What I learnt from the revenge story
Rabu, 28 Juni 2023
Cakep banget ya, posternya?! |
Apakah The Glory terinspirasi oleh Monte Cristo?!
Pelajaran dari kisah pembalasan dendam The Glory dan Monte Cristo
Cakep banget ya, posternya?! |
Apakah The Glory terinspirasi oleh Monte Cristo?!
Pelajaran dari kisah pembalasan dendam The Glory dan Monte Cristo
Per tahun ajaran baru ini saya sudah tidak lagi mengajar di sekolah (lagi)✌️. Beberapa orang tua murid menanyakan alasan, dan Alhamdulillah saya punya alasan yang cukup baik untuk menjawabnya. Sesungguhnya perihal resign kerja ini sudah pernah saya tulis di blog saya yang sebelumnya. Tapi karena blognya sudah saya sembunyikan jadi saya tulis lagi di sini. Sekalian saya mau curhat maksimal 👀.
Sejak mulai mengajar mengaji di usia 16 tahun, saya sudah merasakan bahwa ini adalah pekerjaan yang tidak mudah. Konsep tentang "sumur itu didatangi, bukan mendatangi" yang sudah nancep mantep di hati membuat saya sulit menghadapi model-model murid yang pemalas. Hal itu yang akhirnya membuat saya nggak bertahan lama ngajar ngaji privat.
Tahun 2013 ketika akhirnya saya memutuskan mendaftar menjadi guru sekolah, sesungguhnya saya berpikir akan mengajar tahsin, saja. Tapi ternyata dunia sekolah sungguh berbeda. Yang tadinya saya pikir sekolah Islam eksklusif akan punya caranya sendiri dalam mendidik murid, pun ternyata hanya khayalan saja.
Ada target hafalan yang harus tercapai, sementara kompetensi anak tidak memadai. Pembiasaan ibadah hingga ke sunnah, tapi adab dan akhlak pribadinya sungguh memprihatinkan. Lebih miris lagi, ternyata gurunya pun tidak jauh berbeda. Dalam hal ini, tentu saja saya sedang membicarakan diri sendiri juga. Saya dulu sampai curhat juga tentang kecewanya saya kepada diri sendiri di blog.
Karena saya mengajar SMP, saya sangat terkejut ketika mengetahui bahwa anak-anak lulusan SD IT dengan hafalan rata-rata 1 sampai 2 juz masih belum benar bacaan Al-Qur'annya. Dulu, saya mengira bahwa anak-anak yang bisa menghafal juz 30 itu luar biasa. Tapi mendapati kenyataannya, saya justru sedih melihatnya. Lebih menyedihkan lagi, yang saya kira hal itu hanya terjadi di sekolah saya ternyata adalah fenomena hampir di sekian banyak sekolah Islam yang saya ketahui. Belum lagi pengelolaan yang sangat tidak profesional, membuat saya makin kecewa melihat bagaimana 'orang-orang soleh' ini seperti tidak ubahnya pejabat birokrasi berlabel yayasan dakwah.
Satu tahun bekerja di satu sekolah pada naungan yayasan tertentu, saya memilih pindah bekerja bersama suami di bawah naungan yayasan yang punya tempat khusus di hati saya. Selain karena memudahkan bekerja bersama suami, saya pikir pada hal-hal tertentu saya akan lebih mudah mendapatkan apresiasi jika mengutarakan pendapat karena saya tahu yayasan ini digerakkan dengan ruh dakwah.
Namun saya kembali kecewa. Harapan untuk menumbuhkan tradisi belajar ala salaf di lingkungan sekolah asrama ternyata tidak bisa diterima. Entah dari mana orang-orang itu mengambil teori pendidikan, tapi hampir kesemuanya justru hanyalah kebalikan dari konsep pendidikan Islam yang saya kenal.
Maka kemudian saya belajar kembali, mencari-cari referensi dunia pendidikan kekinian. Lalu saya menemukan, ternyata apa yang dipraktikkan sekolah-sekolah Islam kenamaan ini pun hanyalah sepenggal-sepenggal dari berbagai konsep yang sekarang pun mulai tenggelam di negara tempat konsep itu pertama kali dikenalkan. Setiap kali pelatihan membahas konsep-konsep itu, otak saya tidak berhenti teriak, "what the hell are they thinking? Ini konsep udah basiiii!!!"
Karena sadar kalau kerusakan ini sudah sistemik, saya bertahan dengan satu harapan; semoga ada satu atau dua orang anak yang mendapatkan inspirasi dari saya. Harapan itulah satu-satunya yang membuat saya tetap semangat mengulik kurikulum aqidah terbaik untuk dimodifikasi supaya cocok dengan model pengajaran sekolah. Harapan itu yang membuat saya rela membayar mahal untuk mendaftar Sekolah Adab bagi Guru beberapa tahun yang lalu. Harapan itu yang mendorong saya untuk terus belajar, agar tetap bisa catch up dengan teori-teori dan penemuan terbaru di dunia pendidikan. Sampai akhirnya saya merasa bahwa harapan itu tidak lagi layak saya perjuangkan.
Tahun 2017 saya memutuskan resign. Ada banyak hal yang melatarbelakangi keputusan itu, tapi yang paling utama adalah karena saya butuh menjaga kewarasan. Saya kehilangan banyak hal dengan mempertahankan satu harapan yang belum pasti terwujud. Sebagai guru Al-Quran saya malah merasa semakin jauh dengan Al-Quran ketika menjalani hari-hari selama mengajar. Kok bisa?! I don't know how to explain it.
Saya tetap mengajar, di tempat yang berbeda, sesuai keinginan saya sendiri. Dan saya juga kembali belajar. Bisa dibilang, masa-masa dimana saya menjadi ibu rumah tangga tanpa penghasilan itu sungguh membahagiakan. Secara finansial memang keluarga kami merasa kekurangan, tapi secara emosional saya merasa nyaman. Satu-satunya yang membuat tidak nyaman hanyalah kekhawatiran suami 😅.
Atas dasar kekhawatiran suami itulah saya menerima ketika tawaran mengajar datang lagi di tahun 2020. Saya masih bisa mengingat dengan jelas, saya pindah ke asrama tepat satu pekan sebelum kehadiran Covid-19 menghantui seluruh dunia. Saya kembali mengajar dengan paradigma baru; lakukan apa yang bisa dilakukan, jangan terlalu banyak berharap. Saya tahu itu bukanlah cara berpikir yang optimis, tapi itulah hal paling realistis yang bisa dilakukan supaya perjalanan kerja saya tetap lancar.
Sekolah online cukup banyak memberikan cerita, tapi saya tidak mau terlalu mempermasalahkan hal itu. Toh semua orang mengalami kesulitan yang sama, bahkan sebagian orang benar-benar menderita di masa-masa itu. Penyebab saya memutuskan untuk resign lagi justru paling besar adalah dari pemikiran internal saya sendiri.
Terlalu banyak kehilangan yang saya alami lagi setelah kembali mengajar, terutama sejak lokasi sekolah pindah. Secara emosional, finanasial bahkan spiritual. Yang terakhir ini sesungguhnya menjadi alasan paling utama. Sangat tidak masuk akal, menjadi guru Al-Quran tapi justru rasanya malah menambah dosa dari hari ke hari. Akan sangat banyak kalau mau diuraikan permasalahan yang saya rasakan selama menjadi guru, tapi mungkin perlu ruang tersendiri dan keberanian lebih untuk menuliskannya. Yang jelas, saya sudah mantapkan hati bahwa saya tidak perlu kembali menjadi guru di sekolah itu lagi terutama jika keadaannya masih saja seperti ini.
Saya warning dulu, bahwa saya cuma akan misuh-misuh di postingan kali ini. Jadi mohon kalau yang mudah baper silakan minggir. Dan untuk memulainya, saya akan katakan bahwa The Idol adalah film p*rn*!!!
Baiklah, mari kita mulai dengan alasan saya menontonnya. Pertama-tama karena saya sudah terlanjur langganan HBO sebulan ini, -kemungkinan bulan depan kita akan pindah ke Netflix- maka sudah pasti The Idol selalu nongol di beranda sebagai serial paling direkomendasikan. Alasan kedua tentu saja kehadiran Jennie Blackpink yang menarik begitu banyak perhatian manusia di dunia sampai-sampai cuplikan-cuplikan dia joget-joget itu lewat terus di beranda Instagram saya. Jujur saja, ketika melihat cuplikan-cuplikan itu saya nggak terlalu kaget karena kalau dibanding dengan member Blackpink yang lain, memang kelihatannya Jennie yang paling berani tampil sexy.
Dan sebagai tambahan lagi, saya sudah 33 tahun. Sejak menikah dan punya anak saya sudah berani ngintip film 21+, walaupun masih saya pilih-pilih juga tergantung bagaimana review orang-orang. Sejauh ini film 21+ yang saya tonton baru Red Sparrow. Game of Thrones saja baru pekan kemarin saya nonton episode satunya dan sempat bikin saya ngusir suami gara-gara terkaget-kaget sama scenes anehnya. Khusus The Idol, saya bilang itu bukan sekadar film 21+, it's literally p*rn yang harusnya cuma bisa diakses di website-website ilegal. Sepanjang nonton 2 episode serial itu nggak habis-habis saya mikir, "kok bego banget sih Jennie, mau-maunya main di film nggak mutu begitu?" se-nggak mutu itu sampai cuma dapet rating 26% di Rotten Tomatoes.
The Idol, menceritakan tentang seorang penyanyi pop Jocelyn (Lily-Rose Depp) yang lagi galau parah gara-gara ditinggal mati ibunya, setahun yang lalu. Mungkin karena sang Ibu adalah satu-satunya keluarga buat dia, bikin Jocelyn jadi kacau balau hidupnya. Selama setahun itu dia batalin konser dan nggak ada rilisan lagu.
Mau pakai pin juga nggak akan ngaruh, anak sekarang nonton beginian di Telegram 😒 |
Adegan pembuka, kita disuguhi mukanya Jocelyn yang lagi berpose buat pemotretan. Layar fokus penuh sama muka dia yang diminta ngasih bermacam-macam ekspresi. Karena saya nggak baca-baca sinopsis pas mau nonton serial ini, saya pikir dia tuh aktor gitu. Ternyata saya salah sangka. Ketika angle makin dijauhin mulailah keliatan si Jocelyn yang difoto itu hampir bugil. Hanya dalam beberapa detik, saya udah shock.
Cerita berlanjut dengan kehadiran orang-orang di sekitar Joceclyn. Mulai dari asisten, manajer, wartawan majalah, produser, pokoknya orang-orang yang paling berpengaruh dalam karirnya Jocelyn. Di situ ditunjukin mereka lagi ngeributin fotonya Jocelyn yang nggak senonoh yang nyebar di internet. Yang aneh adalah, mereka panik tapi nggak ada upaya buat nanganin masalah. Diusut kek siapa yang nyebar fotonya, bikin apa gitu. Jadi kepanikan yang mereka ributin di belakang Jocelyn kayak nggak ada artinya. Sepanjang episode, itu foto dibahas terus tapi gantung aja nggak ada juntrungannya.
Abis itu adegan nari yang nyebar ke mana-mana itu, tuh, yang ada Jennie-nya. Kayaknya sih di situ peran Jennie coba dimasukin ke plot cerita. Jocelyn keliatan cuma ngobrol sama Dyanne yang diperanin Jennie, nggak sama dancer yang lain. Dyanne digambarkan sebagai dancer yang paling berkompeten di kelompok itu. Lewat Dyanne juga nanti Jocelyn kenalan sama Tedros yang diperankan The Weeknd.
Setelah mikir agak lama, memang cuma itu inti dari episode 1. Sisanya cuma nunjukin Jocelyn bugil, sama adegan-adegan nggak jelas lainnya. Plotnya nggak jelas, penokohan karakter-karakternya juga nggak dipikirin, vibenya malah kayak film horor. Awalnya saya pikir akan ada eksplorasi tentang rahasia gelap dunia hiburan Hollywood yang sering dibicarakan orang-orang. Makanya saya lanjutin deh ke episode 2.
Akan tetapi saya kembali kecewa. Kalau di episode 1 isinya cewek-cewek hampir bugil, di episode 2 malah makin parah. Kalau ada orangtua yang membaca tulisan ini dan anak Anda adalah penggemar Blackpink, Anda harus khawatir. The Idol benar-benar cuma film p*rn*. Saking cabulnya sampai saya nggak nemu foto yang bisa ditempel di blog ini, amit-amit ya Allah.
Saya berharap di episode 2 bakal ada flashback atau cerita tentang peristiwa-peristiwa penting dalam hidup Jocelyn yang bikin dia sekacau itu. Setidaknya kalau di episode 1 nggak ada apa-apa, bisa lah dibangun pelan-pelan, ya kan?! Nyatanya malah dikasih cerita yang makin nggak nyambung. Semua informasi tentang Jocelyn dikisahkan lewat karakter-karakter lain yang justru bikin Jocelyn kehilangan daya tariknya sebagai tokoh utama.
Dan yang paling bikin geregetan adalah scene pengambilan video musik. Maksa banget! Jocelyn pake baju yang cuma tempelan doang, kelihatan nggak siap tapi semua maksa dia untuk tetap tampil. Karena ngulang nari berkali-kali, kakinya sampai berdarah, giliran udah oke penampilannya -ini yang diluar nalar- malah kameranya yang error. Ingin berkata kasar rasanya.
Di mana Jennie di episode 2? Cuma ngucapin beberapa kalimat. Lucu banget, sebuah film yang bercerita tentang seorang Idol, menampilkan salah satu idol paling berpengaruh di dunia, tapi cuma dipakai buat pajangan. Saya curiga, Jennie cuma dipasang di serial ini supaya penggemar-penggemarnya nonton film p*rn* tanpa sengaja.
Saya nggak akan nerusin nonton, mending saya lanjutin Game of Thrones yang walaupun banyak begituannya tapi paling nggak yang saya lihat di episode 1 memang cocok sama novelnya.
So, for give you a context ya gaes ya... Saya kan udah hampir 10 tahun nih, nikahnya. Selama 10 tahun itu udah beberapa kali lah nemenin suami nonton di bioskop. Kenapa saya bilang nemenin? Karena sejatinya saya adalah anak rumahan yang penyabar. Lebih suka nonton di Netflix atau temen-temennya daripada harus bayar mahal ke bioskop. Nggak pa-pa ketinggalan cerita toh intinya sama aja. Nah, selama nemenin suami saya nonton itu, belum pernah -catet ya- belum pernah kami ontime. Pasti adaaaaaa aja kejadiannya yang bikin kami terlambat. Kayak pas nonton Fast X kemaren harusnya ontime, tapi ternyata temen kami yang terhalang hujan.
Dari sekian kali nemenin nonton itu, sudahlah selalu terlambat, selama nonton pun dia bakal bolak-balik kamar mandi karena mungkin nggak tahan sama dinginnya AC studio. Gimana nggak rugi, tuh? Taruhlah film itu durasinya sekitar 2 jam, saya bisa pastikan 30 menitnya itu kepotong buat terlambat dan ke kamar mandi. Kalo saya sih, beneran ngerasa rugi. Tapi karena ini bukan saya, jadi saya cuma bisa ngomel di sini.
Jadi ceritanya pas saya masuk studio, di layar udah nayangin scene dimana Elena lagi ngutak-ngatik batu aneh di sebuah ruangan museum yang awalnya saya kira laboratorium. Untungnya saya sedikit paham alur ceritanya tiap film Transformers yang selalu mundur ke belakang, jadi pas lihat Noah yang naik mobil agak antik saya bisa bayangin kalo setting film ini kayaknya tahun 90an.
Elena dan Noah, tokoh utama dari bangsa manusianya |
Karena saya udah ketinggalan sejauh itu, ini saya kasih aja sinopsis ceritanya dari IMDb ya...
Returning to the action and spectacle that have captured moviegoers around the world, Transformers: Rise of the Beasts will take audiences on a '90s globetrotting adventure with the Autobots and introduce a whole new faction of Transformers - the Maximals - to join them as allies in the existing battle for earth. Directed by Steven Caple Jr. and starring Anthony Ramos and Dominique Fishback.—Paramount Pictures
Film ini dimulai di planet Maximals, di mana dewa Transformer yang gila, Unicron (Colman Domingo), bersiap untuk turun ke bumi dan menguasai planet ini demi mendapatkan kekuasaan. Unicron mengirimkan antek-anteknya, Terrorcons, yang dipimpin oleh Scourge (Peter Dinklage), untuk mengambil Transwarp Key, yang akan memberikan Unicron kekuatan untuk mengakses dunia tanpa batas untuk dikonsumsi. Para Maximals - Apelinq (David Sobolov), Primal (Ron Perlman), Airazor (Michelle Yeoh), Rhinox (juga David Sobolov), dan Cheetor (Tongayi Chirisa) - bersiap untuk pergi dari planet ini, namun Apelinq tetap tinggal untuk melawan sambil menganugerahi Primal dengan nama "Optimus Primal". Scourge, seorang pemburu piala, tiba dan bertempur melawan Apelinq bersama drone Freezer-nya. Sementara Apelinq menghancurkan Freezer, Scourge melukai Apelinq dengan parah namun terlambat menyadari bahwa Maximals telah melarikan diri dengan kuncinya. Unicron kemudian melanjutkan untuk melahap planet ini.
1994, Brooklyn - Mantan tentara/ahli elektronik Noah Diaz (Anthony Ramos) tinggal bersama ibunya Breanna (Luna Lauren Velez) dan adik laki-lakinya Kris (Dean Scott Vasquez). Kris menderita penyakit, dan keluarga ini berjuang untuk mendapatkan uang untuk pengobatannya. Noah pergi ke rumah sakit dan tidak memiliki asuransi untuk adiknya untuk mendapatkan bantuan, dan ketika dia pergi untuk wawancara kerja, dia diberitahu oleh manajer perusahaan bahwa dia telah membatalkan wawancara setelah berbicara dengan mantan komandan Noah, yang mengatakan bahwa dia adalah seorang yang berani tetapi tidak dapat bekerja dalam sebuah tim.
Elena Wallace (Dominique Fishback) bekerja sebagai pekerja magang untuk pemilik galeri yang sombong bernama Jillian (Sarah Stiles). Para detektif datang ke tempat kerjanya karena seorang direktur seni tertangkap basah dan mungkin menyimpan barang palsu. Elena memastikan kepada Jillian mana yang asli dan mana yang palsu, namun Jillian mengambil pujian atas temuannya. Elena kemudian menemukan sebuah patung yang menyerupai Airazor, lengkap dengan lambang Transformers yang terukir di atasnya. Jillian mengira itu adalah patung Sumeria kuno, tapi Elena melakukan penelitian.
Noah menemui temannya Reek (Tobe Nwigwe), yang meyakinkannya untuk mencuri mobil Porsche yang disimpan di garasi perusahaan lain agar bisa dijual. Noah berhasil menyelinap masuk dan menemukan Porsche tersebut, lalu membobolnya. Pada saat yang sama, Elena menggunakan sebuah alat untuk melihat lebih jauh ke dalam patung, tetapi akhirnya merusaknya dan menemukan bagian dari Transwarp Key di dalamnya. Hal ini mengirimkan sinyal yang membangunkan Autobots, dan Optimus Prime (Peter Cullen) memanggil Bumblebee, Arcee (Liza Koshy), dan Mirage (Pete Davidson), yang terakhir adalah mobil yang sedang ditumpangi oleh Noah. Seorang penjaga keamanan menangkap Noah, yang mendorong Mirage untuk mulai mengemudikan mobilnya keluar dari sana. Pengejaran di seluruh kota pun terjadi, di mana Noah menyadari bahwa mobil itu mengemudikan dirinya sendiri. Saat polisi semakin dekat, Mirage menunjukkan kekuatannya dengan menciptakan ilusi dirinya untuk mengalihkan perhatian polisi, sehingga dia dan Noah dapat melarikan diri.
Sampai sini aja cerita versi IMDb-nya, lanjutannya versi saya, OK?!
Mirage membawa Noah ke sebuah gedung kosong dan kemudian berubah menjadi bentuk Autobot-nya, otomatis Noah kaget dan ketakutan. Pas lagi ngobrol-ngobrol itu, datanglah para Autobots yang lain dan Optimus Prime. Di scene ini saya merasa bahwa kita mau dikasih tahu awal mulanya Optimus Prime berhubungan sama manusia. Dan saya mulai nyambung sama tagline di poster filmnya; Unite or Fall. Optimus Prime awalnya nggak suka ada manusia di antara mereka karena selama ini dia nyuruh Autobots untuk sembunyi dari manusia. Yang lain setuju, kecuali Bee yang udah pernah temenan sama Hailee Steinfeld. Itu setting filmnya tahun 80an kan kalo nggak salah, ya?!
Saya udah bilang belum kalau saya suka banget ngasih spoiler?!
Singkat cerita, mau nggak mau para Autobots perlu bantuan Noah untuk ngambil Transwarp Key di museum. Tapi ketika dia lagi berusaha merebut kunci itu dari Elena, rombongan Scourge juga udah sampai sana. Terjadilah pertempuran antara Autobots dan Scourge yang mengakibatkan Bee mati di situ -atau lebih tepatnya kehabisan baterai-. Noah dan Elena berhasil diselamatkan tapi Transwarp Key berhasil direbut Scourge. Autobots juga udah kewalahan melawan Scourge yang lebih kuat, tapi tiba-tiba Airazor datang membantu. Scourge yang sudah memegang Transwarp Key memilih untuk pergi meninggalkan arena pertarungan dan petualangan pun dimulai.
Airazor |
Setelah kalah bertarung dan istirahat, mulailah ramah tamah antara Autobots dengan Airazor dan 2 orang manusia itu. Optimus Prime udah putus asa kan tuh, ceritanya. Tapi semangatnya muncul lagi ketika Airazor bilang kalau kunci yang dibawa Scourge itu cuma setengah, nggak akan ada gunanya. Maka Optimus Prime memutuskan bahwa kunci setengahnya lagi harus dia pegang. Dan yang mengetahui keberadaan setengah kunci lainnya itu adalah Elena, berdasarkan temuan-temuan yang dia lihat dan catat selama penelitian. Maka diputuskan, mereka terbang ke Peru untuk menyelamatkan Bumi dari kehancuran 😝.
Untuk sampai ke Peru, geng ini menumpang Stratosphere, Autobot yang berubah menjadi pesawat tua yang reyot. Dalam perjalanan, Noah memberi tahu Elena bahwa mereka harus menghancurkan kunci untuk mencegah kedatangan Unicron, meskipun itu berarti Autobots akan terjebak di Bumi. Begitu mereka tiba, mereka bertemu dengan Autobot lokal bernama Wheeljack yang memandu mereka ke lokasi. Mirage juga memberikan Noah sebuah alat yang melingkari pergelangan tangannya untuk berjaga-jaga.
Arcee & Wheeljack |
Noah dan Elena memasuki gua bawah tanah setelah menemukan simbol Transformers dan turun ke bawah. Sayangnya, Terrorcons juga telah tiba, dan Scourge mengirimkan lebih banyak Freezer untuk mengejar Noah dan Elena. Keduanya menemukan ruang bawah tanah yang seharusnya menjadi tempat penyimpanan kunci, namun ternyata kosong. Ketika mereka terlihat, mereka melarikan diri, dan Autobots mengikutinya. Selama pengejaran, Optimus bersumpah akan membalas dendam untuk Bumblebee dengan mencoba mengejar Scourge, sementara yang lain menghadapi Battletrap dan Nightbird. Airazor bergabung dalam pertarungan, tetapi dia ditandai oleh Scourge dengan salah satu senjatanya. Yang lainnya nyaris nggak bisa melarikan diri.
Noah dan Elena keluar dari gua dan berakhir di hutan di mana mereka berhadapan dengan Primal dan Maximals lainnya. Autobots muncul untuk membela manusia sampai Airazor memberi tahu Primal bahwa mereka adalah sekutu. Dia memberi tahu yang lain bahwa dia dan Maximals memindahkan separuh kunci lainnya agar tetap aman. Maximals memandu semua orang ke desa terdekat yang mereka lindungi dan berbagi aliansi dengan manusia yang tinggal di sana, karena merekalah yang menjaga separuh kunci lainnya tetap aman. Kemudian, Primal menunjukkan energi mentah kepada Optimus yang dapat digunakan untuk menghidupkan kembali Bee, namun membutuhkan energi yang besar. Sementara itu, Elena mengatakan kepada Noah bahwa mungkin mereka tidak harus menghancurkan kunci tersebut dan membandingkannya dengan Optimus, karena mereka berdua adalah kakak beradik yang menjaga keluarganya.
Pertemuan Autobots dan Maximals |
Prime dan Primal |
Paginya, Airazor telah sepenuhnya rusak oleh energi gelap yang menginfeksinya. Gejalanya mirip kalau orang udah kena hasutan Scarlett Witch gitu, deh. Pikirannya dikendalikan dari jauh. Dia mulai menyerang hingga para Maximals lainnya mencoba untuk menaklukkannya. Primal mencoba menahannya, tetapi Airazor sudah menyerah. Dia minta Primal untuk membunuhnya. Di kesempatan itu Noah berusaha menghancurkan kunci dengan senjata tangannya, tetapi Optimus memintanya untuk tidak melakukannya sampai dia mengalah. Sayangnya, hal ini memberikan kesempatan bagi Scourge untuk merebut kunci tersebut dan kembali ke Unicron.
Scourge dan Terrorcons menggabungkan kedua bagian kunci tersebut dan menciptakan sebuah platform di atas gunung berapi untuk memanggil Unicron. Setelah Optimus dan Noah menyadari bahwa tindakan mereka telah memperburuk keadaan, Autobots and the geng bergabung untuk menghentikan para penjahat untuk selamanya. Elena menggunakan tanda yang dia temukan untuk membuat kode yang dapat menonaktifkan kunci. Para pahlawan kemudian maju ke medan perang, dengan Primal memerintahkan Rhinox dan Cheetor untuk berubah menjadi tubuh Transformers mereka untuk bertarung melawan gerombolan Scorponoks yang datang. Mirage membantu Noah dan Elena menemukan jalan masuk untuk naik ke platform dan memasukkan kode. Optimus dan Primal kemudian bekerja sama untuk merobek Battletrap sebelum Primal menghancurkan kepalanya dengan bola penghancurnya sendiri. Scene ini kalau dipotong untuk ditayangin di seminar-seminar kepemimpinan cocok banget, deh.
Unicron mulai mendekat ke Bumi, kehadirannya bisa dirasakan di seluruh dunia melalui asap tebal yang menyelimuti langit. Ketika Noah mendekat, Scourge berusaha membunuhnya, namun Mirage menggunakan tubuhnya untuk melindungi Noah sebelum dia juga terbunuh. Namun, Mirage mampu memindahkan sebagian tubuhnya ke perangkat pergelangan tangan untuk membuat sebuah baju yang dapat digunakan Noah dalam pertempuran setelah mendengar Kris berbicara dengannya melalui radio Mirage. Maka Noah seketika menjadi Iron Man.
Gelombang energi dari kunci itu juga berhasil mengisi energi, menghidupkan kembali Bee. Dia memasuki pertempuran dan mulai membantu membalikkan keadaan, termasuk terbang ke langit bersama Nightbird dan mencabik-cabiknya. Optimus bertarung dengan Scourge, hampir menang hingga Scourge meledakkan komputer yang digunakan Elena untuk memasukkan kunci, membuatnya tidak berguna. Optimus memotong-motong Scourge sebelum mencabik-cabik kepalanya dan kemudian memutuskan untuk menghancurkan kuncinya sendiri untuk mencegah Unicron mendekat. Kunci tersebut meledak, menyebabkan pusaran yang membuat Unicron menjauh namun hampir menarik Optimus hingga Primal dan Noah membantu menariknya kembali.
Sementara Unicron mungkin masih ada di luar sana, Autobots dan Maximals mengakui kemenangan mereka dan berpisah. Noah dan Elena terbang pulang ke rumah dengan Stratosphere, dan kembali ke rumah Kris dan ibu mereka.
Kemudian, Noah bersiap untuk wawancara kerja lagi. Ia bertemu dengan seorang pria bernama Agen Burke, yang mengetahui bahwa Noah berada di Peru dan bekerja dengan Autobots, meskipun Noah berusaha menyangkalnya. Burke menawarkan Noah kesempatan untuk bergabung dengan organisasi rahasia pemerintah, bahkan menjamin bahwa biaya pengobatan Kris akan ditanggung. Noah sangat berterima kasih dan melihat Burke memasuki sebuah ruangan rahasia yang penuh dengan kendaraan, gadget, dan benda-benda rahasia lainnya. Noah kemudian melihat kartu nama Burke dan mengetahui nama organisasi tersebut - G.I. JOE.
Selama kredit, Noah bersama Reek yang sedang memperbaiki Mirage. Reek berpikir tidak ada gunanya sampai Noah memanggil Mirage untuk menyala, dan Autobot hidup kembali dengan bangga.
***
UDAH. CAPEK.
***
Peperangan terakhir |
Pengalaman saya nonton film ini sama persis kayak waktu nonton Fast X. Nggak ada emosionalnya, nggak ada mikirnya, pokoknya have fun aja. Bener-bener hanya untuk hiburan. Kalau mau ngajak anak nonton dan diambil hikmah diakhir film juga bisa, sih. Ada nilai-nilai kasih sayang sesama keluarga di situ, ada semangat kebersamaan juga, ada kebijaksanaan dan apapun nilai kebaikan yang bisa ditanamkan kepada anak Anda sejak kecil.
Tapi buat orang dewasa, ya cuma buat ngobatin kangen sama kerennya mobil-mobil berubah jadi robot. Itu doang. Angkat tangan deh, siapa yang abis nonton Transformers lalu lihat truk gede tetep biasa aja? Nggak ada, kan?! Pasti langsung terbayang-bayang proses transformasinya sambil terngiang-ngiang suara 'chu chu chu chu chu....' di kepala. Udah ngaku aja, nggak pa-pa. Saya paham kok 😄. Jadi, menurut saya, daripada nonton Fast X yang pura-pura heroik tapi nggak nyambung dan banyak mbak-mbak seksinya mending nonton Transformers yang memang karuan fantasi.
*Seperti biasa, foto-foto diambil dari IMDb
Siang-siang waktu saya lagi bengong di depan komputer bingung mau ngapain karena kebanyakan ide tapi nggak tahu mana yang mau dikerjain duluan, tiba-tiba masuk chat WA dari teman kerja. Ngajak nonton bareng Fast X. Alasannya sih suami saya yang ngajak, tapi waktu dia sudah pulang ternyata nggak ngaku. Malah katanya mereka yang di kantor yang ngajakin. Pokoknya siapapun yang ngajak saya nggak peduli, selama saya nggak perlu bayar apa-apa. Jadilah malamnya saya bolos kerja dan malah nonton bareng di bioskop bareng suami dan 4 orang lain.
Sesungguhnya saya sudah nggak tertarik dengan serial Fast & Furious, dan alasannya sepertinya juga sama saja seperti orang lain. Ceritanya yang sudah nggak jelas. Tapi, dengan alasan yang sama saya semangat nonton kali ini karena katanya ini adalah ending dari cerita Dom Toretto. Baiklah, lumayan kan kalau bisa bagaimana akhir kisahnya? Dan ternyata saya tertipu. 😂 Belakangan saya baru tahu kalau kisah ending Franchise abadi ini akan jadi trilogi. 😝
Please note, this post is might be full of spoilers
Kami terlambat masuk studio karena nunggu teman yang kehujanan di jalan, alhasil pas masuk film udah diputar sekitaran 10 menit lebih kayaknya. Dan mungkin karena nggak terlalu peduli dengan ceritanya, saya sampai lupa ada di bagian mana saya nonton pertama kali 😂. Pokoknya, intinya di film ini tiba-tiba Dom udah punya anak, -please note, saya nggak nonton F9- dan musuhnya kali ini adalah anak dari penjahat yang duluuuuu banget mati gara-gara kelompok aka. keluarganya, Dante Reyes yang diperankan mamang Aquaman. Demi Allah saya juga udah lupa siapa dan gimana penjahat itu karena film-film awal Fast and Furious itu rilis pas saya masih bocah.
Aktor-aktor lama ngumpul semua. Eh, nggak semua ding... |
Saking nggak pedulinya saya sampai nggak tahu mamang Jakob ini siapa dan pernah muncul di film yang mana. |
Nah, karena ini baru awal cerita maka tokoh Dante nggak mudah untuk dikalahkan. Bagaikan Edmond Dantes di novel Monte Cristo yang menunggu bertahun-tahun untuk membalas dendam, tokoh Dante disini pun sudah menyiapkan segalanya untuk menghancurkan keluarga Dom. Ibaratnya, segala usaha dan strategi yang diupayakan Dom udah diperkirakan sama Dante. Jangan-jangan yang bikin cerita film ini terinspirasi sama novel Monte Cristo.
Terus terang kalau nonton film-film macam begini saya kurang tertarik untuk mengulik jalan ceritanya. Karena perhatian saya hanya fokus pada aksi ngebut-ngebutan mobil dan lokasi-lokasi syuting yang nggak bakal bisa saya kunjungi di kehidupan nyata. Tapi untungnya, di film kali ini sepertinya pembuat filmnya memperhatikan plot dengan cukup serius. Yaaaa walaupun tetap banyak hal yang diluar nalar, tapi kembali lagi ke pernyataan awal saya; cukup dinikmati aja nggak perlu terlalu banyak mikir.
Btw saya kok suka ya sama gaya mamang Aquaman di sini. Geli-geli pingin jitak gitu lihatnya. |
Oke, balik ke cerita film. Dante meneror Dom melalui orang-orang yang ada kaitannya dengannya. Pertama, adalah musuhnya -Cipher- yang tiba-tiba muncul di rumahnya dalam keadaan terluka. Pura-puranya bawa pesan ancaman gitu deh. Kondisinya yang dikhianati semua pengikutnya dan nggak punya apa-apa lagi membuat Dom dan keluarganya pun mau nggak mau percaya kalau ancaman yang dia bawa adalah nyata.
Cipher yang lagi dikeroyok anak buahnya, gara-gara semua keluarga anak buahnya udah ada dalam kendali Dante. |
Nggak perlu nunggu lama, besoknya aksi penyerangan dan lari-larian bawa mobil langsung dimulai. Dante yang udah sangat siap dengan balas dendamnya berhasil bikin keluarga Dom terpisah-pisah sehingga nggak bisa saling bantu. Roman, Tej, Han dan Ramsey ceritanya lagi ada proyek nyolong apa gitu ke Roma. Eh nggak tahunya itu pesanan palsu, dan malah yang ada bom raksasa yang siap meledak. Begitu Dom menyadarinya dia langsung nyusul dong ke Roma. Ninggalin anaknya sama Mia di rumah untuk kemudian dibawa kabur lagi sama saudaranya yang lain, Jakob. -Nih Jakob bener-bener deh saya lupa sama dia-. Di sanalah aksi kejar-kejaran sama bom super besar terjadi.
Letty yang tadinya ngejar Dante malah berujung dikejar bom. |
Dom gagal matiin bom, tapi paling nggak dia berhasil meminimalisir efek akibat bom itu. Di sini saya merasa lega, jadi agak masuk akal ceritanya. Sayangnya, Letty malah ketangkep sama polisi -atau apapun namanya- yang harusnya dukung Dom. Ternyata mereka udah disusupi sama orangnya Dante yang juga punya dendam sendiri sama Dom.
Udah pecah belah kan, tuh. Dom yang galau terus ke Rio de Janeiro buat ngadepin Dante. Kayaknya sekalian pulang kampung sih. Di sana dia ketemu lagi sama temen-temen balapannya, termasuk adik dari salah satu temannya yang saya juga lupa siapa 😁. Lagi enak-enaknya reunian, Dante datang nantangin balapan. Yang saya nggak paham di sini kenapa yang balapan jadinya 4 orang. Kenapa nggak Dom sama Dante aja. Kan jadi mati si Diogo?!
Salah satu scene paling iconic di serial Fast & Furious |
Dengan dibantu Isabel yang Dom selamatkan, yang ternyata adik temennya itu, Dom nyari tempat persembunyian Dante. Di lain tempat, Jakob otw bawa anaknya buat ketemu sama Dom. Ternyata ketemuannya mereka pun udah direncanain sama Dante. Kok bisa? Ya bayangin aja berapa tahun Dante merencanakan pembalasan dendamnya? Semuanya udah dia pelajari. Pokoknya kalau kalian baca novel Monte Cristo nanti akan paham. Mirip-mirip gitulah konsepnya.
Isabel yang imut-imut yang saya nggak paham kenapa harus ikut balapan |
Di lain tempat lagi, Letty yang berusaha keluar dari penjara ternyata ketemu juga sama Cipher dan dibantu -bareng-bareng sih- kabur dari penjara. Di tempat lain lagi, Ramon dkk yang juga bingung mau bantuin Dom dan malah nyasar ke London minta bantuan Shaw. Tadinya sih Shaw nggak mau. Tapi setelah tahu kalau urusannya Dom ini ada efeknya ke dia juga akhirnya dia berangkat.
Balik lagi ke Dom. Karena Dom udah kalah langkah dan strategi, posisi dia terpojok. Jakob mati berkorban buat dia, mobil nggak ada, pokoknya udah nggak ada jalan keluar. Film dibuat nggantung di situ, dan ditutup dengan scene dimana Letty berhasil keluar dari penjara yang ternyata ada di Antartika dan ditemukan oleh Gal Gadot.
UDAH GITU DOANG.
Seperti yang sudah saya sampaikan di atas, saudara-saudara. Nggak perlu mikir nonton film ini. Nggak perlu musingin aksi-aksi yang nggak masuk akal. Pokoknya nikmatin aja tabrak-tabrakan mobilnya, hajar-hajaran aktornya, dan mbak-mbak seksinya. Jadi saya nggak mau ngasih rating. Pokoknya alhamdulillah saya udah nonton.
*semua foto saya ambil dari IMDb
Saya tumbuh dewasa dengan mendengarkan musik. Saking sukanya dengan musik, sampai-sampai dulu ada anekdot bahwa kalau sehari saja saya tidak menyanyi bisa dipastikan saya sedang sakit. Saya nggak bisa main alat musik, -mungkin akan bisa kalau punya kesempatan belajar- tapi sejak SMP selalu dekat dengan teman-teman cowok yang hobi main ke studio musik. Bahkan sempat pacaran dengan cowok yang bisa mainin 3 instrumen musik; drum, gitar, dan piano. 🙊
Meskipun sangat suka musik, saya sangat pemilih untuk menentukan suara siapa yang boleh masuk ke telinga. Saya memang tetap keep up dengan perkembangan dunia musik, tahu lagu-lagu apa yang sedang hype dan akan ikut-ikutan nyanyi kalau orang lain nyanyi -mau bagaimana lagi? lagu yang diputar di radio kan itu-itu aja?!-, tapi kalau sudah balik ke kamar musik yang saya putar hanyalah dari musisi-musisi favorit saya sendiri. Dan musisi favorit yang saya sukai bisa dibilang sangat limited. Yang utama dan yang paling nomor satu tentu saja Avril Lavigne.
Seperti yang sudah saya tulis di postingan ini, bahwa saya selalu butuh alasan untuk suka sama sesuatu. Kalau ditanya kenapa bisa suka sama Avril Lavigne, jawaban singkatnya adalah karena dia yang membuka jalan bagi saya menemukan genre Pop Punk/Rock, dia yang mengantarkan saya ketemu sama musisi-musisi keren lainnya dan utamanya karena dia yang ngajarin saya bahasa Inggris lewat lagu-lagunya.
Pertemuan saya dengan ONE OK ROCK juga sebenarnya nggak bisa lepas dari peran Avril Lavigne. Sebagai Pop-Punk Queen dia kan memang fansnya bukan cuma orang biasa macam saya, Taylor Swift aja ngefans loh masa kamu nggak?! Ternyata di tahun 2017 saya pernah mendengar lagu kolaborasi ONE OK ROCK dan Avril Lavigne. Tapi sebab pertama saya mulai sadar sama bakat mereka adalah karena suami saya yang suka sekali jejepangan.
Jadi ceritanya, pada suatu hari tahun 2020 muncullah di halaman eksplore instagram, sebuah trailer film favorit suami saya. Karena saya istri yang berbakti, maka saya klik deh itu gambar video. Dan tentu saja, hal pertama yang langsung menarik perhatian saya adalah lagu soundtracknya yang hanya sepenggal itu.
Sesungguhnya suami saya sudah berkali-kali merekomendasikan film Rurouni Kenshin kepada saya karena tahu saya dulu cukup suka dengan serial anime Samurai-X ketika masih kecil. Tapi karena saya trauma gara-gara nonton live action Detective Conan yang nggak banget, -beneran jelek banget- jadi saya nggak pernah tertarik untuk nonton live action dari manga atau anime. Takut kecewa intinya. Tapi karena melihat trailer film terakhirnya itu dengan mata kepala sendiri, diam-diam saya penasaran.
Singkat cerita, saya lupa lagi deh sama Kenshin karena ternyata Covid-19 membuat filmnya gagal tayang di bioskop. Tapi irama dan kekuatan suara mas Taka di trailer itu membuat saya kepo. Lalu pada suatu hari saya ketikkan keyword ONE OK ROCK di beranda Youtube. Dan muncullah salah satu video fan made dimana lagu mereka Listen dinyanyikan bareng Avril Lavigne. I was like, "lho, ini kan dulu aku pernah denger lagunya. Oooh jadi band ini tooh."
Udah, sampai situ dulu. Kok udah? Ya karena saya orangnya tuh santai, nggak gampang bikin saya jatuh cinta. Jadi abis sekali denger Renegade yang drumnya keren banget itu, saya pikir, "keren nih bandnya." Terus saya tinggal lagi mereka. Selain itu, sekarang saya sudah jadi guru ngaji. Harus jaga image walaupun sama diri sendiri. Jangan sampai tergoda sama hal-hal sia-sia lagi macam musik dan hiburan lainnya.😎 Maka saya mencukupkan diri dengan 1 lagu itu.
Fast forward, akhir tahun 2021 ketika saya bingung mau ngisi liburan dengan nonton film apa muncullah sederetan gambar Rurouni Kenshin di beranda Netflix. Sepertinya karena suami saya baru saja nonton 2 film terakhirnya jadi mereka nongol semua minta ditonton juga. Lalu saya tanya ke suami, minta review. Suami bilang, The Beginning jelek. Dia ngantuk nontonnya. And guess what, kalau suami bilang bosen sama sebuah film biasanya itu adalah tipe film yang saya suka. Penasaran saya muncul lagi dong. Akhirnya daripada gabut, saya tontonlah film Rurouni Kenshin dari awal sampai akhir. And the rest is history.
Musik yang menghentak dan vokal yang raspy tapi sopan banget masuk telinga membuat saya teringat dengan Linkin Park setiap mendengar soundtrack tiap filmnya. Dan tentu saja, setiap 1 film selesai muncul gambar film dokumenter ONE OK ROCK - Flip a Coin di deretan film rekomendasi. "Tahan dulu, selesaikan dulu petualangan Kenshin. Nanti abis itu baru dengerin semua discography mereka."
Siapapun, kalau kalian penikmat musik dan orang normal pasti akan suka sama ONE OK ROCK. -Tapi suami saya normal kok. Dia cuma nggak terima istrinya naksir sama Taka.- Listening to the studio version of ONE OK ROCK is a thing, watching them live is everything. Kalau kalian pernah nonton video live Linkin Park, kalian akan dapat perasaan yang sama ketika nonton live performance dari ONE OK ROCK.
How on earth does he sing while running and jumping and maintain such a voice and energy? How? Please explain it to me?Hal lain yang bikin saya kepincut sama ONE OK ROCK adalah lirik-lirik lagunya yang kebanyakan sangat uplifting. Seperti fans garis keras ONE OK ROCK lainnya, lagu We Are, Stand Out Fit In, I Was King, sepertinya selalu jadi andalan untuk menyemangati diri. Pertama kali dengar Stand Out Fit In pun saya sempat sesak napas sebentar saking relatenya lagu itu. Lagu-lagu cintanya juga romantis abiiiis. Dan yang paling bikin saya meleleh adalah lagu-lagunya yang menceritakan pengalaman personal Mas Taka sama keluarganya; Take What You Want, Nobody's Home, Hard to Love sukses bikin saya kangen orang tua.
Back to their stage presence. Bukan cuma Taka, tapi semua member. Nggak ada habisnya kalau ngomongin kehebatan mereka menguasai panggung. Biasanya ketika band manggung, kita hanya akan fokus sama vokalis karena memang dia frontman. Dan Taka bener-bener frontman yang hebat -udah gak tau lagi saya jelasinnya-. Tapi lihatlah drummernya, Tomoya tetap menarik perhatian walaupun posisinya selalu di belakang. Ryota yang selalu all out dan present in the moment di setiap lagu, dan Toru yang... -dia sih diem aja udah keren-. Saya belum pernah ketemu band yang seasik itu di panggung. Belum pernah.
Nyanyi sambil diem berdiri aja susah, gimana sambil jumpalitan begitu coba?! Photo by JulenPhoto |
Untung saya orangnya realistis, kalo nggak pasti udah halu ke mana-mana liat manusia satu ini |
The fact that he is the brother-in-law of Avril Lavigne makes me love the band even more. |
He really is the happiest man on earth. Photo by Rui Hashimoto |
Semakin banyak saya mendengar lagu-lagu dari ONE OK ROCK, makin gandrung saya sama mereka. Apalagi setelah nonton film dokumenternya, Flip a Coin di Netflix. Baru mereka inilah musisi yang bikin saya nangis karena nonton dokumenternya. FYI, saya suka nonton film dokumenter para musisi. Mereka semua hebat dan punya kisah kelamnya masing-masing. Tapi ONE OK ROCK justru nggak terlalu banyak nyeritain kehidupan pribadi mereka. Mungkin tipikal orang Jepang kali ya, yang sangat menghargai privasi. Cerita pribadi mereka tuh biasa banget, tapi cerita tentang karir mereka yang sukses bikin saya baper karena I can feel their passion for what they do. It feels so honest and pure.
Saking gandrungnya sampai saya rela beli jaket merchandise mereka langsung dari Jepang, beli tiket online konsernya sore ini, dan sekarang saya mulai khawatir bakalan kalap karena baru kemarin mereka mengumumkan jadwal konser di Jakarta tanggal 29 September mendatang. Baru kali ini saya pengen bangeeeeeet nonton konser. Rasanya tuh sampai pengen teriak kayak Taka waktu lupa lirik karena saya tahu itu mubazir.
😪 ternyata kayak gini ya rasanya jadi fangirl 😥
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful
Foto oleh Miriam Alonso |
One of the mornings last week, I woke up with a sudden jolt from the alarm that was blaring. It was either coming from K’s phone or mine and K, almost intuitively, “snoozed” the alarm and went back straight to sleep. So did I.
This pattern then repeated itself, with K and I taking turns to flick the almost desperate cries of the alarms off. Before we knew it, an hour has elapsed, and thus it began: our frantic morning.
Unfortunately, this scenario is not just a one-off event, and from speaking to some of my closest ones, it’s something that a lot of us struggle with: this negotiation process that you have within yourself, the all too familiar “just 5 minutes more” tug of war between your good conscience and your cheekier counterpart.
The funny (or sad?) thing is, we actually know that we will be hitting those “snooze” buttons, which is why we often set our alarms every 5 minutes, like this:
This is my 'actual' alarms look like on my phone 😉 |
-
Regretting the hour that I've just wasted, I sat silently while eating my breakfast and wondered about this far-fetched idea of anyone ever being able to just spring or jump out of bed. "Doesn't this just happen in the overly orchestrated morning routine YouTube videos or self-help books?", I asked out loud. And within a split second, Allah placed something in my heart which reminded me of the time where I actually did roll out of bed without the need of an alarm. The times where I actually took extra care to make sure I got my sacred one on one time with Him. The times where I felt excited to sit at my desk and just, write. The times where I use the blessed hours of the morning not being on my phone, but to just... be.
But what happened?
I could give a million reasons, and "snooze" my way out of this too, but who am I kidding? I know that these "reasons" are just excuses, as the truth of the matter is I've just been lazy, and laziness is a disease of the heart.
With that realisation, I exhaled sharply and made the intention to begin and seize my day. I wanted to acknowledge this deafening "alarm" that Allah has sent me this morning, the one that reminded me of my laziness, and I made a promise to myself to not live my life in a slumber anymore.
-
Lucky for us, our Rabb knows just how sorely we need constant "signs" and "reminders" like the ones I just had so that we can be, and do, better. He will continue to send us regular and periodic "alerts" to snap us out of heedlessness and oblivion out of His Love for us.
But...
If we have been stubbornly "snoozing" His alarms, then chances are, we will not only be wasting hours and hours of our lives "sleeping", but far worse than that, on the Day of Reckoning when we are finally awakened and summoned out of our graves, that frantic panic we will feel will be a million times worse than the frantic morning I just had.
And I pray none of us will ever be in that state.
-
With every reminder or alarm that Allah sends us, it should stir something in us to promptly spring into action. And it's that immediacy in taking action that will actually ensure us to win in this life and the next, In Sha Allah. Because like they say, "when you snooze, you lose."
One of the best stories that I can share with you about the power of taking immediate action upon Allah evoking something in our hearts, is of Sayyidina Umar RA (and it's one of my personal favourites). His conversion story is a beautiful one, so if you have time, please do read up about it - but here's the gist:
Before Sayyidina Umar RA embraced Islam, he was actually against Rasulullah SAW and had a deep hatred for the message that Rasulullah was trying to spread. He was even on his way to kill Rasulullah SAW when he ran into Na'im ibn Abdullah, who upon knowing Sayyidina Umar RA's intention, said to him, “By Allah, you have been overcome with anger to the extent that you cannot think properly. Oh Umar! Do you think Banu Abd-Manaf will let you remain on this earth if you kill Muhammed?! Why do you not return to your family and arrange your own affairs instead?”
So Sayyidina Umar asked, “What is the matter with my family?”
Na’im ibn Abdullah said, “Your sister’s husband, i.e. your brother-in-law, the son of your uncle Said ibn Zayd, and your sister Fatima, by Allah, they have embraced Islam and they follow Muhammed and his religion.”
Fuming, and feeling extremely betrayed (because he loves his sister a whole lot!), he stormed to his sister's home and upon entering, heard the recitation of the Quran.
He then asked his sister and her husband Said ibn Zaid RA, “Have you left the faith of your forefathers?” And enraged, he then began attacking his sister and her husband. But when he saw the blood on her sister because of the hurt he had inflicted, he began feeling guilty. He then apologized to his sister and requested to read the words of the Qur’an. His sister then told him to clean himself (as he was going to read the sacred words of God!) and when he was reading the first few verses of Surah Taha, calm descended upon him, and Islam began to enter his heart.
When that happened, Sayyidina Umar RA immediately went to Rasulullah SAW, but now with a grander intention of proclaiming his faith to Islam, instead of his initial plan of actually killing Rasulullah SAW. What a complete 180!
The immediacy that Sayyidina Umar RA had, upon receiving this "alarm" or this reminder from Allah when He first read the verses from Surah Taha, is what inspires me. Imagine if he were to take his time to embrace Islam (i.e. "snoozed")?
-
I pray that may we lose the complacency of delaying our intentions of coming back to Him. I pray that we recognise what immense blessing it is for Allah to consistently send us signs and reminders, because He does this from a place of Love, Mercy and Guidance. And I pray that may we not be from those who turn a blind eye to these signs, nor of the "snoozers", but of the winners, and the early risers, amin.
Love and prayers always,
A
Singkat cerita, karena sekarang lagi musim-musimnya penyanyi pada konser maka suatu hari di kelas saya sempat membahas hal tersebut bersama anak-anak murid. Salah satu yang kami bahas tentu saja konser Blackpink beberapa waktu yang lalu. Kemudian salah satu anak tiba-tiba nyeletuk, "pingin lho, nonton konser juga."
Lalu saya pun menanyakan, "emangnya kamu suka Blackpink juga?"
"Nggak sih, Umi. Tapi kayaknya seru aja gitu kan semuanya pada nonton."
Seketika saya langsung keceplosan, "eh, beneran ada ya orang kayak gitu?" Dan anak-anak pun bertanya-tanya maksud perkataan saya itu.
Poser, istilahnya. Saya baru tahu setelah beberapa kali postingan tentang istilah tersebut lewat di beranda sosial media. Ternyata istilah itu ditujukan untuk orang-orang yang ikut-ikutan trend hanya supaya diterima oleh lingkungan pertemanan tertentu. Dan seperti yang disampaikan di mana-mana, sepertinya hampir semua orang pernah mengalami masa ketika dirinya menjadi seorang poser.
Saya sendiri dulu pernah berpura-pura suka sama novel 5 cm hanya karena novel itu best seller dan disukai banyak orang. Padahal dalam hati saya waktu baca, sering bosan dengan dialog-dialognya. Tapi waktu itu saya berpikir saya yang salah karena nggak menyukai novel laris. Apakah itu juga termasuk poser?
Sementara kalau urusan musik, bisa dibilang saya termasuk yang punya pendirian 😁. Sejak dulu saya memang punya selera yang beda dengan orang-orang sekitar. Ya walaupun yang saya sukai adalah genre musik yang memang tenar pada masanya; semacam pop-punk/rock tapi tetap saja genre musik seperti itu bisa dibilang nggak pernah diputar di radio-radio kampung.
***
Nah, kembali ke cerita si anak tadi. Saya kemudian mencoba memperjelas pernyataannya. "Kalo misalnya kamu punya uang dan punya kesempatan, kamu mau berangkat nonton konser Blackpink?!"
"Mau lah, Umi." Dengan alasan yang sama seperti yang dia sampaikan diawal, 'kayaknya seru'.
Yang saya pikirkan tentang kejadian itu adalah, ada berapa banyak anak-anak kita sekarang yang punya pola pikir semacam itu? Cerita tentang konser Blackpink tempo hari yang 'katanya' banyak diisi poser-poser dadakan membuat saya mengevaluasi masa muda diri sendiri.
Dulu tahun 2005 Avril Lavigne pertama kali konser ke Indonesia. Seharian saya kepikiran terus sampai nggak semangat untuk ngobrol sama orang. Tapi kalaupun saat itu saya punya uang dan kesempatan untuk pergi nonton konsernya, saya tetap nggak akan berangkat. Kenapa? Karena pada saat itu prioritas utama saya bukanlah hiburan. Kok saya bisa tahu? Karena saya juga bahas hal itu pada saat itu, dengan adik saya.
Ketika memutuskan untuk membelanjakan uang yang banyak, selalu ada pikiran, "is it worth it?" Saya beli album Avril Lavigne yang asli sampai harus menabung berhari-hari karena saya pikir itu sebagai bentuk apresiasi terhadap karyanya, tapi kalau untuk datang ke konsernya saya masih ragu-ragu. "Apakah dia bisa tampil sebagus seperti di rekamannya? Apakah uang sebanyak itu bisa saya belanjakan untuk hal lain yang lebih berguna?" Padahal Avril Lavigne adalah satu-satunya penyanyi yang saya sukai pada saat itu.
Maka ketika mendengar ada orang yang ingin menonton konser hanya karena 'kayaknya seru', saya benar-benar nggak habis pikir. Mau bilang pikirannya dangkal kok kasar banget, tapi saya nggak nemu istilah lain yang bisa menggambarkan kedangkalan pikiran semacam itu. Coba deh pikirin, uang ratusan ribu bahkan jutaan yang bisa untuk makan sebulan (bahkan buat umroh 😩) kamu habiskan hanya untuk melakukan sesuatu yang kamu sendiri nggak tahu, kamu suka atau nggak sama hal itu?! Bahkan untuk urusan kesukaan, kamu sendiri nggak tahu apa yang kamu sukai?! What the hell???? Kok bisa?!
Tapi akan selalu ada alasan untuk ikut melakukan yang orang-orang lakukan. Karena tentu lebih mudah bersama dengan orang banyak daripada sendirian. Hanya saja kalau sampai harus merugikan diri sendiri dan masa depan, (dalam hal ini materi) kok rasanya sayang sekali. Saya sendiri baru berani beli kaos merchandise Linkin Park baru-baru ini karena merasa selama ini kurang mengapresiasi mereka sebagai salah satu musisi yang paling berpengaruh dalam hidup saya. Baru berani pesen jaket ONE OK ROCK dan beli tiket konser online-nya awal bulan Juni mendatang karena yakin bahwa mereka benar-benar sudah merebut hati saya. (Belum checkout sih, tapi sudah fix mau beli nanti setelah gajian) Coldplay? Saya cuma tahu 4 lagunya, jadi bye bye saja lah.
Dan setelah saya pikirkan, ternyata saya yang begitu pemilih ketika menentukan sikap itu sepertinya dipengaruhi salah satunya oleh pola asuh orang tua. Sejak kecil, orang tua saya selalu berpesan untuk 'ojo melu ubyug', yang bisa diartikan 'jangan ikut kerumunan' atau 'jangan suka ikut-ikutan yang dilakukan orang-orang kebanyakan'. Orang tua saya begitu selektif 'memilihkan' teman untuk saya, saking selektifnya sampai-sampai saya cuma boleh temenan sama buku 😂. Setiap kali mengetahui saya mengoleksi sesuatu, mereka selalu menanyakan alasannya. Saya tidak boleh menyukai sesuatu tanpa alasan.
Maka ketika akhir tahun 2020 lalu saya mulai tertarik dengan ONE OK ROCK, dalam pikiran saya refleks muncul pertanyaan 'apa yang membuat band ini istimewa di hati saya?'. Saya pikir itu agak berlebihan, tapi setelah diingat-ingat itu memang sudah kebiasaan yang dibangun orang tua kepada saya sejak kecil. Jangan menyukai atau melakukan sesuatu hanya karena orang lain juga menyukainya atau melakukannya. Kamu harus menyukainya atau melakukannya karena kamu tahu alasan kebaikan hal tersebut.
Dan ternyata ... hal itu juga merupakan ajaran agama Islam. Tentu saja orang tua saya yang nggak bisa baca Alif Ba Ta itu nggak tahu tentang konsep 'Imma'ah'. See? Seorang muslim itu harus punya prinsip, harus punya landasan mengapa dia melakukan sesuatu. Kalau bahasa kerennya, harus tahu ilmunya.
Dari Abdurrahman bin Yazid, diriwayatkan bahwa ia menceritakan, "Abdullah berkata
'Janganlah kamu sekalian menjadi imma'ah.' Orang-orang yang hadir bersama beliau bertanya, 'Apakah arti imma'ah itu?' Beliau menjawab, 'Yaitu sikap orang yang menyatakan, 'Saya ikut dengan kebanyakan mereka, baik dalam hal yang ada petunjuknya atau pun dalam hal yang tidak ada petunjuknya (kesesatan).' Ingatlah, hendaknya masing-masing diantara kamu menguatkan dirinya, yakni bila orang banyak itu kufur, maka engkau tidak ikut kufur."
Coba pikirkan lagi nasihat di atas. Kalau ikut-ikutan maksiat wajar lah nggak boleh. Tapi nasihat itu juga menyebutkan bahwa kita nggak boleh ikut-ikutan berbuat kebaikan. Intinya, jangan ikut-ikutan kalau melakukan sesuatu. Harus ada alasan pribadinya. Harus tahu kenapanya. Dan hal ini yang saya lihat tidak dimiliki orang-orang, alasan untuk setiap gerakannya. Apa akibatnya?
Orang yang nggak punya alasan untuk tindakannya pasti akan lemah pendiriannya. Hari ini suka A, bulan depan suka B. Sekarang beli C, besok belanja D. Hanya karena melihat orang-orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Maka penting sekali kita mengenali standar pribadi. Kalau dalam hal selera hiburan misalnya, jenis musik seperti apa yang disukai? Genre film seperti apa yang menurutmu seru? Sarana hiburan apa yang membuat kamu paling bersemangat? Sehingga ketika kamu akhirnya membelanjakan uang untuk hal-hal tersier tersebut, kamu benar-benar berakhir bahagia karena bisa menghilangkan kepenatan dan memuaskan seleramu. Kalau cuma ikut-ikutan, yang ada malah cuma pemborosan karena dirimu yang sesungguhnya bisa jadi nggak mendapatkan haknya karena kamu kasih sesuatu yang bukan kebutuhannya./
Image by Pexels from Pixabay |
Assalammualaikum Ladies,
I've been thinking a lot lately about what I'll do if we ever close, or have to close, AA. I think it's due largely to the fact that some of the people around me have told me that they are either quitting their jobs, changing their roles, or even closing the 16-year old business that they've come to love and cherish. And it affected me because whether we like it or not, we as a society have been led into thinking that what we do as a profession contributes a big part to our identity, and I relate to that because a huge part of what makes me Aida, is this work that I do.
One of the ladies on our AA Plus Community shared something super interesting in our Live Hangouts just last weekend. She said, "if you were to remove your job, and your family and friends, what are you left with? Who are you, outside these titles?" And that stumped me because I've always associated myself with my work; when someone asks me, "So Aida, tell me about yourself", the first thing I'll always say, sometimes shyly, sometimes with pride, "Oh! I'm a writer!"
So after days of trying to figure out what would I actually do if I cannot write for a living, the first thing that came to my mind was, "I'll clean."
I had a little laugh by myself about my answer, but after giving it a few deep thoughts about it, I realised that the act of cleaning, is not just merely dusting or rubbing off stains in a physical space, it's an act that, when done sincerely, have always led me back to Him.
I have always loved to clean. The first order of the day before I even sit down to start work will always be to wipe my desk and arrange my books and my accessories. I tell myself, "if you want to do honourable work, honour your working environment." When I'm particularly stressed about something, I'll clean. I'll sweep the floors of my home, I'll clean my windows, I'll wash dishes - and when I clean, I think. I process my thoughts. When I'm pressed for time and I have to choose between working out and cleaning, I'll clean, because I 100% believe cleaning is also another form of cardio lol. I'll also volunteer to clean my closest friends' rooms, because I love to see how happy they are when they walk into a neat and orderly home.
Basically, I'm useless in the kitchen, but I'm your girl when it comes to cleaning up.
And I've never questioned this love for cleaning or even gave it more than a second thought, but here I am, writing a Love Letter about it to you guys! And I think He has pulled me to do so because He wants me to understand what a blessing it is to be able to clean, as Rasulullah SAW said in a Hadith, "Cleanliness is half of faith (Iman)". (Muslim)
Think about this: before performing our Solah, we have to clean ourselves by doing Wudhu. And this act of cleansing ourselves have so much meaning and significance, if only we reflect. Allah wants us to meet Him in a purified state, and it is also Wudhu that will allow Rasulullah SAW to recognise us in the Day of Judgement because we will radiate light as an effect of our Wudhu. Rasulullah SAW said, "On the Day of Judgment, Allah (swt) will resurrect my nation among other nations while their faces are white and they are bright and this merit is one of the effects of their wudu". Now, this is what I call a real, literal, legit, "glow up" guys, and I pray that we will all have that radiance on that day, Amin.
Whenever I clean, I always feel like it's a spiritual exercise: as I put things back to its proper place, I realised this is teaching me Adab because Dr. Syed Muhammad al Naquib bin Ali al-Attas defined a person of Adab as she who acts "with justice to ensure that everything is in its right and proper place." It is not the right Adab to have our prayer mat thrown to the corner of a room, or our Quran at the back of a shelf, collecting dust. When I sweep my floor, I imagine myself stripping myself off my worldly attachments. When my home is in order, my heart is less cluttered. Plus there are no words to describe the feeling of smelling freshly dried laundry and plonking yourself on clean fluffy sheets after a long day of work.
And here's the thing, guys... I think we should all be cleaners. Because someone who cleans is not just someone who polishes windows and tidies up the room, but the one who cleans is she who values herself enough to always want to be in a state of purity and cleanliness - a state that Allah loves. She who cleans is someone who not only remove grimes and stains, but she also strives to wash away anger, ill-thoughts and judgements off of her heart.
But most importantly, here's the #1 lesson I've learned from cleaning: nothing starts out dirty or becomes rubbish. It's our lack of care, attention and gratitude that has allowed something that used to be so precious to turn into waste. And that could easily be our hearts, our relationships, and of course, our homes, if we do not conscientiously "clean".
-
So yes, I guess if I no longer can write for a living, I'll clean. And I'll keep on cleaning till I can write again because I'm sure the only reason why I won't be able to write is because I've allowed my heart to accumulate dust of insincerity, stains of sins, and blotches of arrogance.
I pray may we always be diligent "cleaners" so that it will allow us to meet our Lord in the most purified, and dignified state, Amin.
-
Love always,
A