir semacam itu? Cerita tentang konser Blackpink tempo hari yang 'katanya' banyak diisi poser-poser dadakan membuat saya mengevaluasi masa muda diri sendiri.


Dulu tahun 2005 Avril Lavigne pertama kali konser ke Indonesia. Seharian saya kepikiran terus sampai nggak semangat untuk ngobrol sama orang. Tapi kalaupun saat itu saya punya uang dan kesempatan untuk pergi nonton konsernya, saya tetap nggak akan berangkat. Kenapa? Karena pada saat itu prioritas utama saya bukanlah hiburan. Kok saya bisa tahu? Karena saya juga bahas hal itu pada saat itu, dengan adik saya.


Ketika memutuskan untuk membelanjakan uang yang banyak, selalu ada pikiran, "is it worth it?" Saya beli album Avril Lavigne yang asli sampai harus menabung berhari-hari karena saya pikir itu sebagai bentuk apresiasi terhadap karyanya, tapi kalau untuk datang ke konsernya saya masih ragu-ragu. "Apakah dia bisa tampil sebagus seperti di rekamannya? Apakah uang sebanyak itu bisa saya belanjakan untuk hal lain yang lebih berguna?" Padahal Avril Lavigne adalah satu-satunya penyanyi yang saya sukai pada saat itu.


Maka ketika mendengar ada orang yang ingin menonton konser hanya karena 'kayaknya seru', saya benar-benar nggak habis pikir. Mau bilang pikirannya dangkal kok kasar banget, tapi saya nggak nemu istilah lain yang bisa menggambarkan kedangkalan pikiran semacam itu. Coba deh pikirin, uang ratusan ribu bahkan jutaan yang bisa untuk makan sebulan (bahkan buat umroh 😩) kamu habiskan hanya untuk melakukan sesuatu yang kamu sendiri nggak tahu, kamu suka atau nggak sama hal itu?! Bahkan untuk urusan kesukaan, kamu sendiri nggak tahu apa yang kamu sukai?! What the hell???? Kok bisa?!


Tapi akan selalu ada alasan untuk ikut melakukan yang orang-orang lakukan. Karena tentu lebih mudah bersama dengan orang banyak daripada sendirian. Hanya saja kalau sampai harus merugikan diri sendiri dan masa depan, (dalam hal ini materi) kok rasanya sayang sekali. Saya sendiri baru berani beli kaos merchandise Linkin Park baru-baru ini karena merasa selama ini kurang mengapresiasi mereka sebagai salah satu musisi yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Baru berani pesen jaket ONE OK ROCK dan beli tiket konser online-nya awal bulan Juni mendatang karena yakin bahwa mereka benar-benar sudah merebut hati saya. (Belum checkout sih, tapi sudah fix mau beli nanti setelah gajian) Coldplay? Saya cuma tahu 4 lagunya, jadi bye bye saja lah.


Dan setelah saya pikirkan, ternyata saya yang begitu pemilih ketika menentukan sikap itu sepertinya dipengaruhi salah satunya oleh pola asuh orang tua. Sejak kecil, orang tua saya selalu berpesan untuk 'ojo melu ubyug', yang bisa diartikan 'jangan ikut kerumunan' atau 'jangan suka ikut-ikutan yang dilakukan orang-orang kebanyakan'. Orang tua saya begitu selektif 'memilihkan' teman untuk saya, saking selektifnya sampai-sampai saya cuma boleh temenan sama buku 😂. Setiap kali mengetahui saya mengoleksi sesuatu, mereka selalu menanyakan alasannya. Saya tidak boleh menyukai sesuatu tanpa alasan.


Maka ketika akhir tahun 2020 lalu saya mulai tertarik dengan ONE OK ROCK, dalam pikiran saya refleks muncul pertanyaan 'apa yang membuat band ini istimewa di hati saya?'. Saya pikir itu agak berlebihan, tapi setelah diingat-ingat itu memang sudah kebiasaan yang dibangun orang tua kepada saya sejak kecil. Jangan menyukai atau melakukan sesuatu hanya karena orang lain juga menyukainya atau melakukannya. Kamu harus menyukainya atau melakukannya karena kamu tahu alasan kebaikan hal tersebut.


Dan ternyata ... hal itu juga merupakan ajaran agama Islam. Tentu saja orang tua saya yang nggak bisa baca Alif Ba Ta itu nggak tahu tentang konsep 'Imma'ah'. See? Seorang muslim itu harus punya prinsip, harus punya landasan mengapa dia melakukan sesuatu. Kalau bahasa kerennya, harus tahu ilmunya. 


Dari Abdurrahman bin Yazid, diriwayatkan bahwa ia menceritakan, "Abdullah berkata

'Janganlah kamu sekalian menjadi imma'ah.' Orang-orang yang hadir bersama beliau bertanya, 'Apakah arti imma'ah itu?' Beliau menjawab, 'Yaitu sikap orang yang menyatakan, 'Saya ikut dengan kebanyakan mereka, baik dalam hal yang ada petunjuknya atau pun dalam hal yang tidak ada petunjuknya (kesesatan).' Ingatlah, hendaknya masing-masing diantara kamu menguatkan dirinya, yakni bila orang banyak itu kufur, maka engkau tidak ikut kufur."


Coba pikirkan lagi nasihat di atas. Kalau ikut-ikutan maksiat wajar lah nggak boleh. Tapi nasihat itu juga menyebutkan bahwa kita nggak boleh ikut-ikutan berbuat kebaikan. Intinya, jangan ikut-ikutan kalau melakukan sesuatu. Harus ada alasan pribadinya. Harus tahu kenapanya. Dan hal ini yang saya lihat tidak dimiliki orang-orang, alasan untuk setiap gerakannya. Apa akibatnya?


Orang yang nggak punya alasan untuk tindakannya pasti akan lemah pendiriannya. Hari ini suka A, bulan depan suka B. Sekarang beli C, besok belanja D. Hanya karena melihat orang-orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Maka penting sekali kita mengenali standar pribadi. Kalau dalam hal selera hiburan misalnya, jenis musik seperti apa yang disukai? Genre film seperti apa yang menurutmu seru? Sarana hiburan apa yang membuat kamu paling bersemangat? Sehingga ketika kamu akhirnya membelanjakan uang untuk hal-hal tersier tersebut, kamu benar-benar berakhir bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dan memuaskan seleramu. Kalau cuma ikut-ikutan, yang ada malah cuma pemborosan karena dirimu yang sesungguhnya bisa jadi nggak mendapatkan haknya karena kamu kasih sesuatu yang bukan kebutuhannya./

If I wasn't a writer, I'd probably be....; 17 Desember 2019

Selasa, 16 Mei 2023

Image by Pexels from Pixabay 

Assalammualaikum Ladies, 


I've been thinking a lot lately about what I'll do if we ever close, or have to close, AA. I think it's due largely to the fact that some of the people around me have told me that they are either quitting their jobs, changing their roles, or even closing the 16-year old business that they've come to love and cherish. And it affected me because whether we like it or not, we as a society have been led into thinking that what we do as a profession contributes a big part to our identity, and I relate to that because a huge part of what makes me Aida, is this work that I do.


One of the ladies on our AA Plus Community shared something super interesting in our Live Hangouts just last weekend. She said, "if you were to remove your job, and your family and friends, what are you left with? Who are you, outside these titles?" And that stumped me because I've always associated myself with my work; when someone asks me, "So Aida, tell me about yourself", the first thing I'll always say, sometimes shyly, sometimes with pride, "Oh! I'm a writer!" 


So after days of trying to figure out what would I actually do if I cannot write for a living, the first thing that came to my mind was, "I'll clean."


I had a little laugh by myself about my answer, but after giving it a few deep thoughts about it, I realised that the act of cleaning, is not just merely dusting or rubbing off stains in a physical space, it's an act that, when done sincerely, have always led me back to Him. 


I have always loved to clean. The first order of the day before I even sit down to start work will always be to wipe my desk and arrange my books and my accessories. I tell myself, "if you want to do honourable work, honour your working environment." When I'm particularly stressed about something, I'll clean. I'll sweep the floors of my home, I'll clean my windows, I'll wash dishes - and when I clean, I think. I process my thoughts. When I'm pressed for time and I have to choose between working out and cleaning, I'll clean, because I 100% believe cleaning is also another form of cardio lol. I'll also volunteer to clean my closest friends' rooms, because I love to see how happy they are when they walk into a neat and orderly home.


Basically, I'm useless in the kitchen, but I'm your girl when it comes to cleaning up. 


And I've never questioned this love for cleaning or even gave it more than a second thought, but here I am, writing a Love Letter about it to you guys! And I think He has pulled me to do so because He wants me to understand what a blessing it is to be able to clean, as Rasulullah SAW said in a Hadith, "Cleanliness is half of faith (Iman)". (Muslim)


Think about this: before performing our Solah, we have to clean ourselves by doing Wudhu. And this act of cleansing ourselves have so much meaning and significance, if only we reflect. Allah wants us to meet Him in a purified state, and it is also Wudhu that will allow Rasulullah SAW to recognise us in the Day of Judgement because we will radiate light as an effect of our Wudhu. Rasulullah SAW said, "On the Day of Judgment, Allah (swt) will resurrect my nation among other nations while their faces are white and they are bright and this merit is one of the effects of their wudu". Now, this is what I call a real, literal, legit, "glow up" guys, and I pray that we will all have that radiance on that day, Amin. 


Whenever I clean, I always feel like it's a spiritual exercise: as I put things back to its proper place, I realised this is teaching me Adab because Dr. Syed Muhammad al Naquib bin Ali al-Attas defined a person of Adab as she who acts "with justice to ensure that everything is in its right and proper place." It is not the right Adab to have our prayer mat thrown to the corner of a room, or our Quran at the back of a shelf, collecting dust. When I sweep my floor, I imagine myself stripping myself off my worldly attachments. When my home is in order, my heart is less cluttered. Plus there are no words to describe the feeling of smelling freshly dried laundry and plonking yourself on clean fluffy sheets after a long day of work. 


And here's the thing, guys... I think we should all be cleaners. Because someone who cleans is not just someone who polishes windows and tidies up the room, but the one who cleans is she who values herself enough to always want to be in a state of purity and cleanliness - a state that Allah loves. She who cleans is someone who not only remove grimes and stains, but she also strives to wash away anger, ill-thoughts and judgements off of her heart. 


But most importantly, here's the #1 lesson I've learned from cleaning: nothing starts out dirty or becomes rubbish. It's our lack of care, attention and gratitude that has allowed something that used to be so precious to turn into waste. And that could easily be our hearts, our relationships, and of course, our homes, if we do not conscientiously "clean".


-


So yes, I guess if I no longer can write for a living, I'll clean. And I'll keep on cleaning till I can write again because I'm sure the only reason why I won't be able to write is because I've allowed my heart to accumulate dust of insincerity, stains of sins, and blotches of arrogance. 


I pray may we always be diligent "cleaners" so that it will allow us to meet our Lord in the most purified, and dignified state, Amin. 


-


Love always,

A




Yang baru di Wira Garden

Minggu, 14 Mei 2023

Duduk aja di sini saya bisa tahan berjam-jam, asal sendirian

Jadi ceritanya kami itu tinggal di area yang dikelilingi tempat-tempat wisata. Setelah saya hitung, ternyata ada sekitar 9 tempat wisata di dekat rumah saya. Bahkan beberapa diantaranya bisa dijangkau hanya dengan berjalan kaki. Tapi yang sudah pernah saya kunjungi hanya 1 ini; Wira Garden. Itu pun karena sering sekali acara-acara besar sekolah atau lembaga lain yang saya ikuti diadakan di sini. Jadi kebayang kan betapa introvertnya saya?! 😁

Nah, kemarin itu sekolahnya Qia yang kebagian bikin acara di sana. Awalnya saya dan suami sudah membujuk Qia supaya nggak usah ikut, karena pasti crowded banget nantinya. Bayangin, semua siswa plus keluarganya tumplek blek jadi satu di sana. Mungkin ada sekitar 600an manusia yang hadir. Mikirinnya aja sudah bikin saya pusing. Tapi ternyata anaknya ingin sekali ikut, jadi akhirnya kami berangkat juga.

Hanya sekitar 10 menit perjalanan dengan mobil, begitu sampai gerbang antrian panjang sudah mengular tapi Alhamdulillah kami bisa nyelip masuk dengan mudah dan dapat spot parkir yang dekat gerbang. Kami langsung menuju lokasi acara dilaksanakan, dan jujur begitu melihat kerumunan orang-orang itu saya langsung mules. Tapi demi anak ya, kan?! Dapet deh kami tempat duduk ternyaman deket sungai.

Sepanjang acara mata saya nggak bisa lepas dari deretan tenda glamping di seberang sungai. Dan petugas kebersihan yang lalu lalang ke sana ke mari. Salut sih sama pengelola Wira Garden karena kondisi sekarang sudah beda jauh dengan setahun lalu. Walaupun kondisi kamar mandinya tetap gelap dan pintunya menyedihkan, tapi bersih dan air selalu mengalir lancar. Mudah-mudahan nanti diperbaiki lagi. Dan kemarin saya juga sempat melihat ada pembangunan kamar mandi deket area glamping kedua yang sepertinya sudah 50% progressnya.

Pas kemarin itu kebetulan yang disewa ada 3 tenda. Jadi saya sempet ngintip-ngintip isinya. Tapi nggak berani ambil gambar, nanti dikira paparazi kan?! Jadi saya cuma berani motret area sekitarnya aja, buat dipamerin ke teman-teman. 😋

Kayaknya muat sampai 4 orang

Dapet seperangkat tempat duduk-duduk, dispenser, kompor, panggangan

Are glamping kedua, lebih kecil tapi menurut saya lebih nyaman

Ini dulu cuma hamparan padang rumput, sekarang ada warungnya.


Sebelum warga PB1 menyerang


Pos Satpam glamping pertama

Qia pose depan kamar mandi eksklusif warga glamping

Kamar mandi buat yang glamping, isinya shower stand dan closet duduk. Nggak perlu tahu modelnya kayak apa kan?!

Area sekitar tenda selalu bersih karena petugas kebersihannya nggak pernah jauh-jauh

Pemandangan depan glamping pertama

Nggak tiap tenda ada beginiannya, cuma 1 ini aja

Penyerangan dimulai

Foto diambil dari tempat saya duduk

Why I'm Jealous of My Husband; 10 Desember 2019

Kamis, 11 Mei 2023

Image by Tú Anh from Pixabay 

Assalamu'alaikum Ladies,


Today's love letter will be dedicated to my husband, because... well, lately, he's been teaching me a lot of things without him even knowing. And I guess the saying, "you are the average of the 5 people you spend your most time with" is true, as K is the #1 person I hang out with, and he is the biggest influence in my life, whether I like it or not.


Being married to this man has been the biggest catalyst for me to be brave enaough to pursue my purpose, to write, and to serve this awesome Sisterhood that you ladies are in. This quiet, shy man has also been my teacher on many important life lessons, one of which just so happened to be "taught" in our bathroom over the weekend.


So what happened was, K was about to shave his moustache LOL and I jokingly said, "Why are you shaving your moustache? Keep it, I like it!" and without missing a beat he said, "Then you grow one yourself if you like it."


LOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOOL


I was half-speechless, and half tearing up because I obviously did not expect that from K, and as I tried to oregain my composure to think of a come back, K proceeded to shave his moustache.


I haven't realised it then, but after reflecting on this incident for days (it didn't want to leave my mind 😂), I finally figured out that there's a huge lesson to be learnt from how K replied to my teasing: that because he is so comfortable and firmly rooted in his relationship with himself, he has been unperturbed with other people's false opinions about him and / or their judgements on what he should or should not be doing.


So in the case of me teasing him to "grow his moustache, because I like it" (which for the record, I don't btw), he wasn't the slightest bit swayed by this reasoning because he knows for himself that he doesn't like it on him. He stood by his beliefs.


And this is exactly how I've seen him carry himself firmly throughout our 6+ years of marriage -he has never let anyone's views to influence, affect or distract him from things that he strongly believes in: like his principles, his purpose in life, and his personal matters. When everyone said we should just work normal jobs with our degrees and stop doing this business, he reminded me of our purpose in this world, and cheered me to not give up. Whenever people suggest "quick money-making schemes" for our business or ways to be "more famous", he will just smile and thank them, but in the privacy of our own home would remind me, "never forget our values and principles, Aida. Don't be tempted with these distractions."


This ... is why I envy him. Because he is solid with himself. He keeps his head down, works hard on his own things, and minds his own business. He doesn't worry about competition, he doesn't listen to the gossip-mongers, and he focuses on getting what he wants because it's he himself who wants those things, not because it's what society expects him to want.


Ma Sha Allah.


Another reason why he's always so.... calm, and at peace is because his utmost concern is always just between him and God. Whenever I'm worried about my work, if anyone will like our Classes / Videos / Love Letters - he'll always point out to me to "just do your work for Him. It's always between you and Allah first, and if you focus on that, the rest will follow, In Sha Allah."


Just a few days ago, when a list was given to us of ladies who bought our previous classes on instalment basis but have gone MIA, K again answered, "it's between them and God. We just continue working hard."


Again.... that was another lesson for me. That if someone were to do wrong on us, then trust that Allah is all-Just. We just worry about doing what's right, and what's pleasing to Him, as Allah will always reward us for doing the right things, and He will also be fair in His reckoning.


K also taught me that our primary relationship to take care of should always be between our own selves and Allah. If our priority is to always please Him, to do good for Him, to not be in the way of anyone, to not concern us, then In Sha Allah we will live a very, very peaceful life as our conscience is always clear, and our hearts are always calm.


Come to think about it, K has never panicked in his life, (and then you have me who stresses about a million and one things 😂) and I am eternally grateful that I am able to learn so many things from him, but especially this particular trait of being firm with my principles, to always busy myself with strengthening my relationship with Him, and to mind my own business, which is also one of the most important Sunnahs of Rasulullah SAW as Abu Hurayrah RA narrated that the Messenger of Allah SAW said, "A sign of one's excellence in his Islam, is leaving that which does not concern him." [Ahmad, Malik & At-Tirmidhi]

-

Before I end today's letter, I just want to say that before any of you start saying I am biased, I will be the first to tell you that I am absolutely aware of K's flaws and weaknesses. But I myself have a long list of mw own, and today... I'd just like to be grateful for the good, and to tell him "thank you". <3

-

I pray that may we all lead more peaceful, calmer lives - one that is only focused on pleasing our Creator, and not His creations.


Love and prayers always,

A



Dadakan ke Padang

Kamis, 04 Mei 2023


Sabtu, 22 April 2023 kami sekeluarga memutuskan untuk pulang ke kampung suami terlebih dahulu sebelum mengunjungi Ibu saya. Rencananya kami hanya akan menginap satu malam di rumah kakak ipar, pulang ke Bandar Lampung, dan ke rumah Mamak esok harinya lagi. Simpel. Karena sudah tidak ada mertua, kami berpikir tidak perlu berlama-lama di kampung halaman. Asalkan semua saudara sudah dikunjungi, paling baik ya kembali pulang ke rumah. Nggak enak juga kalau mau merepotkan kakak ipar terlalu lama. Jadi, pagi-pagi saya hanya mengepak 3 stel pakaian untuk masing-masing saya dan anak-anak.

Dan yang terjadi berikutnya persis seperti judul tulisan ini. Tiba-tiba kami malah berangkat ke Padang. Gara-gara malam Ahadny kakak ipar kami mendadak nyeletuk, "Nif, ke Padang yuk." Segampang mengucapkan satu baris kalimat itu, segampang itu juga suami saya mengiyakan. Jadilah kami 2 keluarga, 9 orang, berangkat ke Padang naik Innova milik kakak ipar. Perjalanan yang normalnya butuh 22-24 jam kalau menumpang sopir jadi butuh 2 hari 1 malam karena kami berjalan santai dipotong numpang tidur di masjid malam harinya.

Bagi saya ini adalah pertama kalinya ke Padang walaupun saya menghabiskan hampir separuh hidup bersama orang-orang Padang. Kebetulan di masa lalu, setiap kali diajak ke Padang saya selalu tidak bisa. Ternyata takdir ke Padang bareng suami 😅 . Dan karena berangkatnya dadakan tanpa persiapan, perjalanan ini malah kurang menyenangkan buat saya.

Saya adalah orang yang selalu berusaha well prepared untuk apapun. Berlawanan dengan suami dan keluarganya yang serba spontan. Jadi ketika diputuskan akan berangkat ke Padang, saya sempat mendiamkan suami saya malam itu 😆. Saya hanya bawa 3 stel pakaian yang sebenarnya itu sudah lebih dari cukup karena kami berencana hanya menginap satu malam dan kembali paginya. Tapi ke Padang, setidaknya kami akan menghabiskan 7 hari -di perjalanan dan di Padang-. Itu artinya kami harus beli baju baru, bukan hanya untuk saya tapi kami sekeluarga. Pulang ke Bandar Lampung 'hanya' untuk ambil baju akan terlalu banyak membuang waktu dan tenaga. Jadi saya serahkan urusan kebutuhan sandang selama ke Padang kepada suami saya. "Pokoknya beliin baju baru, jangan ganggu duitku." Demikian ultimatum saya.


Saya kemudian berpikir untuk mengambil beberapa gambar selama perjalanan untuk mengobati kekesalan. Tapi ternyata harus kecewa lagi karena foto-foto yang saya dapatkan tidak terlalu memuaskan. Bahkan bisa dibilang buruk.  Begitu keluar dari jalan tol, kami memasuki daerah Indralaya, Sumatera Selatan dan... sepanjang jalan saya terus beristighfar melihat sampah bertumpuk di pinggir jalan. Setiap kali saya mengambil foto, selalu saya hapus lagi karena pasti ada tumpukan sampah nyelip di pinggiran gambar.

Sampai Jambi, ternyata kesan tidak menyenangkan ini tetap tidak berubah. Entah karena memang suasana hati saya sudah tidak nyaman sejak awal atau memang seperti itu, tapi saya merasa tiap tempat yang kami singgahi sama sekali tidak menyenangkan. Dari rest area, pom bensin sampai masjidnya tidak ada satupun yang nyaman untuk disinggahi.

Di Padang, Alhamdulillah saudara suami saya tinggal di Bukittinggi yang dingin dan sejuk. Walaupun Qia dan Aqsha sakit selama di sana, tapi justru itu jadi alasan untuk saya istirahat di rumah saudara. Nggak perlu keliling, saudara yang mengunjungi kami. Bisa dibilang saya punya waktu untuk menyegarkan pikiran, dan mengunjungi Jam Gadang sebentar yang tentu saja penuh dengan lautan manusia 😂.


Saya pikir, setelah beberapa hari di Padang pikiran saya akan jadi lebih cerah dan bisa melihat dunia dengan lebih indah. Tapi ternyata pengalaman perjalanan saya tetap tidak berubah, padahal kami sengaja memilih jalan yang sedikit beda dengan waktu berangkat. Sampai akhirnya ketika mampir di masjid yang gambarnya saya ambil di atas ini, saya sempatkan untuk menyampaikan uneg-uneg kepada suami.


"Perasaanku aja atau memang jalanan yang kita lewati rasanya kotor terus ya?"


"Memang kotor."


Lega banget rasanya perasaan saya dikonfirmasi sama suami. Bahkan dia menambahkan, "Dari sekian banyak pom bensin yang kita singgahi cuma 1 yang kamar mandinya nyaman." 


"Dan semua pom bensin yang kita singgahi bahkan cuma dilihat dari depan aja rasanya udah nggak bersih. Masjid ini aja, tadinya kupikir bakal kayak Masjid Taqwa Metro. Tapi ternyata kamar mandinya, Subhanallah..."


"Kamar mandi laki-lakinya mending sih,"


"Oh,..." Saya bersyukur dalam hati. Setidaknya ada hal bagus yang dirasakan suami saya, walaupun saya nggak bisa ngerasain.


Mungkin kalau ada yang baca tulisan ini akan berpikir serajin dan sebersih apa saya sampai mengeluhkan sampah dan kejorokan tempat umum selama perjalanan ke Padang 😁. Well, saya aslinya juga nggak rajin-rajin amat kok orangnya. Suami saya yang orangnya rajin. Saya cuma mau menyampaikan apa yang saya rasakan selama perjalanan. Dan kebetulan itu yang saya rasakan. Jadi, mau bagaimana lagi?


Dan untuk perbandingan, saya sudah beberapa kali ke Jawa. Sejak masih kecil sampai terakhir adalah tahun lalu. Sementara di Sumatera, selain Lampung daerah yang pernah saya kunjungi ya cuma kota Palembang. Jadi, ketika melakukan perjalanan ke Padang, mau nggak mau saya otomatis membandingkan pengalaman tersebut dengan perjalanan yang pernah saya tempuh ke Jawa. Sayang sekali rasanya melihat jalanan yang dipenuhi sampah plastik berserakan bahkan sampai bertumpuk seperti itu.


***


Satu yang saya syukuri dari perjalanan ini, meskipun nggak nyaman di jalan tapi suasana di Bukittinggi benar-benar nyaman. Walapun saya nggak suka masakan Padang, tapi Alhamdulillah masih bisa nemu sayuran di sana. Dan lagi, kami nggak perlu keluar biaya selama perjalanan. Punya suami bungsu memang benar-benar banyak menangnya 😂.

Tegang dari awal sampai akhir, tapi 2 episode mubazir || Review The Last of Us

Sabtu, 22 April 2023

 


After a global pandemic destroys civilization, a hardened survivor takes charge of a 14-year-old girl who may be humanity’s last hope.

Pedro Pascal (The Mandalorian, Wonder Woman 1984) and Bella Ramsey (HBO’s His Dark Materials and Game of Thrones) star as Joel and Ellie. Gabriel Luna (True Detectiveas Joel’s younger brother and former soldier, Tommy; Merle Dandridge (The Last of Us video games, The Flight Attendant) as resistance leader Marlene; and Anna Torv (Fringe) as Tess, a smuggler and fellow hardened survivor.

The series guest stars Nico Parker (The Third Day) as Sarah, Joel’s 14-year old daughter; Murray Bartlett (The White Lotus) and Nick Offerman (Parks and Recreation) as Frank and Bill, two post-pandemic survivalists living alone in their own isolated town; Storm Reid (Euphoria) as Riley, an orphan in Boston; and Jeffrey Pierce (The Last of Us video games) as Perry, a rebel in a quarantine zone. Lamar Johnson guest stars as Henry and Keivonn Woodard as Sam, brothers in Kansas City hiding from a revolutionary movement seeking vengeance. Graham Greene guest stars as Marlon and Elaine Miles as Florence, a married couple surviving alone in the wilderness of post-apocalyptic Wyoming. 

Written and executive produced by Craig Mazin (HBO’s Chernobyl) and Neil Druckmann, of The Last of Us and Uncharted video game franchises.

Carolyn Strauss (HBO’s Chernobyl and Game of Thrones) serves as executive producer, along with Evan Wells from the original game’s developer, Naughty Dog, and PlayStation Productions’ Asad Qizilbash and Carter Swan.


Liburan kali ini sepertinya saya akan banyak mengulas film atau serial-serial dari HBO, gara-gara suami pingin nonton Batman pekan lalu. Sayang kan, sudah langganan kalau tidak dioptimalkan?! Dan untuk ulasan pertama saya memilih menonton serial The Last of Us. Mengapa? Tentu saja karena saya melihat kehebohannya di sosial media.

WARNING: Review ini mengandung spoiler!

The Last of Us mengisahkan tentang seorang pria bernama Joel dan seorang gadis remaja 14 tahun bernama Ellie dalam upayanya untuk bertahan hidup di dunia pasca pandemi yang penuh dengan zombie dan kelompok-kelompok manusia berbahaya.

Cerita dimulai pada tahun 2013, ketika sebuah wabah yang disebut "Cordyceps Brain Infection" menyebar ke seluruh dunia dan mengubah manusia menjadi zombie yang agresif dan mematikan. Joel kehilangan putrinya dalam kekacauan itu dan menjadi seorang penyelundup yang melakukan berbagai tindakan ilegal untuk bertahan hidup di kota karantina yang dijaga ketat.

Pada suatu hari, Joel bertemu dengan Marlene, seorang pemimpin kelompok gerilyawan yang meminta Joel untuk membawa Ellie keluar dari kota. Ellie diketahui memiliki kekebalan terhadap virus tersebut sehingga dia adalah kunci untuk menemukan obat yang dapat menyelamatkan umat manusia dari kepunahan. Joel awalnya enggan menerima tawaran tersebut, tetapi kemudian setuju untuk membawa Ellie keluar dari kota.

Joel dan Ellie kemudian melakukan perjalanan melintasi Amerika Serikat yang penuh dengan bahaya dan tantangan. Mereka bertemu dengan berbagai kelompok manusia yang berjuang untuk bertahan hidup, termasuk kelompok penjarah yang sangat kejam dan kelompok militer yang otoriter.

Selama perjalanan, Joel dan Ellie semakin dekat dan membentuk ikatan batin yang kuat. Mereka juga mengalami banyak pengalaman pahit, termasuk ketika Joel terluka parah dan Ellie harus menjaga dan merawatnya.

My thoughts after watching it? Mixed, of course.
Pertama-tama, film tentang zombie-zombiean begini sama sekali bukan favorit saya. Biasanya saya nggak akan pernah tertarik untuk menonton film bergenre semacam ini. Satu-satunya alasan saya nonton The Last of Us hanyalah scene Christine Hakim yang katanya keren banget. Dan sejujurnya setelah saya nonton, menurut saya biasa aja kok. I mean, she is amazing and what she does in the film is what she usually does. Jadi kayak aneh aja kalau orang Indonesia kelihatan heboh ketika nonton akting Christine Hakim yang hebat. Tapi dengar-dengar katanya aktingnya dipuji sama kritikus film luar negeri? Itu saya nggak tahu. Yang saya tahu adalah dia memang hebat, dan ini bukan kali pertama dia bergabung dalam proyek pembuatan film luar negeri kan?

Adegannya sendiri ternyata hanyalah tambahan di episode 2. Awalnya saya pikir, Christine Hakim benar-benar punya peran di serial ini. By the way, saya juga nggak punya latar belakang pengetahuan tentang game The Last of Us. Jadi pendapat saya pure hanya tentang serialnya. OK? Ketika adegan Jakarta selesai, saya pikir "apakah adegan ini benar-benar diperlukan?" and guess what? Ternyata pertanyaan itu berlanjut ke episode 3.

is it necessary to include lgbtq+ representation in every film?

Saya gemes banget setelah nonton episode 3, karena menurut saya tokoh Frank dan Bill nggak perlu sampai punya episode khusus seperti itu. Yes kehadiran mereka memang penting, tapi apakah latar belakang karakter mereka sampai harus diexplore sejauh itu? Menurut saya tidak. Saya nggak peduli mereka mau gay, atau kesepian seumur hidup, yang saya mau tahu adalah peran mereka membantu perjalanan Joel dan Ellie. Cukup sampai di situ, saya nggak perlu membuang-buang waktu 50an menit menonton kisah cinta aneh 2 laki-laki ini.

Dan ternyata tidak cukup sampai di situ saudara-saudara. Ellie pun ternyata harus jadi anak lesbian. Di episode 7 muncullah tokoh Riley yang merupakan sahabat terdekat Ellie sekaligus orang pertama yang dibunuhnya gara-gara mereka diserang zombie.


Karena sudah berpengalaman dengan episode 3, saya banyak skip episode ini sampai bagian akhir dimana mereka diserang zombie. Biar nggak mubazir waktu saya. 😂 However, keberadaan dua kisah cinta aneh ini banyak dipuji media luar negeri. Jadi mungkin wajar saja kalau sekarang setiap film selalu memasukkan unsur cerita model begituan. 

Saya banyak membaca komentar-komentar para warga konservatif Amerika yang juga sudah mulai terganggu dengan hal-hal ini. Bahkan kata seorang teman, di drama korea pun sekarang sudah mulai memasukkan unsur-unsur queer di dalamnya walaupun lebih soft dan 'santai'. Saya sendiri juga sekarang jadi lebih hati-hati memilih film untuk anak-anak karena khawatir dengan hal itu. Dan untuk The Last of Us, menurut saya tambahan kisah cinta ini benar-benar tidak perlu sampai sejauh itu. Banyak karakter-karakter penting lain yang cukup saya pahami latar belakangnya hanya dengan beberapa menit flash back. Nggak perlu sampai 1 episode penuh.

Smart characters, but stupid decisions

Hal lain yang agak mengganggu saya adalah endingnya. Joel yang grumpy dan dingin kan ceritanya berakhir sayang sama Ellie. Saking sayangnya sampai-sampai sudah dianggapnya seperti anak sendiri. Wajar karena mereka sudah menghabiskan waktu bersama berbulan-bulan, bahkan mungkin setahun. Ketika akhirnya mereka berhasil bertemu dengan Marlene, disitulah kebingungan saya dimulai. Bagaimana mungkin, karakter-karakter hebat ini malah membuat keputusan bodoh hanya karena asumsi. Like,... how?

Jadi, ketika Joel dan Ellie sampai di markas Firefly mereka dilumpuhkan oleh penjaga karena para penjaga nggak mengenali mereka. Joel dan Ellie pingsan lalu dirawat di ruang berbeda. Joel, ketika sadar dan bertemu dengan Marlene tentu saja langsung bertanya tentang keberadaan Ellie. Dan Marlene, dengan tenang berusaha menjelaskan bahwa Ellie harus dioperasi demi mencari di mana mereka bisa menemukan obat untuk virus jamur ini. Masalahnya adalah, jamur ini tumbuh di otak dan kalau Ellie dioperasi maka kemungkinan dia bertahan hidup tentu sangat kecil atau bahkan mungkin dia harus mati. 

Tentu saja Joel nggak mau kehilangan anak lagi, kan?! Dia pun marah dan ingin menghentikan operasi itu. Tapi dilarang Marlene, dengan alasan bahwa dia sangat mengerti bagaimana perasaan Joel. FYI Marlene adalah orang yang dipercaya ibu Ellie untuk merawatnya. So basically, Marlene adalah ibunya Ellie. Tapi tampaknya keputusan logis tetap harus dilakukan, dan menurut saya Marlene sama sekali tidak mengambil keputusan logis. Karena ternyata dia memutuskan untuk mengoperasi Ellie tanpa memberitahukan Ellie bahwa bagian yang akan dioperasi adalah otaknya. Dia menduga Ellie pasti akan setuju karena Ellie pasti ingin membuat keputusan yang benar, -menyelamatkan dunia-. 

Dan dengan pengetahuannya tentang kehebatan Joel, dia malah dengan entengnya nyuruh hanya 2 orang prajurit untuk mengusir Joel keluar dan memerintahkan untuk membunuhnya kalau dia melawan. Joel bisa bertahan hidup di luar sana berbulan-bulan, menghadapi segala macam jenis manusia dan zombie jagain orang lain dan Marlene tahu itu, dan dia cuma ngasih 2 prajurit untuk jagain Joel mode marah?! That is STUPID. Tentu saja Joel dengan mudah mengalahkan semua orang di gedung itu, termasuk Marlene. Semua mati. Ellie terselamatkan, tapi keputusan bodoh lain terjadi. Joel nggak jawab jujur ketika Ellie nanya tentang proses operasinya.

Pada bagian akhir ini, saya merasa orang-orang dewasa di sekitar Ellie benar-benar tidak menghargai dia sebagai manusia. Karena meskipun Ellie masih 14 tahun, mentally dia bukan anak kecil! Kalau dari awal Marlene ngajak Joel dan Ellie duduk bareng dan membicarakan tindakan yang perlu dilakukan mungkin saya nggak akan kesel. Setidaknya Ellie dan Joel berhak tahu. Biarkan Ellie membuat keputusan sendiri. It's her life! Kalau pada akhirnya dia menolak, maka setidaknya kita bisa membenarkan tindakan Joel membunuh orang sebanyak itu. Dan kalau dia bersedia, maka Joel nggak perlu membunuh. Atau mungkin Joel bisa nggak setuju karena nggak mau kehilangan Ellie, biarkan keributan terjadi. Tapi setidaknya, ngobrol aja dulu! Selalu bisa dibuat chaos kok, keputusan apapun yang akan mereka ambil. Tapi caranya itu lho... please....

Is it worth to watch?

Yes, absolutely yes. Serial ini keren. Keluhan-keluhan saya di atas sama sekali nggak mengurangi ketegangan dan intensitas yang ada di film. Plot ceritanya benar-benar rapi, karakter-karakter pendukungnya bagus untuk character development Joel dan Ellie. Teori saintifiknya juga bisa diterima sama orang awam macam saya. Adegan-adegan brutalnya juga cukup, nggak terlalu berlebihan tapi juga nggak nanggung. Definitely worth to watch.

Rating: 4/5  ⭐⭐⭐⭐

Yang teringat dari Ramadhan tahun ini

Kamis, 20 April 2023

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ 

Dengan nama Allah, yang Maha Pengasih, Maha Penyayang




Sesungguhnya nggak ada yang penting dari postingan kali ini. Hanya karena menurut saya unik dan mungkin suatu saat akan ada manfaatnya, jadi saya akan abadikan di sini.

Jadi ceritanya, pada sebuah acara buka bersama yang rutin diadakan tiap Ramadhan oleh sekolah kami terjadilah sebuah obrolan santai para ibu. Lalu sampailah kami pada pembahasan lailatul qadr. Masing-masing mengutarakan dugaan kapan terjadinya, karena kami memang sudah memasuki hari-hari terakhir Ramadhan. Hingga salah seorang ada yang nyeletuk, "nggak ada yang tahu kapan malam ganjil, kalau ternyata Ramadhannya cuma 29 hari berarti yang kita sangka malam ganjil kan berarti malam genap?" 

Seumur hidup, belum pernah saya dengar pernyataan semacam itu dari siapapun. Dan yang bikin makin lucu adalah si ibu sangat percaya diri dengan pernyataannya, bahkan ketika ibu lain berusaha sekuat tenaga untuk mengoreksinya. "ya lihat aja nanti nih misalnya ya bu, lebarannya hari Jumat tuh... Kan berarti 10 malam terakhirnya udah dari 3 hari yang lalu. Jadi sekarang hari ganjilnya."

Sejujurnya saya sudah ingin tertawa ketika menyimak obrolan aneh itu. Tapi saya tahan karena lagi puasa. Saya tahu ketawa saya nanti akan terdengar sangat menyakitkan. 😅 Jadi daripada cari masalah, saya memilih untuk melerai obrolan itu dengan makanan yang datang.

Masalah diantara si ibu udah selesai, tapi sekarang malah di saya. Sampai malam takbiran ini masih kepikiran. Kok bisa ada orang yang ngitung malam ganjil Ramadhan berdasarkan tanggal 1 Syawalnya?! Yaaaa.... sebenarnya saya punya dugaan, mungkin karena dia menganggap 10 hari terakhir itu dihitung dari Syawal (yang memang harus begitu) lalu dia berkesimpulan kalau hari ganjil/genapnya juga dihitung dari Syawal. 😌

Nah, kejadian kedua yang bikin saya semangat bikin tulisan hari ini. Yang terjadi baruuuu saja, tadi siang. Ketika saya dan suami ribut bahas 1 Syawal. FYI, saya adalah warga Nahdhiyin tulen yang bahkan sempat nyantri di pondok pesantren tradisional. Sementara suami saya adalah anak ulama Muhammadiyah. Jadi sudah bukan hal baru kalau kami berbeda hari puasa dan idul fitri selama ini. Tapi masalahnya sekarang adalah, anak kami mulai besar dan pasti akan menanyakan kalau orang tuanya lebaran beda hari. Maka kami memutuskan untuk kompromi, tapi ternyata susah juga karena masing-masing nggak mau ngalah. Hingga akhirnya suami saya bilang, "ya udah lho kamu lebaran Sabtu nggak pa-pa, yang penting Jumat ikut sholat." And I was like, "What????"

"Kalau saya ikut sholat hari Jumat artinya saya lebaran hari Jumat, Bapaaaak. Artinya saya nggak boleh puasa hari Jumat ituuuu, haraaaaaam."

Entahlah, orang-orang sekarang kok lucu-lucu ya? Mungkin mulai pada males mikir, yang penting ngomong.😝 Dan sampai malam ini suami saya masih belum paham sama omongannya sendiri. Duh,

Untungnya, pondok pesantren alumni saya tahun ini berbeda dengan pemerintah. Entah kenapa tadi sudah mengumumkan untuk lebaran besok. Jadi saya agak lega, nggak nurut pemerintah nurut guru saja.

10 tahun kemudian

Kamis, 06 April 2023

 


10 tahun yang lalu, tepatnya tanggal 2 April 2013 saya membuat sebuah tulisan cukup panjang tentang gambaran kehidupan yang saya cita-citakan di usia saat ini. Ketika membaca ulang, saya merasa bersyukur bahwa blog lama itu tidak saya hapus. Saya jadi bisa refleksi sambil introspeksi dari kesalahan-kesalahan yang pernah saya lakukan, sekaligus menertawakan kenaifan anak muda berusia 20-an itu. Sungguh, membaca tulisan itu membuat saya sadar bahwa mimpi-mimpi yang saya tuliskan itu benar-benar sebuah harapan kosong yang langsung terlupakan segera setelah dituliskan. Dan sekali lagi saya bersyukur tidak menghapusnya, karena pada tahun 2017 kalau tidak salah saya baru disadarkan kembali tentang cita-cita itu lalu mulai berusaha membangunnya sedikit demi sedikit.


Lalu, 10 tahun kemudian apa yang terjadi?


Nothing, 😂. Well, actually so much happened in the last 10 years in my life. So, saya akan coba mengurai semua kekacauan ini dalam sebuah tulisan yang mudah-mudahan cukup mudah untuk dicerna.


Pada dasarnya, cita-cita saya cukup --cukup buat saya-- sederhana. Saya hanya ingin jadi ibu rumah tangga. Tinggal di rumah yang sederhana, dan punya 4 anak di usia ini. Yang terakhir ini, saya menyerah 😑. Faktanya, Alhamdulillah kami sudah punya rumah walaupun belum ditinggali. Dan malah mengontrak rumah yang jauh lebih baik dari rumah milik kami sendiri. Saya gagal jadi ibu rumah tangga, tapi masih berusaha memperjuangkannya. Dan kami memutuskan untuk bertahan dengan 2 anak terlebih dahulu, karena ternyata memiliki anak membutuhkan energi yang sangat besar. Bukan hanya secara finansial, tanggung jawab menjadi orang tua ternyata tidak sesederhana yang kami pikirkan. Dengan banyaknya tantangan di zaman ini, kami belum yakin bisa membentengi anak-anak kami dengan sebaik-baik bekal. Jadi, Alhamdulillah Qia dan Aqsha sekarang tumbuh jadi anak baik dan pengertian kepada orang tuanya.


Selanjutnya, ternyata saya sama sekali tidak punya kemampuan untuk menjadi manager keluarga 😆. Bahkan kami berdua adalah sama-sama orang yang kacau hidupnya. Tapi tidak apa-apa, selama kami saling memahami InsyaAllah semua akan baik-baik saja. Hahaha.... Setidaknya cita-cita memiliki perpustakaan pribadi sudah terwujud dan mudah-mudahan bulan Juli nanti saya bisa melancarkan program baca buku intensif untuk bisa mewujudkan program saya mandiri dari rumah 💪.


Dan dengan keadaan saya 10 tahun belakangan ini, sejujurnya saya agak sanksi apakah bisa menularkan hobi membaca buku kepada anak-anak. Karena ternyata curiosity tidak bisa diwariskan. Qia jelas anak yang cerdas, tapi saya belum bisa mengajak dia menyukai buku. Sejauh ini saya baru bisa menunjukkan kepadanya bahwa ibunya suka membaca. Memberi teladan bahwa belajar sangat menyenangkan. Dan mudah-mudahan suatu saat dia mau mengambil buku-buku yang sudah saya belikan dan membacanya, lalu adiknya akan menirunya.


Menulis, membaca dan menghafal Al-Quran akan jadi proyek utama setelah saya resign nanti. Bahkan bukan hanya menulis Al-Quran, saya harus mengajarkan hal lain kepada mereka karena ternyata semua ilmu itu tidak bisa saya limpahkan kepada sekolah. Kadang-kadang saya heran, bagaimana bisa biaya sekolah sekarang sangat mahal tapi tidak bisa mengajarkan hal-hal penting mendasar secara tuntas kepada anak-anak kita? 


Tentang bisnis dari rumah atau membuka toko buku, saya sudah tidak menginginkannya lagi. Saya ingin fokus saja pada komunitas yang sudah saya bangun sejak 2021 dan berharap akan ada benefit yang saya dapatkan nanti. Tentang melanjutkan kuliah, saya pun masih ragu. Keinginan tentu saja masih ada, tapi apakah saya masih membutuhkannya? Karena saya sudah tidak ingin lagi menjadi dosen. Hanya saja, sekarang minat saya malah ingin belajar bahasa. Sejauh ini saya sudah mendapat banyak resource untuk belajar bahasa Arab, Jepang dan Mandarin. Mungkin suatu saat saya bisa menguasai bahasa-bahasa tersebut dan mendapatkan manfaatnya.


Yang terakhir, menjadi guru Al-Quran. Faktanya saya memang menjadi guru Al-Quran sejak lulus kuliah, tapi ternyata setelah 10 tahun menjalaninya saat ini saya sampai pada keputusan bahwa bekerja di sekolah bukanlah ide yang bagus untuk saya. Terlalu banyak kontradiksi yang saya rasakan dan akhirnya malah membuat saya banyak dosa kalau memaksakan diri untuk bertahan. Mungkin lain kali akan saya tuliskan juga tentang hal ini.


Jadi, 10 tahun kemudian... Seperti inilah hidup saya. Sedang berusaha membangun kehidupan yang lebih baik walaupun sulit. Saya punya deadline sampai bulan Juni untuk merencanakan masa depan, and I can't wait to pursuit my hapiness.

© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.