SLIDER

You; 3 Desember 2019

Selasa, 31 Agustus 2021

 


// i wrote this letter for myself but i'm sharing this with the hopes
that it might make anyone else feel a little less alone //

Dear you, 

Thank you for trying your best today. 
I know how hard it must be, trying to make sense of it all, especially when time is scurrying past you, and every day you get further and further away from where you actually want to be. But you pulled yourself out from hebetude, and you showed up. Even at 8 pm when it was much easier to throw in the towel and say "day's gone anyway", you got up, splashed some water on your face, and you got down to work. So yes, thank you for trying your best today. 

Thank you for being your own friend today.
You spend a lot of time on your own. Some nights it gets so quiet and unbearably lonely that you cry yourself to sleep. But within this gentle lull of silence, you realised that you now get to hear your own voice. A voice that has been so desperate to reach out, but have been drowned by the noises and clutter of this world. At first, you resisted and fought against it. But one by one, He sent everyone away so that you could be with the only company you need. And with His grace, you started giving yourself the chance to get to know the only person who will ever be with you in every painful, beautiful, nerve-wrecking, bewildering phases of your life. You also will soon realise how dandy you actually are, but you will also acknowledge the human-ness of your own being: that sometimes you mess up and have no idea what in the heavens you are actually doing with your life. But that's cool - because now you have you. You are your own advocate and you are your own cheerleader and when your roots are deep, there is no reason to fear the wind. So thank you for anchoring yourself, and for being your own friend today.  

Thank you for forgiving today. 
There was once you asked, "when will all this pain end?" The hurt swallowed you up like a reckless fire savouring a helpless piece of wood. Today you finally realised the answer; that you choose when the pain ends.  While it is easier said than done, you still know in your heart of hearts that you can never heal and move forward if you don't make the decision today to forgive and let go. So thank you for forgiving today - you forgive not because you condone the act or the behaviour, but you forgive so that you stop destroying your own heart. 

Thank you for choosing gratitude today.
It is so easy to play the victim and blame everyone and everything when nothing is going your way. It's even easier to compare and complain. But "grass will always be greener where you water it", and you've realised that where you focus your energy on, grows. Which is why you've been counting your blessings - big, tiny, small, epic - all of them, regardless the "size". And this powerful act has changed your world. So thank you for not waiting for "joy" to happen before you choose to be grateful. Thank you for choosing gratitude so that it makes you joyful instead. <3

Thank you for speaking to Him today. 
I will leave the conversations you have with Him private, as it should always be, but thank you, for spending a bit of time with the One who loves you most. If you only know how much He misses you when you drift away and get too busy to have these on-on-one conversations with Him. So please don't go too far and chase the mirage of this temporary world and forsake your forever, ok?

Thank you for doing the heartwork today.
The path back to Him is a wonderful one, but some days you can falter and lose your bearings and directions. Not every day will you feel a spiritual connection, let alone a high. Missed prayers, times wasted, bad company - it's a struggle. But heart work is hard work and for every good intention, humble attempt, and sincere seeking of Him, Allah will guide, send help, and reward. Just remember that there is always sweetness in the struggle, so keep striving just like you did today, will you?

Most of all, thank you for choosing you today.
Thank you for getting up today, and choosing to live. Thank you for seizing this temporary gift of life that Allah has bestowed onto you to do something good. Thank you for choosing growth over grief, hope over despair, and trust over contempt. You've been such a warrior because of all the fighting you've done against yourself, but you now know that it's time to finally be your own ally, and I can't wait to see how much your life will completely transform now that you've started choosing yourself. :) So thank you.

-

My dear, it is my own fault that I don't say this enough, but again, from the bottom of my heart, thank you, dear self. I promise to take better care of you and to work hard with you to be on His path, till the day we finally get to return to Him. Amin. 

I love you,
a.



Dari self-confidence sampai senyum tanpa pamrih

Sabtu, 28 Agustus 2021

 بِسْمِ اللهِ الرَّحْمٰنِ الرَّحِيْمِ
In the name of Allah, the most Gracious, the most Merciful

Membaca salah satu Tuesday Love Letter hari ini, dari topik self-confidence sampai berujung pada urgensi amal tersenyum membuat saya merenung.

Pertama, tentang kepercayaan diri. Bahwa ketika kita sedang berada di lingkungan asing dan keluar dari zona nyaman -mencoba hal-hal baru, misalnya- akan membantu dalam membangun kepercayaan diri. Perasaan merasa sendiri dan tidak mempunyai apapun/siapapun untuk diandalkan akan membuat diri kita terpaksa mengandalkan diri sendiri.

Saya sering sendiri sejak kecil. Pulang sekolah sendiri, sampai di rumah sendiri, yang itu membuat saya tidak ingin menjadi ibu bekerja. Saya iri melihat teman-teman saya pulang sekolah disambut ibunya di rumah. Tapi itu mungkin jadi penyebab paling awal saya terbiasa dengan kesendirian. I'm OK being alone, bahkan akhirnya saya merasa lebih baik ketika sendirian. Dan rasa nyaman terhadap kesendirian itu mungkin yang menyebabkan saya menjadi introvert.

Orang biasanya mengasosiasikan introvert sebagai pemalu. Padahal menurut saya, justru orang-orang introvert itu memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Dulu saya sering sekali merasa aneh melihat teman-teman saya yang batal jalan ke kantin hanya karena tidak ada temannya. 'Kamu yang laper pengen jajan kenapa harus temenmu yang ikut jalan?' Atau merasa geram ketika ada orang terlambat karena menunggu temannya yang lambat, like... HOW??? Kenapa harus rela merendahkan integritas diri hanya karena teman? That doesn't make any sense. Dan orang-orang ini, yang biasanya rame dan so called ekstrovert bilang bahwa kami introvert ini pemalu. Pemalu dari mananya?!

---

Lalu berlanjut kepada pembahasan berikutnya, tentang tersenyum. Dalam suratnya, Aida menceritakan tentang pengalaman muslimah yang travelling ke negeri minoritas muslim. Bagaimana mereka harus menghadapi tatapan-tatapan aneh dari orang-orang di sekitar karena penampilan yang berbeda, itu membuat sangat tidak nyaman dan mau tidak mau berakibat pada munculnya rasa insecure dalam diri mereka.

Aida is such an intelligent woman. Responnya terhadap cerita-cerita tersebut adalah menanyakan, "have you ever tried, just smiling at them?" dan penjelasannya terhadap hal ini membuat saya merenungi lagi keberadaan 'kasta-kasta muslimah' di negeri kita sendiri. Seorang muslimah dengan hijab di negeri orang, tentu merasa terpojok jika mendapat tatapan aneh dari penduduk setempat. Tapi di Indonesia, dulu sekali, menjadi muslimah berjilbab panjang saja bisa mendapat tatapan sangat aneh dari sesama muslimah. Ironi sekali memang. Dan sumber tatapan aneh itu, bukan berasal dari kebencian melainkan dari ketidaktahuan. Mereka mungkin menatap aneh karena jilbab yang kita kenakan adalah konsep yang asing bagi mereka dan apapun yang mereka ketahui tentang jilbab ini hanya terbatas pada apa yang mereka lihat/baca di media. Let's be real, kalau sesama muslim saja banyak yang tidak tahu tentang Islam, bagaimana mungkin kita mengharap non-Muslim untuk mengetahuinya, kan?!

Dan untuk menghadapi tatapan-tatapan aneh itu, you could try smiling. Terdengar sederhana dan mudah, tapi percayalah, it's not. Terutama bagi para jilbaber di masa-masa awal dakwah Islam masih asing di sini. Terlebih lagi dengan sifat alamiah perempuan yang pemalu seperti saya gambarkan di awal tulisan ini.

Photo by Pixabay

Let me tell you a story. Dulu, waktu masih awal-awal kuliah saya sering dianggap sebagai akhwat gampangan di kalangan akhwat-akhwat kampus. Saya memang jarang tersenyum -jaaaaaaaraaaaang sekali- tapi saya selalu mencoba membuka obrolan kepada siapapun, termasuk laki-laki. Dan kalau sudah mengobrol, seringkali secara tidak sadar saya akhirnya tersenyum kepada lawan bicara. Hal yang sangat asing dilihat dari seorang akhwat, karena ketika akhwat lain 'terpaksa' mengobrol mereka selalu ingin segera mengakhiri. Siapa coba yang mau ngobrol sama orang yang nggak mau diajak ngobrol?!

Kalian tidak akan percaya bahwa saya adalah introvert kalau melihat saya sedang mengobrol dengan teman-teman saya di kampus. Tapi kalian akan menganggap saya pembunuh berdarah dingin kalau sedang sendiri. Teman-teman sekelas saya sering mengatakan kalau saya punya 2 kepribadian yang berbeda. 😂

Alasan saya bermuka dua itu adalah karena saya mengamati bahwa ada yang kurang tepat dengan pembawaan para akhwat-akhwat di lingkungan mereka. Akhwat-akhwat berjilbab lebar selalu dianggap sombong dan eksklusif. Saya tidak tahu apakah ini masih berlaku sampai sekarang. Tapi saya melihat itu adalah sesuatu yang tidak benar. Maka saya mencoba to break the stereotypes meskipun itu sangat bertolak belakang dengan kepribadian saya sendiri. Karena kalau mau jujur, kita tidak bisa mengharap stereotype itu hilang jika kita tidak memulai langkah pertama. Kita tidak bisa memaksa orang lain memahami kita jika kita tidak menjelaskan terlebih dahulu kepada mereka. Nyatanya saya hanya butuh beberapa bulan untuk akhirnya bisa kembali kepada kepribadian saya yang asli setelah mengajak teman-teman sekelas saya memahami kepribadian asli saya yang aneh. Setelah mengenal saya, mereka tidak pernah segan lagi mengganggu saya meskipun saya datang ke kampus dengan wajah datar dan menatap sesuatu dengan pandangan sinis. 

Tapi, refleksi paling menarik dari topik ini menurut saya adalah tentang niat tersenyumnya itu sendiri. Ketika tersenyum kepada orang-orang di luar lingkaran pertemanan, saya bisa tulus dan tidak mengharap balasan apa-apa. Tapi seringkali, sadar atau tidak, saya seringkali mengharap balasan jika senyum itu say aarahkan kepada sesama muslimah terutama yang berjilbab lebar. Dan tentu saja saya sering kecewa, karena rata-rata mereka sudah menyetel diri mereka untuk menjaga jarak dengan orang lain. Tentu tidak semuanya, tapi setidaknya kebanyakan yang saya temui dulu begitu, don't know why. Padahal senyum adalah salah satu amalan paling ringan, dan harusnya saya melakukannya bukan sekadar ingin dinilai sebagai orang yang ramah atau demi menjaga image di hadapan manusia. 

Senyumlah engkau hanya kerana Allah
Itulah senyuman bersedekah

I don't know why lagu itu sudah saya dengar sejak lama sekali tapi baru sekarang saya merasa benar-benar memahami maknanya. Jika kamu tersenyum pada orang lain dan dia tidak membalas senyummu, so what?! Kalau kamu mengharapkan balasan senyuman dari orang itu, bisa jadi itu adalah pertanda bahwa kamu belum ikhlas dengan senyummu.

Saya benar-benar harus mulai lebih peduli dengan apa yang saya lakukan dan bagaimana saya merespon hal-hal yang ada diluar kendali daripada sibuk memikirkan apa yang orang lain pikirkan atau lakukan terhadap saya. Dan lebih banyak tersenyum dengan niat yang benar; melaksanakan perintah Allah dan menebarkan keramahan Islam ke sesama manusia. That's all.

Semua Menang, Semua Senang

Jumat, 20 Agustus 2021

 



Jadi ceritanya beberapa hari yang lalu sekolah Aqsha mengadakan lomba dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam sekaligus Hari Kemerdekaan Indonesia. Lombanya ada 2, nyanyi lagu nasional sama mewarnai. Tentu saja Aqsha ikut lomba mewarnai karena dia nggak bisa nyanyi dan orang tuanya terlalu sibuk untuk nyanyi bareng dia. 

Hasil lomba diumumkan tadi siang, dan seperti yang sudah saya duga Aqsha juara. Juara apa gitu tadi saya lupa. Nah, persoalan juara ini yang mau saya bahas kali ini.

Saya sudah punya masalah dengan konsep perlombaan di lembaga tempat saya mengajar ini sejak dahulu kala. Awalnya dulu waktu saya pertama kali mengalami jadi panitia lomba sekolah dan harus membuat kriteria pemenang yang bejibun. Saya heran kan, "kalau pemenangnya banyak ya nanti menang semua dong?" Muncullah pertanyaan itu. Dan Anda tahu bagaimana jawabannya saudara-saudara?! 'Kita mau mengapresiasi usaha mereka, Bu. Lagipula semua anak itu juara.'

Sampai 2017, seingat saya tradisi lomba ala-ala itu masih ada. Tapi belakangan sepertinya sudah mulai hilang. Terbukti ketika lomba Muharram dan HUT RI kemarin pemenangnya sudah mulai lebih dikurasi. Tapi yang SD dan TK ini yang masih belum berubah. Saya perhatikan, sejak Qia sekolah sampai sekarang Aqsha mengalami lomba masih saja mereka dapat juara.

Yang membuat saya penasaran adalah, darimana orang-orang ini punya pemikiran aneh seperti itu. Saya paham tentang logika 'semua anak adalah juara'. Tapi mbok yo lihat konteksnya. Yang namanya lomba itu memang harus ada yang menang, Qia saja tahu tanpa perlu diajarin soal itu. Kalau bagi rapor tanpa peringkat itu juga saya paham, karena yang dinilai bukan satu atau dua kompetensi. Sementara yang namanya lomba, tentu saja spesifik. Lomba nyanyi, lomba ngaji, lomba nulis, dll. Pesertanya haruslah sudah merasa punya kompetensi untuk mengikutinya. Sehingga ketika ada yang lebih unggul dari dia hal itu akan memacunya untuk berjuang menjadi lebih baik lagi. Lha kalau usaha minimal saja sudah jadi juara terheboh, juara termanis, juara tersopan, kapan dia belajar gagalnya?!

Satu alasan yang pernah saya dengar dari salah satu rekan guru yang sebenarnya juga tidak setuju dengan konsep aneh ini tapi tidak punya daya dan upaya untuk berbuat sesuatu adalah bahwa kasihan kalau anak-anak yang masih kecil harus mengalami hal yang menghancurkan hatinya. Dan alasan itu justru membuat saya semakin heran, sekaligus menyimpulkan sesuatu juga sih. Heran karena saya tidak mengerti bagaimana mungkin orang-orang dengan pengalaman bertahun-tahun menjadi pendidik kok bisa tidak tahu bahwa kalau anak sejak kecil tidak pernah mengalami kegagalan justru dia akan menjadi rentan ketika dewasa. Dan disaat yang bersamaan saya pun jadi maklum kenapa anak-anak Islam Terpadu itu rata-rata daya juangnya rendah sekali. Karena memang jarang mengalami kegagalan. Pokoknya juara. Selama lombanya di lingkungan sendiri pasti menang. Lihatlah anak-anak IT yang ikut lomba di luar lingkungannya, jarang yang menang kan?!

Jadi ya gitu. walaupun diminta untuk mengambil bingkisan juara saya pun tidak terlalu semangat untuk ke sekolah karena saya tahu kualitas Aqsha belum cocok untuk jadi juara. Saya hanya berharap tradisi aneh ini suatu saat akan disadari oleh mereka dan diperbaiki.

Tidak Ada Foto Hari Ini

Rabu, 18 Agustus 2021

 


Salah satu hal yang saya baru sadari setelah menjadi guru adalah bahwa kami juga harus punya keterampilan sebagai fotografer untuk murid-murid. Terutama para wali murid kelas 7, hampir setiap hari akan menanyakan kabar dan minta foto. Kalau sudah dikirimkan foto, akan tanya lagi ke mana anaknya kok tidak terlihat. Contohnya pas tanggal 17 Agustus kemarin. Karena di sekolah ada lomba-lomba, kami bagikan foto-foto dan video kegiatan di grup wali murid. Dan karena niatnya memang buat dokumentasi kegiatan, yang jadi objek ya kegiatannya. Kalaupun ada anak-anak yang ketangkap kamera itu berarti dia sedang beruntung.

Seperti yang sudah diduga, selain ucapan terima kasih dari orang tua yang beruntung menemukan wajah anaknya di foto dan video tersebut, tidak lupa beberapa orang tua lain yang menanyakan keberadaan anaknya. "Kok nggak ada ya, Ustadz?" "Itu lagi ngapain ya, Ustadz?" yang sebenarnya seringkali bikin saya geregetan bacanya.

Gini lho, saya jelasin... Mudah-mudahan bisa jadi bahan renungan untuk teman-teman yang ada rencana mau masukin anaknya ke pesantren atau sekolah berasrama lainnya.

Itu anak ratusan, gurunya 30an kurang. Masa mau difoto anaknya satu-satu buat dikirim ke orangtuanya biar apa sih?! Obat kangen?! Ya kalau nggak mau kangen jangan sekolah di pesantren! Eh, kok jadi kayak nyolot ya malahan?!

Sebenarnya orangtua yang rajin nanyain kabar anaknya itu nggak banyak. Biasanya dari 30 murid, 10 diantaranya punya orangtua yang sangat perhatian. 10 x 2 jadinya 20 karena biasanya orangtua itu terdiri dari Ayah dan Bunda. Anggap saja di sekolah kami ada 6 kelas, jadi sekitar 120 orangtua yang hampir setiap hari menanyakan kabar anaknya dan minta foto. Gimana? Mulai terbayang? 😁

Dan karena bukan mayoritas, maka sebenarnya saya juga tidak punya alasan untuk mengeluh begini. Hanya saja, teman-teman, sebagai penganut ideologi pendidikan konservatif, izinkan saya cerita. Bahwa zaman dulu, orang-orang hebat dari para ulama kita itu nggak ada yang digandoli sama orangtuanya ketika sedang menuntut ilmu. Ini bukan masalah teknologi. Apakah kalau Imam Syafi'i hidup di zaman sekarang ibunya akan ngechat gurunya tiap hari untuk menanyakan kabar anaknya?! For me, it's a part of lack of adab. Dan sebagai orangtua, seharusnya menjadi teladan bagi anaknya untuk menjaga adab terhadap gurunya.

Suami saya dulu kadang-kadang juga mengeluh ke saya kalau sudah mulai banyak menerima pertanyaan meminta foto dan menanyakan kabar. Dan biasanya saya jawab dengan santai, 'berarti nanti kita jangan repotin gurunya Qia dan Aqsha kalau ada foto-foto kegiatan di grup WA.' 

And here He is. Setiap kali gurunya Qia nge-share foto kegiatan, sebelum pandemi, dia selalu ngezoom fotonya satu per satu lalu komentar sendiri, 'segini banyak foto kok nggak ada Qia.' 😏


Student Hidjo dan Bagaimana Kita Mengapresiasinya

Rabu, 07 Juli 2021


Judul
: Student Hidjo
Penulis : Mas Marco Kartodikromo
Bahasa : Indonesia, Belanda
Format : Paperback, 140 halaman
Penerbit : Narasi (2010) 
pertama terbit sebagai buku tahun 1919
Harga : Rp. 30.000,-

Menelisik sosok Mas Marco yang cukup berpengaruh terhadap pergerakan nasional sebelum kemerdekaan, awalnya saya mengira akan membaca sebuah karya sastra perlawanan. Tapi ternyata tidak. Setidaknya, karakter perlawanannya tidak sekuat Bumi Manusia. Buku ini berkisah tentang Hidjo, anak saudagar kaya di Solo yang oleh Ayahnya disuruh untuk melanjutkan studinya ke Belanda. Selain karena anaknya memang cerdas, kekayaan saja tidaklah akan cukup untuk menaikkan status sosial keluarganya jika dibanding dengan bangsawan alami yang dekat dengan Gouvernement. Jika Hidjo lulus sekolah dari Belanda dan menjadi pegawai Gouvernement, maka mereka akan lebih dihormati seperti para priyayi lainnya. Di zaman dulu, memiliki status sosial yang tinggi dan diakui oleh pemerintah menjadi sesuatu yang penting. Dan sepertinya sampai hari ini hal itu juga tetap menjadi hal yang sangat penting, kan?! 

"Kadang-kadang saudara kita sendiri, yang juga turut menjadi pegawai Gouvernement, dia tidak mau kumpul dengan kita. Sebab dia pikir derajatnya lebih tinggi daripada kita yang hanya menjadi saudagar atau petani."

Ibunda Hidjo, Raden Nganten Potronojo sangat khawatir anaknya akan terpengaruh budaya Eropa yang tidak beradab. Selain itu, sekolah di Belanda tentu butuh waktu yang tidak sebentar. Setidaknya 7 tahun ia harus berjauhan dengan Hidjo dan dia tidak yakin akan bisa menahan rindu selama itu untuk tidak bertemu dengan anak semata wayangnya. Ditambah lagi Hidjo telah dijodohkan dengan Biroe, anak kerabatnya sendiri. Bagaimana kalau nanti Hidjo malah jatuh cinta dengan gadis Belanda yang cantik-cantik dan tidak tahu adab itu?!

Tapi meskipun berat hati melepas putranya, Raden Nganten Potronojo tetap harus rela mengantar kepergian Hidjo demi kebaikan masa depan anak kesayangannya itu. Bersama dengan Biroe dan keluarganya, Ayah dan Ibu Hidjo mengantar keberangkatan Hidjo hingga kapal meninggalkan Tanjung Priok. Hidjo sendiri berangkat bersama gurunya dan di Belanda nanti akan dititipkan kepada seorang pengusaha Belanda, saudara dari gurunya tersebut.

Konflik mulai muncul ketika sepulang dari mengantar Hidjo, rombongan keluarga Biroe dan Raden Potronojo menginap sebentar di sebuah hotel di Djarak. Di sana mereka bertemu dengan keluarga Regent Djarak yang ternyata anak laki-lakinya, Raden Mas Wardojo adalah teman dekat Hidjo di HBS. Pertemuan itu membuka fakta bahwa Raden Ajeng Woengoe, adik Wardojo selama ini menaruh hati pada Hidjo. Dan ketika melihat kecantikan Biroe, Wardojo yang tidak mengetahui bahwa ia adalah tunangan Hidjo, pun langsung tertarik pada Biroe. Jadi, kisah cinta macam apa ini? Cinta bujur sangkar?! 😁

Keruwetan kisah cinta ini tidak berhenti pada 4 orang ini saja. Di Belanda, Hidjo yang selalu berusaha bersikap santun pun akhirnya jatuh pada godaan Betje, anak perempuan induk semangnya sendiri yang sudah tergila-gila padanya sejak pertama kali bertemu. Lalu di Indonesia, Raden Ajeng Woengoe yang jelita itupun dilamar oleh Controleur Walter yang baik hati dan begitu mencintai budaya Hindia terutama Jawa.

***

Secara narasi maupun plot, Student Hidjo bukanlah sebuah masterpiece. Bahkan bisa dibilang, ending kisah ini sangat payah karena hanya sebuah epilog ringkas sepanjang 7 baris di akhir novel. Padahal jika mau fokus pada tema kisah cinta Hidjo dan orang-orang di sekitarnya itu, mungkin novel ini bisa menjadi sebuah kisah romance yang cantik lalu melegenda seperti Sitti Nurbaya. Tapi sepertinya memang Mas Marco bukan tipe penulis yang seperti itu. Karena meskipun Student Hidjo adalah kisah roman, kita tetap akan merasakan aroma kritik pedas terhadap penguasa menyelisip di sela-sela keruwetan kisah cinta anak-anak priyayi Jawa itu.

Secara halus, Mas Marco ingin menunjukkan bahwa kedudukan manusia sesungguhnya setara. Baik orang Hindia maupun Belanda, pada dasarnya adalah sama-sama manusia. Hal itu ditunjukkan dalam sebuah adegan singkat ketika Hidjo baru sampai di Belanda,

"Kalau di Negeri Belanda, dan orang-orangnya cuma begini saja keadaannya, apa seharusnya, orang Hindia musti di perintah oleh orang Belanda," begitu kata Hidjo dalam hati.

Student Hidjo juga menunjukkan bahwa ada orang Belanda yang baik hati, demikian pula banyak pribumi yang tidak tahu diri. Kita bisa lihat bagaimana Walter membela seorang jongos yang dihina oleh sesama orang Belanda dan membeberkan kelebihan-kelebihan orang Hindia dibanding Belanda. Di bagian ini sejujurnya saya merasa sedang membaca laporan jurnalistik ketimbang sebuah cerita. Di beberapa bagian juga Mas Marco menyinggung sedikit tentang mulai munculnya pergerakan Sarekat Islam di Jawa.

Hal lain yang juga membedakan Student Hidjo dengan karya sastra pada masanya adalah penggambaran tentang tradisi perjodohan yang tampak normal-normal saja di buku ini. Tidak ada perlawanan dari anak terhadap perjodohan yang disiapkan orang tuanya, -mungkin karena jodohnya juga rupawan dan sesama bangsawan?- tidak ada pertentangan kaum muda dan kaum tua, semuanya berjalan mulus-mulus saja. Mas Marco seolah ingin menyampaikan bahwa tidak selamanya perjodohan itu sebagai wujud sikap egoisme orang tua. Dan orang tua bukanlah manusia batu yang tidak bisa membaca hati anaknya. Cinta juga bukan satu-satunya hal yang paling penting di dunia, sehingga Mas Marco dengan seenaknya membuat ending yang 'begitu saja'. 

Jadi kalau mau menyimak kisah cinta menarik dengan plot yang rumit dan gaya penulisan yang puitis, novel ini jelas bukan pilihan. Bagi saya narasi di buku ini terlalu deskriptif, plotnya pun mengalir ringan saja tanpa ada tambahan konflik yang berarti. Tapi penggambaran karakter tokohnya cukup kuat sehingga saya bisa membayangkan tokoh-tokoh di novel ini. Dengan hanya 140 halaman saya bisa menyaksikan pergolakan batin Hidjo yang cerdas, kalem bahkan cenderung lugu menghadapi genitnya Betje dan diam-diam memendam rindu pada tanah airnya. Demikian juga karakter-karakter Biroe, Woengoe, Wardojo dan lain-lain.

***

Pertama kali kemunculannya sebagai cerita bersambung di Harian Sinar Hindia tahun 1918, Student Hidjo diterbitkan dengan embel-embel "tak boleh dikoetip". Maka kita akan tahu mengapa tidak ada banyak tema perjuangan maupun perlawanan di novel ini. Dan ini menunjukkan keberanian Mas Marco dalam membuat sebuah karya sastra yang berbeda dengan sastra keluaran Balai Pustaka. Sayangnya, sampai seabad sejak Student Hidjo terbit baru tahun lalu saya mengenalnya. Itupun karena saya iseng mencari di google dengan keyword "sastra lama Indonesia". Sebelumnya, sastra lama Indonesia yang saya tahu hanyalah karya-karya penulis Balai Pustaka.

Menurut saya Student Hidjo cocok untuk dijadikan bacaan untuk siswa-siswa SMA agar nilai-nilai tradisi maupun semangat kesetaraan yang sudah ada sejak ratusan tahun lalu di bangsa kita bisa lebih dikenali oleh generasi muda bangsa ini. Kita butuh pandangan lebih objektif mengenai sejarah bangsa kita yang tercermin dari karya sastra yang beragam, bukan hanya tentang penindasan laki-laki atas perempuan atau tentang keegoisan kaum muda dan ketidakberdayaan anak muda. Yang mana nyatanya negara kita dibebaskan oleh anak-anak muda.

Islam itu ramah, bukan marah; sebuah review

Kamis, 24 Juni 2021

 





Judul : Islam itu Ramah, Bukan Marah
Penulis : Irfan Amalee
Format : Paperback, 197 halaman
Penerbit : Noura Publishing (2017)
Harga : Rp. 20.000

Dari judulnya saja saya sudah bisa menebak bahwa buku ini akan membahas tentang karakter muslim yang dianggap 'sumbu pendek' belakangan ini. Entah memang begitu, atau stereotype itu memang sengaja ditampilkan untuk merusak citra Islam, saya tak tahu.

Pertama kali tahu buku ini dari seorang bookstagramer Malaysia. Katanya bukunya bagus, dan karena harganya juga murah yaudah checkout saja. Apalagi endorse preface-nya Prof. Komaruddin Hidayat. 😅 Entahlah sampai sekarang saya masih saja terlena sama endorse preface. Padahal kan itu bisa saja cuma akal-akalan orang jualan.


Tampaknya, buku ini merupakan kumpulan tulisan di blog atau platform lainnya. Karena kalau dilihat dari sistematikanya menurut saya kurang teratur. Jadi, kita bisa baca secara acak tanpa harus memulai dari awal bab sampai akhir. Terbagi menjadi 2 bagian, penulis membahas tentang perdamaian di bagian 1 dan character building di bagian 2. Tapi sebelum membahas isinya, saya ingin bahas dulu pengantarnya.

Jadi, seperti buku-buku pada umumnya di sini juga ada kata pengantarnya. Kunci Sukses Dakwah Nabi, judul pengantar yang katanya dari penerbit. Membacanya membuat hati saya sedikit terganjal. There's no wrong sama pengantarnya, hanya saja sang perwakilan penerbit, Ahmad Najib kok membandingkan dakwah persuasif Nabi Muhammad dengan perlawanan rakyat Palestina yang menurutnya frontal. Menurut saya yo nggak nyambung. Lalu di bagian akhir dia bilang, "Sebagian umat Islam pada zaman kini lebih senang menggunakan cara kekerasan dalam menampilkan Islam..." Entah kenapa kok saya jadi merasa tertuduh. Karena kalau berkaitan dengan non-muslim, selama ini kegaduhan yang saya lihat di kalangan umat Islam itu justru karena para pengusung Islam ramah itu malah menyudutkan saudaranya sesama Muslim. Kan jadi agak gimana gitu ya?! 


Masuk ke bagian 1, ada 12 tulisan pendek yang masuk kategori All About Peace. Tulisan pertamanya, "Hati yang Sakit, Cenderung Menyakiti" saya suka sekali. Apalagi gaya penulisannya yang ringan membuat pesannya mudah dipahami. Penulis mengangkat sebuah fenomena yang terjadi di kalangan umat Islam dan menyampaikan analisisnya terkait hal itu didukung dengan argumen-argumen yang kokoh. Dan gaya penulisan itu berlanjut terus. Di bab 2 misalnya, penulis menceritakan pengalamannya mengikuti sebuah workshop lalu mengaitkannya dengan fenomena tawuran di kalangan remaja kita.

Lalu sampailah kita pada bab "Unsur Menakut-nakuti dalam Pendidikan Kita". Penulis mengaitkan pola dalam dunia advertisement dengan dunia pendidikan. 

Orangtua kita dulu sering menakut-nakuti anaknya dengan hantu, agar anaknya tak keluyuran malam-malam. Untuk menjaga hutan lindung, para sesepuh adat membuat mitos kualat yang menyeramkan yang membuat warganya tak berani menjarah hutan. Agar umat taat beragama, para da'i sering mengancam dengan pedihnya siksa neraka. (hlm 60)

Sekali lagi, nggak ada yang salah sepertinya dari pernyataan itu. Tapi masalahnya adalah, 2 hal yang pertama adalah mitos, sementara yang terakhir adalah fakta. Saya sering merasa heran dan penasaran sama orang-orang yang anti neraka, semengerikan apa sih dulu gurunya bercerita tentang neraka sampai-sampai nggak mau denger tentang neraka?! Padahal di awal-awal dakwahnya, Nabi Muhammad itu justru sering sekali membahas tentang kiamat dan neraka. Lihat saja surat-surat di juz 30 itu isinya rata-rata ancaman semua.


Lalu penulis mengatakan bahwa Allah lebih memilih kata بشّر ketika membahas tentang kabar gembira di dalam Al-Quran, yang itu tandanya berulang-ulang kabar gembiranya. Tapi sependek pengetahuan saya, tiap ayat tentang kabar gembira dan peringatan selalu menggunakan redaksi بشيرا و نذيرا. Lagi-lagi, saya juga nggak bisa menjudge pernyataan penulis karena bisa jadi saya yang kurang jauh ngajinya. (Yaiyalah, saya baru lahir dia udah nyantri...🙄)


Yasudah itu saja hal-hal yang menurut saya kurang cocok sama prinsip saya. Sisanya, buku ini isinya bagus dan cukup padat. Bukan sekadar mengajak kita untuk lebih selow dalam beragama, tapi juga mengajak kita untuk belajar dan membaca sebagaimana para ulama kita dulu menjalankan agama. Dengan harganya yang murah, buku ini bisa jadi bacaan ringan dan renyah tapi tetap berbobot dan bergizi.

Rating: 3/5 ⭐⭐⭐

Lagu-lagu untukmu yang merasa kesepian di rumahmu sendiri

Minggu, 20 Juni 2021

 


Belakangan ini saya sering melihat konten-konten tentang mental health di sosial media maupun kanal YouTube yang tampaknya menyasar ke pemirsa muda. Orang tua yang tidak supportif bahkan cenderung abusif, lingkungan pertemanan yang toxic, pasangan yang menyakiti dan lain-lain. Kondisi-kondisi yang tidak menyenangkan itu lambat laun akhirnya merusak mental generasi remaja kita. Dan yang menurut saya lebih menyakitkan adalah, kebanyakan kemudian berujung -cenderung- menyalahkan generasi sebelumnya.

Nggak perlu salah paham juga, sih. Kita, generasi milenial ini juga sering sekali menganggap generasi saat ini sebagai generasi yang lemah atau dalam istilah Rhenald Kasali; Strawberry Generation. Generasi yang berisi orang-orang yang kreatif, tapi mudah menyerah dan gampang sakit hati. Ingin melakukan perubahan besar, tapi tidak mau menghadapi kesulitan.

Pikiran-pikiran tentang perbedaan karakter antar generasi ini membuat saya terinspirasi untuk mengulik lebih jauh, apa sih yang membuat generasi saya menganggap diri lebih kuat secara mental daripada generasi saat ini?! Lalu tadi siang, ketika selesai karaokean saya mulai menyadari bahwa lagu-lagu yang saya nyanyikan hampir semuanya bertemakan difficult parent-child relationship. Lalu apa hubungannya dengan mental health?!

Musik layaknya khamr bagi jiwa, kata Ibn Taimiyah. Sebuah lagu, itu memabukkan. Ketika kita mendengarkan lagu dengan khidmat, kita akan secara utuh menjiwai isi lagu itu, sedikit demi sedikit jiwa kita akan terbawa seperti apa yang ada di lagu itu. Nah, menyimak kembali lirik dari lagu-lagu yang tadi siang saya nyanyikan, saya mulai menyadari satu hal. Lagu-lagu tentang broken home yang dulu saya favoritkan itu, semenyedihkan apapun, sesakit apapun kisahnya, tetap terselip cinta di sana. Meskipun lagu itu berkisah tentang kepahitan, tapi tetap ada harapan yang disampaikan walau kadang hanya tersirat melalui video musiknya.

Lalu saya mencoba mencari referensi lagu dengan tema yang sama yang kira-kira rilis 10 tahun belakangan ini. Entah kenapa, saya tidak menemukan banyak lagu populer dengan tema itu. Saya tidak tahu, apakah memang begitu atau hanya tidak terlacak radar. Jadi, di postingan ini saya ingin memberikan playlist untuk kalian yang mungkin saat ini sedang sedih karena kondisi keluargamu yang tidak sesuai harapan. Kamu bisa menangis di kamarmu ditemani lagu-lagu ini, supaya kamu tahu bahwa kamu tidak sendiri.

1. Numb - Linkin Park


Kamu merasa orang tuamu menaruh harapan terlalu tinggi untukmu sampai-sampai kamu lelah karena terus mengecewakan mereka?! Chester Bennington paham sekali dengan perasaan itu. Lirik "every step that I take is another mistake to you" adalah tentang bagaimana perasaan seorang anak yang tidak bisa melakukan apapun untuk membuat orang tuanya bangga. Di lagu ini, Linkin Park menggambarkan tentang harapan seorang anak yang ingin menjadi dirinya sendiri tanpa kekangan dari orang tuanya. Tapi bukan hanya itu, Linkin Park juga menyadari bahwa para orang tua juga pernah mengalami kesulitan yang sama. Ketika mendengar lirik "but I know you were just like me with someone disappointed in you" membuat saya memaafkan orang tua saya. Rilis ketika saya kelas 2 SMP, saya mengenal Linkin Park lewat lagu ini yang selalu dinyanyikan teman sekelas yang duduk di belakang saya.

Can't you see that you're smothering me
Holding too tightly, afraid to lose control?
'Cause everything that you thought I would be
Has fallen apart right in front of you

2. Nobody's Home - Avril Lavigne


Lagu ini tidak menceritakan masalah hubungan orangtua-anak secara jelas. Tapi kita bisa melihat dari video musiknya, bahwa sang tokoh utama di lagu ini merasa terbuang dari keluarganya. Lagu ini diciptakan Avril terinspirasi dari kisah salah satu teman sekolahnya yang pergi dari rumah karena tidak cocok dengan orang tuanya. Kalau kamu sedang di posisi yang bertentangan dengan orang tuamu, mungkin lagu ini bisa menyadarkanmu betapa sulitnya menjalani hidup tanpa perlindungan orang tua.

She wants to go home
But nobody's home
That's where she lies
Broken inside
With no place to go
No place to go
To dry her eyes
Broken inside

3. Hold On - Good Charlotte



Opening video musik dari lagu ini straight to the point. Pesan yang disampaikan dari liriknya pun begitu jelas. This is an anti-suicide song. Lagu ini ditulis sebagai respon atas surat-surat dari penggemar mereka yang menceritakan tentang buruknya kehidupan mereka dan seringkali membuat mereka ingin mengakhiri hidup. Kalau kamu merasa sudah ingin menyerah, dengarkanlah lagu ini. Bukan cuma kamu yang merasa sedih dan sakit di dunia ini. Dan masih banyak orang penuh cinta di luar sana yang bisa kamu temui.

But we all bleed the same way as you do
And we all have the same things to go through

Hold on, if you feel like letting go
Hold on, it gets better than you know

4. Family Portrait - P!nk


Lagu ini seperti sebuah ratapan seorang anak kepada kedua orang tuanya yang selalu bertengkar dan hampir bercerai. Kita bisa pahami langsung dari liriknya. Video musiknya pun diperankan seorang anak kecil yang menyanyikan lagu tersebut. Tidak perlu banyak penjelasan, kalau kamu mengalami hal yang sama seperti yang tertuang di lagu itu, kamu pasti ingin memeluk gadis kecil itu.

In our family portrait, we look pretty happy
Let's play pretend, let's act like it comes
Naturally
I don't wanna have to split the holidays
I don't want two addresses
I don't want a step-brother anyways
And I don't want my mom to have to change her
last name

5. Because of You - Kelly Clarkson


Buat saya ini lagu paling sakit dari semua lagu yang ada di list ini. Kalau sedang sedih dan ingin menangis sampai saat ini saya masih akan memutar lagu ini. Lagu ini menceritakan seseorang yang berusaha untuk menghapus kenangan dan pengaruh buruk masa kecilnya yang menyakitkan. Bagaimana kegagalan orang tua menjadi pelajaran baginya, bahwa dia tidak boleh melakukan hal yang sama. Tapi menjalani kehidupan rumah tangga memang semenyulitkan itu, seperti digambarkan dalam lirik ini; And now I cry in the middle of the night, for the same damn thing. Ya, ketika masih menjadi anak-anak kita tidak mengerti mengapa orang tua begitu egois dan tidak memikirkan perasaan anaknya. Tapi nanti, -atau untuk saya sekarang- tahu betapa sulitnya bahkan untuk menjaga perasaan diri sendiri ketika teman hidup tampak tidak sejalan.

Because of you
I try my hardest just to forget everything
Because of you
I don't know how to let anyone else in
Because of you
I'm ashamed of my life because it's empty
Belakangan Kelly Clarckson membuat sebuah lagu yang berjudul Piece by Piece yang merupakan versi lebih dewasa dari Because of You. Pada akhirnya kita harus bisa berdamai dengan masa lalu agar bisa melanjutkan hidup.


6. Perfect - Simple Plan


Perfect adalah lagu untuk Ayah yang selalu menuntut kesempurnaan dari anaknya. Kamu mengalami juga?! Seberapa besarpun nilai di sekolah yang kamu dapat, Ayah akan selalu bilang "belajar lebih giat lagi". Biarkan Simple Plan menghiburmu. Mungkin kalau kamu sudah lelah untuk meyakinkan Ayahmu bahwa kamu menginginkan hal yang berbeda dengannya, kamu bisa bilang I'm sorry I can't be perfect.

I can't believe it's hard just to talk to you
But you don't understand

7. Confessions of a Broken Heart (Daughter to Father) - Lindsay Lohan


Kalau ini, bukan cuma lirik tapi juga video musiknya yang bikin nangis. Anak kecil yang ada di video ini adalah adiknya sendiri dan mereka nangis berdua di situ. Saya sampai terpana ketika pertama kali menonton videonya. Saya tidak perlu banyak cerita sepertinya, tonton sendiri dan menangislah bersama Lindsay dan adiknya.

And I carry the weight of the world on my shoulders
A family in crisis that only grows older

8. Never There - Sum 41


Ini adalah lagu paling baru dari semua lagu yang ada dalam list di sini. Dan karena ditulis oleh orang yang sudah dewasa, maka isi lagunya pun berbeda. Lagu ini ditulis Derek Whibley untuk ayahnya yang tidak dia kenal karena meninggalkan dia dan ibunya ketika dia masih kecil. Derek seolah mencoba memahami mengapa ayahnya pergi dan memaafkannya.

Even though you're never there
I didn't feel you disappear from sight
You did it well

***

Masih banyak lagu-lagu yang bertema broken home, beberapa saya temukan yang berbahasa Indonesia juga ada. Tapi karena genre musiknya tidak sesuai selera saya jadi tidak masuk di daftar ini. Dan sebagai penutup, saya hanya ingin menyampaikan bahwa seberat apapun ujian yang sedang kita alami saat ini pasti kita tidak sendiri. Pasti ada orang lain yang mengalami hal yang sama. Jadi jangan merasa terpuruk sendirian. Semua rasa sakit dan sedih ini akan segera berlalu.

Semoga daftar lagu ini cukup bisa menemani hari-hari kalian. Karena lagu-lagu ini juga yang dulu memberi saya semangat untuk terus hidup. Kalian mau menambahkan lagu lain yang belum masuk di list ini? 

Reading Radio Silence as an adult (Book Review)

Selasa, 15 Juni 2021

 


Judul : Radio Silence
Penulis : Alice Oseman
Bahasa : Inggris
Format : EPub, 358 halaman
Penerbit : HarperCollins Publisher (2016)
Harga : Rp. 55.169

!!!!
Trigger Warning:
Anxiety
Emotionally abusive parent
LGBTQ+ characters
!!!!!

Blurb:
What if everything you set yourself up to be was wrong?  
Frances has been a study machine with one goal. Nothing will stand in her way; not friends, not a guilty secret – not even the person she is on the inside. Then Frances meets Aled, and for the first time she's unafraid to be herself.  
So when the fragile trust between them is broken, Frances is caught between who she was and who she longs to be. Now Frances knows that she has to confront her past. To confess why Carys disappeared…

Frances is going to need every bit of courage she has.

Engaging with themes of identity, diversity and the freedom to choose, Radio Silence is a tour de force by the most exciting writer of her generation.

Saya perlu berpikir agak lama untuk membuat review novel ini. Sebagai orang dewasa (ceileh), jarang membaca fiksi, tidak kenal dunia remaja, apa saya cukup capable untuk mereview sebuah novel Young Adult?! Tapi novel ini membuat saya nggak berhenti berpikir. Berpikir tentang kemampuan penulisnya yang luar biasa, tentang isu yang termuat di dalamnya, dan tentang diri saya sendiri yang juga pernah menjalani masa remaja. 

...

Oke, sudah cukup kontemplasinya. Langsung saja kita bahas novelnya.

Radio Silence bercerita tentang Frances, seorang anak SMA yang gila belajar. Dia pintar, head girl di sekolah, dan mau masuk Cambridge. "I was going to get a good job and earn lots of money, and I was going to be happy." Dari deskripsi ini kita bisa lihat kalau Frances adalah anak muda yang punya cita-cita dan tahu apa yang harus dia lakukan untuk masa depannya. Tapi ternyata tidak, saudara-saudara. Frances tidak tahu, atau lebih tepatnya tidak mengerti mengapa dunia harus (terlihat) berjalan seperti itu. Dia menjalani hidupnya dengan semangat belajar yang tinggi hanya karena dia melihat bahwa kebahagiaan hanya bisa dicapai dengan cara itu; belajar dan bekerja keras, kuliah di kampus ternama, pekerjaan tetap, karir cemerlang, penghasilan yang banyak. Itulah kebahagiaan yang dia lihat.

Tapi jauh di lubuk hatinya, sebenarnya dia sama sekali tidak peduli dengan itu semua. Dia menjadi study machine hanya karena ingin mencapai kebahagiaan yang sama dengan kebanyakan orang. Walaupun kebahagiaan versi dirinya sendiri adalah menyimak video podcast favoritnya di YouTube, Universe City lalu membuat fan art dan mempostingnya di Tumblr dengan memakai nama akun samaran. Dia tidak mau memakai nama aslinya karena tidak ingin terlihat orang sudah melakukan hal sia-sia, walaupun membuatnya bahagia. Tidak ada yang tahu bahwa School Frances hanyalah apa yang dia tampilkan di hadapan orang lain. Real Frances dia sembunyikan di dalam kamarnya, jauh dari jangkauan orang lain bahkan ibunya sendiri.

Kita akan menyimak cerita Frances menjalani tahun terakhir di sekolahnya sepanjang novel ini, dari sudut pandangnya. Semuanya bermula dari pertemuannya dengan Aled Last, cowok aneh yang sebenarnya adalah tetangga depan rumahnya tapi tidak pernah bertegur sapa. Mereka seumuran, tapi Aled setahun lebih tinggi level sekolahnya sehingga ketika Frances baru naik jadi senior Aled sudah masuk Universitas. 

Tidak ada yang aneh. Semua berjalan sesuai rencana. Hingga suatu hari, Frances mendapat DM di Twitter dari kreator Universe City yang meminta dia menjadi animator untuk acara podcast tersebut. Tentu saja Frances kegirangan dan menerima tawaran itu. Surprisingly, tak lama setelahnya Frances tidak sengaja mengetahui bahwa Aled adalah kreator Universe City. Dari situlah, persahabatan dua anak muda ini dimulai.

Semakin sering ngobrol, Frances menyadari bahwa ternyata dia memiliki banyak kesamaan dengan Aled. Dia merasa mereka punya selera yang sama dalam banyak hal, sehingga Frances merasa bisa menjadi dirinya sendiri ketika bersama Aled. Aled menjadi satu-satunya sahabatnya. 

Konflik mulai muncul ketika Frances dan Aled ribut karena suatu hal. Aled yang sudah mulai masuk kuliah dan tinggal di asrama kampus, akhirnya menarik diri dan tidak bisa dihubungi lagi. Frances yang merasa sangat bersalah berusaha memperbaiki hubungan persahabatan mereka disela-sela kesibukannya sendiri mendaftar ke Cambridge.

***

Kalau cuma membaca sinopsis di atas, mungkin yang terbayang di benak kita adalah "yaaa..... tipikal cerita anak remaja jaman sekarang laaah....". Tapi saya berani bilang, "No, no, ini beda." Memang novel ini menceritakan permasalahan anak remaja yang kesannya biasa saja. Tapi karena kita membacanya dari sudut pandang Frances, kita bisa benar-benar merasakan apa yang dia rasakan, precisely

Kalau selama ini kita sering kebingungan menghadapi anak remaja dan tidak mengerti apa maunya mereka, bacalah novel ini. Karena di sini kita akan tahu apa yang sebenarnya dipikirkan mereka ketika berhadapan dengan orang dewasa. Saya sendiri sering tersenyum-senyum sendiri ketika bertemu dialog-dialog Frances dengan orang-orang di sekitarnya. Di mulut dia bilang begini, padahal dalam hatinya dia sendiri tidak setuju dengan dirinya sendiri.

She asked me, "Remind me why you wanted to be head girl?"
And I said, "Because I'm great at it," but I was thinking, because universities love it.

Atau ketika Frances merasa putus asa untuk menjelaskan sesuatu kepada kepala sekolahnya,

I stopped speaking. There was no point trying to argue. There was no way she was going to even attempt to listen to me.
They never do, do they? They never even try to listen to you.

Dua kutipan itu hanya sebagian kecil dari sempurnanya Alice Oseman meng-capture karakter Frances sebagai representasi jiwa remaja yang kebingungan. Dan di sepanjang novel ini, kita akan melihat bagaimana Frances mencoba memahami kejadian-kejadian penting dalam hidupnya yang sulit untuk dia hadapi. Kita akan menyaksikan Frances menertawakan keputusan-keputusannya sendiri, menangisi kebodohannya sendiri, merasa tidak berguna karena tidak bisa berbuat apa-apa untuk menolong orang yang dia sayangi, dan masih banyak lagi gejolak perasaan yang tergambar cantik dengan narasi-narasi yang pas.

Begitu tepat sampai pada titik tertentu saya ikut menangis melihat Frances yang putus asa karena benar-benar tidak tahu harus berbuat apa. Saya bahkan sampai menahan nafas ketika menyaksikan scene tentang abusive parent dari kacamata Frances yang memiliki ibu terbaik di dunia. Frances yang ketakutan, ingin menolong tapi juga tidak berdaya. Kita benar-benar diajak untuk berempati dengan anak-anak muda ini menghadapi kegagalan dalam hidup dan berdamai dengan kondisi-kondisi yang tidak mereka harapkan.

***

Di 2 bab pertama sejujurnya saya agak bosan membaca novel ini, karena tidak terlalu banyak yang terjadi dan menurut saya karena hal itu Alice justru jadi terlalu terburu-buru di bagian akhir. Hal ini yang membuat saya -awalnya- jadi malas melanjutkan ketika pertama kali membacanya. Novel ini sempat saya tinggalkan selama 2 bulan. Untungnya saya memutuskan untuk melanjutkan karena memang sejak awal sudah suka dengan penggambaran karakternya. Dan karena memang saya adalah character-focused reader, di bagian tengah cerita saya mulai merasakan emosi dari cerita ini.

Karena ini pertama kalinya saya baca novel luar negeri bergenre Young Adult, terus terang saya sangat kagum dengan gaya penulisannya. Apalagi jika dibandingkan dengan novel-novel Teenlit/Chicklit milik murid-murid yang sering saya temukan di asrama. Kualitas narasi novel ini jelas jauuuuuh melampaui itu semua. Kita bukan hanya diceritakan tentang kisah anak remaja yang remeh-temeh, tapi juga diajak mendalami perasaan mereka, memahami permasalahan yang mereka hadapi, dan peduli dengan pilihan-pilihan hidupnya.

Rating : 4/5 🌟🌟🌟🌟

Monte Cristo (Book Review)

Kamis, 10 Juni 2021

 


Judul : Monte Cristo
Penulis : Alexandre Dumas
Bahasa : Indonesia
Penerjemah : Ermas
Format : Paperback, 754 halaman
Penerbit : KPG (Agustus 2016)
Harga : Rp. 35.000

Pertama kali memegang buku ini, saya sangat terintimidasi karena jumlah halamannya. Memang ini bukan pertama kalinya saya membeli buku yang sangat tebal, tapi buku-buku tebal yang biasanya saya miliki bukanlah buku fiksi melainkan buku-buku referensi yang tidak akan membuat saya merasa wajib untuk menamatkan. Sementara saya baru saja memulai petualangan untuk mengenal buku fiksi, tapi malah memilih buku setebal ini. Rasanya seperti bunuh diri. Dua alasan yang membuat saya membeli buku ini waktu itu adalah; 1. Bookstagramer favorit saya memberinya bintang 5, dan 2. Harganya yang sangat murah, hanya Rp. 35.000 di marketplace. Saya menduga buku ini tidak terlalu laku di pasaran sehingga dijual dengan sangat murah.

Marseille masa kini, salah satu latar cerita Monte Cristo. Kampung halaman Dantes.

Bersetting di Perancis pada masa perebutan kekuasaan antara Napoleon Bonaparte dan Raja Louis XVIII tahun 1815, Monte Cristo berkisah tentang seorang pemuda lugu 19 tahun yang memiliki kehidupan biasa saja. Edmond Dantes, adalah seorang awak kapal yang jujur dan tulus. Dia sangat mencintai ayahnya yang sudah tua dan sakit-sakitan, dan juga seorang kekasih cantik yang selalu setia menanti kepulangannya, Mercedes. Begitu besar harapannya untuk membahagiakan kedua orang yang dicintainya itu, Edmond pun bekerja keras hingga pemilik kapal tempatnya bekerja, Tuan Morrel berniat menjadikannya kapten kapal untuk menggantikan kapten sebelumnya yang meninggal dunia selama perjalanan. Kehidupan Edmond Dantes terasa sempurna. Karir yang cerah, impian menikah, semua tampak begitu indah.

Namun menjadi orang yang terlalu baik kadangkala membuka pintu kebencian bagi orang lain yang berpenyakit hatinya. Dua orang yang merasa dirugikan dengan kesuksesan Edmond, diam-diam membuat rencana jahat untuknya dengan dibantu oleh tetangganya sendiri. Edmond pun ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara terpencil dengan tuduhan sebagai pengkhianat negara, tepat di hari pertunangannya. Hidup Edmond Dantes pun hancur seketika. 

Puri If (Chateau d’If), tempat Edmond Dantes dipenjara.

Di dalam penjara itulah, titik balik perjalanan hidup Edmond Dantes dimulai. Kita akan menyaksikan bagaimana Edmond belajar untuk lebih peka dalam menjalani kehidupannya, bahwa ternyata tidak semua orang sebaik dan setulus dirinya. Dia pun menemukan seorang guru di sana dan akhirnya setelah 14 tahun menyusun rencana dia berhasil kabur dari penjara. Selanjutnya, kita akan diajak mengikuti pembalasan dendam yang epik darinya untuk semua orang yang telah menghancurkan hidupnya di masa lalu. Tapi dia pun tidak lupa untuk membalas jasa orang-orang yang membelanya ketika dia masuk ke dalam penjara.


Sebelumnya, saya tidak tahu sama sekali siapa itu Alexandre Dumas. Sebegitu kosongnya pengetahuan saya tentang dunia sastra, sehingga tiap kali mau membeli novel saya selalu searching dulu di Google demi mendapat referensi yang meyakinkan bahwa buku yang saya pilih itu memang layak dibaca. Dan setelah mengetahui bahwa Dumas adalah penulis kisah legendaris Three Musketeers (yang saya juga belum tahu sama sekali kisahnya 😂) saya pun mantap untuk mencoba membaca buku ini. Tidak disangka, 4 hari saja saya sudah menamatkan cerita ini.

Membaca kisah sepanjang ini, kita dituntut untuk bersabar dengan detil cerita yang kompleks dan plot yang bertumpuk. Tapi bagi saya justru disitulah menariknya. Dengan rentang waktu sepanjang itu tentu banyak hal yang terjadi dan tidak mungkin diceritakan dengan singkat saja. Dumas mengajak kita berkenalan dengan tokoh-tokoh dalam kisahnya dengan rinci hingga karakter mereka terasa hidup. Tidak ada satupun tokoh yang tidak penting di sini, jadi jangan lupakan satupun dari mereka. Tapi kalaupun terpaksa lupa, jangan khawatir, karena Dumas sudah mengantisipasinya dengan sesekali mengulas kembali cerita yang sudah lalu dengan porsi yang pas sehingga kita bisa mengingat kisah yang terlewat tanpa merasa plotnya menjadi terlalu repetitif. Saya pun mencoba mencari lokasi-lokasi yang pernah dikunjungi Edmond Dantes di internet, beberapa diantaranya bisa dilihat di postingan ini.

Salah satu sudut jalan lokasi rumah Monte Cristo di Paris, kawasan paling elit di negara itu.

Satu hal lagi yang membuat saya sangat menikmati novel ini adalah kisahnya yang menurut saya tidak terlalu berlebihan. Pembalasan dendam yang terlalu rapi, memang benar. Tapi Dumas mengemasnya dengan backstory yang masuk akal sehingga pada akhirnya semua menjadi bisa diterima. Dan seperti mengetahui apa yang akan pembaca pikirkan jika kisahnya terlalu sempurna, Dumas seolah sengaja membuat beberapa kegagalan yang lagi-lagi cocok dan cukup adil.

Sepanjang membaca Monte Cristo saya sering tersenyum setuju dengan ungkapan-ungkapan yang ada di dalamnya. Dumas menyisipkan sisi religius yang menurut saya cukup unik, terlebih saya sama sekali tidak mengerti konsep teologi Kristen. Tapi beberapa dialog dan narasi yang membawa nama Tuhan, sangat relate dengan kenyataan bagaimana kebanyakan manusia menjalani dan meletakkan agama dalam kehidupan. Saya juga bisa mengenal banyak tipe dan karakter manusia dari tokoh-tokoh di novel ini. Dari mereka saya belajar tentang kesetiaan, kejujuran, ketulusan, tekad yang kuat, dan tentu saja dendam dan keserakahan.


Dengan kerapian plot dan kekuatan karakter yang luar biasa, wajar kalau kemudian kisah ini menjadi abadi hingga akhirnya diangkat menjadi film dan TV Series. Selesai membaca novel ini, saya melanjutkan mencari review-review dan informasi lain dan ternyata versi asli novel ini pertama kali terbit tahun 1844 dalam bentuk serial bersambung. Dan buku terjemahan bahasa Inggris edisi lengkapnya setebal 1276 halaman. Jadi saya cukup yakin sepertinya yang saya miliki ini hasil terjemahan versi ringkasan. Meskipun ada satu baris yang menurut saya terpotong di halaman 288 tapi sama sekali tidak mengganggu kenikmatan mencerna keseluruhan cerita ini.

Saya tidak mengerti kalimat dengan post it merah itu. Ada yang bisa menjelaskan?!

Rating : 5/5 🌟🌟🌟🌟🌟 
© Zuzu Syuhada • Theme by Maira G.